Anda di halaman 1dari 19

MAKALAH

AKAD-AKAD DALAM BANK SYARIAH

DOSEN
Agung Supriyanto

DISUSUN OLEH
Ravelito Dimas

UNIVERSITAS AL AZHAR INDONESIA


FAKULTAS EKONOMI DAN BISNIS
PROGRAM STUDI MANAJEMEN
2019/2020
KATA PENGANTAR

Dengan menyebut nama Allah SWT yang Maha Pengasih lagi Maha Panyayang, saya
panjatkan puji dan syukur atas kehadirat-Nya, karena dengan limpahan rahmat dan karunia-
Nya, saya dapat menyelesaikan makalah mengenai akad-akad dalam bank syariah.
Makalah ini saya susun dengan bantuan dari berbagai pihak sehingga bisa selesai
dengan maksimal. Untuk itu saya ingin menyampaikan banyak terima kasih kepada semua
pihak yang telah berkontribusi dalam pembuatan makalah ini.
Terlepas dari semua itu, saya menyadari bahwa makalah ini masih jauh dari kata
sempurna baik dari segi susunan kalimat maupun tata bahasanya. Oleh karena itu, saya
menerima segala masukan dan kritik yang bersifat membangun dari pembaca sehingga saya
dapat melakukan perbaikan kedepannya.
Akhir kata saya berharap semoga makalah tentang akad-akad dalam bank syariah ini
dapat memberi manfaat bagi pembaca.

Jakarta, Maret 2020

Penyusun
DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL..................................................................................................................1
KATA PENGANTAR...............................................................................................................2
DAFTAR ISI..............................................................................................................................3
BAB I PENDAHULUAN..........................................................................................................4
A. Latar Belakang...............................................................................................................................4
B. Rumusan Masalah.........................................................................................................................4
C. Tujuan Penulisan...........................................................................................................................4
BAB II PEMBAHASAN...........................................................................................................5
A. Konsep Akad..................................................................................................................................5
I. Pengertian Perikatan (Akad)..................................................................................................5
II. Akad yang Digunakan Bank Syariah.......................................................................................5
III. Keterkaitan Akad dan Produk................................................................................................5
B. Akad Bank Syariah........................................................................................................................6
I. Akad Pola Titipan...................................................................................................................6
II. Akad Pola Pinjaman...............................................................................................................7
III. Akad Pola Bagi Hasil..............................................................................................................8
IV. Akad Pola Jual Beli...............................................................................................................10
V. Akad Pola Sewa...................................................................................................................13
VI. Akad Pola Lainnya................................................................................................................15
BAB III PENUTUP..................................................................................................................18
Kesimpulan......................................................................................................................................18
DAFTAR PUSTAKA..............................................................................................................19
BAB I

PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Bank Syariah adalah lembaga keuangan yang berbasis Syariah Islam. Secara makro
bank syariah memposisikan dirinya sebagai pemain aktif dalam mendukung dan memainkan
kegiatan investasi di masyarakat. Di satu sisi bank syariah mendororng dan mengajak
masyarakat untuk ikut aktif berinvestasi melalui berbagai produknya, sedangkan di sisi lain
bank syariah aktif untuk melakukan investasi di masyarakat. Selain itu, secara mikro bank
syariah merupakan lembaga keuangan yang menjamin seluruh aktifitas operasinya, termasuk
produk dan jasa keuagan yang ditawarkan, telah sesuai dengan prinsip islam.
Berbeda dengan produk dan jasa keuangan bank konvensional, produk dan jasa
keuangan bank syariah tidak terlepas dari jenis akad yang digunakan. Jenis akad yang
digunakan oleh suatu produk biasanya melekat pada nama produk tabungan yang
mengunakan akad mudarabah, sedangkan tabungan wadi’ah berarti produk tabungan yang
menggunakan akad wadi’ah. Hal ini berarti segala ketentuan mengenai akad wadi’ah berlaku
untuk wadi’ah
Oleh sebab itu, melalui makalah ini penulis akan membahas apa saja akad-akad yang
terdapat pada bank syariah dan bagaimana penerapannya, serta menjelaskan konsep dasar
dari akad itu sendiri.

