Anda di halaman 1dari 13

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Pengertian HIV/AIDS

HIV adalah singkatan dari “Human Immunodeficiency Virus”. Merupakan

virus yang menyebabkan penyakit AIDS. HIV menyerang salah satu jenis dari sel-

sel darah putih yang bertugas menangkal infeksi. Sel darah putih tersebut

termasuk limfosit yang disebut T-Limfosit atau “Sel T-4” atau disebut juga “Sel

CD-4” (Zein, 2006).

AIDS adalah singkatan dari Acquired Immuno Deficiency Syndrome.

Acquired artinya didapat, bukan penyakit keturunan; Immuno berarti sistem

kekebalan tubuh, Deficiency artinya kekurangan; sedangkan Syndrome adalah

kumpulan gejala.Orang yang terinfeksi HIV ataupun orang yang sudah menderita

AIDS disebut ODHA (orang dengan HIV/AIDS) (Djoerban, 2001).

HIV dapat menular melalui aktifitas seksual beresiko, diantaranya perilaku

anal seks maupun oral seks. Selain itu,transfusi darah, penggunaan jarum suntik

bersamaan, transmisi perinatal, sertamenyusui dapat menjadi sumber penularan

(WHO, 2014).

2.2 Cara Penularan HIV/AIDS

Secara umum ada 5 faktor yang perlu diperhatikan pada penularan suatu

penyakit yaitu sumber infeksi, vehikulum yang membawa agent, host yang rentan,

tempat keluar bakteri dan tempat masuknya bakteri (port ’d entree).

Virus HIV sampai saat ini terbukti hanya menyerang sel lymfosit T dan sel

otak sebagai organ sasarannya. Virus HIV sangat lemah dan mudah mati diluar

Universitas Sumatera Utara


tubuh. Sebagai vehikulum yang dapat membawa virus HIV keluar tubuh dan

menularkan kepada orang lain adalah berbagai cairan tubuh. Cairan tubuh yang

terbukti menularkannya diantaranya semen (cairan sperma), cairan vagina atau

serviks, dan darah penderita. Banyak cara yang diduga menjadi cara penularan

virus HIV, namun hingga kini cara penularan HIV yang diketahui adalah melalui:

2.2.1 Transmisi seksual

Penularan melalui hubungan seksual baik homoseksual

maupunheteroseksual merupakan penularan infeksi HIV yang paling sering

terjadi. Penularan melalui hubungan seksual dapat terjadi selama senggama laki-

laki dengan perempuan atau laki-laki dengan laki-laki. Senggama berati kontak

seksual penetrasi vaginal, anal (anus/dubur), oral (mulut) antara dua individu.

Risiko tertinggi penetrasi vaginal atau anal yang tak terlindung dari individu yang

terinfeksi HIV. Kontak seksual langsung mulut ke penis (zakar) atau mulut ke

vagina, merupakan risiko rendah tertular HIV. Tingkatan risiko tergantung pada

jumlah virus yang keluar dan masuk ke dalam tubuh seseorang melalui ”pintu

masuknya”, seperti adanya luka kecil pada alat kelamin, mulut, gusi, dan atau

penyakit gigi dan mulut yang diderita.

2.2.2 Transmisi non seksual

Ada dua yaitu transmisi parental yaitu akibat penggunaan jarum suntik dan

alat tusuk lainnya (alat tindik) yang telah terkontaminasi, misalnya pada

penyalahgunaan narkotik suntik yang menggunakan jarum suntik yang tercemar

secara bersama-sama. Dapat juga terjadi melalui jarum suntik yang dipakai oleh

petugas kesehatan. Sedangkan transmisi transplasental yaitu penularan dari ibu

Universitas Sumatera Utara


yang mengandung HIV positif ke anak mempunyai risiko sebesar 50%. Penularan

dapat terjadi sewaktu hamil, melahirkan, dan sewaktu menyusui. Penularan

melalui Air Susu Ibu (ASI) termasuk penularan dengan risiko rendah. Selain itu

juga penularan HIV/AIDS dapat melalui transfusi darah/produk darah yang sudah

tercemar (Zein, 2007).

