Anda di halaman 1dari 20

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Imunohistokimia merupakan suatu cara pemeriksaan untuk mengukur
derajat imunitas atau kadar antibodi atau antigen dalam sediaan jaringan.
Pewarnaan sediaan jaringan menimbulkan ikatan antibodi pada antigen di
permukaan atau didalam sel yang selanjutnya dapat dideteksi dengan cara dilabel
dengan enzim, isotop, fluoropore,atau coloidal gel. Untuk mempelajari morfologi
sel, sel dalam jaringan difiksasi kemudian dilokalisasi diantara sel dan
divisualisasikan dengan mikroskop elektron atau mikroskop cahaya.
Teknik imunohistokimia dapat digunakan untuk mempelajari distribusi enzim
yang spesifik pada struktur sel intak (normal/lengkap), mendeteksi komponen sel,
biomakro molekul seperti protein, karbohidrat. Imunohistokimia merupakan
teknik deteksi yang sangat baik dan memiliki keuntungan yang luar biasa untuk
dapat menunjukkan secara tepat di dalam jaringan mana protein tertentu yang
diperiksa. Teknik ini telah digunakan dalam ilmu saraf, yang memungkinkan
peneliti untuk memeriksa ekspresi protein dalam struktur otak tertentu.
Kekurangan dari teknik ini adalah kurang spesifik terhadap protein tertentu tidak
seperti teknik imunoblotting yang dapat mendeteksi berat molekul protein dan
sangat spesifik terhadap protein tertentu. Teknik ini banyak digunakan dalam
diagnostik patologi bedah terhadap kanker, tumor, dan sebagainya.
Synapsin adalah fosfoprotein dalam vesikel sinaptik yang di produksi dari
single primodial syn gen yang terletak di pre sinapatik. Synapsin diregulasi oleh
BDNF yang merupakan neutropin yang membantu stimulasi dan mengontrol
neurogensis paling aktif pada hipokampus (Fornasiero et al., 2010). Synapsin
merupakan fosfoprotein spesifik terminal saraf dan berperan dalam pemanjangan
akson (regulasi aksonogenesis), pemeliharaan kontak sinaptik (sinaptogenesis)
dan pengeluaran neurotransmitter (Evergren et al., 2007). Semakin banyak
neurotransmitter yang terbentuk dan koneksi antar neuron yang terbentuk, maka
banyak sinaps yang terbentuk sehingga informasi lebih cepat diproses, maka
diharapkan semakin cerdas (Hermanto, 2013). Periode ini merupakan kesempatan

1
terbesar untuk memberikan stimulasi dan nutrisi optimal untuk memastikan
perkembangan normal dan mendukung kecepatan pemprosesan di otak agar
kualitas otak bertambah, sehingga dapat mempengaruhi perilaku dimasa depan
seperti mempengaruhi emosi, kemampuan belajar dan mengingat (Hermanto,
2013).

1.2 Rumusan Masalah


1. Bagaimana konsep tentang synapin?
2. Bagaimana konsep tentang imunohistokimia?
3. Bagaimana proses pemeriksaan synapsin dengan imunohistookimia?
4. Bagaimana pengolahan data dan pembacaan imunohistokimia?

1.3 Tujuan
1. Memahami konsep tentang synapin
2 Memahami konsep tentang imunohistokimia
3 Memahami proses pemeriksaan synapsin dengan imunohistookimia
4 Memahami pengolahan data dan pembacaan imunohistokimia

2
BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Synapsin
2.1.1 Definisi Synapsin
Perkembangan saraf terjadi akibat proses koneksi antara neuron satu ke
neuron lainnya untuk melakukan, memberikan, menerima dan mengintegrasikan
informasi serta sinyal kimia dalam jaringan saraf fungsional (Valtorta et al.,
2011). Sistem saraf pada setiap organisme memberikan kemampuan untuk
merasakan dan merespon sinyal eksternal secara tepat. Rangsangan yang berbeda
akan diterima, diproses dan diintegrasi oleh otak kita, penanganan yang benar dari
semua informasi ini membutuhkan berbagai koordinasi pada tingkat seluler dan
jaringan. Dasar dari regulasi ini terletak pada sinapsis, situs kontak antar neuron.
Pada proses pra-sinaptik, rangsangan listrik akan diterjemahkan ke dalam sinyal
kimia yaitu pelepasan neurotransmitter (NTS), yang kemudian diakui dan
diterjemahkan ke dalam respon biologis yang tepat (listrik, metabolik, atau
keduanya) pada proses pasca-sinaptik . Aksi gabungan dari sinapsis ini bekerja di
daerah otak yang berbeda untuk pembentukan fungsi otak seperti memori dan
belajar (Cesca et al., 2010).
Synapsin adalah fosfoprotein neuron spesifik terkait dengan vesikel sinaptik
yang terlibat dalam pengembangan neuron dan fungsi sinaptik. Synapsin terdapat
pada vertebrata dan invertebrata. Dalam vertebrata mereka dikodekan pada tiga
gen berbeda yang disebut synapsin I,II dan III. Synapsin mengikat vesikula
sinaptik dengan komponen sitoskeleton yang mencegah mereka bermigrasi ke
membrane presinaptik dan melepaskan neurotransmitter. Selama potensial aksi,
synapsin difosforilasi oleh PKA (cAMP dependen protein kinase) melepaskan
vesikula sinaptik dan memungkinkan untuk pindah ke membrane dan melepaskan
neurotransmitter (Valtorta et al., 2011).
Struktural primer synapsin mengungkapkan pola urutan dan ketidaksamaan
model domain protein. Di NH2 terminus, semua synapsin homologi dalam
domain A residu yang mencakup mewakili fosforilasi untuk protein kinase A dan
2+
Ca atau protein yang bergantung pada CaM kinase I, menunjukkan bahwa