B. Rumusan Masalah
1. Konsep akad (peserikatan)
2. Macam-macam akad dalam bank syariah
3. Kaitan akad dengan bank syariah

C. Tujuan Penulisan
1. Memahami konsep akad
2. Mengetahui jenis-jenis akad dan pengaplikasiannya
3. Memahami kaitan akad pada bank syariah
BAB II

PEMBAHASAN
A. Konsep Akad
Dalam melakukan suatu kegiatan muamalah, Islam mengatur ketentuan-ketentuan
perikatan (akad). Ketentuan akad ini tentunya berlaku dalam kegiatan perbankan Islam.
Uraian berikut ini merupakan konsep perikatan (akad) dalam hukum Islam yang dijelaskan
secara umum, yakni:

I. Pengertian Perikatan (Akad)


Istilah perikatan yang digunakan dalam KUH Perdata, dalam Islam dikenal dengan
istilah aqad (akad dalam Bahasa Indonesia). Jumhur Ulama mendefinisikan akad adalah
"pertalian antara ijab dan kabul yang dibenarkan oleh syara' yang menimbulkan akibat hukum
terhadap objeknya.”
Ikrar merupakan salah satu unsur terpenting dalam pembentukan akad. Ikrar ini
berupa ijab dan kabul. Ijab adalah suatu pernyataan dari seseorang (pihak pertama) untuk
menawarkan sesuatu. Kabul adalah suatu pernyataan dari seseorang (pihak kedua) untuk
menerima atau mengabulkan tawaran dari pihak pertama. Apabila antara ijab dan kabul yang
dilakukan oleh kedua pihak saling berhubungan dan bersesuaian, maka terjadilah akad di
antara mereka.

II. Akad yang Digunakan Bank Syariah


Akad atau transaksi yang digunakan bank syariah dalam operasinya diterapkan dari
kegiatan mencari keuntungan (tijarah) dan sebagian dari kegiatan tolong-menolong (tabarru’)

III. Keterkaitan Akad dan Produk


Akad atau transaksi yang berhubungan dengan kegiatan usaha bank syariah dapat
digolongkan ke dalam transaksi untuk mencari keuntungan (tijarah) dan transaksi tidak untuk
mencari keuntungan (tabarru’). Akad dari tanskasi tijarah yaitu mudharahah, salam, istishna,
ijarah, ijarah wa iqtina, ujr, sharf, mudharabah, musharakah, muzara’ah, musaqah, dan
mukhabarah. Sedangkan akad dari transaksi tabarru’ yaitu wasi’ah yad dhamanah, qardh,
qarddhul hasan, wakalah, kafalah, hiwalah, rahn, hibah, waqf, shadaqah, dan hadiah.
B. Akad Bank Syariah
Berbagai jenis akad yang diterapkan oleh bank syariah dapat dibagi ke dalam enam
kelompok pola, yakni:

I. Akad Pola Titipan


Akad berpola titipan (Wadi'ah) ada dua, yaitu Wadi’yad Amanah dan Wadi’ah yad
Dhamanah. pada awalnya, prinsip yad al-amanah artinya adalah ‘tangan amanah’, yang
kemudian dalam perkembangannya memunculkan yadh-dhamanah yang artinya adalah
‘tangan penanggung’, Wadi' ah yad Dhamanah ini akhirnya banyak dipergunakan dalam
aplikasi perbankan syariah dalam produk-produk pendanaan.
Prinsip wadi‟ah yang diterapkan adalah wadi‟ah yad shamanah. Bank dapat
memanfaatkan dan menyalurkan dana yang disimpan serta menjamin bahwa dana tersebut
dapat ditarik setiap saat oleh nasabah penyimpan dana. Namun demikian, rekening ini tidak
boleh mengalami saldo negative (overdraft).

Landasan hukum prinsip ini adalah :


1. Q.S An nisa (4) Ayat 58, yang terjemahannya adalah:
“Sesungguhnya Allah menyuruh kamu menyampaikan amanat kepada yang berhak
menerimanya, dan (menyuruh kamu) apabila menetapkan hukum di antara manusia supaya
kamu menetapkan dengan adil. Sesungguhnya Allah memberi pengajaran yang sebaik-
baiknya kepadamu. Sesungguhnya Allah adalah Maha mendengar lagi Maha Melihat.”
2. Al-hadits, yang terjemahannya adalah:
“Sampaikan (tunaikanlah) amanat kepada yang berhak menerimanya dan jangan membalas
khianat kepada orang yang telah menghianatimu.” (H.R. Abu Dawud)

