Anda di halaman 1dari 57

BAB I

PEMERIKSAAN TANAH TERCEMAR

A. Mengukur dan Menganalisa Tanah Secara Fisik


1. Latar belakang
Tanah merupakan salah satu bagian terbesar dalam permukaan
bumi. Tanah menyediakan air, udara dan nutrisi yang dibutuhkan
mahluk hidup seperti organisme tanah dan tumbuhan. Kata tanah (soil)
berasal dari bahasa Prancis kuno yang merupakan turunan dari bahas
latin yaitu solum yang berarti lantai atau dasar. Henry D. Foth (1994)
memberikan pengertian tanah berarti bagian permukaan terpisah dari
bumi dan bulan sebagaimana dibedakan dari batuan yang padat.
Tanah adalah kumpulan dari benda alam di permukaan bumi yang
tersusun dalam horison-horison, terdiri dari campuran bahan mineral,
bahan organik, air dan udara dan merupakan media untuk tumbuhnya
tanaman (Prof. Dr. Ir. H. Sarwono Hardjowigeno, M.Sc, 2003).
Menurut Glinka seperti dikutip oleh Rahmat Sutanto, 2005 bahwa
tanah adalah tubuh alam yang bebas memiliki ciri morfologi tertentu
sebagai hasil interaksi antara iklim, organisme, bahan induk, relief dan
waktu.
Tanah adalah campuran dari beberapa komponen seperti mineral,
senyawa organik, senyawa anorganik dan air (Sitomorang, 2017). Dari
beberapa pengertian diatas, dapatlah diartikan bahwa tanah adalah
bagian permukaan bumi yang merupakan media bagi mahluk hidup
beraktivitas diatasnya.
Melalui penggunaan tanah seperti pertanian dan produksi
biomassa, sumber daya tanah dapat menghasilkan pangan, pakan,
sandang, papan dan bioenergi yang dapat mendukung kehidupan
manusia. Oleh karena itu, sejarah penggunaan tanah berkaitan erat
dengan sejarah peradaban manusia. Keberhasilan dan kegagalan dalam
membangun peradaban ditentukan oleh kualitas tanah dan manajemen
penggunaannya.
Kehidupan manusia tidak terlepas dari kondisi tempat dimana
mereka tinggal. Tempat tinggal seseorang akan berpengaruh terhadap
kondisi kesehatannya. Tanah merupakan tempat berpijak dan tempat
seluruh makhluk hidup menggantungkan kehidupannya. Kondisi tanah
dipengaruhi juga oleh agregat-agregat penyusunnya. Didaerah
pegunungan berkapur akan mengakibatkan tanah yang tersusun
berkapur, begitu pula tanah di pinggiran pantai akan terbentuk tanah
berpasir, sedangkan di daerah hutan dan rawa akan terbentuk tanah
gambut.
Pada umumnya tanah berarti bagian permukaan terpisah dari bumi
dan bulan sebagaimana dibedakan dari batuan yang padat. Proses
terjadinya tanah berasal dari pelapukan batuan, sehingga kualitas tanah
tergantung dari bahan-bahan yang dilapuknya. Kondisi tanah juga akan
menentukan jenis tanaman dan hewan yang tumbuh dan berkembang
biak dilingkungan tersebut.
2. Tujuan Praktik
a. Mahasiswa mampu mengetahui bagaimana cara pemeriksaan
secara fisik.
b. Mahasiswa mampu melakukan prosedur pemeriksaan secara fisik
sesuai dengan peraturan yang berlaku.
c. Mahasiswa mampu mengetahui berapa Ph, Suhu, Kelembapan
tanah yang tercemar logam berat.
3. Alat dan Bahan
a. Cetok
b. Plastik klip
c. Kertas label
d. Termometer
e. Soil tester
f. Alat tulis
4. Prosedur Kerja
a. Menyiapkan alat dan menentukan titik lokasi yang akan digunakan
dalam pengambilan sampel
b. Membersihkan dulu permukaan pada tanah dengan menggunakan
cetok/cangkul
c. Ambil tanah yang telah tercemar logam berat dengan cetok lalu
dimasukkan kedalam plastik klip lalu beri label
d. Melakukan pengukuran pH dan Kelembapan tanah dengan memasukkan
Soil Tester kedalam lubang tanah selama 5 menit (untuk pengukuran
kelembapan tanah dengan cara menekan tombol pada soil tester,
sedangkan pengukuran suhu menggunkana termometer.
e. Catat hasil.
5. Hasil Praktik
Tabel 1.1 Hasil Pembahasan Parameter Fisik Tanah di Sawah
Gorang-Gareng

No Parameter Satuan Hasil


0
1 Suhu C 300C
2 Kelembapan % 70%
3 Ph Ph 7

Tabel 1.2 Hasil Pembahasan Parameter Fisik Tanah di Sawah


Gitadini

No Parameter Satuan Hasil


0
1 Suhu C 290C
2 Kelembapan % 75%
3 Ph Ph 6,5
B. Kandungan Logam Berat Penyebab Pencemaran Tanah
1. Latar belakang
Pencemaran logam berat di dalam tanah sudah menjadi masalah
global seiring meningkatnya proses industrialisasi, aktivitas
pertambangan dan laboratorium maupun kegiatan sehari-hari. Logam
berat memiliki efek merugikan dalam lingkungan bahkan dalam
konsentrasi yang sangat rendah. Logam berat sangat sulit terdegradasi
di alam dan sangat mudah berikatan dengan molekul lain yang dapat
mengganggu atau merusak fungsi dari suatu enzim atau logam esensial
lainnya (Palar, 2004).
Salah satu logam berat yang mencemari tanah adalah Pb atau
timbal. Logam berat timbal merupakan salah satu logam berat yang
berbahaya bagi kesehatan manusia dan organisme lainnya. Timbal
merupakan logam yang sangat rendah daya larutnya, bersifat pasif, dan
mempunyai daya translokasi yang rendah mulai dari akar sampai organ
tumbuhan lainnya (Darmono, 1995). Logam berat dalam tanah dapat
terakumulasi dalam tanaman dan hal ini dapat mengganggu kesehatan
manusia jika dikonsumsi (Hardiani, 2009). Akumulasi timbal dalam
darah yang relatif tinggi akan menyebabkan sindroma saluran
pencernaan, kesadaran menurun (cognitive effect), anemia, kerusakan
ginjal, hipertensi, neromuskular dan konsekuensi psikologis serta
kerusakan saraf pusat dan perubahan tingkah laku (EPA, 1984).
Tanaman dapat menyerap logam berat dalam tanah untuk
mengurangi efek toksiknya atau hanya dapat menyerap saja dan akan
diberi perlakuan selanjutnya untuk mengurangi efek toksik dari logam
(Hardiani, 2009). Penggunaan tanaman sebagai penyerap polutan di
dalam tanah, maupun air disebut sebagai fitoremediasi. Penyerapan bisa
berarti penghancuran, inaktivasi atau imobilisasi polutan ke bentuk
yang tidak berbahaya (Chaney dkk., 1995). Keberhasilan penyerapan
logam berat oleh tanaman tergantung pada toleransi tanaman terhadap
logam berat, kemampuan metabolisme dan imobilisasinya, dan juga
besarnya biomassa tanaman untuk meremediasi logam berat dalam
tanah (Sunitha dkk.,2013).
Semua tumbuhan memiliki kemampuan menyerap logam tetapi
dalam jumlah yang bervariasi. Sejumlah tumbuhan dari banyak famili
terbukti memiliki sifat hipertoleran, yakni mampu mengakumulasi
logam dengan konsentrasi tinggi pada jaringan akar dan tajuknya,
sehingga bersifat hiperakumulator. Hiperakumulator dapat menyerap
logam hingga bagian tajuk sehingga dapat digunakan untuk tujuan
fitoekstraksi, yaitu logam yang ditranslokasikan ke tajuk dapat diolah
kembali atau dibuang pada saat tanaman dipanen (Chaney dkk., 1995).
Helianthus annuus L atau bunga matahari memiliki potensi sebagai
fitoremediator beberapa logam berat dalam tanah (Gallegodkk., 1996;
Van der Leliedkk., 2001; Lin dkk., 2003; dalam Nehnevajovadkk.,
2005). Penambahan mikoriza dan EDTA akan meningkatkan kinerja H.
annuus L dalam meremediasi limbah logam berat dalam tanah. Menurut
Suharno dan Sancayaningsih (2013), mikoriza biasa dimanfaatkan
dalam remediasi logam berat pada lahan bekas tambang. Kinerjanya
menunjukkan bahwa mikoriza yang bersimbiosis dengan akar tanaman
dapat berperan dalam meningkatkan kemampuan bertahan hidup
tanaman, baik pada habitat yang sesuai maupun habitat lahan-lahan
marginal. Hal ini akan meningkatkan kinerja berbagai jenis tanaman
dalam usahanya merevegetasi lahan tercemar logam berat.
Logam memiliki kelarutan yang rendah dalam air untuk diserap
tanaman. Untuk itu, dilakukan penambahan EDTA sebagai pengkelat
yang meningkatkan kelarutan logam dalam air sehingga tanaman dapat
menyerap logam lebih baik. Menurut Farid dkk. (2013), penambahan
EDTA pada tanaman dapat meningkatkan parameter pertumbuhannya,
toleransi terhadap lahan kering dan akumulasi pada beberapa logam
berat. Penambahan mikoriza dan EDTA diperlukan pada H. annuus
untuk mengakumulasi logam berat tidak sampai pada akar saja tetapi
hingga pada batang atau bahkan pada bijinya. Imobilisasi logam berat
pada biji bunga matahari diharapkan dapat mengurangi atau bahkan
menghilangkan efek toksisitas logam berat sehingga dapat digunakan
untuk tujuan teknis lainnya seperti minyak sebagai biodiesel.
2. Tujuan
a. Mahasiswa mampu mengetahui lokasi dimana terdapat pencemaran
tanah oleh logam berat.
b. Mahasiswa mampu melakukan prosedur destruksi basah dalam
proses pemeriksaan logam berat sampel tanah.
c. Mahasiswa mampu mendeteksi pencemaran logam berat dengan
metode analisis kualitatif dalam sampel tanah tercemar.