3
fosforilasimenjadi pengaturan yang penting. Homologi paling luas ditemukan
dalam domain C, wilayah besar (sekitar 300 asam amino) yang mewakili inti
pusat dari synapsin. Identitas asam amino lebih dari 50% antara synapsin
vertebrata dan invertebrate memprediksi bahwa domain C penting bagi banyak
fungsi synapsin (Cesca et al., 2010).

Synapsin merupakan protein amphipathic yang berikatan dengan membran


biologis dengan afinitas yang kuat dan menstabilkan fosfolipid bilayer. Synapsin
juga memiliki sensor pengemasan lipid amphipathic yang memungkinkan
penyisipan kedalam membrane. Synapsin terlibat dalam pembentukan neurit,
regulasi neurogenesis,
Gambar 2.1.pemanjangan akson,
Domain struktur maturasi
synapsin sinap
(Cesca dan2010)
et al., synaptogenesis
(Kao et al., 2017). Synapsin adalah regulator dari synaptic vesicles (SV) di
terminal presinaptik. Fungsi synapsin mengatur transmisi sinaptik dengan
mengendalikan penyimpanan dan mobilisasi SVs dalam reserve pool (RP) namun
synapsin juga mempengaruhi tahap lain dari jalur perjalanan SV, termasuk fusi
SV dengan membrane plasma dan berperan dalam endositosis (Song dan
Augustine, 2015).
Synapsin berasal dari single primordial syn gene pada masa perkembangan
neuron awal didalam kandungan. Syn – I diekspresikan lebih banyak setelah lahir
dan sebagai marker synaptogenesis, ekspresi syn-I dan syn-II meningkat sampai
akhir perkembangan saraf. Sedangkan synapsin-III diekspresikan pada fase awal
perkembangan saraf saat masih dalam kandungan dan akan berkurang setelah
lahir (Marte et al., 2016).
Lebih dari 90% dari neurotransmitter diotak terjadi di sinapsis melalui
eksositosis cepat Ca 2+ yang diatur dari vesikula sinaptik kecil. Vesikula sinaptik

4
relative stabil dan tidak berfusi secara acak dengan membrane plasma, organel
lain, atau satu sama lain. Sebaliknya mereka menjalani fusi yang dikontrol dengan
area khusus dari membrane plasma yang disebut zona aktif (Cesca et al., 2010).
Setelah eksositosis vesikula sinaptik direformasi secara local melalui beberapa
jalur endositik dan digunakan kembali untuk putaran berikutnya. Meskipun
seragam dalam ukuran dan bentuk, vesikula sinaptik tidak secara fungsional sama.
Mekanisme molekuler yang mengatur ukuran dan vesikel sinaptik belum dapat
dijelaskan. Studi ekstensif selama 30 tahun terakhir menunjukkan bahwa domain
fosfoprotein sinaptik berlimpah yang disebut synapsin berpartisipasi dalam
mempertahankan stabilitas dan penyatuan organisasi vesikel sinaptik (Cesca et
al., 2010).

2.1.2 Macam-macam synapsin


1. Synapsin-I
Synapsins jumlahnya banyak terdapat di sebagian besar sel saraf. Jenis
neuron yang berbeda memiliki perbedaan distribusi dari isoformnya, synapsins-I
dan II menjadi isoform utama pada neuron. Synapsin-I dikaitkandengan
pemanjangan akson dan regulasi kinetika fusi synaptic vesicles. Kedua isoform
sinapsin Ia dan Ib berfungsi dalam pembentukan sinaps dan meminimalkan
deplesi neurotransmiter pada penghambatan sinaps dengan berkontribusi pada
penahan synaptic vesicles. Synapsin-I juga berperan pada sinaptogenesis dan
memodulasi pelepasan neurotransmiter. Perubahan synaptic vesicles di terminal
presinaptik dapat mengakibatkan pengurangan pelepasan neurotransmiter dan
tertundanya pemulihan transmisi sinaptik setelah deplesi neurotransmiter (Mirza
dan Zahid, 2018).

