Anda di halaman 1dari 16

LAPORAN PENDAHULUAN

EPILEPSI DIRUANG KENANGA


RSUP dr. SOERADJI TIRTONEGORO KLATEN

DISUSUN OLEH:
Siti Latifah, S. Kep
P1905035

PROGRAM STUDI PROFESI NERS


STIKES MUHAMMADIYAH KLATEN
2019
LAPORAN PENDAHULUAN EPILEPSI

A. DEFINISI
Epilepsi merupakan gangguan proksimal di mana cetusan neuron korteks serebri
mengakibatkan penurunan kesadaran, perubahan fungsi motorik atau sensorik, perilaku atau
emosional yang intermiten dan stereotipik (Hartono. 2011).
Epilepsi merupakan manifestasi gangguan fungsi otak dengan berbagai etiologi, dengan
gejala tunggal yang khas, yakni kejang berulang akibat lepasnya muatan listrik neuron otak
secara berlebihan dan paroksimal.
Epilepsi merupakan gejala-kompleks dari banyak gangguan susunan saraf pusat (SSP)
yang dicirikan oleh terjadinya bangkitan yaitu modifikasi fungsi otak yang bersifat
mendadak dan sepintas, yang berasal dari sekelompok besar sel-sel otak yang bersifat
spontan, singkron, berirama dan berkala serta dikarakteristikkan. Epilepsi ditetapkan sebagai
kejang epileptik berulang (dua atau lebih), yang tidak dipicu oleh penyebab yang akut
(Markand, 2009).

B. ETIOLOGI
Menurut Wong (2009) Penyebab pasti epilepsi masih belum diketahui (idiopatik) dan
masih menjadi banyak spekulasi. Predisposisi yang mungkin menyebabkan epilepsi
meliputi:
1. Neonatal
Kelainan kongenital, kelainan saat persalinan, anoksia, kelainan metabolik
(hipokalsemia, hipoglisemia, defisiensi vitamin B6, defisiensi biotinidase,
fenilketonuria).
2. Bayi (1-6 bulan)
Kelainan kongenital, kelainan saat persalinan, anoksia, kelainan metabolik, spasme
infantil, Sindroma West.
3. Anak (6 bulan – 3 tahun)
Spasme infantil, kejang demam, kelainan saat persalinan dan anoksia, infeksi, trauma,
kelainan metabolik, disgenesis kortikal, keracunan obat-obatan.
4. Anak (3-10 tahun)
Anoksia perinatal, trauma saat persalinan atau setelahnya, infeksi, thrombosis arteri atau
vena serebral, kelainan metabolik, Sindroma Lennox Gastaut, Rolandic epilepsi.
5. Remaja (10-18 tahun)
Epilepsi idiopatik, termasuk yang diturunkan secara genetik, epilepsi mioklonik juvenile,
trauma, obat-obatan.
6. Dewasa muda (18-25 tahun)
Epilepsi idiopatik, trauma, neoplasma, keracunan alkohol atau obat sedasi lainnya.
7. Dewasa (35-60 tahun)
Trauma, neoplasma, keracunan alkohol atau obat lainnya.
8. Usia lanjut (>60 tahun)
Penyakit vascular (biasanya pasca infark), tumor, abses, penyakit degeneratif, trauma.