2.3 Orang yang Beresiko Terkena HIV/AIDS

Populasi Kunci terdiri dari Pekerja seks, pengguna narkoba suntik, waria,

lelaki seks dengan lelaki dan Transgender. Populasi beresiko terdiri warga binaan

pemasyarakatan, ibu hamil, pasien TB, kaum migran, pelanggan pekerja seks dan

pasangan ODHA. Sedangkan, Kelompok minor adalah mereka yang belum

dewasa, anak dan mereka yang masih terbatas kemampuan berpikir dan

menimbang (KEMENKES, 2014).

2.4 Gejala dan Tanda Klinis Penderita HIV/AIDS

Global Programme on AIDSdari Badan Kesehatan Dunia (WHO)

mengusulkan, “Pembagian Tingkat Klinis Penyakit Infeksi HIV” sesudah

mengadakan pertemuan di Geneva bulan Juni 1989 dan bulan Februari 1990.

Usulan tersebut berdasarkan penelitian terhadap 907 penderita seropositif HIV

dari 26 pusat perawatan yang berasal dari 5 benua. Pembagian tingkat klinis

infeksi HIV tersebut adalah sebagai berikut.

2.4.1 Tingkat Klinis 1 (Asimptomatik/LGP):

1. Tanpa gejala sama sekali,

2. Limfadenopati Generalisata Persisten (LGP): yakni pembesaran

kelenjar getah bening di beberapa tempat yang menetap.

Universitas Sumatera Utara


Pada tingkat ini pasien belum mempunyai keluhan dan dapat melakukan

aktivitasnya secara normal.

2.4.2 Tingkat Klinis 2 (Dini):

1. Penurunan berat badan kurang dari 10%,

2. Kelainan mulut dan kulit yang ringan, misalnya Dermatitis sebroika,

Prurigo, infeksi jamur pada kuku, ulkus pada mulut berulang dan

Cheilitis angularis,

3. Herpes zoster yang timbul pada 5 tahun terakhir,

4. Infeksi saluran nafas bagian atas berulang, misalnya sinusitis.

Pada tingkat ini, pasien sudah menunjukkan gejala tapi aktivitas tetap

normal.

2.4.3 Tingkat Klinis 3 (Menengah):

1. Penurunan berat badan >10% berat badan,

2. Diare kronik >1 bulan, penyebab tidak diketahui,

3. Panas yang tidak diketahui sebabnya selama lebih dari 1 bulan, hilang-

timbul maupun terus-menerus,

4. Kandidiasis mulut,

5. Bercak putih berambut di mulut (hairy leukoplakia),

6. Tuberkulosis paru setahun terakhir,

7. Infeksi bakterial yang berat, misalnya Pneumonia.

Pada tingkat klinis 3 ini, penderita biasanya berbaring di tempat tidur lebih

dari 12 jam sehari, selama sebulan terakhir.