3. Alat dan Bahan


a. Alat
1) Beacker gelas
2) Labu ukur
3) Cawan porselen
4) Pisau dapur
5) Spatula
6) Blender
7) Neraca analitik
8) Hot plate
9) Erlenmeyer
10) Kertas saring whatman
11) Tanur/ muffel
b. Bahan
1) Asam nitrat pekat (HNO3)
2) Aquadest
3) Dithizon
4) Sampel
4. Pembuatan Pereaksi
a. Larutan asam nitrat 10% V/V
Larutan asam nitrat 65% sebanyak 10 ml diencerkan dengan 100
ml aquades.
b. Larutan dithizon 0,005% B/V
Timbang dithizon 98% sebanyak 5 mg dan dilarutkan dalam 100
ml klorofom.

5. Persiapan Sampel
Sampel dicuci bersih, lalu diambil isi bagian dalamnya. Isi bagian
dalam ini dihaluskan dengan blender. Sampel yang telah dihaluskan
dengan blender masukan beacker gelas dan siap untuk ditimbang.

6. Analisis Kualitatif Kandungan Logam Berat


a. Analisis kualitatif kandungan Timbal (Pb) proses destruksi basah
1) Ambil sampel tanah tercemar yang sudah kering, lalu timbang
sebanyak 25 gr.
2) Masukan kedalam erlenmayer tambahkan 25 ml asam nitrat
pekat (HNO3) . Lalu diamkan selama 24 jam.
3) Setelah sudah, panaskan selama 30 menit menggunakan hot
plate sampai uap keluar (sampai tanah kering seperti semula).
4) Pindahkan sampel ke labu ukur, lalu encerkan dengan aquadest
sampai batas labu ukur dan tutup.
5) Bolak-balik labu ukur agar homogen.
6) Saring tanah tersebut dengan menggunakan kertas saring,
tetapi sebelumnya ambil sekitar 2 ml di basahkan ke kertas
saring.
7) Ambil sampel cair yang sudah di saring, sebanyak 5 ml
masukkan ke tabung reaksi, tetapi sebelumnya hitung Ph
(netral). Jika Ph belum netral maka perlu diberi NH4OH
sebanyak yang diperlukan sampai netral.
8) Tambahkan 5 ml dithizon ke dalam tabung reaksi, lalu dikocok
sampai homogen sampai ada lapisan terpisah .
9) Jika terdapat warna merah tua berarti tanah tersebut
mengandung logam berat timbal (Pb).
10) Catat hasil

7. Hasil Analisis Kualitatif


a. Hasil Praktik
Tabel 1.3 Hasil Analisis Kualitatif Pb

No Sampel Destruksi Pb
1. Tanah di sawah Basah -
Gorang-Gareng
2. Tanah di sawah Basah -
Gitadini

b. Pembahasan
Berdasarkan hasil pemeriksaan, logam berat Pb yang ada di
tanah sawah Gorang-Gareng dan sawah Gitadini pada destruksi
basah tidak menunjukkan hasil positif, karena setelah dilakukan
analisis kualitatif, warna yang muncul adalah warna hijau
kekuningan untuk destruksi basah. Sampel dinyatakan positif
apabila warna yang muncul adalah warna merah tua.

C. Mikroorganisme yang Terdapat di Tanah Tercemar


1. Pendahuluan
Mikrobiologi adalah ilmu yang mempelajari organisme hidup yang
berukuran sangat kecil sehingga tidak dapat dilihat dengan mata
telanjang melainkan dengan bantuan mikroskop. Organisme yang
sangat kecil ini disebut sebagai mikroorganisme, atau kadang-kadang
disebut sebagai mikroba, ataupun jasad renik.
Mikrobiologi penting sekali dan terkait erat dengan kehidupan
manusia, karena mikroba (jasad renik) tersebar merata di seluruh
belahan bumi dan ada di mana-mana. Mikroba ada di udara, ada di air,
di tanah, lantai, meja, kulit dan dimana pun. Oleh karena itu mikroba
memiliki korelasi yang erat dan peranan yang penting dengan
kehidupan manusia, yang dapat memberikan pengaruh merugikan
maupun menguntungkan.
Mikroorganisme tersebar merata diseluruh permukaan bumi
diantaranya adalah pada tanah. Bila dibandingkan dengan luas bumi
secara keseluruhan, maka tanah pada permukaan bumi hanya
merupakan lapisan tipis. Tetapi, lapisan tipis dari tanah ini sangat
penting karena menyediakan berbagai sumber daya yang berguna bagi
kelangsungan hidup manusia dan makhluk hidup lainnya seperti
mikroorganisme.
Di tanah terdapat milyaran mikrobia misalnya bakteri, fungi, alga,
protozoa, dan virus. Tanah merupakan lingkungan hidup yang amat
kompleks. Kotoran dan jasad hewan serta jaringan tumbuhan akan
terkubur dalam tanah. Semuanya memberi konstribusi dalam
menyuburkan tanah. Proses penyuburan tanah ini dibantu oleh
mikrobia. Mikroorganisme yang hidup pada tanah dapat ditemukan
dalam dua bentuk yaitu ada yang pathogen ( berbahaya) pada manusia
dan hewan dan apathogen (tidak berbahaya). Tanpa mikrobia, semua
jasad tidak akan hancur. mikrobia tanah mampu menyeimbangkan
kelangsungan hidup di bumi. Jumlah dan jenis mikrobia dalam tanah
bergantung pada jumlah dan jenis, kelembaban, tingkat aerasi, suhu,
pH, dan pengolahan dapat menambah jumlah mikrobia tanah.
Baik secara langsung maupun tidak langsung, bahan buangan dan
jasad dari manusia dan hewan, serta jaringan tumbuh-tumbuhan di
buang atau di kubur dalam tanah. Setelah beberapa lama, bahan-bahan
tersebut akan diuraikan menjadi komponen organik dan beberapa
komponen anorganik tanah, penguraian tersebut dilakukan oleh
mikroorganisme yaitu penguraian bahan organik menjadi substansi
yang menyediakan nutrien bagi dunia tumbuhan. Tanpa aktifitas
mikroorganisme tersebut segala ativitas di muka bumi ini lambat laun
akan terhambat. Untuk itu, hal inilah yang melatarbelakangi
pembuatan makalah ini yaitu untuk menyajikan apa saja jenis dan
bagaimana peranan mikroorganisme tanah tersebut.
2. Tujuan
a. Mahasiswa mampu menganalisa/mengidentifikasi adanya
mikroorganisme apa saja yang hidup di dalam tanah sudah
tercemar di sawah Gorang-Gareng dan sawah Gitadini.
3. Alat dan Bahan
a. Cetok
b. Penggaris
c. Alat tulis
4. Prosedur Kerja
a. Mengamati keadaan di atas permukaan tanah yang akan diambil
sampel (banyak tanaman atau tidak).
b. Membersihkan permukaan tanah yang akan diambil sampel
c. Membuat lubang pada tanah tercemar kira-kira sedalam 50 cm
serta amati kehidupan mikroorganisme pada setiap kedalaman.
d. Amati dan catat hasil
5. Hasil Pembahasan
Dari hasil pengamatan tanah yang ada di sawah Gorang-Gareng dan
sawah Gitadini, tidak ada satu pun tanaman yang ada disekitar tanah.
Tanah benar-benar kering dan di dalam tanah pun tidak ada aktivitas
makhluk hidup di dalamnya.

