Disusun oleh:
Ayu Elita Sari (30101306889)
Pembimbing:
dr. Bambang Sugeng Sp. B
ABSTRAK
Tujuan : Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengevaluasi kelayakan dan
keamanan pengobatan nonoperatif apendisitis akut nonperforasi berupa
pemberian antibiotik pada anak-anak.
Metode : Sebuah penelitian dengan rancangan pilot RCT dilakukan untuk
membandingkan pengobatan nonoperatif dengan antibiotik versus operasi
(apendiktomi) untuk apendisitis akut pada anak-anak. Pasien dengan pencitraan
yang dikonfirmasi apendisitis akut nonperforasi yang biasanya harus dilakukan
apendiktomi emerjensi diacak baik terhadap pengobatan dengan antibiotik atau
operasi. Follow-up dilakukan selama 1 tahun.
Hasil : Lima puluh pasien yang terlibat; 26 diacak mendapatkan pengobatan
operasi dan 24 mendapatkan pengobatan nonoperatif dengan antibiotik. Semua
anak dalam kelompok operasi memiliki histopatologi yang sudah dikonfirmasi
apendisitis akut, dan tidak ada komplikasi yang signifikan pada kelompok ini.
Dua dari 24 pasien dalam pengobatan nonoperatif mendapatkan apendiktomi dari
jarak waktu pertama mendapatkan antibiotik primer dan satu pasien setelah 9
bulan mengalami apendisitis akut berulang. Enam pasien lainnya menjalani
apendiktomi karena nyeri abdominal berulang (n=5) atau pengobatan parenteral
(n=1) selama periode follow-up, tidak ada dari 6 pasien ini mengalami apendisitis
terbukti dari pemeriksaan histopatologi.
Kesimpulan: Dua puluh dua dari 24 pasien (92%) yang diobati dengan antibiotik
memiliki resolusi awal dari gejala. Dari jumlah 22, hanya 1 pasien (5%)
mengalami kekambuhan apendisitis akut selama periode follow-up. Secara
keseluruhan, 62% pasien tidak medapatkan apendiktomi selama periode follow-
up. Studi ini menunjukkan bahwa pengobatan nonoperatif apendisitis akut pada
anak-anak adalah layak dan aman dan bahwa penyelidikan lebih lanjut
pengobatan nonoperatif dijamin keabsahannya.
Kata kunci: antibiotik, apendisitis, anak-anak, RCT, pembedahan
Latar belakang
METODE
Rancangan Penelitian
Penelitian ini membandingkan pengobatan nonoperatif (antibiotik) dengan
tindakan operasi untuk apendisitis akut nonperforasi pada anak-anak. Diagnosis
dilakukan dengan cara kombinasi dari gejala klinis dan pencitraan. Semua anak
menjalani scan ultrasound abdominal, dan CT scan yang dilakukan ketika terdapat
ketidakpastian diagnostik. Umur, jenis kelamin, durasi gejala, suhu tubuh, dan
protein C-reaktif, sel darah putih, dan konsentrasi neutrofil dicatat.
Partisipan
Semua anak yang berumur antara 5 dan 15 tahun dengan diagnosis klinis
apendisitis akut yang sebelum penelitian sudah direncanakan untuk apendiktomi,
termasuk appendicolit, adalah memenuhi syarat. Kriteria eksklusi adalah (1)
kecurigaan apendisitis perforasi berdasarkan pada peritonitis general; (2) sebuah
massa appendiceal, yang didiagnosa dengan pemeriksaan klinis dan/atau
pencitraan; atau (3) pengobatan nonoperatif sebelumnya dari apendisitis akut.
Setting Penelitian
Penelitian ini dilakukan di Astrid Lindgren Children’s Hospital, Karolinska
University Hospital, Stockholm, Sweden. Rumah sakit ini adalah satu-satunya
rumah sakit dengan pelayanan bedah anak yang berjarak antara area the greater
Stockholm dan melayani populasi dengan jumlah mendekati 2,5 juta penduduk.