Universitas Sumatera Utara


2.4.4 Tingkat Klinis 4 (Lanjut):

1. Badan menjadi kurus (HIV wasting syndrome), yaitu: berat badan

turun lebih dari 10% dan (a) diare kronik tanpa diketahui sebabnya

selama lebih dari 1 bulan, atau (b) kelemahan kronik dan panas tanpa

diketahui sebabnya, selama lebih dari 1 bulan,

2. Pneumoni Pneumosistis Karinii,

3. Toksoplasmosis otak,

4. Kripstosporidiosis dengan diare > 1 bulan,

5. Kriptokokosis di luar paru,

6. Penyakti virus Sitomegalo pada organ tubuh, kecuali di limpa, hati dan

kelenjar getah bening,

7. Infeksi virus Herpes simpleks di mukokutan lebih dari satu bulan, atau

di alat dalam (visceral) lamanya tidak dibatasi,

8. Leukoensefalopati multifokal progresif,

9. Mikosis (Infeksi jamur) apa saja (misalnya Histoplasmosis,

Kokkidioidomikosis) yang endemik, menyerang banyak organ tubuh

(disseminata),

10. Kandidiasis esofagus, trakea, bronkus atau paru,

11. Mikobakteriosis atipik (mirip bakteri tbc), disseminata,

12. Septikemia salmonella non tifoid,

13. Tuberkulosis di luar paru,

14. Limfoma,

15. Sarkoma kaposi,

Universitas Sumatera Utara


16. Ensefalopati HIV, sesuai kriteria CDC, yaitu: gangguan kognitif atau

disfungsi motorik yang mengganggu aktivitas sehari-hari, progresfif

sesudah beberapa minggu atau beberapa bulan, tanpa dapat ditemukan

penyebabnya selain HIV (Djoerban, 2001).

2.5 Gejala Oportunistik Penderita HIV/AIDS

Seseorang dengan HIV dikatakan memiliki AIDS, apabila di dalam

tubuhnya telah berkembang infeksi oportunistik tertentu atau tumor. Infeksi

oportunistik yang ditetapkan sebagai akibat dari AIDS, secara khusus terdaftar di

dalam pengertian resmi dari AIDS menurut The Center for Disease Control

(CDC) di Amerika. Mereka menggolongkan sebagai berikut:

1. Infeksi protozoa, seperti Toxoplasma gondii, Cryptosporidium dan

Isospora belli;

2. Infeksi bakteri, seperti Mycobacterium tuberculosis (TB) dan

Mycobacterium avium intracellulare (MAI);

3. Infeksi jamur, seperti Pneumocytis carinii (PCP, dulunya dianggap

protozoa), Candida albicans dan Cryptococcus neoformans;

4. Infeksi viral, seperti Cytomegalovirus (CMV), Herpes simpleks (HSV),

dan Zoster (HZV atau VZV) dan Human papilloma virus (HPV).

Dalam kasus HIV, IO adalah infeksi yang disebabkan oleh organisme yang

biasanya tetap terkendali karena kerja dari sistem kekebalan tubuh seluler (bagian

dari sistem kekebalan tubuh yang paling dirusak oleh virus HIV) (CDC,1992).

Universitas Sumatera Utara


2.6 Epidemiologi Penderita HIV/AIDS

2.6.1 Distribusi dan Frekuensi

a. Umur dan Jenis Kelamin

Jumlah kumulatif penderita HIV/AIDS di Indonesia sejak tahun 1987-

2014 berdasarkan kelompok umur yakni <1-29 tahun sebanyak 185.644

penderita dan >30 tahun sebanyak 24.186 penderita. Untuk jumlah

kumulatif penderita HIV/AIDS di Indonesia sejak tahun 1987-2014

berdasarkan jenis kelamin yakni, Laki-laki sebanyak 29.882 dan

Perempuan sebanyak 16.092 penderita (KEMENKES RI, 2014).

b. Menurut Tempat

Pada tahun 2014, terdapat 5 juta(4.5 juta-5.6 juta)orang hidup dengan

HIV/AIDS di kawasan Asia dan Pasifik, serta Sebanyak 240.000

(140.000-570.000)orang meninggal akibat AIDS. Selain itu, terdapat

penambahan 340.000 (240.000–480.000) infeksi baru, dimana 78%

diantaranya terdapat di Cina, Indonesia dan India. Serta Terdapat 21.000

(16.000-27.000)infeksi terbaru pada anak-anak di Asia dan Pasifik

(UNAIDS, 2015).

Jumlah Kasus HIV/AIDS di Indonesia yang dilaporkan menurut

provinsi sejak tahun 1987-2014 menurut Ditjen PP & PL Kemenkes RI

paling banyak terdapat di Provinsi Papua, dengan penderita AIDS

sebanyak 10.184 penderita. Peringkat kedua ditempati Provinsi Jawa

Timur dengan penderita AIDS sebanyak 8.976 penderita. Sedangkan,

Provinsi Sumatera Utara berada di peringkat 10 dengan penderita AIDS

Universitas Sumatera Utara


sebanyak 1,573 penderita. Dimana, jumlah kumulatif berdasarkan jenis

kelamin yakni, Laki-laki sebanyak 29.882 dan Perempuan sebanyak

16.092 penderita. Untuk jumlah kumulatif kasus AIDS menurut faktor

risiko terbanyak berdasarkan perilaku Heteroseksual yakni 34, 187

penderita (KEMENKES RI, 2014).

c. Menurut Waktu

Pada tahun 2014, jumlah kasus HIV/AIDS di Indonesia yang telah

dilaporkan sejak 1 Januari s.d. 30 Juni 2014, yakni HIV sebanyak 15.534

dan AIDS sebanyak 1.700 penderita. Sedangkan, pada triwulan April s.d.