D. Pemeriksaan Organik, Anorganik, dan Porositasnya


1. Pendahuluan
Tanah tersusun oleh bahan padatan, air dan udara. Bahan padatan
ini meliputi bahan mineral berukuran pasir, debu, dan liat, serta bahan
organic. Bahan organik tanah biasanya menyusun sekitar 5 % bobot
total tanah, meskipun hanya sedikit tetapi memegang peran penting
dalam menentukan kesuburan tanah, baik secara fisik, kimiawi
maupun secara biologis tanah. Ciri –ciri tanah organik adalah apabila
tanah itu diberi air maka tanah yang mengapung diatas air itulah yang
dinamakan tanah organik, sedangkan tanah yang mengendap di bawah
berarti tanah itu merupakan tanah anorganik.
Porositas atau ruang pori adalah volume seluruh pori dalam suatu
volume tanah yang utuh yang dinyatakan dalam persen. Porositas total
merupakan indikator awal yang paling mudah untuk mengetahui
apakah suatu tanah mempunyai struktur baik atau jelek (Yunus, 2004).
Ruang pori total adalah volume dari tanah yang ditempati oleh
udara dan air. Persentase ruang pori total disebut porositas. Untuk
menentukan porositas, tanah di tempatkan pada tempat berisi air
sehingga jenuh dan kemudian ditimbang. Perbedaan berat antara
volume ruang pori persatuan volume dimana ruang pori untuk tanah
(Hanafiah, 2005).
Tanah yang porositasnya baik adalah tanah yang porositasnya
besar karena perakaran tanaman mudah untuk menembus tanah dalam
mencari bahan organik. Selain itu tanah tersebut mampu menahan air
hujan sehingga tanaman tidak selalu kekurangan air. Tetapi jika
porositasnya terlalu tinggi juga tidak baik, karena air yang diterima
tanah langsung turun ke lapisan berikutnya. Tanah seperti ini jika
musim kemarau cepat membentuk pecahan yang berupa celah besar di
tanah (Pairunan, 1997).
Porositas suatu lapisan tanah juga dipengaruhi oleh ada tidaknya
perkembangan struktur granuler pada tiap lapisan horizon tanah yang
akan memberikan hasil porositas yang tinggi dan dapat meningkatkan
jumlah pori mikro dan pori makro suatu lapisan tanah. Sehingga, pada
suatu lapisan tanah dengan struktur remah atau kwarsa sangat
berpengaruh dalam satuan porositas karena dengan struktur tanah
tersebut umumnya mempunyai porositas yang besar (Hanafiah, 2005).
2. Tujuan
a. Mahasiswa mampu mengetahui perbedaan tanah tersebut termasuk
organik atau anorganik.
b. Mahasiswa mampu mengetahui besar porositas yang di hasilkan
pada tanah tercemar.
3. Cara Kerja
a. Organik dan Anorganik
1) Alat dan Bahan
a) Cetok
b) Cangkul
c) Penggaris
d) Plastik klip
e) Aquades
f) Beaker glass 250 ml
2) Prosedur
a) Prosedur pengambilan sampel
(1) Menyiapkan alat dan menentukan titik lokasi yang akan
digunakan dalam pengambilan sampel
(2) Membersihkan dulu permukaan tanah dari rumput atau
serasah.
(3) Ambil tanah dengan cetok lalu dimasukkan ke dalam
plastik klip lalu beri label.
(4) Dikirim ke laboraturium.
b) Prosedur pemeriksaan sampel
(1) Memasukkan sejumlah sampel tanah ke dalam beaker glass
lalu ukur sampel tanah sebelum diberi aquades (dalam ml)
(2) Tambahkan aquades sejumlah 100 ml, kemudian aduk, dan
tunggu selama 15 menit
(3) Perhatikan zat organik (yang mengambang di atas) dan zat
anorganik (yang tenggelam di bawah).
(4) Kemudian perkirakan jumlah anorganik dan organik dalam
bentuk persentase.
b. Porositas pada tanah
1) Alat dan Bahan
a) Cetok
b) Cangkul
c) Penggaris
d) Plastik klip
e) Air 40 ml
f) Beaker glass 100 ml
g) Kertas saring
h) Corong
2) Prosedur
a) Prosedur pengambilan sampel
(1) Menyiapkan alat dan menentukan titik lokasi yang akan
digunakan dalam pengambilan sampel.
(2) Membersihkan dulu permukaan tanah dari rumput atau
serasah dengan menggunakan cetok/cangkul.
(3) Ambil tanah dengan cetok lalu dimasukkan ke dalam
plastik klip lalu beri label.
(4) Dikirim ke laboraturium.
b) Prosedur pemeriksaan sampel
(1) Memasukkan sejumlah sampel tanah (sudah
dihaluskan) ke dalam beaker glass lalu larutkan
bersama 40 ml air, kemudian aduk.
(2) Tuang sampel tanah yang sudah dilarutkan ke dalam
beaker glass mengunakan kertas saring.
(3) Amati perbedaan volume dengan volume air.
(4) Kemudian hitung jumlah porositas dalam bentuk
persentase.
4. Hasil Praktik
a. Anorganik dan Organik
(1) Lokasi Pengambilan Sampel :
Sawah Gorang-Gareng (Amina) dan Sawah Gitadini (Non
Amina)
Tanggal Pengambilan : Rabu, 26 November 2018
Waktu Pengambilan : 10.00
(2) Tabel :
Tabel 1.4 Hasil Pembahasan Anorganik dan Organik
Sawah Gorang-Gareng (Amina)

Jenis Tanah Perbandingan


1. Anorganik 0,3
×100 %=0,003 %
100

2. Organik 1,1
×100 %=0,011 %
100

Tabel 1.5 Hasil Pembahasan Anorganik dan Organik


Sawah Gitadini (Non Amina)

Jenis Tanah Perbandingan


1. Anorganik 0,1
×100 %=0,001 %
100

2. Organik 0,7
×100 %=0,007 %
100

(3) Kesimpulan :
Setelah diamati dan dianalisa bahwa hasil tanah yang diambil
di Sawah Gorang-Gareng dan Sawah Gitadini tersebur jenis
tanahnya adalah tanah organik. Dilihat dari perbandingan yang
diamati bahwa yang mengendap (anorganik) lebih kecil
presentasenya daripada yang mengapung (organik). Berarti
tanah tersebut subur, dapat dilihat dan diamati di lapangan
bahwasannya ada makhluk hidup yang terdapat di tanah
tersebut.
b. Porositas pada tanah
(1) Lokasi Pengambilan Sampel :
Sawah Gorang-Gareng (Amina) dan Sawah Gitadini (Non
Amina)
Tanggal Pengambilan : Rabu, 26 November 2018
Waktu Pengambilan : 10.00
(2) Hasil Pengukuran
Diamati mulai jam 11.00 – 11.10 tanah yang sudah diberi
aquadest 100 ml dan disaring mendapatkan air sebanyak 90 ml
dan 85ml.
Hasilnya : Sawah Gorang-Gareng (Amina)

90
×100 %=90 %
100

Hasilnya : Sawah Gitadini ( Non Amina)

85
×100 %=85 %
100

(3) Kesimpulan
Dari hasil diatas porositas yang ada pada tanah tercemar
tersebut tinggi. Kemungkinan terdapat beberapa faktor yang
menyebabkan tanah tersebut porositasnya tinggi yaitu
kandungan bahan organik, struktur tanah, tekstur tanah.
Semakin padat tanah berarti semakin sulit untuk menyerap air,
maka porositas tanahnya semakin kecil, begitu juga sebaliknya.
Porositas tanah yang tinggi tidak baik untuk diberi tanaman,
sebab jika tanaman tersebut tidak membutuhkan air yang
banyak menjadikan kondisi lingkungan mikro di sekitar
tanaman menjadi lembab akibatnya mempengaruhi
perkembangan penyakit tanaman. Selain itu tanaman mudah
rusak bila tergenang air terlalu lama, karena tanaman tersebut
dalam kondisi tercekam kelebihan air yang dapat menyebabkan
pembusukan akar tanaman. (Hakim, 1986).