Intervensi
Pendaftaran dalam penelitian ini adalah setelah dokter bedah membuat diagnosis
apendisitis akut, semua pasien dan keluarganya menerima informasi tertulis dan
oral mengenai penelitian, dan semua pasien dan keluarganya disediakan inform
konsen tertulis untuk berpartisipasi. Anak-anak dengan apendisitis akut
nonperforasi secara acak dialokasikan baik untuk apendiktomi maupun
pengobatan dengan antibiotik. Semua pasien yang dialokasikan untuk dilakukan
pembedahan menerima antibiotik profilaksis yaitu 20 mg/kg metronidazole.
Antibiotik lanjutan kelompok ini tergantung pada keparahan apendisitis dalam
persetujuan dengan praktek kelembagaan. Kasus dengan apendisitis simple atau
phlegmonous tidak menerima antibiotik lanjutan, pasien dengan apendisitis
gangren menerima 24 jam intravena trimethoprim/sulfametoxazol/metronidazole,
dan pasien dengan apendisitis perforasi menerima paling sedikit 3 hari intravena
trimethoprim/sulfametoxazol/metronidazole, tergantung pada perjalanan klinis.
Cara perlakuan dari dokter bedah (open atau laparoskopi) tidak ditetapkan di
dalam protokol penelitian. Anak-anak yang dialokasikan untuk pengobatan
antibiotik diberi intravena meropenem (10 mg/kg x 3 per 24 jam) dan
metronidazole (20 mg/kg x 1 per 24 jam) untuk paling sedikit 48 jam. Ketika anak
secara klinis sudah bisa dengan baik mempunyai toleransi untuk menerima obat
secara oral, pengobatan diubah ke oral ciprofloxacin (20 mg/kg x 2 per 24 jam)
dan metronidazole (20 mg/kg x 1 per 24 jam) untuk 8 hari lainnya. Protokol
menetapkan bahwa anak-anak harus dipuasakan untuk 24 jam pertama, tetapi pada
praktisnya, kami menemukan ini sulit diterapkan karena anak-anak secara klinis
baik dan menuntut untuk minum dan makan lebih awal. Kriteria untuk
membebaskan adalah sama untuk kedua kelompok perlakuan, yaitu mereka yang
afebris selama 24 jam, dengan atau tanpa antibiotik oral, adekuat pereda nyeri
dengan analgesik oral, menolerir diet ringan, dan gerakan.
HASIL
Ukuran Sample
Karena ini adalah penelitian pilot, kami tidak melakukan kekuatan kalkulasi.
berdasarkan pada banyaknya kasus mendekati 400 kasus dan mengestimasikan
perekrutan 1/3 dari kasus yang bisa dimasukkan ke dalam penelitian, kami
bertujuan untuk memasukkan 50 pasien dengan jarak periode 6 bulan.
Randomisasi
Alokasi grup (rasio 1:1) dibuat berdasarkan berat badan pada saat penelitian
menggunakan kriteria berikut: umur (5-10 tahun atau 11-15 tahun), jenis kelamin
(laki-laki atau perempuan), dan durasi gejala (<48 atau >-48 jam). semua faktor
disamakan berat badannya. pengacakan dilakukan dengan menggunakan program
computer-based randomization (Simin v 6.0; Institue of Child Health, London),
dilakukan rangkaian pengacakan.
Blinding
Metode Statistik
Data dipresentasikan sesuai dengan proporsi partisipan atau median (range), data
dibandingkan menggunakan test Mann-Whitney U atau Fisher jika
memungkinkan, menggunakan IBM SPSS Statistik version 22. percobaan ini
berdasarkan pada CONSORT.
Persetujuan Etika
RESULT
HASIL UTAMA
Semua anak diacak untuk operasi laparoskopi apendiktomi dengan teknik 3-port.
pemeriksaan histologi mengkonfirmasi diagnosis apendisitis akut dalam semua
kasus (yaitu, tidak ada apendisitis negatif, 21 apendisitis phlegmonous, 3
apendisitis gangren, dan 2 apendisitis perforasi), dan tidak ada komplikasi yang
signifikan dalam kelompok ini.
