A. Perkembangan Fisik
Istilah ‘perkembangan fisik’ seringkali digunakan secara bergantian dengan
istilah pertumbuhan biologis atau biological growth. Werang (2019) merinci
beberapa aspek pertumbuhan biologis sebagai berikut: (a) pertumbuhan organ
tubuh, seperti pertumbuhan otak, sistem saraf, hormon, berat badan, dan tinggi
badan; (b) perubahan dalam cara individu menggunakan tubuhnya, seperti
perkembangan keterampilan motorik dan perkembangan seksual; dan (c)
perubahan dalam kemampuan fisik, seperti penurunan fungsi jantung, penglihatan
yang terus mengabur, dan pendengaran yang terus berkurang.
Fisik manusia terdiri dari begitu banyak organ yang semuanya telah terbentuk
sejak masih dalam kandungan. Menurut Seifert & Hoffnung (1994),
perkembangan fisik meliputi antara lain: (a) perkembangan organ tubuh, seperti
pertumbuhan otak, sistem saraf, hormon, berat badan, dan tinggi badan; (b)
perubahan dalam cara individu menggunakan tubuhnya, seperti perkembangan
keterampilan motorik dan perkembangan seksual; dan (c) perubahan dalam
kemampuan fisik, seperti penurunan fungsi jantung, fungsi penglihatan dan fungsi
pendengaran pada saat seseorang memasuki usia tua. Sedangkan menurut Kuhlen
dan Thompson (1952), perkembangan fisik manusia mencakup empat aspek
berikut: (a) perkembangan sistem syaraf: berpengaruh terhadap tingkat kecerdasan
35
dan emosi; (b) perkembangan otot: berpengaruh terhadap perkembangan kekuatan
dan kemampuan motorik; (c) perkembangan kelenjar endokrin: berpengaruh
terhadap munculnya pola-pola tingkah laku baru, seperti perasaan senang dalam
diri anak remaja untuk aktif dalam suatu kegiatan yang sebagian anggotanya
adalah lawan jenis; dan (d) perkembangan struktur tubuh: seperti pertumbuhan
tinggi dan berat badan. Mengacu kepada tulisan Sigelman dan Shaffer (1995),
Werang (2019) merunut pengaruh kelenjar endokrin terhadap pertumbuhan dan
perkembangan sebagai berikut (lihat Tabel 1).
Peserta didik tidak hanya memiliki perbedaan dalam tingkat kecerdasan dan
kreativitas, tetapi juga perbedaan dalam kondisi fisik. Ada peserta didik yang
memiliki kekurangan dalam pendengaran, penglihatan, dan kemampuan berbicara.
Tidak jarang ada juga peserta didik yang pincang dan lumpuh. Terhadap peserta
didik yang memiliki kelainan fisik ini guru perlu memerlihatkan sikap dan
layanan yang berbeda dan khusus, misalnya: bersikap lebih sabar dan telaten,
guna membantu perkembangan pribadi mereka.
36
Terkait peserta didik dengan tingkat hambatan tertentu, Ornstein dan Levine
(1989) mengatakan sebagai berikut:
a. Orang-orang yang mengalami hambatan, bagaimanapun hebatnya
ketidakmampuan mereka, harus diberikan kebebasan dan pendidikan yang
cocok;
b. Penilaian terhadap mereka harus menyeluruh dan adil;
c. Orang tua atau wali mereka harus adil, dan boleh memrotes keputusan
kepala yang dipandang tidak memihak;
d. Rencana pendidikan individual, baik pendidikan jangka panjang
maupun jangka pendek, harus diberikan. Tujuan dan metode pendidikan
yang dipilih pun harus selalu ditinjau kembali;
e. Layanan pendidikan sebaiknya diberikan dalam lingkungan yang agak
terbatas. Pada saat tertentu anak-anak bisa ditempatkan di dalam kelas
yang khusus atau terpisah agar dapat diberikan layanan yang tepat kepada
mereka.
37
dan mengadaptasikannya ke dalam situasi-situasi baru. Sedangkan menurut Binet
(1989), inteligensi adalah kemampuan untuk mempertimbangkan segala sesuatu
dengan baik. Sementara Therman (1916) mengartikan inteligensi sebagai suatu
kemampuan untuk berpikir tentang gagasan-gagasan yang abstrak.