BAB II
PENGAMBILAN SAMPEL TANAH
DAN
IDENTIFIKASI TELUR CACING

A. Pengambilan Sampel Tanah Secara Fisik


1. Tujuan Praktik
a. Mahasiswa mampu melakukan pengambilan sampel tanah tertentu.
b. Mahasiswa mampu melakukan pengambilan suhu dan Ph tanah
pada berbagai variasi.
c. Mahasiswa mampu melakukan pengamatan warna pada tanah.

2. Metode
a. Pengambilan sampeel tanah terganggu ( Distrub Soil Sample )

3. Landasan Teori
a. Pengambilan sampel tanah dapat ditujukan dalam berbagai hal
diantaranya sebagai berikut :
1) Untuk mengetahui karakter fisik, kimia dan biologis tanah.
2) Untuk mengetahui tingkat kesuburan tanah (melalui kajian
status unsur hara )
3) Untuk mengetahui tingkat pencemaran tanah.
4) Untuk menentukan pengelolaannya apakah tanah tersebut
tercemar.
b. Metode pengambilan sampel tanah
1) Undistrubed Soil Sample ( Tanah utuh)
2) Undistrubed Soil Agregate (Agregat utuh)
3) Distrub Soil Sample (Tanah tidak utuh)

4. Alat dan Bahan


a. Cetok
b. Meteran
c. Timbangan
d. Soil tester
e. Plastik klip
f. Label
g. Alat tulis
5. Prinsip Kerja
Contoh tidak boleh bercampur satu sama lain dan tidak mengalami
apapun saat perjalanan.

6. Cara Kerja
a. Buat denah sampling tanah.
contoh untuk tanah 1 m2 :

1 2
3 4
b. Bersihkan dan ratakan permukaan tanah dari rumput atau serasah.
c. Gunakan alat cangkul/sekop/bor tanah untuk menggali tanah.
d. Gali tanah hingga kedalaman tertentu ( 5 cm, 10 cm, 20 cm, 50
cm).
e. Ukur suhu tanah pada masing-masing kedalaman tertentu.
f. Buatlah tabel
g. Pada salah satu kedalaman tanah ambil sampel tanah dengan teknik
simple random sampling pada denah yang sudah dibuat.
h. Masukan sampel tanah ke dalam kantong plastik/plastik klip.
i. Beri label dan informasi (seperti lokasi, tanggal pengambilan,
kedalaman tanah, waktu pengambilan, nama pengambil).

7. Hasil Pembahasan
a. Tabel Hasil :
Tabel 2.1 Hasil Pembahasan Parameter Fisik Tanah

Parameter yang Kedalaman


No.
diamati 5 cm 10 cm 20 cm 50 cm

1 Suhu 29 °C 27 °C 25 °C 24 °C
Coklat Coklat
Coklat Coklat
2 Warna Gelap Gelap
3. pH 6,9 5,9 5,8 5,5

4. Kelembapan 15 % 25 % 50 % 65 %

b. Kesimpulan :
Kedalaman suatu tanah dapat mempengaruhi suhu, pH, warna
dan kelembapan dari tanah. Semakin dalam tanah yang digali suhu
tanah semakin kecil. Karena lapisan tanah bagian atas terkena
radiasi matahari, sedangkan yang bawah tidak maka dari itu suhu
di dasar tanah semakin kecil. Begitu juga warna tanah yang semula
berwarna coklat menjadi coklat gelap hampir berwarna
hitam.Kedalaman tanah mempengaruhi hasil pH. Semakin ke
bawah (dalam) maka pH semakin mendekati asam karena adanya
unsur hara, dan untuk kelembapan udara sangat dipengaruhi oleh
kandungan uap air yang ada diudara. Dalam hal ini, suhu udara
akan menentukan tinggi rendahnya kelembapan udara.

B. Identifikasi Telur Cacing dan Cacing Dewasa


1. Tujuan Praktik
a. Mahasiswa dapat mengetahui morfologi telur cacing dan cacing
dewas pada tanah.
b. Mahasiswa dapat mengetahui jenis-jenis cacing dewasa yang
berada pada tanah.
c. Mahasiswa dapat mengetahui jenis-jenis telur cacing yang berada
pada tanah.

2. Alat dan Bahan


a. Preparat telur cacing
b. Alat tulis
c. Kabel olor
d. Mikroskop

3. Cara Kerja
a. Sambungkan kabel mikroskop ke stop kontak dengan
menggunakan kabel olor.
b. Nyalakan mikroskop dengan menekan on-off.
c. Letakkan preparat dibawah mikroskop dengan perbesaran 40x.
d. Atur lensa obyektif sehingga mendapatkan gambar yang jelas.
e. Amati dan cocokan dengan gambar di atlas parasitologi
kedokteran.

4. Hasil Pembahasan
a. Nematoda
1) Nematoda Usus
a) Ascaris lumbricoides

Gambar 1.1 : Telur cacing Ascaris lumbricoides

(1) Hospes : Manusia


(2) Penyakit : Ascariasis
(3) Cara Infeksi : Melalui mulut (per oral) tertelan
telur infektif.
(4) Diagnosis : Adanya telur dalam tinja. Cacing
dewasa yang keluar melalui mulut,
hidung, atau tinja.
(5) Morfologi telur cacing Ascaris lumbricoides :
 Terdapat 2 macam telur :
(a) Yang dibuahi (fertilized egg)
(b) Yang tak dibuahi (un fertilized egg)
 Telur yang dibuahi :
(a) Ukuran 60-45 mikron, bentuk agak lonjong
dengan dinding luar tebal berwarna cokelat
karena zat warna empedu, dinding telur terdiri 3
lapisan.
(b) Terdapat lapisan albuminoid bergerigi yang
tebal, biasanya terdapat 1-4 sel
 Telur tidak dibuahi
(a) Bentuk lebih lonjong daripada telur yang
dibuahi.
(b) Dinding tipis, lapisan albumin lebih tipis dari
telur yang dibuahi, seluruh bagian dalam telur
berisi penuh dengan granula.
 Telur Infektif
(a) Morfologi seperti telur dibuahi.
(b) Berisi rhabditoid larva, terbentuk sesudah 3
minggu di tanah.

Gambar 1.2 : Cacing dewasa Ascaris lumbricoides


(6) Morfologi cacing dewasa Ascaris lumbricoides:
 Cacing jantan berukuran 10-31 cm, ekor melingkar,
memiliki 2 spikula.
 Cacing betina berukuran 22-35 cm, ekor lurus, pada
1/3 bagian anterior memiliki cincin kopulasi.
 Mulut terdiri atas tiga buah bibir.
b) Ancylostoma duodenale

Gambar 2.1 : Telur cacing Ancylostoma duodenale


(1) Hospes : Manusia
(2) Penyakit : Infeksi cacing tambang,
Ancylostomiasis
(3) Cara Infeksi : Larva invektif/larva afilari menem-
bus kulit.
(4) Diagnosis : Telur dan larva dalam tinja.
(5) Morfologi telur cacing Ancylostoma duodenale :
 Dinding tipis transparan dari bahan hialin.
 Bentuk oval atau lonjong.
 Dapat berisi ovum, morula, blastomore, larva
Gambar 2.2 : Cacing dewasa Ancylostoma duodenale
(6) Morfologi cacing dewasa Ancylostoma duodenale:
 Panjang badannya ± 1 cm, menyerupai huruf c.
 Di bagian mulutnya terdapat dua pasang gigi.
 cacing jantan mempunyai bursa kopulatriks pada
bagian ekornya.
 cacing betina ekornya runcing.