a) Wadi’ah yad Amanah


Secara umum wadi’ah adalah titipan murni dari pihak penitip kepada pihak
penyimpan (muwaddi') yang mempunyai barang/aset kepada pihak penyimpan (mustawda’)
yang diberi amanah/kepercayaan, baik individu maupun badan hukum, tempat barang yang
dititipkan harus dijaga dari kerusakan dan kerugian, serta keamanan dan keutuhannya harus
terjaga, lalu bias dikembalikan kapan saja sesuai dengan kehendak penyimpan.
Barang/aset yang dititipkan adalah sesuatu yang berharga, dapat berupa uang, barang,
dokumen, surat berharga, atau barang berharga lainnya. Biaya penitipan boleh dibebankan
kepada pihak penitip sebagai kompensasi atas tanggung jawab pemeliharaan.
Pihak penyimpan tidak boleh menggunakan atau memanfaatkan barang/aset yang
dititipkan, melainkan hanya menjaganya. Selain itu, barang/aset yang dititipkan tidak boleh
dicampuradukkan dengan barang/aset lain, melainkan harus dipisahkan untuk masing-masing
barang/aset penitip.

b) Wadi’ah yad Dhamanah


Dari prinsip yad al-amanah `tangan amanah' kemudian berkembang prinsip yadh-
dhamanah `tangan penanggung' yang berarti bahwa pihak penyimpan bertanggung jawab atas
segala kerusakan atau kehilangan yang terjadi pada barang/aset titipan.
Hal ini berarti bahwa pihak penyimpan juga merupakan penjamin keamanan
barang/aset yang dititipkan. Ini juga berarti bahwa pihak penyimpan telah mendapatkan izin
dari pihak penitip untuk mempergunakan barang/aset yang dititipkan tersebut untuk aktivitas
perekonomian tertentu, dengan catatan bahwa pihak penyimpan akan mengembalikan
barang/aset yang dititipkan secara utuh pada saat penyimpan menghendaki. Hal ini sesuai
dengan anjuran dalam Islam agar aset selalu diusahakan untuk tujuan produktif (tidak
didiamkan saja).

Rukun dari akad titipan Wadi'ah yad Amanah maupun Wadi’ah yad Dhamanah yaitu:
1. Pelaku akad, yaitu penitip (mudr’/muwaddi) dan penyimpan penerima;
2. Titipan (muda’/mustawda');
3. Objek akad, yaitu barang yang dititipkan; dan
4. Shighah, yaitu ijab dan qabul.
Sementara itu, syarat wadi'ah yang harus dipenuhi adalah syarat bonus yaitu:
1. Bonus merupakan kebijakan penyimpan; dan
2. Bonus tidak disyaratkan sebelumnya.

IV. Akad Pola Pinjaman


Satu-satunya akad berbentuk pinjaman yang diterapkan dalam perbankan syariah
adalah Qardh dan turunannya yaitu Qardhul Hasan. Karna bunga dilarang dalam Islam, maka
pinjaman Qardh maupun Qardhul Hasan merupakan pinjaman tanpa bunga. Lebih khusus
Pinjaman Qardhul Hasan merupakan pinjaman kebajikan yang tidak bersifat komersial, tetapi
bersifat sosial.

a) Pinjaman Qardh
Qardh merupakan pinjaman kebajikan tanpa imbalan, biasanya untuk pembelian
barang-barang fungible (yaitu barang yang dapat diperkirakan dan diganti sesuai berat,
ukuran, dan jumlahnya). Objek dan pinjaman qardh biasanya adalah uang atau alat tukar
lainnya (Saleh, 1992), yang merupakan transaksi pinjaman murni tanpa bunga ketika
peminjam mendapatkan uang tunai dari pemilik dana (dalam hal ini bank) dan hanya
mengembalikan pokok utang pada waktu tertentu di masa yang akan datang. Peminjam atas
kemauan sendiri dapat mengembalikan lebih besar sebagai ucapan terima kasih.