C. KLASIFIKASI
Klasifikasi sindroma epilepsi menurut ILAE 1989 (Rudzinski dan Shih, 2011):
1. Berkaitan dengan letak fokus
a. Idiopatik (primer)
1) Epilepsi anak benigna dengan gelombang paku di sentrotemporal (Rolandik
benigna)
2) Epilepsi pada anak dengan paroksismal oksipital
3) Primary reading epilepsy
b. Simtomatik (sekunder)
1) Epilepsi kronik progresif parsialis kontinua pada anak (Sindrom Kojewnikow)
2) Epilepsi lobus temporalis
3) Epilepsi lobus frontalis
4) Epilepsi lobus parietalis
5) Epilepsi lobus oksipitalis
c. Kriptogenik
2. Umum
a. Idiopatik (primer)
1) Kejang neonatus familial benigna
2) Kejang neonatus benigna
3) Epilepsi mioklonik benigna pada bayi
4) Epilepsi absans pada anak
5) Epilepsi absans pada remaja
6) Epilepsi mioklonik pada remaja
7) Epilepsi dengan serangan tonik klonik pada saat terjaga
8) Epilepsi tonik klonik dengan serangan acak
b. Kriptogenik atau simtomatik
1) Sindroma West (spasme infantil dan hipsaritmia)
2) Sindroma Lennox Gastaut
3) Epilepsi dengan kejang mioklonik astatik
4) Epilepsi dengan absans mioklonik
c. Simtomatik
1) Etiologi non spesifik
- Ensefalopati mioklonik neonatal
- Sindrom Ohtahara
2) Etiologi atau sindroma spesifik
- Malformasi serebral
- Gangguan metabolisme
3. Epilepsi dan sindroma yang tidak dapat ditentukan
a. Serangan umum fokal
3) Kejang neonatal
4) Epilepsi mioklonik berat pada bayi
5) Sindroma Taissinare
6) Sindroma Landau Kleffner
b. Tanpa gambaran tegas fokal atau umum
4. Epilepsi berkaitan dengan situasi
a. Kejang demam
b. Berkaitan dengan alcohol
c. Berkaitan dengan obat-obatan
d. Eklamsi
e. Serangan berkaitan dengan pencetus spesifik (reflek epilepsi)

D. MANIFESTASI KLINIS
Menurut manifestasi klinisnya, kejang dibagi menjadi kejang parsial, yang berasal dari salah
satu bagian hemisfer serebri, dan kejang umum, dimana kedua hemisfer otak terlibat secara
bersamaan.

Manifestasi klinis bangkitan epilepsi (Miller, 2009)


Tipe kejang Ciri khas
Kejang parsial
Parsial sederhana Adanya gejala motorik, somatosensorik, sensorik, otonom, atau
kejiwaan.
Kesadaran normal.
Parsial kompleks Adanya gejala motorik, somatosensorik, sensorik, otonom,atau
kejiwaan.
Adanya penurunan kesadaran.
Kejang umum
Tonik-klonik Kekakuan tonik yang diikuti oleh sentakan ekstremitas yang
sinkron.
Dapat disertai inkontinensia.
Diikuti dengan kebingungan pasca kejang.
Absans Hilangnya kesadaran yang singkat (biasanya <10 detik) dengan
terhentinya aktivitas yang sedang berlangsung.
Dapat disertai gerakan otomatis, seperti mengedip.
Pola EEG menunjukkan gambaran paku-ombak (spike-and-
wave).

Mioklonik Adanya satu atau banyak sentakan otot.