5
Gambar 2.2 Synapsin-I dan synaptic vesicles. Pengikatan synapsins ke synaptic
vesicles diatur oleh keadaan fosforilasi. Dalam keadaan
terdefosforilasi, synapsin berikatan dengan synaptic vesicles,
sementara pada fosforilasi synapsin memisahkan diri dari vesikel dan
memobilisasi, memungkinkan untuk akhirnya eksositosis. Fosforilasi
Synapsin-I berperan penting dalam media perjalanan synaptic
vesicles (Mirza dan Zahid, 2018)
2. Synapsin-II
Synapsin-II berperan dalam proses seluler yang serupa dengan synapsin-I.
Synapsin-II berperan dalam synaptogenesis dan sebagai komponen penting dari
siklus synaptic vesicles melalui keterlibatannya dalam docking vesikel. Isoform
synapsin IIa mengatur reserve pool vesikuler pada sinapsis glutamatergik,
synapsin IIb dalam pembentukan terminal presinaptik (Mirza dan Zahid, 2018).
3. Synapsin -III
Perkembangan synapsin-III dikendalikan dan diekspresikan pada fase awal
perkembangan saraf, namun perannya dalam pengaturan sinaptogenesis,
neurogenesis, dan plastisitas neuron disebabkan oleh perpanjangan proses aktif
dan perubahan dalam diferensiasi aksonal. Pengaturan pelepasan neurotransmitter
oleh synapsin-III berlangsung dengan cara yang berbeda dari isoform lainnya.
Sebagai contoh, Knockout (KO) synapsin-III menyebabkan penurunan depresi
sinaptik dan peningkatan ukuran synaptic vesicles pool. Pada tikus yang kurang
synapsin-III tidak menunjukkan pelepasan neurotransmiter abnormal pada
exitatory synapses tetapi hanya pada inhibitory synapses. Selain itu, lokalisasi
synapsin-III berbeda, banyak pada ekstrasynaptic dan dalam pertumbuhan

6
hippocampal neuron, tidak seperti synapsin-I dan synapsin-II yang ditemukan
terutama di terminal saraf presinaptik (Mirza dan Zahid, 2018).

2.1.3 Fungsi Synapsin


Beberapa pendekatan telah digunakan untuk menguji fungsi synapsin dalam
regulasi pelepasan neurotransmitter. Lebih lanjut, injeksi antibodi anti-synapsin
atau peptida yang berasal dari domain E ke axrey reticulospinal lamprey atau
sinapsis mengakibatkan penipisan vesikula sinaptik dari membran plasma tetapi
tidak berpengaruh pada jumlah vesikel yang merapat. Terminal saraf yang
diinjeksi menunjukkan aktivitas normal di bawah stimulasi frekuensi rendah tetapi
dengan cepat ditekan pada stimulasi frekuensi tinggi (Xu et al., 2013). Hasil ini
dikombinasikan dengan pengamatan biokimia bahwa synapsin reversible cross-
link vesikel sinaptik satu sama lain untuk elemen sitoskeletal di sinapsis, dan
mengatur ketersediaannya untuk eksositosis. Dalam model ini, fosforilasi sinapsin
melakukan peran regulasi penting dengan memengaruhi interaksi synapsin dengan
fosfolipid dan protein sitoskeletal (Khvotchev dan Sun, 2009).

Gambar 2.3 Skema interaksi synapsin (Cesca et al., 2010)


Fosfopoprotein berperan dalam regulasi aksonogenesis dan synaptogenesis.
Protein berfungsi sebagai substrat untuk beberapa protein kinase yang berbeda
dan fosforilasi dapat berfungsi dalam pengaturan protein ini di terminal saraf
(Fuller, Dailey, dan Castejo, 2004)

7
Gambar 2.4 Perkembangan neuron dan synapsin (Valtorta et al., 2011).
2.1.4 Regulasi ekspresi synapsin
Peran ganda Brain-derived neurotrophic factor (BDNF) dalam
perkembangan neuron yaitu maturasi sinaps dan plastisitas sinaps. Selain efek
perkembangan jangka panjang, BDNF secara akut mempengaruhi transmisi
sinaptik dan sifat fisiologis neuron lainnya. Efek akut dari BDNF adalah untuk
meningkatkan frekuensi miniature excitatory postsynaptic currents (mEPSC),
menunjukkan peningkatan pelepasan glutamat spontan dari terminal presinaptik.
BNDF juga mengatur pengeluaran GABA presinaptik, baik yang tidak
memiliki efek, meningkatkan atau menurunkan frekuensi miniature inhibitory
postsynaptic currents (mIPSCs) (Cheng et al., 2017). Mekanisme pensinyalan
yang mendasari tindakan presinaptik BDNF sulit dipahami. Setelah berikatan
dengan reseptor TrkB, BDNF mengaktifkan molekul sinyal phospholipase C
(PLC), MAP kinase (MAPK) dan PI3K. BDNF dapat meningkatkan kadar
kalsium intraseluler yang mendasari peningkatan pelepasan glutamat spontan.
Kenaikan kadar kalsium presinaptik dapat disebabkan oleh aktivasi jalur PLC
yang dapat mengaktifkan masuknya kalsium melalui saluran TRPC dan atau
pelepasan kalsium dari intraseluler (Cheng et al., 2017).