Rukun dari akad Qardh atau Qardhul Hasan dalam transaksi yaitu:
1. Pelaku akad, yaitu muqtaridh (peminjam), pihak yang membutuhkan pihak yang
memiliki dana, dan muqridh (pemberi pinjaman);
2. Objek akad, yaitu gardh (dana);
3. Tujuan, yaitu ‘iwad berupa pinjaman tanpa imbalan (pinjam Rp.X,- dikembalikan
Rp.X,-); dan
4. Shighah, yaitu ijab dan qabul.
Sedangkan syarat dari akad Qardh atau Qardhtul Hasan yang harus dipenuhi dalam transaksi
yaitu:
1. Kerelaan kedua belah pihak; dan
2. Dana digunakan untuk sesuatu yang bermanfaat dan halal.

V. Akad Pola Bagi Hasil


Akad bank syariah yang utama dan paling penting yang disepakati oleh para ulama
adalah akad dengan pola bagi hasil dengan prinsip Mudharabah (trustee profit sharing) dan
Musyarakah (joint venture profit sharing).

a) Musyarakah
Musyarakah merupakan istilah yang sering dipakai dalam konteks skema pembiayaan
Syariah. Istilah ini berkonotasi lebih terbatas dari pada istilah syirkah yang lebih umum
digunakan dalam fikih Islam (Usmani, 1999).
Musyarakah merupakan akad bagi hasil ketika dua atau lebih pengusaha pemilik
dana/modal bekerja sama sebagai mitra usaha, membiayai investasi usaha baru atau yang
sudah berjaian. Mitra usaha pemilik modal berhak ikut serta dalam manajemen perusahaan,
tetapi itu bukan merupakan keharusan. Para pihak dapat membagi pekerjaan mengelola usaha
sesuai kesepakatan dan mereka juga dapat meminta gaji/upah untuk tenaga dan keahlian yang
mereka curahkan untuk usaha tersebut.
Musyarakah pada umumnya merupakan perjanjian yang berjalan terus sepanjang
usaha yang dibiayai bersama terus beroperasi. Meskipun demikian, perjanjian musyarakah
dapat diakhiri dengan atau tanpa menutup usaha. Apabila usaha ditutup dan dilikuidasi, maka
masing-masing mitra usaha mendapat hasil likuidasi aset sesuai nisbah penyertaannya.
Apabila usaha terus berjalan, maka mitra usaha yang ingin mengakhiri perjanjian dapat
menjual sahamnya ke mitra usaha yang lain dengan harga yang disepakati bersama.

Landasan Syariah Akad Musyarakah:


Landasan hukum dari al-qur’an dan sunnah terkait akad ini yaitu pada Q.S. Ash Shad ayat 28.
Pada ayat tersebut Allah SWT berfirman yang artinya,
“Dan sesungguhnya kebanyakan dari orang-orang yang berserikat itu sebagian mereka
berbuat zalim kepada sebagian yang lain kecuali orang yang beriman dan mengerjakan amal
shaleh dan amat sedikitlah mereka ini.“

Rukun dari akad Musyarakah yang harus dipenuhi dalam transaksi yaitu:
1. Pelaku akad, yaitu para mitra usaha;
2. Objek akad, yaitu modal (mal), kerja (dharabah), dan keuntungan (ribh); dan
3. Shighah, yaitu ijab dan qabul.
Syarat dari akad Musyarakah yaitu:
Akad harus dilaksanakan atas persetujuan semua pihak yang terlibat tanpa adanya tekanan,
penipuan, atau penggambaran yang keliru, dan sebagainya.

b) Mudharabah
Secara singkat Mudharabah atau penanaman modal ialah penyerahan modal uang
kepada oarang yang beniaga sehingga ia mendapatkan persentase keuntungan (Al-Mushlih
dan Ash-Shawi, 2004).
Sebagai suatu bentuk kontrak, Mudharabah merupakan akad bagi hasil ketika pemilik
dana/modal (pemodal), biasa di sebut shahibul mal/rabbul mal, menyediakan modal (100
persen) kepada pengusaha sebagai pengelola, biasa disebut mudharib, untuk melakukan
aktivitas produktif dengan syarat bahwa keuntungan yang di hasilkan akan dibagi di antara
mereka menurut kesepakatan yang ditentukan sebelumnya dalam akad.