c) Necator americanus
Gambar 3.1 : Telur cacing Necator americanus

(1) Hospes : Manusia


(2) Penyakit :Infeksicacing tambang
Ancylostomiasis.
(3) Cara Infeksi : Larva invektif/larva afilari
menembus kulit.
(4) Diagnosis : Telur dan larva dalam tinja.
(5) Morfologi telur cacing Necator americanus:
 Terlurnya berukuran ± 70 × 45 mikron, bulat
lonjong, berdinding tipis, kedua kutub mendatar.
Di dalamnya terdapat beberapa sel.
 Larva rabditiform panjangnya ± 250 mikron,
rongga mulut panjang dan sempit, esofagus dengan
dua bulbus dan menempati 1/3 panjang badan
bagian anterior.
 Larva filariform panjangnya ± 500 mikron, ruang
mulut tertutup, esofagus menempati 1/4 panjang
badan bagian anterior.
Gambar 3.2 : Cacing dewasa Necator americanus
(6) Morfologi Cacing dewasa Necator americanus
 Panjang badannya ± 1 cm, menyerupai huruf s.
 Bagian mulutnya mempunyai benda kitin.
 Cacing jantan mempunyai bursa kopulatriks pada
bagian ekornya.
 Cacing betina ekornya runcing
d) Ancylostoma braziliense

Gambar 4.1 : Cacing dewasa Ancylostoma braziliense

(1) Hospes : Kucing, anjing


(2) Penyakit : Creeping eruption
(3) Cara Infeksi : Infeksi melalui kulit (per kutan)
(4) Diagnosis : Gambaran klinis yang khas pada
kulit, biopsi menemukan larva.
(5) Morfologi cacing dewasaAncylostoma braziliense:
 Mulutnya mempunyai sepasang gigi besar dan gigi
kecil.
 Badan cacing jantan panjangnya 4,7-6,3 mm.
 Badan cacing betina panjangnya 6,1-8,4.
(6) Patologi Klinis :
Dermatitis berupa papel keras, merah dan gatal,
ditemukan pada kaki penderita, lengan bawah,
punggung.

e) Ancylostoma caninum

Gambar 5.1 : Cacing dewasa Ancylostoma caninum


(1) Hospes : Kucing, anjing
(2) Penyakit : Creeping eruption
(3) Cara Infeksi : Infeksi melalui kulit (per kutan)
(4) Diagnosis : Gambaran klinis yang khas pada
kulit, biopsi menemukan larva.
(5) Morfologi cacing dewasa Ancylostoma caninum:
 Mulutnya mempunyai tiga pasang gigi besar.
 Cacing jantan panjangnya 10 mm.
 Cacing betina panjangnya 14 mm.

Gambar 5.2 : Telur Cacing Ancylostoma caninum


(6) Morfologi telur cacing Ancylostoma caninum:
 Bentuk telur oval dengan sitoplasma jernih.
 Sitoplasma berisi lobus 4-8 mengandung larva.

f) Strongyloides stercoralis (Cacing Benang)

Gambar 6.1 : Telur Cacing Strongyloides stercoralis


(1) Hospes : Manusia
(2) Penyakit : Strongiloidiasis
(3) Diagnosis : Larva dalam tinja, biakan , atau
aspirasi deudenum.

Gambar 6.2 : Cacing dewasa Strongyloides stercoralis


(4) Morfologi :
 Terdapat 2 macam bentuk :
1. Bentuk parasit
2. Bentuk bebas
 Hanya betina yang hidup sebagai parasit :
panjang ± 2 mm, filiform halus, tidak
berwarna.
 Cacing dewasa bentuk bebas jantan: panjang
1 mm, esophagus pendek dengan 2 bulbus ,
ekor melingkardengan spikulum
 Cacing dewasa bentuk bebas betina: panjang
1mm, esophagus pendek dengan 2 bulbus,
ekor lurus.

g) Oxyuris vermicularis (Entrobius vermicularis)

Gambar 7.1 : Telur cacing Oxyuris vermicularis


(5) Hospes : Manusia
(6) Penyakit : Oxyuriasis, Enterobiasis
(7) Cara Infeksi : Tertelan telur infektif (per oral), in-
halasi, autoinfeksi, retroinfeksi.
(8) Diagnosis : Adanya telur dan cacing dewasa.
Telur cacing dapat diambil dengan
“anal swab”.
(9) Morfologi telur cacing dewasa Oxyuris vermicularis:
 Ukuran cacing 50×20 mikron.
 bentuk telur cacing lonjong.
 Salah satu sisinya datar sedangkan sisi lain
cembung.
 Dindingnya jernih dan tebal.
 Isinya larva atau embrio.

Gambar 7.2 : Cacing dewasa Oxyuris vermicularis


(10) Morfologi cacing dewasa Oxyuris vermicularis:
 Cacing jantan panjangnya 2-5 mm,
ekormelengkung.
 Cacing betina panjangnya kurang lebih 10 mm,
uterus berisi telur, ekor runcing.
 Baik jantan maupun betina mempunyai “cephalic
alae”.

h) Trichuris trichiura

Gambar 8.1 : Telur cacing Trichuris trichiura

(1) Hospes : Manusia


(2) Penyakit : Trichuriasis
(3) Cara Infeksi : Tertelan telur infektif (per oral)
(4) Diagnosis : Telur dalam tinja
(5) Morfologi telur cacing Trichuris trichiura :
 Telurnya berukuran ± 50×22 mikron, bentuk
seperti tempayan dengan kedua ujung menonjol,
berdinding tebal dan berisi larva.
 Kulit bewarna cokelat, dengan kedua ujung bewarna
bening.
 Telur berisi sel telur atau larva yang baru terbentuk
, sesudah 3 minggu ditanah.

Gambar 8.2 : Cacing dewasa Trichuris trichiura


(6) Morfologi cacing dewasa Trichuris trichiura
 Cacing jantan panjangnya ± 4cm, bagian anterior
halus seperti cambuk, bagian ekor melingkar.
 Cacing betina panjangnya ± 5 cm, bagian
anteriorhalus seperti cambuk, bagian ekor lurus
berujung tumpul.

(i) Trichinella Spiralis

Gambar 9.1 : Cacing dewasa Trichinella Spiralis


(1) Penyakit : trikinosis atau Trikiniasis
(2) Hospes : manusia, babi, tikus, beruang.
(3) Morfologi perbedaan jantan dan betina :
 Jantan : Panjang ±1,5mm, Esofagus setengah badan,
Ujung ekor ada 2 buah papel.
 Betina : Panjang ± 3-4 mm, Esofagus sepertiga
badan, Uterus isi larva, Ekor berujung tumpul.
(4) Patologi Klinis :
 Cacing dewasa masuk ke mukosa usus menyebabkan
sakit perut, diare, mual dan muntah
 Larva di otot menyebabkan mialgia dan miositis
 Timbulnya pengkapuran dan pembentukan jaringan
fibrotik
(5) Diagnosis : klinis dari anamnese, tes kulit, flokuasi dan
biopsi
(6) Terapi : pengobatan secara simtomatis dan tiabendazol

2) Nematoda Jaringan
a. Wuchereria bancrofti (cacing rambut)

Gambar 10.1 : Telur cacing Wuchereria bancrofti


Gambar 10.2:Cacing dewasa Wuchereria bancrofti
(1) Hospes : Manusia
(2) Penyaki : Wuchereriasis
(3) Vektor : Nyamuk culex pipiafatigans di per-
kotaan nyamuk aedes, anopheles di
daerah pedesaan.
(4) Cara Infeksi : Melalui gigitan nyamuk mengandu-
ng larva stadium III.
(5) Diagnosis : Gejala klinis, menemukan mikrofi-
laria, biopsi, imunologi.
(6) Morfologi telur cacing Wuchereria bancrofti:
 Cacing dewasa (makrofilaria), bentuknya seperti
benang berwarna putih kekuningan.
 Larva cacing filaria (mikrofilaria) berbentuk
seperti benang berwarna putih susu.
 Makrofilaria yang betina memiliki panjang
kurang lebih 100 mm, ekornya berujung tumpul.
 Makrofilarial yang jantan memiliki panjang
kurang lebih 40 mm, ekor melingkar.
 Sedangkan mikrofilaria berukuran panjang
kurang lebih 250 mikron, bersarung pucat.