8
Gambar 2.6 Dua model jalur pensinyalan aksi BDNF pada glutamatergic synapsis
(Cheng et al., 2017)
Aksi BDNF presinaptik juga melibatkan synapsin yang mengatur pelepasan
berbagai neurotransmiter. Synapsin terlibat dalam peningkatan BDNF dari
pelepasan glutamat. Setiap isoform synapsin mengandung bagian untuk fosforilasi
oleh beberapa protein kinase, termasuk MAPK dan bagian tersebut terlibat
sebagai substrat untuk fosforilasi MAPK selama pensinyalan BDNF. Terdapat dua
jalur dalam aksi BDNF presinaptik yaitu TRPC-channel mediated calcium influx
dan MAPK-mediated synapsin phisphorylation yang membuat kontribusi kinetik
berbeda untuk peningkatan BDNF pelepasan glutamat spontan. Jalur TRPC-
channel mediated calcium influx juga meningkatkan pelepasan GABA spontan,
meskipun efek ini biasanya dihambat oleh synapsins dalam kondisi fisiologis
(Cheng et al., 2017). Regulasi ekspresi sinapsin diatur oleh IGF I dan BDNF,
yang memiliki mekanisme sinyal yang sama sehingga dapat menggabungkan
sinyal cascade p-CAMKII and p-MAPKII (Ding et al., 2006).

2.2 Imunohistokimia
2.2.1 Pengertian
Imunohistokimia (IHC) merupakan proses mendeteksi antigen (misalnya
protein) dalam sel dari bagian jaringan dengan memanfaatkan prinsip antibodi
yang mengikat secara khusus untuk antigen dalam jaringan biologis. IHC berasal

9
dari kata "immuno", yaitu antibodi yang digunakan dalam prosedur, dan "histo,"
yang berarti jaringan (dibandingkan dengan immunocytochemistry).
Imunohistokimia adalah metode untuk mendeteksi keberadaan antigen spesifik di
dalam sel suatu jaringan dengan menggunakan prinsip pengikatan antara antibodi
(Ab) dan antigen (Ag) pada jaringan hidup. Pemeriksaan ini membutuhkan
jaringan dengan jumlah dan ketebalan yang bervariasi tergantung dari tujuan
pemeriksaan. Teknik imunohistokimia bermanfaat untuk identifikasi, lokalisasi,
dan karakterisasi suatu antigen tertentu, serta menentukan diagnosis, therapi, dan
prognosis kanker. Teknik ini diawali dengan pembuatan irisan jaringan (histologi)
untuk diamati dibawah mikroskop.
Interaksi antara antigen-antibodi adalah reaksi yang tidak kasap mata.
Tempat pengikatan antara antibodi dengan protein spesifik diidentifikasi dengan
marker yang biasanya dilekatkan pada antibodi dan bisa divisualisasi secara
langsung atau dengan reaksi untuk mengidentifikasi marker. Marker dapat berupa
senyawa berwarna (Luminescence), zat berfluoresensi (fluorescein, umbelliferon,
tetrametil rodhamin), logam berat (colloidal, microsphere, gold, silver) label
radioaktif dan enzim ( Horse Radish Peroxidase (HRP) dan alkaline phosphatase).
Enzim (yang dipakai untuk melabel) selanjutnya direaksikan dengan substrat
kromogen (yaitu substrat yang menghasilkan produk akhir berwarna dan tidak
larut) yang dapat diamati dengan mikroskop bright field (mikroskop bidang
terang). Akan tetapi seiring berkembangnya ilmu pengetahuan khususnya dunia
biologi, teknik imunohistokimia dapat langsung diamati (tanpa direaksikan lagi
dengan kromogen yang menghasilkan warna) dibawah mikroskop fluorescense.