Kesadaran normal.
Biasanya bilateral dan simetris.
Atonik Hilangnya tonus otot yang singkat.
Tonik Kontraksi otot yang berkepanjangan.
Klonik Pergantian sentakan dan relaksasi ekstremitas secara berulang-
ulang.
E. PATOFISIOLOGIS
Telah diketahui bahwa neuron memiliki potensial membran, hal ini terjadi karena adanya
perbedaan muatan ion-ion yang terdapat di dalam dan di luar neuron. Perbedaan jumlah
muatan ion-ion ini menimbulkan polarisasi pada membran dengan bagian intraneuron yang
lebih negatif. Neuron bersinaps dengan neuron lain melalui akson dan dendrit. Suatu
masukan melalui sinapsis yang bersifat eksitasi akan menyebabkan terjadinya depolarisasi
membran yang berlangsung singkat, kemudian inhibisi akan menyebabkan hiperpolarisasi
membran. Bila eksitasi cukup besar dan inhibisi kecil, akson mulai terangsang, suatu
potensial aksi akan dikirim sepanjang akson, untuk merangsang atau menghambat neuron
lain.
Patofisiologi utama terjadinya epilepsi meliputi mekanisme yang terlibat dalam
munculnya kejang (iktogenesis), dan juga mekanisme yang terlibat dalam perubahan otak
yang normal menjadi otak yang mudah-kejang (epileptogenesis).
1. Mekanisme iktogenesis
Hipereksitasi adalah faktor utama terjadinya iktogenesis. Eksitasi yang berlebihan dapat
berasal dari neuron itu sendiri, lingkungan neuron, atau jaringan neuron.
a. Sifat eksitasi dari neuron sendiri dapat timbul akibat adanya perubahan fungsional
dan struktural pada membran postsinaptik; perubahan pada tipe, jumlah, dan
distribusi kanal ion gerbang-voltase dan gerbang-ligan; atau perubahan biokimiawi
pada reseptor yang meningkatkan permeabilitas terhadap Ca2+, mendukung
perkembangan depolarisasi berkepanjangan yang mengawali kejang.
b. Sifat eksitasi yang timbul dari lingkungan neuron dapat berasal dari perubahan
fisiologis dan struktural. Perubahan fisiologis meliputi perubahan konsentrasi ion,
perubahan metabolik, dan kadar neurotransmitter. Perubahan struktural dapat
terjadi pada neuron dan sel glia. Konsentrasi Ca2+ ekstraseluler menurun sebanyak
85% selama kejang, yang mendahului perubahan pada konsentasi K2+.
Bagaimanapun, kadar Ca2+ lebih cepat kembali normal daripada kadar K2+.
c. Perubahan pada jaringan neuron dapat memudahkan sifat eksitasi di sepanjang sel
granul akson pada girus dentata; kehilangan neuron inhibisi; atau kehilangan
neuron eksitasi yang diperlukan untuk aktivasi neuron inhibisi.
2. Mekanisme epileptogenesis

a. Mekanisme nonsinaptik
Perubahan konsentrasi ion terlihat selama hipereksitasi, peningkatan kadar K2+
ekstrasel atau penurunan kadar Ca2+ ekstrasel. Kegagalan pompa Na+-K+ akibat
hipoksia atau iskemia diketahui menyebabkan epileptogenesis, dan keikutsertaan
angkutan Cl--K+, yang mengatur kadar Cl- intrasel dan aliran Cl- inhibisi yang
diaktivasi oleh GABA, dapat menimbulkan peningkatan eksitasi. Sifat eksitasi dari
ujung sinaps bergantung pada lamanya depolarisasi dan jumlah neurotransmitter
yang dilepaskan. Keselarasan rentetan ujung runcing abnormal pada cabang akson
di sel penggantian talamokortikal memainkan peran penting pada epileptogenesis.
b. Mekanisme sinaptik
Patofisiologi sinaptik utama dari epilepsi melibatkan penurunan inhibisi GABA
ergik dan peningkatan eksitasi glutamatergik.
c. GABA
Kadar GABA yang menunjukkan penurunan pada CSS (cairan serebrospinal)
pasien dengan jenis epilepsi tertentu, dan pada potongan jaringan epileptik dari
pasien dengan epilepsi yang resisten terhadap obat, memperkirakan bahwa pasien
ini mengalami penurunan inhibisi.
d. Glutamat
Rekaman hipokampus dari otak manusia yang sadar menunjukkan peningkatan
kadar glutamat ekstrasel yang terus-menerus selama dan mendahului kejang. Kadar
GABA tetap rendah pada hipokampus yang epileptogenetik, tapi selama kejang,
konsentrasi GABA meningkat, meskipun pada kebanyakan hipokampus yang non-
epileptogenetik. Hal ini mengarah pada peningkatan toksik di glutamat ekstrasel
akibat penurunan inhibisi di daerah yang epileptogenetik (Eisai, 2012).