Landasan Syariah Akad Mudharabah:


Penentuan fatwa tersebut didasarkan pada beberapa dalil dari Al-Qur’an dan Hadist. Pada
Q.S. Al-Maidah [5] : 1 yang artinya,
“wahai orang-orang yang beriman! Tunaikanlah akad-akad itu. Dihalalkan bagimu binatang
ternak, kecuali yang akan dibacakan kepadamu. (Yang demikian itu) dengan tidak
mengalalkan berburu ketika kamu sedang mengerjakan haji. Sesungguhnya Allah
menetapkan hukum-hukum menurut yang dikehendakinya”

Rukun dari akad Mudharabah yang harus dipenuhi dalam transaksi yaitu:
1. Pelaku akad, yaitu shahibul mal (pemodal) adalah pihak yang memiliki modal tetapi
tidak bisa berbisnis, dan mudharib (pengelola) adalah pihak yang padai berbisnis,
tetapi tidak memiliki modal;
2. Objek akad, yaitu modal (mal), kerja (dharabah), dan keuntungan (ribh); dan
3. Shighah, yaitu ijab dan qabul.
Sementara itu, syarat-syarat khusus yang harus dipenuhi dalam Mudharabah yaitu:
1. Modal harus berupa uang;
2. Modal harus jelas dan diketahui jumlahnya;
3. Modal harus tunai bukan hutang; dan
4. Modal harus diserahkan kepada mitar kerja.

VI. Akad Pola Jual Beli


Jual beli atau perdagangan atau perniagaan atau trading secara terminologi Fikih
Islam berarti tukar menukar harta atas dasar saling ridha (rela) atau memindahkan
kepemilikan dengan imbalan pada sesuatu yang diizinkan (Santoso, 2003).

a) Murabahah
Murabahah adalah istilah dalam Fikih Islam yang berarti suatu bentuk jual beli
tertentu ketika penjual menyatakan biaya perolehan barang, meliputi harga barang dan biaya-
biaya lain yang dikeluarkan untuk memperoleh barang tersebut, dan tingkat keuntungan yang
diinginkan.

Landasan syariah dibolehkannya Murabahah adalah seperti yang terdapat dalam ayat al-
Qur'an surah An-Nisa: 29, Al-Baqarah: 275, Al-Baqarah: 282, Al-Baqarah: 198, yang artinya:
"Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu saling memakan harta sesamamu dengan
jalan yang batil, kecuali dengan jalan perniagaan yang Berlaku dengan suka sama-suka di
antara kamu. dan janganlah kamu membunuh dirimu. Sesungguhnya Allah adalah Maha
Penyayang kepadamu".(QS. An-Nisa: 29)

Rukun dari akad Murabahah yang ahrus dipenuhi dalam transaksi yaitu:
1. Pelaku akad, yaitu ba’i (penjual) adalah pihak yang memiliki barang untuk dijual, dan
musytari (pembeli) adalah pihak yang memerlukan dan akan membeli barang;
2. Objek akad, yaitu mabi’ (barang dagangan) dana tasaman (harga); dan
3. Shighah, yaitu ijab dan qabul.
Beberapa syarat pokok Murabahah menurut Usmani (1999), adalah scbagai berikut:
1. Murabahah merupakan salah satu bentuk jual beli ketika penjual secara eksplisit
menyatakan biaya perolehan barang yang akan dijualnya dan menjual kepada orang
lain dengan menambahkan tingkat keuntungan yang diinginkan;
2. Tingkat keuntungan dalam murabahah dapat ditentukan berdasarkan kesepakatan
bersama dalam bentuk persentase tertentu dari biaya;
3. Semua biaya yang dikeluarkan penjual dalam rangka memperoleh barang, seperti
biaya pengiriman, pajak, dan sebagainya dimasukkan ke dalam biaya perolehan.akan
tetapi, pengeluaran yang timbul karena usaha, tidak boleh dimasukkan dalam harga
suatu transaksi; dan
4. Murabahah dikatakan sah hanya ketika biaya-biaya perolehan barang dapat ditentukan
secara pasti. Jika biaya-biaya tidak dapat dipastikan, barang/komoditas tersebut tidak
dapat dijual.

b) Salam
Salam merupakan bentuk jual beli dengan pembayaran dimuka dan penyerahan
barang dikemudian hari dengan harga, spesifikasi, jumlah kualitas, tanggal dan tempat
penyerahan yang jelas, serta disepakati sebelumnya dalam perjanjian.
Barang yang diperjualbelikan belum tersedia pada saat transaksi dan harus diproduksi
terlebih dahulu, seperti produk-produk pertanian dan produk-produk fungible (barang yang
dapat diperkirakan dan diganti sesuai berat, ukuran, dan jumlahnya) lainnya. Barang-barang
non fungible seperti batu mulia, lukisan berharga, dan lain-lain yang merupakan barang
langka tidak dapat dijadikan objek salam (Al-Omar clan Abdel-Haq, 1996). Risiko terhadap
barang yang diperjualbelikan masih berada pada penjual sampai waktu penyerahan barang.
Pihak pembeli berhak untuk meneliti dan dapat menolak barang yang akan diserahkan apabila
tidak sesuai dengan spesifikasi awal yang disepakati.