2.2.2 Metode Imunohistokimia


1. Metode Direct
Prinsip dari metode imunohistokimia direct adalah menggunakan
antibodi primer yang sudah terlabel dan berikatan langsung dengan
antigen target secara langsung. Metode langsung (direct method)
merupakan metode pengecatan satu langkah karena hanya melibatkan 1
jenis antibodi, yaitu antibodi yang terlabel, contohnya antiserum
terkonjugasi fluorescein isothiocyanate (FITC) atau rodhamin
Pada metode direct, antibodi spesifik yang mengenali antigen jaringan

10
akan dimodifikasi dengan mengkonjugasikan molekul indikator pada
antibodi tersebut. molekul indikator tersebut dapat berupa molekul yang
berpendar seperti biotin atau enzim peroksidase, sehingga apabila
diberikan substrat akan memberikan warna pada jaringan tersebut.
2. Metode Indirect
Prinsip metode imunohistokimia indirect menggunakan antibodi primer
yang tidak ada labelnya, namun digunakan juga antibodi sekunder yang
sudah memiliki label dan akan bereaksi dengan IgG dari antibodi primer.
Metode tidak langsung (indirect method) menggunakan dua macam
antibodi, yaitu antibodi primer (tidak berlabel) dan antibodi sekunder
(berlabel). Antibodi primer bertugas mengenali antigen yang
diidentifikasi pada jaringan (first layer), sedangkan antibodi sekunder
akan berikatan dengan antibodi primer (second layer). Antibodi kedua
merupakan anti-antibodi primer. Pelabelan antibodi sekunder diikuti
dengan penambahan substrat berupa kromogen. Kromogen merupakan
suatu gugus fungsi senyawa kimiawi yang dapat membentuk senyawa
berwarna bila bereaksi dengan senyawa tertentu.
Penggunaan kromogen fluorescent dye seperti FITC, rodhamin, dan
Texas-red disebut metode immunofluorescence, sedangkan penggunaan
kromogen enzim seperti peroksidase, alkali fosfatase, atau glukosa
oksidase disebut metode immunoenzyme. Pada metode ini antibodi
spesifik yang mengenali antigen jaringan disebut sebagai antibodi primer
dan tidak dilakukan modifikasi pada antibodi ini. Namun diperlukan
antibodi lain yang dapat berikatan dengan antibodi primer yang disebut
dengan antibodi sekunder. Antibodi sekunder ini dimodifikasi sehingga
memiliki molekul indikator pada antibodi tersebut. Setiap 1 antibodi
primer dapat dikenali oleh lebih dari 1 antibodi sekunder, oleh karena
itu, setelah diberikan substrat akan terbentuk warna yang lebih jelas pada
jaringan tersebut.
3. Metode Peroxidase – anti – Peroxidase (PAP)
Metode Peroksidase adalah analisis imunohistokimia menggunakan tiga
molekul peroksidase dan dua antibodi yang membentuk seperti roti

11
sandwich. Teknik ini memanfaatkan afinitas antibodi terhadap antigen
(enzim) untuk membentuk kompleks imun stabil sebagai perlawanan
terhadap proses kimia terkonjugasi Fitur unik dari prosedur ini adalah
larutan enzim – antibodi dan kompleks imun PAP. Enzim Horseradish
Peroksidase, protein imunogenik, digunakan untuk menyuntik spesies
tertentu dan merespon imun poliklonal yang dihasilkan terhadap enzim.
Antiserum ini dipanen dan ditempatkan dalam larutan pada enzim
sehingga membentuk kompleks imun yang larut.
4. Metode Avidin-Biotin-Complex (ABC)
Metode avidin, biotin adalah metode analisis imunohistokimia
menggunakan afinitas terhadap molekul avidin- biotin oleh tiga enzim
peroksidase. Situs pengikatan beberapa biotin dalam molekul avidin
tetravalen bertujuan untuk amplifikasi dan merespon sinyal yang
disampaikan oleh antigen target.

2.2.3 Aplikasi Imunohistokimia


Imunohistokimia dapat digunakan untuk mendeteksi berbagai penyakit,
seperti kanker, tumor dan dapat digunakan untuk identifikasi sel atau jaringan.
Contoh penyakitnya yang dapat dideteksi dengan Imunohistokimia adalah
adenocarcinoma, carcinoma, sarcoma, Hodgkin’s disease, tumor yolk sac,
karsinoma hepatoselluler, gastrointestinal stromal tumors (GIST), renal cell
carcinoma, acute lymphoblastic leukemia, Identifikasi sel B dan sel T limfa. IHC
juga dapat digunakan pada jaringan kuda laut untuk menentukan adanya protein
baik dimana dan kapan protein akan berfungsi. Metode imunohistokimia yang
diterapkan pada kuda laut adalah dengan membagi menjadi 4 section. Awalnya,
dilakukan penguraian untuk melakukan labeling wholemount pada sel embrio
kuda laut, penguraian ini diprotocol secara umum. Kemudian, section kedua
menutupi section variasinya untuk labeling wholemount pada larva untuk
menanggulangi kesulitan antibodi dalam melakukan penetrasi di jaringan. Metode
ini, didasarkan pada protocol yang membentuk larva medaka., dikembangkan
untuk penggunaan khusus dengan anti-asetat tubulin antibody pada 2 sampai 6
larva tertua. Dan mungkin tidak diterapkan untuk antibodi primer, jadi yang

12
digunakan memang biasanya antibodi sekunder. labeling jaringan yang dilakukan
pada jaringan dewasa biasanya akan lebih menyulitkan metode labeling
wholemount ini, sehingga penetrasi antibodi yang tidak lengkap. Untuk mengatasi
masalah ini perlu dilakukan pembagian material sebelumnya yang akan dilakukan
labeling. Ini disebut sebagai section ketiga. Section terakhir menjadi akhir dari
proses labeling pada jaringan yang sama dengan dua antibodi yang berbeda, dan
mengikat serta membagi label jaringan yang akan diuraikan.