b. Brugia malayi
Gambar 11.1 : Cacing dewasa Brugia malayi

(1) Hospes : Manusia


(2) Penyakit : Brugiasis atau flariasis barbirosis
(3) Vektor : Nyamuk anopheles barbirosis
(4) Cara infeksi : Melalui gigitan nyamuk mengan-
dung larva stadium III
(5) Diagnosis : Gejala klinis, menemukan mikrofi-
lia, biopsi, imunologi.
(6) Morfologi cacaing dewasa Brugia malayi:
 Cacing dewasa umumnya mirip dengan
Wuchereria bancrofti, hanya saja cacing B.
malayi lebih kecil.
 Panjang cacing betina beriksar 43 hingga 55 mm
x 0,16 mm, sedangkan panjang cacing jantan
berkisar 13 hingga 23 mm x 0,009 mm.
 Cacing dewasa dapat memproduksi mikrofilaria
di dalam tubuh manusia.
 Cacing memiliki semacam selubung dan
biasanya memiliki periodisitas nocturnal,
superiodik nokturna atau nonperiodik.
 Cacing dewasa jantan dan betina hidup di
saluran dan pembuluh limfe.
 Bentuknya halus seperti benang dan berwarna
putih susu.
 Brugia malayi yang hidup pada manusia di
tularkan oleh nyamuk Anopheles barbirostris
dan yang hidup pada manusia dan hewan
ditularkan oleh nyamuk mansonia.
 Panjangkepalatelur = 2x lebarkepala, ukuran
177-230 mikron.
 Mempunyai sheath (selubung), warna merah
muda pada pengecatan giemsa.

c. Brugia timori

Gambar 12.1 : Cacing dewasa Brugia timori


(1) Hospes : Manusia
(2) Penyakit : Brugiasis atau filariasis timori
(3) Vektor : Nyamuk anophles barbirostis
(4) Cara Infeksi : Melalui gigitan nyamuk mengandu-
ng larva stadium III
(5) Diagnosis : Gejala klinis, menemukan mikrofi-
lia, biopsi, imunologi.
(6) Morfologi cacing dewasa Brugia timori:
 Bentuknya halus seperti benang, warnanya putih
susu.
 Cacing betina panjangnya 40 mm, ekor lurus.
 Cacing jantan ukurannya lebih kecil dari cacing
betina (23 mm) dan ekornya melengkung kearah
ventral

d. Loa-Loa

Gambar 13.1 : Cacing dewasa Loa-Loa


(1) Hospes : Manusia
(2) Penyakit : Loaiasis (Calabar swelling)
(3) Vektor : Lalat Crysops silaceace
(4) Cara Infeksi : Melalui mikrofilaria yang beredar
dalam darah dan diisap oleh lalat.
(5) Diagnosis :
(a) Menemukan mikrofilaria dalam darah pada siang
hari.
(b) Menemukan cacing dewasa dari konyungtiva atau
jaringan subkutan.
(6) Morfologi cacing dewasa Loa-Loa:
 Mikrofilaria berukuran 300 mikron, ditemukan
dalam urin, darah, memiliki sarung.
 Cacing dewasa hidup dalam jaringan subkutan,
jaringan subkonyungtiva.
 Cacing jantan berukuran 34 mm.
 Cacing betina berukuran 70 mm.

b. Trematoda
1) Trematoda Hati
 Fasciola hepatica (Cacing Hati)

Gambar 14.1 : Telur cacing Fasciola hepatica


(1) Hospes : Manusia
(2) Hospes Perantara : Keong air (lynmea) dan tumbuhan
air.
(3) Cara Infeksi : Makan tanaman air yang mengan-
dung metacercaria.
(4) Penyakit : Fasioliasis
(5) Diagnosis : Telur dalam tinja, cairan duodenum
atau cairan empedu, reaksi serologi.
(6) Morfologi telur cacing Fasciola hepatica :
 Memiliki telur yang berbentuk oval berwarna
kuning dan mempunyai operkulum.
 Berukuran panjang 30-50 mikron, dan lebar 63-
90 mikron. Telur yang belum matang keluar
bersama feses.

Gambar 14.2 : Cacing dewasa Fasciola hepatica


(7) Morfologi cacing dewasa Fasciola hepatica:
 Cacing hati mempunyai ukuran panjang 2,5 – 3
cm dan lebar 1 - 1,5 cm.
 Pada bagian depan terdapat mulut meruncing
yang dikelilingi oleh alatpengisap.
 Ada sebuah alat pengisap yang terdapat di
sebelah ventral sedikit di belakang mulut, juga
terdapat alat kelamin.
 Bagian tubuhnya ditutupi oleh sisik kecil dari
kutikula sebagai pelindung tubuhnya dan
membantu saat bergerak.
 Mempunyai operculum yang kecil.
 Bentuklonjongberwarnacokelatmuda.

2) Trematoda Usus
 Fasciolopsis buski

Gambar 15.1 : Telur cacing Fasciolopsis buski


(1) Hospes : Manusia, babi, dan anjing
(2) Hospes Perantara : Keong air sebagai perantara
pertama dan tanaman air perantara kedua
(3) Cara Infeksi : Makan tanaman air yang
mengandung metacercaria
(4) Penyakit : Fasiolopsiasis
(5) Diagnosis : Telur dalam tinja
(6) Morfologi telur cacing Fasciolopsis buski :
 Bentuk lonjong
 Mempunyai operkulum
 Dinding transparant
 Ukuran (130 – 140) x (80 – 85) µm
 Isi sel telur (unembryonated)

Gambar 15.2 : Cacing dewasa Fasciolopsis buski

(7) Morfologi cacing dewasa Fasciolopsis buski :


 Bentuk ovoid berwarna kemerahan.
 Ukuran (20 – 75) x ( 8 – 20) x (1 – 3) mm.
 Mempunyai dua batil isap.
 Batil isap mulut < batil isap perut.
 Testes bercabang-cabang, atas bawah.
 Ovarium bercabang-cabang di atas testis.
 Kelenjar vitalaria di bagian lateral.
 Sekum tidak bercabang.
 Uterus berkelok kelok.
 Anus tidak ada.

3) Termatoda paru-paru
 Paragonimus westermani
Gambar 16.1 : Telur cacing Paragonimus westermani
(1) Hospes : Manusia, harimau, kucing
(2) Penyakit : Paragonimiasis
(3) Hospes perantara : Keong air tawar(Semisulcospira,
Thiara) sebagai hospes pertama
Ketam (Eriocheir, Potamon) atau
udang air (Astacus, Cambarus) seb-
agai hospes perantara kedua.
(4) Cara Infeksi : Metaserkaria yang masuk ke dalam
tubuh manusia yang mengkonsumsi
kepiting.
(5) Diagnosis : Teluar dalam sputum atau tinja.
(6) Morfologi telur cacing Paragonimus westermani:
 Telur berukuran 80-120 x 50-60 mikron
 Bentuk oval
 Memiliki operculum khas yang berdinding tebal
 Berwarna kuning kecoklatan
 Berisi sel-sel ovum yang belum matang
Gambar 16.2 : Cacing dewasa Paragonimus westermani
(7) Morfologi cacing dewasaParagonimus westermani:
 Bersifat hermaprodit. Sistem reproduksinya
ovivar.
Bentuknya menyerupai daunberukuran 7 – 12 x
4 – 6 mm dengan ketebalan tubuhnya antara 3 –
5 mm.
 Memiliki batil isap mulut dan batil isap
perut.Uterus pendek berkelok-kelok.Testis
bercabang, berjumlah 2 buah.
 Ovarium berlobus terletak di atas testis.
 Kelenjar vitelaria terletak di 1/3 tengah badan.