Bila merujuk pada Al-Qur’an dan Sunnah, akad Salam merujuk pada salah satu surat dalam
qur’an yaitu Q.S. Al-Baqarah[2] : 282, yang artinya:
“Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu bermu’amalah tidak secara tunai untuk waktu
yang ditentukan, hendaklah kamu menuliskannya. Dan hendaklah seorang penulis di antara
kamu menuliskannya dengan benar. Dan janganlah penulis enggan menuliskannya
sebagaimana Allah mengajarkannya, meka hendaklah ia menulis, dan hendaklah orang yang
berhutang itu mengimlakkan (apa yang akan ditulis itu), dan hendaklah ia bertakwa kepada
Allah Tuhannya, dan janganlah ia mengurangi sedikitpun daripada hutangnya”

Rukun dari akad Salam yang harus dipenuhi dalam transaksi yaitu:
1. Pelaku akad, yaitu muslam (pembeli) adalah pihak yang membutuhkan dan memesan
barang, clan muslam ilaih (penjual) adalah pihak yang memasok atau memproduksi
barang pesanan;
2. Objek akad, yaitu barang atau hasil produksi (muslam fiih) dengan spesifikasinya dan
harga (tsaman); dan
3. Shighah, yaitu ijab dan qabul.
Syarat-syarat Salam yaitu:
1. Pembeli harus membayar penuh barang yang dipesan pada saat akad salam
ditandatangani;
2. Salam hanya boleh digunakan untuk jual beli komiditas yang kualitas dan
kuantitasnya dapat ditentukan dengan tepat;
3. Kualitas dari komoditas yang akan dijual dengan akad salam perlu mumpunyai
spesifikasi yang jelas tanpa keraguan yang dapat menimbulkan perselisihan;
4. Ukuran kuantitas dari komoditas perlu disepakati dengan tegas;
5. Tanggal dan tempat penyerahan barang yang pasti harus ditetapkan dalam kontrak;
dan
6. Salam tidak dapat dilakukan untuk barang-barang yang harus di serhkan langsung.

c) Istishna
Istishna adalah memesan kepada perusahaan untuk memproduksi barang atau
komidatas tertentu untuk pembeli/pemesan. Istishna merupakan salah satu bentuk jual beli
dengan pemesanan yang mirip dengan salam.
Jika perusahaan mengerjakan untuk memproduksi barang yang dipesan dengan bahan
baku dari perusahaan, maka kontrak/akad istishna muncul. Agar akad istishna menjadi sah,
harga harus ditetapkan di awal sesuai kesepakatan dan barang harus memiliki spesifikasi
yang jelas yang telah disepakati bersama. Dalam istishna pembayaran dapat dilakukan
dimuka, dicicil sampai selesai, atau dibelakang.

Landasan hukum akad Istishna :


Ayat yang menjadi landasan hukum istishna adalah QS. Al-Baqarah:275 yang artinya,
“dan Allah telah menghalalkan Jual Beli dan Mengharamkan Riba”

Rukun dari akad Istishna yang harus dipenuhi dalam transaksi yaitu:
1. Pelaku akad, yaitu mustashni’ (pembeli) adalah pihak yang membutuhkan dan
memesan barang, dan shani’ (penjual) adalah pihak yang memproduksi barang
pesanan;
2. Objek akad, yaitu barang atau jasa (mashnu’) daengan spesifikasinya dan harga
(tsaman); dan
3. Shighah, yaitu ijab dan qabul.

VII. Akad Pola Sewa


Transaksi nonbagi hasil selain yang berpola jual beli adalah transaksi berpola sewa
atau Ijarah. Ijarah biasa juga disebut sewa, jasa atau imbalan, adalah akad yang dilakukan
atas dasar suatu manfaat dengan imbalan jasa.

a) Ijarah
Sewa atau Ijarah dapat dipakai sebagai bentuk pembiayaan, pada mulanya bukan
merupakan bentuk pembiayaan, tatapi merupakan aktivitas usaha seperti jual beli. Individu
yang membutuhkan pembiayaan untuk membiayai pembelian aset produktif. Pemilik dana
kemudian membeli barang yang dimaksud dan kemudian menyewakannya kepada yang
membutuhkan aset tersebut.