2.2.4 Masalah-Masalah Dalam Teknik Imunohistokimia


1. Faktor-faktor pra analisis
Pemeriksaan ini merupakan pemeriksaan yang relative mudah dan
murah. Keuntungan lain dari teknik ini adalah dapat diterapkan pada
sediaan rutin yang diterima pada laboratorium histopatologi dan dapat
dilakukan secara retrospektif pada sediaan-sediaan arsip.
Namun demikian, untuk mendapatkan hasil yang dapat dipercaya
hasilnya, sejumlah persyaratan harus dipenuhi. Fiksasi sangat penting
peranannya, karena teknik ini bertumpu pada reaktifitas antigen dalam
sel. Fiksasi yang suboptimal dapat menurunkan bahkan meniadakan
reaktifitas antigen, sehingga memberikan sinyal yang lemah atau
negative palsu. Secara umum, proses fiksasi jaringan harus dilakukan
sesegera mungkin tanpa penundaan dan dilakukan dengan sempurna.
Fiksasi yang dianjurkan adalah da;am formalin berdapar fosfat 10%.
Waktu fiksasi bervariasi antara 6 hingga 24 jam dan dalam keadaan
terendam scara merata. Jika jaringan tumor berukuran besar, maka harus
dilakukan sayatan-sayatan parallel menyerupai “toast rack” berjarak 1
cm untuk menjamin paparan cairan formalin yang merata, dan jumlah
cairan fiksatif minimal 5-10 kali volume jaringan.
Selanjutnya, pengolahan jaringan harus dilakukan secara sempurna tahap
demi tahap melalui alcohol yang bertingkat kadarnya dan impregnasi
dalam paraffin dengan titik leleh maksimum 600C. Pengolahan jaringan
yang tidak sempurna dapat menghambat proses pulasan karena jaringan
yang tidak homogen dalam paraffin mudah terlepas dari kaca benda.

13
Mudahnya jaringan terlepas dari kaca benda disebabkan karena pada
proses pulasan, dilakukan prosedur “antigen retrieval” yaitu pemaparan
terhadap gelombang elektromagnetik atau pemanasan; serta pemaparan
dengan larutan-larutan yang keras sifatnya, dimana tahapan-tahapan ini
tidak dilakukan pada prosedur pulasan hematoksilin eosin yang rutin.
2. Quality Control dan Quality Assurance
Berbagai faktor menyebabkan perbedaan hasil pemeriksaan, antara lain
jenis antibody, metode “antigen retrieval”, factor-faktor preanalitik dan
interpretasi hasil. Untuk menekan perbedaan ini dianjurkan melakukan
“quality control” dan “quality assurance”.
3. Nilai cut off
Walupun sedikit, variasi dalam penggunaan nilai cut off masih
dilaporkan. Namun demikian, pada berbagai penelitian, untuk berbagai
petanda lazimnya digunakan nilai cut off 10%.
4. Tempat pemeriksaan
Teknik ini relative mudah dalam arti prosedurnya sederhana, namun
diperlukan kecermatan yang tinggi dalam pelaksanaannya pada setiap 
tahap. Di United State Kingdom, dianggap bahwa laboratorium yang
ideal adalah yang melakukan tes minimal 250 kasus dalam 1 tahun.
Laboratorium lokal yang ingin melakukan tes ini sangat dianjurkan
untuk melakukan “quality assurance”.

2.3 Pemeriksaan Ekspresi Synapsin dengan Imunohistokimia


Rangkaian pemeriksaan Imunohistokimia dimulai dengan pengambilan
sampel lalu pembuatan paraffin block. Setelah itu dilakukan pewarnaan
imunohistokimia. Metode imunihistokimia untuk pemeriksaan ekspresi synapsin
dilakukan dengan cara :
1. Fiksasi dan pencucian otak
Rattus norvegicus baru lahir yang sudah diambil difiksasi dengan buffer
formalin 10% sekurang – kurangnya selama 24 jam.
2. Dehidrasi dan Clearing