4) Trematoda Darah
 Schistosoma japonicum

Gambar 17.1 : Telur cacing Schistosoma japonicum


(1) Hospes : Manusia, anjing, kucing, rusa
(2) Penyakit : Oriental schistosomiasis, skistoso-
miasis japonika, demam keong
(3) Hospes Perantara : Keong Oncomelania
(4) Cara Infeksi : Schistosomiasis menjangkiti orang
melalui kulit dalam bentuk cercaria
yang mempunyai ekor berbentuk
seperti kulit manusia.
(5) Diagnosis : Telur dalam tinja atau dalam jari-
ngan biopsi, Reaksi serologis :
COPT, IHT, ELISA, FAT.
(6) Morfologi telur cacing Schistosoma japonicum :
 Telur berukuran 90 x 70 mikron
 Memiliki duri kecil
 Berisi mirasidium

Gambar 17.2 : Cacing dewasa Schistosoma japonicum


(7) Morfologi cacing dewasaSchistosoma japonicum:
 Cacing jantan, gemuk, berukuran 10-15 x 0,8-1
mm. Ditutupi integumen tuberkulasi kecil,
memiliki 2 batil isap berotot, yang ventral lebih
besar. Di sebelah belakang batil isap ventral,
melipat ke arah ventral sampai ekstremitas
kaudal, membentuk kanalis ginekoporik. Persis
di belakang batil isap ventral terdapat 4-5 buah
testis besar. Porus genitalis tepat di bawah batil
isap ventral.
 Cacing betina, panjang silindris, ukuran 20 x
0,25 mm. Batil isap kecill, ovarium terletak
posterior dari pertengahan tubuh. Uterus
panjang; sekitar 20-30 telur berkembang pada
satu saat dalam uterus. Hidupnya di vena
panggul kecil, terutama di vena kandung kemih.

 Schistosoma mansoni

Gambar 18.1 : Telur cacing Schistosoma mansoni


(1) Hospes : Manusia, kera, dan babon
(2) Penyakit : schistosoma mansoni,schistosomi-
asis usus
(3) Hospes Perantara : Keong air tawar biomphalaria spp
(4) Cara Infeksi : Penetrasi kulit oleh cercaria
(5) Diagnosis : Telur dalam tinja atau dalam jaring-
an biopsi dan Reaksi serologis :
COPT, IHT, ELISA, FAT.
(6) Morfologi telur cacing Schistosoma mansoni:
 Ukuran 150 μm
  Bentuk oval dengan salah satu kutubnya
membulat dan yang lain lebih meruncing.
 Spina terletak lateral dekat dengan bagian yang
membulat,besar dan berbenutuk segitiga.
 Kulit sangat tipis dan halus.
 Warna kuning pucat.
  Berisi embrio besar bersilia,diliputi membran
(kulit dalam)
Gambar 18.2 : Cacing dewasa Schistosoma mansoni
(7) Morfologi cacing dewasa Schistosoma mansoni:
 Tubuhnya tertutup kulit yang mempunyai
tuberkel kasar.
 Cacing jantan panjangnya 6,4 – 12 mm,
mempunyai 8 – 9 testis.
  Cacing betina panjangnya 7,2 – 17 mm,ovarium
terletak di pertengahan tubuh bagian anterior.

 Schistosoma haematobium

Gambar 19.1 : Telur cacing Schistosoma haematobium


(1) Hospes : Manusia dan kera
(2) Penyakit : Schistosoma haematobium,
Schistosoma vesica urinaria
(3) Hospes Perantara : Keong air tawar (bullinus, biomph-
alaria)
(4) Cara Infeksi : Penetrasi kulit oleh cercaria
(5) Diagnosis : Telur dalam urine.
(6) Morfologi telur cacing Schistosoma haematobium:
 Besarnya 150x60 mikron, bentukseperti spindle
shape, bagiananteriornyatumpuldanpadabagian
posterior terdapatduridisebut terminal spine.
 Berisimirasidium.

Gambar 19.2 : Cacing dewasa Schistosoma haematobium

(7) Morfologi cacing dewasaSchistosoma haematobium:


 Tubuh gemuk, panjang 1,2 cm.
 Testis jumlah 3-4 buah.
 Kutikula pada tubuh ada tonjolan kecil.
 Bentuk tubuh langsing, panjang 2 cm.
 Ovarium terletak di posterior, usterus berisi telur

c. Cestoda
1) Ordo Pseudophyllidea
 Diphyllobothrium latum
Gambar 20.1 : Telur cacing Diphyllobothrium latum
(1) Hospes definitif : Manusia
(2) Hospes reservoir : Beruang, anjing, kucing
(3) Hospes perantara : Cylops dan diaptamus , Ikan
air tawar
(4) Penyakit : Diphyllobothriasis
(5) Cara infeksi : Makan ikan mengandung
plerocercoid yang dimasak
kurang matang.
(6) Diagnosis : Telur dalam tinja
(7) Morfologi telur cacing Diphyllobothrium latum :
 Mempunyai operculum pada ujung yang
satu dan ujung yang lain terdapat knob like
yang merupakan penebalan dinding telur.
 Berukuran 70 × 45 mikron

Gambar 20.2 : Cacing dewasa Diphyllobothrium


latum
(8) Morfologi cacing dewasaDiphyllobothrium latum:
 Berwarna gading.
 Panjang sampai 10m.
 Terdiri dari 3000 - 4000 prologtid ; tiap
proogtid terdiri dari alat kelamin jantan dan
betina yang lengkap.
 Kepala mempunyai 2 lekuk isap (bothrium).
 Uterus terletak ditengah proglottid
berbentuk rosette dan berisi telur.

2) Ordo Cyclophyllidea
 Taenia saginata

Gambar 21.1 : Telur cacing Taenia saginata


(1) Hospes : Manusia
(2) Hospes perantara : Sapi
(3) Penyakit : Taenia saginata
(4) Cara infeksi : Makan daging sapi mengan-
dung cyste cercusbovis yang
dimasak kurang matang.
(5) Diagnosis : Proglatoid dalam tinja atau
yang secara aktif keluar dari
anus. Menemukan telur dal-
am tinja.
(6) Morfologi telur cacing Taenia saginata:
 Berbentuk bulat.
 Memiliki ukuran 30-40 µm
 Kulit sangat tebal, halus, dengan garis-garis
silang.
 Warna kulit kuning gelap-coklat.
 Isi terang abu-abu.
 Berisi masa bulat bergranula yang diliputi
dengan membran yang halus, dengan tiga pasang
kait berbentuk lanset yang membias, kadang-
kadang telur berada mengambang didalam
kantung yang transparan.

Gambar 21.2 : Cacing dewasa Taenia saginata


(7) Morfologi cacing dewasa Taenia saginata:
 Berwarna putih pucat, seperti pita, pipih secara
dorsoventral, dan tersegmentasi.
 Berukuran panjang 5–10 m.
 Terdiri dari kepala (scolex), leher, dan strobila
(tubuh).
 Scolex berdiameter sekitar 1-2 mm
 Terdapat 4 pengisap hemisferal yang terletak
pada keempat sudutnya.
 Strobila terdiri dari 1000 hingga 2000 proglotid
atau segmen, yang dibagi menjadi proglotid
belum matang, matang dan gravid.
 Panjang segmen gravid hampir empat kali
lebarnya, dengan panjang 20mm dan lebar 5mm.
 Taenia solium

Gambar 22.1 : Telur cacing Taenia solium


(1) Hospes : Manusia
(2) Hospes perantara : Babi
(3) Penyakit : Taenia solium cystecercosis
cellulosae
(4) Cara infeksi : Makan daging babi mengan-
dung cyste cercusbovis yang
dimasak kurang matang auto
infeksi
(5) Diagnosis : Proglotid atau telur dalam
tinja. Untuk sistiserkosis,
menemukan sistiserkus da-
lam benjolan di bawah kulit
dengan reaksi imunologi.

(6) Morfologi telur cacing Taenia solium:


 Telurnya berbentuk bulat atau sedikit oval (31-
43 mikro meter).
 Mempunyai dinding yang tebal, bergaris garis,
dan berisi embrio heksakan berkait enam tau
onkosfer.
 Dapat bertahan hidup di dalam tanah untuk
berminggu-minggu.
Gambar 22.2 : Cacing dewasa Taenia solium
(7) Morfologi cacing dewasaTaenia solium:
 Cacing dewasa biasanya sepanjang 2-3 meter.
 Scolex T. solium berukuran kecil dan bulat
sekitar 1 mm, dengan 4 buah pengisap (diameter
0,5 mm).
 Rostellum bulat yang menonjol, dipersenjatai
dengan 2 baris kait bulat dan kecil berbentuk
pisau, 20–50 jumlahnya.
 Leher pendek dan setengah ketebalan kepala.
 Jumlah proglotid kurang dari seribu.
 Panjang segmen gravid dua kali lebih panjang
dari lebarnya, 12mm x 6mm.
 Testis terdiri dari 150 hingga 200 folikel.
 Rahim hanya memiliki 5 hingga 10 (di bawah
13) cabang lateral.
 Memiliki sebuah lubang genital berbibir tebal,
bergantian antara sisi kanan dan kiri pada
segmen yang berdekatan.