Landasan Syariah Akad Ijarah:


Akad Ijarah dilandasi pada dalil Al-Qur’an yang terdapat pada QS. Ath-Thalaq ayat 6 yang
artinya,
“Tempatkanlah mereka (para isteri) di mana kamu bertempat tinggal menurut kemampuanmu
dan janganlah kamu menyusahkan mereka untuk menyempitkan (hati) mereka. Dan jika
mereka (isteri-isteri yang sudah ditalaq) itu sedang hamil, maka berikanlah kepada mereka
nafkahnya hingga mereka bersalin, kemudian jika mereka menyusukan (anak-anak)mu
untukmu maka berikanlah kepada mereka upahnya, dan musyawarahkanlah di antara kamu
(segala sesuatu) dengan baik; dan jika kamu menemui kesulitan maka perempuan lain boleh
menyusukan (anak itu) untuknya.”

Rukun dari akad Ijarah yang harus dipenuhi dalam transaksi yaitu:
1. Pelaku akad, yaitu musta’jir (penyewa) dalah pihak yang menyewaaset, dan
mu’jir/muajir (pemilik) adalah pihak pemilik yang menyewakan;
2. Objek akd, yaitu ma’jur (aset yang disewakan), dan ujarah 9harga sewa); dan
3. Shighah, yaitu ijab dan qabul.
Syarat harus dipenuhi agar hukum syariha terpenuhi yaitu:
1. Jasa atau manfaat yang akan diberikan oleh aset yang disewakan tersebut harus
ditentukan bersama dan diketahui dengan jelas oleh kedua belah pihak;
2. Kepemilikan aset tetap pada pemilik barang namun penyewa tetap bertanggung jawab
atas pemeliharaannya sehingga aset tersebut dapat terus memberi manfaat kepada
penyewa;
3. Akad Ijarah dihentikan pada saat aset yang bersangkutan berhenti memberikan
manfaat kepada penyewa; dan
4. Aset tidak boleh dijual kepada penyewa dengan harga yang ditetapkan sebelumnya
pada saat kontrak berakhir.

b) Ijarah Muntahiya Bittamlik


Ijarah Muntahiya Bittamlik adalah transaksi sewa dengan perjanjian untuk menjual
atau menghibahkan objek sewa diakhir periode sehingga transaksi ini diakhiri dengan alih
kepemilikan objek sewa.

VIII. Akad Pola Lainnya

a) Wakalah
Wakalah atau biasa disebut perwakilan, adalah perlimpahan kekuasaan oleh satu
pihak kepada pihak lain.

Rukun dari akad ini yaitu :


1. Pelaku akad, yaitu muwakil (pemberi kuasa) adalah pihak yang membrikan kuasa
kepada pihak lain, dan wakil (penerima kuasa) adalah pihak yang diberi kuasa;
2. Objek akad, yaitu taukil (objek yang dikuasakan); dan
3. Shighah, yaitu ijab dan qabul.
Sedangkan syaratnya yaitu:
1. Objek akad harus jelas dan dapat diwakilkan; dan
2. Tidak bertentangan dengan syariat islam.

b) Kafalah
Kafalah adalah jaminan, beban, atau tanggungan yang diberikan oleh penanggung
kepada pihak ketiga untuk memenuhi kewajiban pihak kedua atau yang di tanggung.

Landasan Syariah Akad Kafalah:


"Ya’kub berkata:”Aku sekali-kali tidak akan melepaskannya (pergi ) bersama-sama kamu,
sebelum kamu memberikan kepadaku janji yang teguh atas nama Allah, Bahwa kamu pasti
akan membawanya kepadaku kembali, kecuali jika kamu dikepung musuh” (QS. Yusuf : 66).