F. PEMERIKSAAN DIAGNOSTIK
Epilepsi dapat ditegakkan setelah pasien mengalami dua atau lebih kejang yang tidak
dipicu (Rudzinski dan Shih, 2011). Diagnosis pasti dapat ditegakkan hanya jika kejang
terjadi selama perekaman EEG atau jika muatan listrik dapat dihubungkan dengan tanda dan
gejala pasien. Oleh karena itu, diagnosis kejang tetap yang paling utama (Miller, 2009).
Diagnosis epilepsi merupakan masalah tersendiri karena membuat diagnosis epilepsi secara
rutin memerlukan pengetahuan klinis dan keterampilan yang khusus. Pada kebanyakan
pasien epilepsi, diagnosis dapat dibuat dengan mengetahui secara lengkap riwayat penyakit,
pemeriksaan fisik dan neurologi, pemeriksaan elektroensefalografi, dan pencitraan otak.
1. Anamnesis
Anamnesis harus dilakukan secara cermat, rinci, dan menyeluruh karena pemeriksa
hampir tidak pernah menyaksikan serangan yang dialami penderita. Anamnesis dapat
berupa autoanamnesis maupun aloanamnesis, meliputi:
a. Pola atau bentuk serangan
b. Lama serangan
c. Gejala sebelum, selama, dan sesudah serangan
d. Frekuensi serangan
e. Faktor pencetus
f. Ada tidaknya penyakit lain yang diderita sekarang
g. Usia saat serangan pertama
h. Riwayat kehamilan, persalinan, dan perkembangan
i. Riwayat penyakit, penyebab, dan terapi sebelumnya
j. Riwayat penyakit epilepsi dalam keluarga
2. Pemeriksaan fisik dan neurologi
Melihat adanya tanda-tanda infeksi, seperti demam, infeksi telinga, tanda meningeal,
atau bukti adanya trauma kepala. Pemeriksaan fisikk harus menepis sebab-sebab
terjadinya serangan dengan menggunakan umur dan riwayat penyakit sebagai pegangan.
Pada anak-anak, pemeriksa harus memperhatikan adanya keterlambatan perkembangan,
organomegali, perbedaan ukuran antara anggota tubuh yang dapat menunjukkan awal
gangguan pertumubuhan otak unilateral. Pemeriksaan neurologis lengkap dan rinci
adalah penting, khususnya untuk mencari tanda-tanda fokal atau lateral.
3. Pemeriksaan penunjang
a. Elektroensefalografi (EEG)
Pemeriksaan EEG harus dilakukan pada semua pasien epilepsi dan merupakan
pemeriksaan penunjang yang paling sering dilakukan untuk menegakkan diagnosis
epilepsi dan tipe kejang lainnya yang tepat dan bahkan sindrom epilepsi (Markand,
2009). EEG juga dapat membantu pemilihan obat anti epilepsi dan prediksi
prognosis pasien. Adanya kelainan fokal pada EEG menunjukkan kemungkinan
adanya lesi struktural di otak, sedangkan adanya kelainan umum pada EEG
menunjukkan kemungkinan adanya kelainan genetik atau metabolik. Pemeriksaan
EEG rutin sebaiknya dilakukan perekaman pada waktu sadar dalam keadaan
istirahat dan pada waktu tidur. Gambaran EEG pasien epilepsi menunjukkan
gambaran epileptiform, misalnya gelombang tajam (spike), paku-ombak, paku
majemuk, dan gelombang lambat yang timbul secara paroksismal.
b. Pemeriksaan radiologis
Pemeriksaan yang dikenal dengan istilah pencitraan otak (neuroimaging) bertujuan
untuk melihat struktur otak dengan melengkapi data EEG. Pada pencitraan
struktural, MRI merupakan pilihan utama, lebih unggul dibandingkan CT scan,
karena MRI dapat mendeteksi dan menggambarkan lesi epileptogenik. Pencitraan
fungsional seperti Single Photon Emission Computerised Tomography (SPECT),
Positron Emission Tomography (PET), dan MRI fungsional digunakan lebih lanjut
untuk menentukan lokasi lesi epileptogenik sebelum pembedahan jika pencitraan
struktural meragukan. MRI fungsional juga dapat membantu menentukan lokasi area
fungsional spesifik sebelum pembedahan (Consensus Guidelines on the
Management of Epilepsy, 2010).