14
Otak Rattus norvegicus baru lahir dicuci 3 kali dengan Destilate water (DW)
masing-masing 5 menit. Dehidrasi dengan merendam kedalam alcohol 70%
selama 1 jam, alkohol 80% selama 2 jam, alkohol 90% selama 2 jam, alkohol
96% selama 1 jam dan alkohol absolut 18 jam. Proses clearing (penjernihan)
dilakukan dengan merendam kedalam larutan xylol sebanyak 3 kali masing
masing 30 menit.
3. Infiltrasi dan pembuatan blok paraffin
Proses ini menggunakan alat Automatic Tissue Embedding Apparatus
Tissue-Tek. Otak dimasukkan kedalam campuran paraffin dan xylol dengan
perbedaan 1:1 temperatur 650C, kemudian dimasukkan ke paraffin murni (dalam
bentyk cair) sebanyak 3 kali masing-masing 45 menit. Selanjutnya, otak
dimasukkan kedalam cetakan besi berbentuk kubus yang telah diisi paraffin cair
yang panas, tekan jaringan agar semakin menempel didasar cetakan. Parafin yang
telah dingin dan beku, dilakukan pemotongan menggunakan mitokrom.
4. Pengirisan tipis
Pemotongan dilakukan secara random yaitu 3 kali pemotongan yang
dilakukan seri, diambil satu dengan ketebalan 5-7 um. Kemudian dicelupkan air
hangat bersuhu 200 – 300 C sampai jaringan mengembang dengan baik. Jaringan
diletakkan pada object glass yang sudah diolesi poly L-Lysine dan dikeringkan
dengan hot plate.
5. Deparafinisasi
Preparat otak pada objek glass direndam dalam xylol I,II, III masing-masing
3 menit. Selanjutnya direndam kedalam alcohol absolut I dan II dan dimasukkan
kedalam alkohol 96%, 90%, 80%, 70% masing-masing 3 menit. Setelah itu dibilas
dengan air mengalor selama 5 menit.
6. Staining
Jaringan yang telah dikeringkan, dimasukkan kelarutan hydrogen peroksida
selama 5-10 menit dan dicuci dengan PBS sebanyak 2 kali masing-masing 4
menit. Preparat direndam dengan trypsin (0,025%) selama 15 menit dalam
incubator bersuhu 370 C, selanjutnya dicuci dengan PBS sebanyak 2 kali selama 4
menit. Preparat kemudian ditetesi Ultra V block selama 5 menit (tidak boleh
selama 10 menit) lalu dibilas. Selanjutnya preparat diberi antibody primer anti

15
synapsin 1 selama 60 menit. Setelah itu dicuci dengan PBS sebanyak 2 kali
masing masing 4 menit. Preparat yang telah diberi antibody diteteskan
Biotnylated link drop (yellow) selama 30 menit, kemudian dicuci dengan PBS
sebanyak 2 kali selama 4 menit. Setelah itu diberi DAB chromogen yang
diencerkan dengan PBS sebanyak 2 kali masing – masing selama 4 menit.
Terakhir diberi aquabides selama 4 menit.
7. Counterstain
Setelah preparat dialkukan staining, dilakukan counterstain memakai
pewarna methyl green selama 3-10 menit. Setelah itu dicuci dengan air mengalir
selama 5 menit. Preparat kemudian direndam dengan amoniak air selama 3 menit
yang dilanjutkan dengan perendaman kedalam aquabidest selama 3-5 menit.
8. Mounting
Jaringan yang telah diwarnai ditempatkan kekaca objek ditutup dengan kaca
penutup yang sebelumnya ditetesi dengan entellan

9. Pemeriksaan dengan Mikroskop


Jaringan diamati dibawah mikroskop cahaya pada 5x lapang pandang
dengan pembesaran 400kali.

2.4 Cara Pembacaan dan Pengolahan Hasil


Pada variabel ekspresi synapsin setiap subjek dinilai menurut metode
Remmele yang sudah dimodifikasi (Novak et al., 2007). Immuno Reactive Score
(IRS) atau Remmele Score, merupakan system skoring dengan perkalian dari
intensity score (IS) dan proportion score (PS). Nilai skoringnya adalah 0 sampai
12. Jika hasilnya 0 sampai 1 artinya negatif, 2 sampai 3 artinya positif lemah, 4
sampai 8 artinya positif sedang dan 9 sampai 12 artinya positif kuat, dimana
indeks skala Remmele (Immuno Reactive Score atau IRS) merupakan hasil
perkalian anatar skor presentase sel immunoreaktif (B). Data setiap subjek
merupakan nilai rata-rata IRS yang teramati pada 5x lapang pandang (LP) pada
pembesaran 400x. Data ini dicatat dalam lembar observasi yang dirancang khusus
kemudian dikelompokkan, disajikan dalam bentuk tabulasi, dinyatakan dalam
rerata , simpangan baku sesuai analisis deskriptif.