Juni 2014, dilaporkan tambahan HIV sebanyak 6.626 dan AIDS sebanyak

308 penderita (KEMENKES RI, 2014).

2.7 Pelayanan Kesehatan Untuk Penderita HIV/AIDS

Orang dengan HIV/AIDS (ODHA) memerlukan pelayanan kesehatan yang

berkesinambungan, pemantauan yang seksama untuk mencegah infeksi, serta

pengobatan segera agar infeksi sekunder tidak berlarut-larut dan menyebabkan

cacat. Seringkali merawat ODHA lebih sulit dari penyakit kronik lain, karena:

1. Terbatasnya tenaga yang terdidik dan terlatih

2. ODHA memerlukan dukungan emosi khusus.

3. Pemantauan medik untuk mencegah kekambuhan sehingga dapat

dicegah perawatan di rumah sakit.

4. Beberapa tenaga kesehatan sendiri masih cemas dan ketakutan untuk

merawat karena belum mendapat penerangan dan pendidikan yang

baik.

Universitas Sumatera Utara


Fasilitas kesehatan yang diperlukan oleh ODHA adalah sebagai berikut:

1. Fasilitas Perawatan Akut

Fasilitas rawat inap intensif yang mempunyai staf lengkap dan sudah

berpengalaman. Di ruang rawat ini pasien AIDS diawasi 24 jam penuh.

Jenis pelayanan dasar yang diperlukan adalah penyakit dalam, bedah,

anastesi, laboratorium, radiologi, gizi, dan farmasi.

2. Fasilitas Perawatan Khusus

Adalah fasilitas perawatan yang sudah terbiasa merawat pasien AIDS.

Unit ini menyediakan perawatan untuk pasien AIDS yang tidak dalam

fase akut tetapi memerlukan perawatan di rumah sakit untuk

rehabilitasi.

3. Fasilitas Perawatan Intermediat

Fasilitas ini diperlukan untuk ODHA yang tidak terus menerus

memerlukan dokter atau perawat yang berpengalaman. Ini berlaku baik

untuk fasilitas rawat inap maupun rawat jalan.

4. Fasilitas Perawatan Masyarakat (Shelter)

ODHA yang sedang tidak dirawat di rumah sakit kadang-kadang

memerlukan beberapa jenis fasilitas non medik, seperti perumahan,

pengadaan makanan, dan bantuan aktifitas sehari-hari seperti makan,

mandi atau ke toilet.

5. Pusat Kesehatan Masyarakat (Puskesmas)

Puskesmas yang diperlukan adalah yang dilengkapi dengan pelayanan

psikologis, rehabilitasi, sosial, gizi, dan pendidikan kesehatan.

Universitas Sumatera Utara


6. Perawatan Kesehatan di Rumah

Fasilitas ini diperlukan oleh ODHA agar ia tetap tinggal dirumahnya

sambil terus dipantau dan mendapat perawatan medik yang

berkesinambungan. Untuk tujuan tersebut diperlukan pekerja sosial,

perawat, dan relawan baik dari kalangan agama maupun dari lapisan

masyarakat lain.

2.8 Konseling dan Tes HIV (KTHIV)

2.8.1 Prinsip Dasar KTHIV dan AIDS

KTHIV merupakan pintu masuk utama pada layanan pencegahan,

perawatan, dukungan dan pengobatan. Dalam kebijakan dan strategi nasional telah

dicanangkan konsep akses universal untuk mengetahui status HIV, akses terhadap

layanan pencegahan, perawatan, dukungan dan pengobatan HIV dengan visi

getting tozero, yaitu zero new HIV infection, zero discrimination dan zero

AIDSrelated death.