G. PENATALAKSANAAN MEDIK
Tujuan utama pengobatan epilepsi adalah membuat orang dengan epilepsi (ODE)
terbebas dari serangan epilepsinya, terutama terbebas dari serangan kejang sedini mungkin.
Setiap kali terjadi serangan kejang yang berlangsung sampai beberapa menit maka akan
menimbulkan kerusakan sampai kematian sejumlah sel-sel otak. Apabila hal ini terus-
menerus terjadi, maka dapat mengakibatkan menurunnya kemampuan intelegensi penderita.
Pengobatan epilepsi dinilai berhasil dan ODE dikatakan sembuh apabila serangan epilepsi
dapat dicegah atau penyakit ini menjadi terkontrol dengan obat-obatan.
Penatalaksanaan untuk semua jenis epilepsi dapat dibagi menjadi 4 bagian: penggunaan
obat antiepilepsi (OAE), pembedahan fokus epilepsi, penghilangan faktor penyebab dan
faktor pencetus, serta pengaturan aktivitas fisik dan mental. Tapi secara umum,
penatalaksanaan epilepsi dibagi menjadi dua, yaitu:
1. Terapi medikamentosa
Terapi medikamentosa adalah terapi lini pertama yang dipilih dalam menangani
penderita epilepsi yang baru terdiagnosa. Ketika memulai pengobatan, pendekatan
yang “mulai dengan rendah, lanjutkan dengan lambat (start low, go slow)” akan
mengurangi risiko intoleransi obat. Penatalaksanaan epilepsi sering membutuhkan
pengobatan jangka panjang.
Monoterapi lebih dipilih ketika mengobati pasien epilepsi, memberikan keberhasilan
yang sama dan tolerabilitas yang unggul dibandingkan politerapi (Louis, Rosenfeld,
Bramley, 2009). Pemilihan OAE yang dapat diberikan dapat dilihat pada tabel berikut:
Tipe kejang Lini pertama Lini kedua
Kejang parsial
Parsial sederhana, Carbamazepine Acetazolamide
Parsial kompleks, Lamotrigine Clonazepam
Umum sekunder Levetiracetam Gabapentin
Oxcarbazepine Phenobarbitone
Topiramate Phenytoin
Valproate
Kejang umum
Tonik-klonik, Carbamazepine Acetazolamide
Klonik Lamotrigine Levetiracetam
Topiramate Phenobarbitone
Valproate Phenytoin
Absans Ethosuximide Acetazolamide
Lamotrigine Clonazepam
Valproate
Absans atipikal, Valproate Acetazolamide
Atonik, Clonazepam
Tonik Lamotrigine
Phenytoin
Topiramate
Mioklonik Valproate Acetazolamide
Clonazepam
Lamotrigine
Levetiracetam

2. Terapi bedah epilepsi


Tujuan terapi bedah epilepsi adalah mengendalikan kejang dan meningkatkan kualitas
hidup pasien epilepsi yang refrakter. Pasien epilepsi dikatakan refrakter apabila kejang
menetap meskipun telah diterapi selama 2 tahun dengan sedikitnya 2 OAE yang paling
sesuai untuk jenis kejangnya atau jika terapi medikamentosa menghasilkan efek
samping yang tidak dapat diterima. Terapi bedah epilepsi dilakukan dengan membuang
atau memisahkan seluruh daerah epileptogenik tanpa mengakibatkan risiko kerusakan
jaringan otak normal didekatnya (Consensus Guidelines on the Management of
Epilepsy, 2010).