16
Tabel 2.1 Indeks Skala Remmele
A B
Skor 0 = tidak ada sel positif Skor 0 = tidak ada reaksi warna
Skor 1 = sel positif kurang dari 10% Skor 1 = intensitas warna rendah
Skor 2 = sel positif kurang dari 11% - 50% Skor 2 = intensitas warna sedang
Skor 3 = sel positif kurang dari 51% - 80% Skor 3 = Intensitas warna kuat
Skor 4 = sel positif lebih dari 80%

BAB 3
PENUTUP

Imunohistokimia merupakan suatu cara pemeriksaan untuk mengukur


derajat imunitas atau kadar antibodi atau antigen dalam sediaan jaringan.
Pewarnaan sediaan jaringan menimbulkan ikatan antibodi pada antigen di
permukaan atau didalam sel yang selanjutnya dapat dideteksi dengan cara dilabel
dengan enzim, isotop, fluoropore,atau coloidal gel. Metode yang dilakukan dalam
Imunohistokimia adalah metode direct, metode indirect, Metode Peroxidase – anti
– Peroxidase (PAP), Metode Avidin-Biotin-Complex (ABC). Mekanisme
Imunohistokimia dimulai dengan pengambilan sampel lalu pembuatan paraffin
block. Setelah itu dilakukan pewarnaan imunohistokimia. Teknik
Imunohistokimia dapat digunakan untuk melihat berbagai ekspresi protein seperti
synapsin. Synapsin adalah fosfoprotein dalam vesikel sinaptik yang di produksi
dari single primodial syn gen yang terletak di pre sinapatik. Synapsin diregulasi
oleh BDNF yang merupakan neutropin yang membantu stimulasi dan mengontrol
neurogensis paling aktif pada hipokampus (Fornasiero et al., 2010). Synapsin

17
merupakan fosfoprotein spesifik terminal saraf dan berperan dalam pemanjangan
akson (regulasi aksonogenesis), pemeliharaan kontak sinaptik (sinaptogenesis)
dan pengeluaran neurotransmitter.

DAFTAR PUSTAKA

Cesca, F. et al. 2010. ‘Progress in Neurobiology The synapsins : Key actors of


synapse function dan plasticity’, Progress in Neurobiology. Elsevier Ltd,
91(4), pp. 313–348. doi: 10.1016/j.pneurobio.2010.04.006.
Evergren, E., Benfenati, F. dan Shupliakov, O. (2007) ‘The synapsin cycle: A
view from the synaptic endocytic zone’, Journal of Neuroscience Research,
85(12), pp. 2648–2656. doi: 10.1002/jnr.21176.
Fornasiero, E. F. et al. (2010) ‘The role of synapsins in neuronal development’,
Cellular dan Molecular Life Sciences, 67(9), pp. 1383–1396. doi:
10.1007/s00018-009-0227-8.
Gitler, D. dan Augustine, G. J. 2010. ‘Synapsins dan Regulation of the Reserve
Pool’, Encyclopedia of Neuroscience, pp. 709–717. doi: 10.1016/B978
008045046-9.01776-9.
Mirza, F. J. and Zahid, S. 2018. The Role of Synapsins in Neurological Disorders.
Neurosci. Bull., 34(2): 349–358.
Sudiana, I Ketut. Teknologi Ilmu Jaringan dan Imunohistokimia. Jakarta, Sagung
Seto, 2005, hal. 36 – 47.
Valtorta, F. et al. (2011) ‘Seminars in Cell & Developmental Biology The
synapsins : Multitask modulators of neuronal development’, Seminars in

18
Cell dan Developmental Biology. Elsevier Ltd, 22(4), pp. 378–386. doi:
10.1016/j.semcdb.2011.07.008.
Volpe, J.J. 2008. Neurology of the Newborn. 5th Edition. Boston: Saunders
Xu, et al. (2013) ‘Synaptic mutant huntingtin inhibits synapsin-1 phosphorylation
dan causes neurological symptoms’, Journal of Cell Biology, 202(7), pp.
1123–1138. doi: 10.1083/jcb.201303146.

Lampiran

19
Gambar ekspresi synapsin 1 di cerebrum. Perbedaan ekspresi synapsin 1 yang
diwakili warna coklat kromogen pada bagian jaringan pada kelompok perlakuan
K1 (yang tidak diberikan paparan musik); K2 (dipapar musik Mozart); K3
(dipapar musik gamelan Jawa); K4 (dipapar musik gamelan Sunda); K5 (dipapar
musik gamelan Bali). Ekspresi synapsin 1 cerebrum lebih tinggi yang
mendapatkan paparan X2 (dipapar musik Mozart). Tanda panah kuning
menunjukkan area yg terekpresi maksimal (pewarnaan immunohistokimia,
perbesaran 400x; mikroskop Miconos MCX50LED; camera Optilab Plus).

20

Anda mungkin juga menyukai