Dalam pelaksanaanya, tes HIV harus mengikuti prinsip yang

telahdisepakati secara global yaitu 5 komponen dasar yang disebut 5C (informed

consent, confidentiality, counseling, correct test results,connections to,

care,treatment and prevention services).

1. Informed Consent, adalah persetujuan akan suatu tindakan pemeriksaan

laboratorium HIV yang diberikan oleh pasien/klien atau wali/pengampu

setelah mendapatkan dan memahami penjelasan yang diberikan secara

lengkap oleh petugas kesehatan tentang tindakan medis yang akan

dilakukan terhadap pasien/klien tersebut.

Universitas Sumatera Utara


2. Confidentiality, adalah Semua isi informasi atau konseling antara klien dan

petugas pemeriksa atau konselor dan hasil tes laboratoriumnya tidak akan

diungkapkan kepada pihak lain tanpa persetujuan pasien/klien.

Konfidensialitas dapat dibagikan kepada pemberi layanan kesehatan yang

akan menangani pasien untuk kepentingan layanan kesehatan sesuai

indikasi penyakit pasien.

3. Counselling, yaitu proses dialog antara konselor dengan klien bertujuan

untuk memberikan informasi yang jelas dan dapat dimengerti klien atau

pasien. Konselor memberikan informasi, waktu, perhatian dan

keahliannya, untuk membantu klien mempelajari keadaan dirinya,

mengenali dan melakukan pemecahan masalah terhadap keterbatasan yang

diberikan lingkungan. Layanan konseling HIV harus dilengkapi dengan

informasi HIV dan AIDS, konseling pra-Konseling dan Tes pascates yang

berkualitas baik.

4. Correct test results. Hasil tes harus akurat. Layanan tes HIV harus

mengikuti standar pemeriksaan HIV nasional yang berlaku. Hasil tes harus

dikomunikasikan sesegera mungkin kepada pasien/klien secara pribadi

oleh tenaga kesehatan yang memeriksa.

5. Connections to, care, treatment and prevention services. Pasien/klien

harus dihubungkan atau dirujuk ke layananpencegahan, perawatan,

dukungan dan pengobatan HIV yangdidukung dengan sistem rujukan yang

baik dan terpantau (Kementrian Kesehatan RI).

Universitas Sumatera Utara


2.8.2 Penyelenggaraan Konseling Dan Tes HIV

Penyelenggaraan Konseling dan Tes HIV (KTHIV) adalah suatu

layananuntuk mengetahui adanya infeksi HIV di tubuh seseorang. Layanan ini

dapat diselenggarakan di fasilitas pelayanan kesehatan. KTHIV didahului dengan

dialog antara klien/pasien dan konselor/petugas kesehatan dengan tujuan

memberikan informasi tentang HIV dan AIDS dan meningkatkan kemampuan

pengambilan keputusan berkaitan dengan tes HIV.

Layanan KTHIV untuk menegakkan diagnosis HIV, dilakukan melalui

2(dua) pendekatan, yaitu:

1. Konseling dan Tes HIV atas inisiatif pemberi layanan kesehatan dan

konseling yang disingkat dengan KTIP; dan

2. Konseling dan tes HIV secara sukarela yang disingkat dengan KTS.

Universitas Sumatera Utara


2.9 Kerangka Konsep

Karakteristik Penderita HIV/AIDS


1. Sosiodemografi
a. Umur,
b. Jenis Kelamin,
c. Suku
d. Pendidikan
e. Pekerjaan,
f. Status Perkawinan
g. Tempat Tinggal.
2. Faktor Risiko Penularan
a. Hubungan Heteroseksual,
b. IDUs(Injection Drug Users)
c. Hubungan Homoseksual,
d. Tatto.
3. Berdasarkan lama teridentifikasi sebagai ODHA,
4. Berdasarkan lama konsumsi ARV.

Universitas Sumatera Utara

Anda mungkin juga menyukai