Rukun dari akad Kafalah yaitu:


1. Pelaku akad, yatiu kafil(penanggung) adalah pihak yang menjamin dan
makful(ditanggung), adalah pihak yang dijamin;
2. Objek akad, yaitu makful alaih (tertanggung) adalah objek penjamminan; dan
3. Shighah, yaitu ijab dan qabul.
Sedangkan syaratnya yaitu:
1. Objek akad harus jelas dan dapat dijaminkan; dan
2. Tidak bertentangan dengan syariat islam.

c) Hawalah
Hawalah adalah pengalihan utang/piutang dari orang yang berhutang/berpiutang
kepada orang lain yang wajib menanggungnya/menerimanya.

Rukun dari akad hawalah yaitu:


1. Pelaku akad, yaitu muhal adalah pihak yang berhutang, muhil adalah pihak yang
mempunyai piutang, dan muhal ‘alaih adlaah pihak yang mengambilalih
utang/piutang;
2. Objek akad, yaitu muhal bih (utang); dan
3. Shighah, yaitu ijab dan qabul.
Sedangkan syaratnya yaitu:
1. Persetujuan para pihak terkait; dan
2. Kedudukan dan kewajiban para pihak.

d) Rahn
Rahn adalah pelimpahan kekuasaan oleh satu pihak kepada pihak lain (bank) dalam
hal-hal yang boleh diwakilkan. Atas jasanya, maka penerima kekuasaan dapat meminta
imbalan tertentu dari pemberi amanah.

Landasan Syariah Akad Rahn:


“Jika kamu dalam perjalanan (dan bermu’amalah tidak secara tunai) sedang kamu tidak
memperoleh seorang penulis, maka hendaklah ada barang tanggungan yang dipegang (oleh
yang berpiutang). Akan tetapi jika sebagian kamu mempercayai sebagian yang lain, maka
hendaklah yang dipercayai itu menunaikan amanatnya (hutangnya) dan hendaklah ia
bertaqwa kepada Allah Rabbnya; dan janganlah kamu (para saksi) menyembunyikan
persaksian. Dan siapa yang menyembunyikannya, maka sesungguhnya ia adalah orang yang
berdosa hatinya; dan Allah Mengetahui apa yang kamu kerjakan.” (QS. 2:283).

Rukun dari akad rahn yaitu:


1. Pelaku akad, yaitu rahin (yang menyerahkan barang), dan murtahin(penerima barang)
2. Objek akad, yaitu marhun (barang jaminan) dan marhun bih (pembiayaan); dan
3. Shighah, yaitu ijab dan qabul.
Sedangkan syaratnya yaitu:
1. Pemeliharaan dan penyimpanan jaminan; dan
2. Penjualan jaminan.

e) Sahrf
Merupakan jual beli valuta dengan valuta lain.

Rukun dari akad ini yaitu:


1. Pelaku akad, yaitu penjuual dalah pihak yang memiliki valuta untuk dijual, dan
pembeli adalah pihak yang memerlukan dan akan membeli valuta;
2. Objek akad, yaitu sharf (valuta) dan si’rus sharf (nilai tukar); dan
3. Shighah, yaitu ijab dan qabul.
Syaratnya yaitu:
1. Valuta (sejinis atau tidak sejenis). Apabila sejenis, harus ditukarkan dengan jumalh
yang sama. Apabila tidak sejenis, pertukaran dilakukan sesuai dengan nilai tukar; dan
2. Waktu penyerahan.

f) Ujr
Merupakan imbalan yang diberikan atau yang diminta atas suatu pekerjaan yang
dilakukan. Akad Ujr diaplikasikan pada produk-produk jasa keuangan bank syariah, seperti
untuk penggajian, penyewaan, penggunaan ATM, dan sebagainya.
BAB III

PENUTUP

Kesimpulan
Dari pembahasan diatas dapat disimpulkan bahwa ada banyak sekali akad-akad pada
bank syariah yang memiliki kaitan dengan produk atau kegiatan bank syariah, dari kegiatan
penyimpanan, penyaluran, dan jasa, semua memiliki akadnya tersendiri. Setiap akad tersebut
memilik berbagai rukun dan syarat yang harus dipenuhi agar sesuai dengan hukum-hukum
islam yang berlaku.
DAFTAR PUSTAKA

Ascarya. Akad dan Produk Bank Syariah. Cet. 4. Jakarta: Rajawali Pers. 2013
Widya, Karnaen, Gemala, Yeni. Bank dan Asuransi Islam di Indonesia. Cet. 2. Jakarta:
Pustaka Grafika. 2006

Anda mungkin juga menyukai