Kel : 2B
NIM : 190070300111016
Pada kelompok kontrol, sampel merupakan pasien dengan diagnosis stroke iskemik
yang dirawat di rumah sakit dalam rentang waktu Januari-Mei 2015 (Sebelum pelatihan
perawat).
Pada kelompok intervensi, sampel merupakan pasien dengan diagnosis stroke iskemik
yang dirawat di rumah sakit dalam rentang waktu Januari-Mei 2016 (Setelah pelatihan
perawat dan penerapan skrinning disfagia oleh perawat).
Kriteria eksklusi: pasien dengan diagnosis transcient iskemik attack (TIA yang tidak
disertai tanda-tanda infark pada pemeriksaan neuroimaging) dan pasien yang
menggunkan ventilasi mekanik.
Data
Data demografi, data klinis, hasil pemeriksaan laboratorium dan radiologi diambil melalui
rekam medis pasien. Tingkat kejadian pneumonia dilihat melalui hasil pemeriksaan
radiologi thoraks yang telah dibacakan oleh ahli radiologi sebagai kriteria diagnostik
pasien stroke dengan pneumonia.
Tingkat keparahan disfagia dibagi menjadi 4 tingkat, tidak ada masalah dengan skor
GUSS 20 poin, ringan dengan skor GUSS 15-19 poin, sedang dengan skor GUSS 10-14
poin dan tingkat parah dengan skor GUSS <9 poin.
Analisa Statistik
Data dianalisa menggunakan IBM SPSS Statictik 23.
Menggunakan tes kolmogorov-smirnov untuk melihat distribusi data, data nominal
dianalisis menggunakan χ2 test, distribusi data yang tidak normal dianalisis
menggunakan Whitney U test dan distribusi data normal dianalisis menggunakan t-test
tidak berpasangan.
G. Hasil
Hasil menunjukkan sebanyak 384 pasien memiliki rata-rata usia 72.3±13.7 tahun, yang
terbagi menjadi 198 pasien pada kelompok kontrol dan 186 pasien pada kelompok
intervensi. Pada kelompok intervensi memiliki nilai kejadian pneuomonia yang lebih
rendah dibandingkan kelompok kontrol dengan perbandingan 3.8% dan 11.6% (p=
0.004) dan lama waktu MRS yang lebih pendek dibandingkan kelompok kontrol dengan
nilai rata-rata 8 hari (rentang 2-40 hari) dan rata-rata 9 hari (rentang 1-61 hari)
(p=0.033).
Pada studi ini menunjukkan bahwa pelatihan dan skrinning disfagia yang dilakukan oleh
perawat terlatih 24/7 dapat mengurangi kejadian pneumonia sebagai salah satu
komplikasi disfagia pada pasien stroke serta dapat mengurangi lama waktu MRS di
rumah sakit. Pada kelompok intervensi diperoleh hasil bahwa pasien dapat terskrinning
lebih cepat dengan rata-rata waktu 7 jam (rentang waktu 1-69 jam) dibandingkan
dengan kelompok kontrol dengan rata-rata waktu 20 jam (rentang waktu 1-183 jam)
(p=0.001)
Kekurangan pada studi ini adalah penggunaan alat skrinning GUSS yang dianggap
memiliki spesifisitas rendah sehingga dapat menyebabkan penghentian asupan oral
yang tidak perlu termasuk obat-obatan penting.
H. Kesimpulan
Skrinning disfagia 24/7 oleh perawat yang terlatih dianggap efektif untuk mengurangi
tingkat kejadian pneumonia sebagai komplikasi disfagia pada pasien stroke, akan tetapi
perawat memiliki wewenang untuk melakukan skrinning disfagia 24/7 apabila terapis
bahasa-wicara (SLT) sedang tidak bekerja atau diluar jam kerja mereka.