HASIL SEKUNDER
Selama masa follow-up 1 tahun, tidak ada komplikasi kecil atau signifikan
pada kelompok operasi apendiktomi. Pada kelompok pengobatan nonoperatif,
tidak ada komplikasi minor. Namun, 1 anak menjalani apendiktomi untuk
pemeriksaan secara histopatologi mengkonfirmasi apendisitis akut berulang 9
bulan setelah randomisasi dan 1 anak asimptomatik menjalani (secara
histopatologi normal) apendiktomi sesuai permintaan orangtua. Lebih lanjut 5
anak kembali dengan nyeri perut ringan dan menjalani laparoskopi apendiktomi di
dokter bedah dan kebikjasanaan orangtua. Semua memiliki variasi fibrosis tapi
tidak ada peradangan. Dalam semua kasus, gejala diperbaiki setelah operasi. Oleh
karena itu, setelah 1 tahun foloow-up, 15 dari 24 anak (62%) dari randomisasi
yang mendapatkan pengobatan antibiotik tidak menjalani apendiktomi.
Dua belas anak memiliki diagnosis appendicolith pada pencitraan, 7 dari
26 pada kelompok apendiktomi dan 5 dari 24 pada kelompok pengobatan
nonoperatif (P = 0,74). Dari 5 anak dengan appendicolith pada kelompok
pengobatan nonoperatif, 3 menjalani apendiktomi (tidak seperti kegagalan utama,
1 karena apendisitis akut berulang, 1 karena gejala berulang tanpa apendisitis, dan
1 atas permintaan orang tua). Demikian, pada kelompok pengobatan nonoperatif,
2 anak dengan appendicolith tidak menjalani apendiktomi dalam waktu 1 tahun
follow-up, dan dari total 9 yang telah menjalani operasi apendiktomi, hanya 3
memiliki appendicolith pada pencitraan di presentasi awal.
Waktu dari pengacakan ke pembebasan aktual pulang ke rumah dihitung
untuk setiap peserta. Median waktu secara signifikan lebih pendek pada kelompok
operasi [34,5 (16,2-95,0) jam] daripada kelompok pengobatan nonoperatif [51,5
(29,9-86,1) jam] (P =0,0004). Meskipun demikian, biaya untuk awal rawat inap
secara signifikan lebih rendah untuk kelompok pengobatan nonoperatif [30732
(18,980- 63.863) SEK] dibandingkan kelompok operasi [45805 (33,042-94,638)
SEK] (P <0,0001).
Total biaya pengobatan, termasuk biaya pasien yang menjalani operasin
apendiktomi selama masa follow-up, mirip pada kedua kelompok pengobatan
nonoperatif 34.587 (19,120-146.552) SEK vs operasi 45.805 (33,042-94,638)
SEK] (P = 0,11).
DISKUSI
Pertimbangan penting bagi dokter bedah dan orang tua setelah sukses
pengobatan nonoperatif apendisitis akut adalah pada lampiran. Dalam studi ini,
kami tidak menawarkan interval apendiktomi rutin. Manfaat potensial dari
pengobatan nonoperatif adalah menghindari apendiktomi (dan anestesi umum
terkait) sama sekali. Agar manfaat ini diwujudkan, tingkat apendisitis berulang
harus rendah dan diterima baik oleh dokter bedah dan orang tua. Dalam penelitian
ini, ada satu kasus secara histologi terbukti apendisitis berulang selama periode
follow-up (5%). Namun, 6 anak lebih lanjut menjalani apendiktomi dalam 1 tahun
masa follow-up untuk alasan lain selain apendisitis akut berulang termasuk salah
satunya adalah permintaan orangtua. Karena ini adalah uji coba pilot strategi
pengobatan baru (antibiotik untuk apendisitis pada anak-anak), kami secara bebas
berkaitan dengan indikasi untuk operasi apendiktomi selama masa follow-up
diantara anak-anak pada kelompok pengobatan nonoperatif. Ada kemungkinan
bahwa pasien dalam kelompok ini tidak akan menjalani operasi jika mereka
mempunyai gejala di luar peraturan penelitian. Hal ini berkontribusi terhadap
tingginya tingkat operasi selama masa follow-up dan menimbulkan pertanyaan
penting tentang apakah ada pengobatan yang tepat untuk usus buntu pada anak-
anak yang berhasil dipulangkan ke rumah setelah pengobatan nonoperatif.