H. PENGKAJIAN FOKUS KEPERAWATAN


menurut Riyadi (2009), focus pengkajian yang dikaji yaitu:
1. Keluhan utama, timbulnya serangan kejang umum yang sering dan mengganggu aktifitas
penderita atau keluhan akibat dari kejang.
2. Riwayat kesehatan, kondisi yang lalu terkait dengan fungsi neuron juga ikut menjadi
pemicu timbulnya epilepsi sperti peradangan pad selaput otak (meningitis), penderita
yang mengalami tumor otak, defek kongnital, atau penyakit sperti AIDS dan sefilis.
3. Pola kebutuhan, fungsi pernafan, fungsi kardiovaskuler, fungsi belajar, fungsi
pertumbuhan dan perkembangan.
4. Pemeriksaan fisik
a. Tingkat kesadaran, pada epilepsy tipe umum akan terjadi penurunan kesadaran yang
mendadak, akan tetapi nilai GCS justru sulit terkaji karena terjadi peningkatan
motorik
b. Mata, saat timbul serangan mata penderita ada yang terbelalak dan bola mata
berputar ke atas (pada jenis absence). Sedangkan pada jenis parsial pandangan mata
pasien tamppak sayu seperti orang kebingungan. Jika penyinar dengan senter pupil
akan tampak melebar
c. Mulut, pada tipe absence mulut pasien tampak komat-kamit seperti membaca doa
d. Ekstremitas, pada ektremitas atas dan bawah serta otot luar saat serangan tampak
kaku dan ngececeng. Akan tetapi setelah serangan hilangkan normal lagi.

I. DIAGNOSA KEPERAWATAN
1. Resiko cedera b.d aktivitas kejang yang tidak terkontrol (gangguan keseimbangan).
2. Intoleransi aktivitas b.d penurunan kardiac output, takikardia
3. Gangguan persepsi sensori b.d gangguan pada nervus organ sensori persepsi
4. Ansietas b.d kurang pengetahuan mengenai penyakit
5. Resiko penurunan perfusi serebral b.d penurunan suplai oksigen ke otak 

J. INTERVENSI
  Resiko cedera b.d aktivitas kejang yang tidak terkontrol (gangguan keseimbangan).
Tujuan : Klien dapat mengidentifikasi faktor presipitasi serangan dan dapat
meminimalkan/menghindarinya, menciptakan keadaan yang aman untuk klien, menghindari
adanya cedera fisik, menghindari jatuh
Kriteria hasil : tidak terjadi cedera fisik pada klien, klien dalam kondisi aman, tidak ada
memar, tidak jatuh
Intervensi Rasional
Observasi:   Barang- barang di sekitar pasien dapat
Identivikasi factor lingkungan yang membahayakan saat terjadi kejang
memungkinkan resiko terjadinya cedera
Pantau status neurologis setiap 8 jam Mengidentifikasi perkembangan atau
penyimpangan hasil yang diharapkan
Mandiri  
Jauhkan benda- benda yang dapat  Mengurangi terjadinya cedera seperti
mengakibatkan terjadinya cedera pada akibat aktivitas kejang yang tidak
pasien saat terjadi kejang terkontrol
Pasang penghalang tempat tidur pasien Penjagaan untuk keamanan, untuk
mencegah cidera atau jatuh
Letakkan pasien di tempat yang rendah Area yang rendah dan datar dapat
dan datar mencegah terjadinya cedera pada pasien
Tinggal bersama pasien dalam waktu Memberi penjagaan untuk keamanan
beberapa lama setelah kejang pasien untuk kemungkinan terjadi kejang
kembali
Menyiapkan kain lunak untuk mencegah Lidah berpotensi tergigit saat kejang
terjadinya tergigitnya lidah saat terjadi karena menjulur keluar
kejang
Tanyakan pasien bila ada perasaan yang Untuk mengidentifikasi manifestasi awal
tidak biasa yang dialami beberapa saat sebelum terjadinya kejang pada pasien
sebelum kejang
Kolaborasi:  Mengurangi aktivitas kejang yang
Berikan obat anti konvulsan sesuai advice berkepanjangan, yang dapat mengurangi
dokter suplai oksigen ke otak
Edukasi:  Sebagai informasi pada perawat untuk
 Anjurkan pasien untuk memberi tahu jika segera melakukan tindakan sebelum
merasa ada sesuatu yang tidak nyaman, terjadinya kejang berkelanjutan
atau mengalami sesuatu yang tidak biasa
sebagai permulaan terjadinya kejang.
Berikan informasi pada keluarga tentang Melibatkan keluarga untuk mengurangi
tindakan yang harus dilakukan selama resiko cedera
pasien kejang
2)      ketidakstabilan perfusi jaringan cerebral berhubungan dengan
Tujuan : tidak mengalami penurunan kesadaran
Kriteria hasil : bebas dari aktivitas kejang
Intervensi Rasional
Observasi  
Monitor tanda-tanda vital Mengetahui tanda tanda vital klien
Catat perubahan pasien dalam merespon Mengetahui perubahan yang terjadi pada
stimulus klien saat terjadi kejang
Mandiri  
Anjurkan klien untuk mengosongkan  
mulut dari benda / zat tertentu / gigi palsu  
atau alat yang lain jika fase aura terjadi  meningkatkan aliran (drainase) sekret,
dan untuk menghindari rahang mengatup mencegah lidah jatuh dan menyumbat
jika kejang terjadi tanpa ditandai gejala jalan nafas
awal.
Letakkan pasien dalam posisi setengah agar oksigen dapat dengan mudah masuk
semi fowler ke otak 
Anjurkan keluarga untuk mendampingi untuk memberikan dukungan dan
atau memberi dukungan pada klien semangat pada klien
 