 Hymenolepis nana
Gambar 23.1 : Telur cacing Hymenolepis nana
(1) Hospes : Manusia , tikus
(2) Penyakit : hymenolepis nana
(3) Cara infeksi : Tertelan telur hymenolepis
nana, auto infeksi
(4) Diagnosis : Telur dalam tinja
(5) Morfologi telur cacing Hymenolepis nana:
 Berukuran 30-47 u.
 Berbentuk bulat.
 Bagian dalam telur terdapat 4 buah penebalan
yang berlanjut sebagai 4 buah filament.
 Mempunyai lapisan yang jernih dan lapisan
dalam yang mengelilingi onkosfer dengan
penebalan pada kedua kutub.

Gambar 23.2 : Cacing dewasa Hymenolepis nana


(6) Morfologi cacing dewasa Hymenolepis nana:
 Merupakan ukuran terkecil dari species cestoda.
 Berukuran 24-40 mm dengan scolex dapat
ditemukan 4 buah alat penghisap berbentuk
hemispheris serta rosetelum yang terinvaginasi
disekelilingi oleh saut baris kai-kait yang terdiri
dari 20-30 buah.
 Scolex berbetuk rhomboid dengan diameter 0,32
mm.
 Leher cacing ini panjang dan ramping diikuti
strobila yang panjang yang biasanya berbanding
terbalik dengan jumlah cacing yang ada dalam
hospesnya.

 Hymenolepis diminuta

Gambar 24.1 : Telur cacing Hymenolepis diminuta


(1) Hospes : Manusia, tikus, mencit

(2) Hospes Perantara :


- Pinjal tikus (Xenopsylla cheopsis)
- Pinjal manusia (Pulex irritans)
- Kumbang tepung (Tenebrio)
(3) Penyakit : Himenolepiosis diminuta
(4) Diagnosis : telur dalam tinja
(5) Cara Infeksi :
(6) Morfologi telur cacing Hymenolepis diminuta:
 Ukuran 70-80µm.
 Bentuk bulat, kulit sangat tebal bagian luar tipis
degan garis siang dan bagian dalam sangat tebal
berisi filamen.
 Berisi embrio bulat degan 6 kait yang tersusun
seperti kipas.
 Dinding telur agak tebal, pada kutub-kutub
menebal.
 Tidak memiliki filamen dari kutub-kutubnya.
 Berisi embrio heksakan (embrio dengan 3
pasang kait).

Gambar 24.2 : Cacing dewasa Hymenolepis diminuta


(7) Morfologi cacing dewasa Hymenolepis diminuta:
 Cacing dewasa berukuran 20-60 cm.
 Skoleks kecil bulat, mempunyai 4 sucker dan
rostelum tanpa kait.
 Proglotid gravid lepas dari strobila.
 Punya 800-1000 proglotid.
 Dipylidium caninum

Gambar 25.1 : Telur cacing Dipylidium caninum


(1) Hospes : Manusia, anjing
(2) Hospes perantara :
- Pinjal anjing (Ctenocephalides canis)
- Pinjal manusia (Pulex irritans)
(3) Penyakit : Dipilidiasis
(4) Diagnosis : Proglotid bergerak aktif
atau kelompok telur dalam
tinja.
(5) Morfologi telur cacing Dipylidium caninum:
 Telur berukuran 25x40 mikron.
 Berkelompok dalam satu kapsul yang berisi 15-
25 buah telur disebut “Cluster of egg”.

Gambar 25.2 : Cacing dewasa Dipylidium caninum


(6) Morfologi cacing dewasa Dipylidium caninum:
 Panjang 15-70 cm dengan strobila yang terdiri
dari 60-75 proglotid.
 Skoleks kecil berbentuk belah ketupat
(rhomboidal scolex).
 Mempunyai 4 batil isap dan rostelum retraktil
berbentuk seperti kerucut yang berkait.
 Bentuk proglotid matur seperti tempayan/vas
bunga, tiap proglotid mempunyai 2 perangkat
organ reproduksi.

 Echinococcus granulosus
Gambar 26.1 : Telur cacing Echinococcus granulosus
(1) Hospes : Manusia, anjing, karnivora lain
(2) Penyakit : Ekinokokosis, hidotidosis
(3) Cara infeksi : Infeksi terhadap manusia terjadi
lewat transfer telur cacing dan ta-
ngan ke mulut dari makanan yang
terkontaminasi oleh feses anjing.
(4) Diagnosis : Menemukan skoleks yang dikeluar-
kan dari cairan kista dengan reaksi
casoni.
(5) Morfologi telur cacing Echinococcus granulosus:
 Telur sukar dibedakan dengan telur taenia.
 Setiap telur berbentuk ovoid dengan berdiameter
30-40 mikron.
 Di dalam telur terdapat hexacanth embrio, yaitu
embrio yang memiliki 3 pasang kait.

Gambar 26.2 : Cacing dewasa Echinococcus granulosus


(6) Morfologi cacing dewasa Echinococcus granulosus:
 Panjangnya 2-7 mm.
 Terdiri dari kepala (scolex), leher (neck), dan
proglotid (3-4 segmen).
 Scolex mempunyai 4 alat penghisap, dan
mempunyai 2 deret kait.
 Mempunyai 1 proglotid imatur, 1 proglotid
matur, 1 proglotid gravid.

C. Pemeriksaan Kadar Air pada Tanah


1. Tujuan Praktik
a. Mahasiswa mengetahui bagaimana cara mengukur kadar air yang
ada dalam tanah.
b. Mahasiswa mampu menentukan kadar air pada tanah.

2. Metode
SNI 1965 : 2008 (Gravimetri)

3. Landasan Teori
Kadar air tanah dinyatakan dalam persen merupakan selisih antara
massa/berat (contoh : tanah basah), sebelum pengeringan dan
massa/berat (contoh : tanah kering) setelah dikeringkan sampai
mencapai massa/berat yang tetap pada 105oC. Ada dua cara penetapan
kadar air tanah yaitu pada perbandingan dua massa (gravimetri) atau
dua volume (volumetri).

4. Alat dan Bahan


a. Oven pengering
b. Timbangan analitik
c. Cawan penguap
d. Desikator
e. Penjepit
f. Peralatan lain : sendok, spatula, pisau, kain pembersih.

5. Prinsip Kerja
Penentuan kadar air tanah dilakukan sesegera mungkin.

6. Cara Kerja
a. Timbang dan catat berat cawan kering yang kosong.
b. Masukkan sampel tanah ke dalam cawan. tentukan Tentukan berat
cawan yang terisi, catat nilai tersebut.
c. Masukkan sampel pada oven pengering selama 4 jam pada suhu
110oC +(-5oC) hingga beratnya konstan (tetap). Setelah 2 waktu
berturut-turut (lebih dari satu jam) pengeringan selisihnya kurang
dari 0,1%.
d. Keluarkan cawan dari oven pengering biarkan menjadi dingin pada
temperatur ruangan dan cawan dapat dipegang dengan tangan.
e. Masukkan cawan pada desikator untuk mengurangi penyerapan
yang besar pada kelembapan dari atmosfer selama pendinginan.
f. Lakukan penimbangan dan catat hasil tersebut.

7. Hasil Pembahasan
 Menggunakan metode gravimetri

(W 1−W 2)
Kadar air ( % )= × 100 %
(W 1−W 0)
 Keterangan :
d1 : W0 = 62,1579 gr
W0
: Berat cawan kosong
W1 = 82,1592 gr
W1 : Berat cawan + sampel awal (sebelum di oven)
W2 = 81,4429 gr
W2 : : Berat cawan + sampel awal (setelah pendinginan)
 Hasil
d2 : Kadar air ?

d3 :

( 82,1592−81,4429 )
Kadar air ( % )= ×100 %
( 82,1592−62,1579 )

0,7163
¿ ×100 %
20,0013

¿ 3,58 %
 Kesimpulan
Bahwa kadar air di dalam tanah tersebut lumayan bagus, kadar
air dalam tanah dipengaruhi oleh kadar bahan organik, makin
tinggi kadar bahan organik tanah akan semakin tinggi kadar airnya.
Jadi tanah yang berada di gazebo kampus kesehatan lingkungan
magetan cocok untuk pertumbuhan tanaman, karena kadar air
disana lumayan cukup bagus .

Anda mungkin juga menyukai