Kolaborasi
Kolaborasi dengan dokter dalam untuk memberikan terapi farmokologi
permberian farmakologi agar tidak terjadi kejang berulang

K. EVALUASI
1. Pasien tidak mengalami cedera, tidak jatuh, tidak ada memar
2. Tidak ada obstruksi lidah, pasien tidak mengalami apnea dan aspirasi
3. Pasien dapat berinteraksi kembali dengan lingkungan sekitar, pasien tidak menarik diri
(minder)
4. Pola napas normal, TTV dalam batas normal
5. Pasien toleran dengan aktifitasnya, pasien dapat melakukan aktifitas sehari- hari secara
normal
6. Organ sensori dapat menerima stimulus dan menginterpretasikan dengan normal
7. Ansietas pasien dan keluarga berkurang, pasien tampak tenang
8. Status kesadaran pasien membaik

DAFTAR PUSTAKA

Smeltzer, Suzenne. C. 2012. Keperawatan Medikal Bedah. Penerbit Buku Kedokteran EGC.
Jakarta
Kusuma,hardi.2015.Nanda Nic-Noc.Mediaction Publishing.yogyakarta
https://rastirainia.wordpress.com/2010/02/08/laporan-asuhan-keperawatan-anak-dengan-
epilepsi/
Gunardi, Hartono. 2011. Buku Kumpulan Tips Pediatri. Jakarta: Ikatan Dokter Anak
Indonesia

Markam, Sumarmo. 2009. Penuntun Neurologi.Tangerang Selatan: Binarupa Aksara Staf


Pengajar Ilmu kesehatan Anak. 2007. Ilmu Kesehatan Anak. Jakarta: InfoMedika

Widagdo. 2012. Tatalaksana Masalah Penyakit Anak Dengan Kejang.Jakarta: SagungSeto


Wilkinson, Judith M. 2011. Buku saku diagnosa keperawatan: diagnosis NANDA,intervensi
NIC,Kriteria hasil: NOC;alih bahasa, EstyWahyuningsih; editor bahasa Indonesia, Dwi
Widarti.Edisi 9.Jakarta:EGC

Wong, Donna L.2 009. Pedoman Klinis Keperawatan Pediatrik/ Donna L. Wong; alih
bahasa, Dr. Andry Hartono; editor edisi bahasa Indonesia, Sari Kurnianingsih. Edisi 6.
Jakarta: EGC

Ariani, Tutu April.2012. Sistem Neurobihavior. Jakarta: Salemba Medika

Klaten, 31 Desember 2019


Mahasiswa

( Siti Latifah )

Mengetahui
Pembimbing Klinik Pembimbing Akademik

( ) ( )

Anda mungkin juga menyukai