Werang (2015a) selanjutnya menyebutkan beberapa upaya sudah dilakukan
oleh para ahli psikologi untuk mengetahui tingkat kecerdasan manusia sebagai
berikut:
a. Tes yang dilakukan oleh Cattel pada tahun 1890 yang lebih dikenal
dengan sebutan mental test.
b. Tes inteligensi yang dilakukan oleh Alfred Binet dan Simon pada
tahun 1905. Binet dan Simon berhasil melakukan tes inteligensi yang
digunakan secara luas. Mereka juga berhasil menemukan cara untuk
menentukan usia mental seseorang. Menurut pasangan peneliti ini, usia
mental seseorang itu bisa lebih rendah, lebih tinggi, atau sama dengan usia
kronologis. Anak cerdas memiliki usia mental lebih tinggi dari usia
kronologisnya, dan mampu mengerjakan tugas-tugas yang diperuntukkan
bagi anak-anak yang usianya lebih tinggi. Misalnya, jika seorang anak yang
berusia lima tahun mampu mengerjakan dengan benar tugas-tugas yang
diperuntukkan bagi anak yang berusia delapan tahun, tetapi tidak mampu
mengerjakan tugas yang lebih dari tugas tersebut, maka usia mentalnya
adalah delapan tahun. Sebaliknya, jika seorang anak yang berusia delapan
tahun tetapi hanya mampu mengerjakan dengan benar tugas-tugas yang
diperuntukkan bagi anak-anak yang berusia lima tahun dan sebagian tugas
yang diperuntukkan bagi anak-anak yang berusia enam tahun, maka usia
mental anak tersebut adalah 5,5 tahun. Menurut Binet dan Simon, tingkat
kecerdasan adalah usia mental dibagi usia kronologis dikalikan dengan 100.
38
pemahaman kata: kemampuan untuk memahami ide-ide yang diungkapkan
dengan kata-kata, (b) number atau bilangan: kemampuan untuk menalar dan
memanipulasi secara matematis, (c) spatial atau ruang: kemampuan untuk
memvisualisasi objek-objek dalam bentuk ruang, (d) reasoning atau
penalaran: kemampuan untuk memecahkan masalah, (e) perceptual speed
atau kecepatan persepsi: kemampuan menemukan persamaan-persamaan
dan ketidaksamaan-ketidaksamaan di antara objek-objek secara tepat.
39
dalam kelompok ini adalah peserta didik yang cepat mengerti atau anak-
anak superior, dan (f) kelompok yang memiliki IQ 140 ke atas disebut
kelompok anak-anak genius. Kelompok ini memiliki kemampuan belajar
yang jauh lebih cepat dari kelompok lainnya.
C. Perkembangan Kognitif
Perkembangan kognitif merupakan proses psikologis yang berkaitan dengan
bagaimana seorang anak mempelajari, memperhatikan, mengamati,
membayangkan, memperkirakan, memikirkan, dan menilai lingkungannya.
Perkembangan kognitif merujuk kepada perubahan aktivitas mental yang
berhubungan dengan persepsi, pemikiran, ingatan, keterampilan, keterampilan
berbahasa, dan pengolahan informasi yang memungkinkan seorang anak
memperoleh pengetahuan, memecahkan masalah, merencanakan masa depan.
Pertumbuhan dan perkembangan selalu berkaitan dengan perubahan struktur
dan fungsi karakteristik manusia. Perubahan tersebut merupakan sebuah proses
pematangan dan merupakan hasil interaksi antara potensi bawaan individu dengan
lingkungan sekitar. Pandangan yang paling menyeluruh tentang pertumbuhan dan
perkembangan kognitif diberikan oleh Piaget. Piaget (1971) mendeskripsikan
perkembangan mental anak ke dalam empat tahap berikut.
40
berbagai contoh tersebut anak mendapatkan suatu gambaran ataupun
kriteria yang digunakan untuk 'mendefinisikan' konsep yang disampaikan
kepadanya.
D. Perkembangan Psikososial
Perkembangan psikososial menunjuk kepada perubahan kepribadian, emosi,
dan kemamampuan seorang anak untuk membangun relasi dan menyesuaikan diri
dengan lingkungan sosial yang lebih luas. Di dalam proses perkembangan peserta
didik diharapkan untuk lebih memahami dan menghargai orang lain. Peserta didik
41
diharapkan mampu menggambarkan ciri-ciri orang yang dijumpainya; mengenali
apa yang dipikirkan, dirasakan, dan diinginkan oleh orang tersebut; serta mampu
menempatkan diri pada sudut pandang orang lain, tanpa harus kehilangan jati
dirinya sendiri.
Teori perkembangan psikososial sangat berkaitan erat dengan prinsip-prinsip
perkembangan psikologi dan sosial. Teori perkembangan psikososial sejatinya
merupakan perkembangan dari teori perkembangan psikoseksual yang
dikembangkan oleh Sigmund Freud. Seperti Freud, Erikson pun sangat percaya
bahwa kepribadian itu berkembang dalam beberapa tingkatan. Salah satu elemen
terpenting dalam tingkatan psikososial Erikson adalah perkembangan persamaan
ego (perasaan sadar) yang terjadi melalui interaksi sosial. Menurut Erikson,
perkembangan ego selalu berubah berdasarkan pengalaman dan informasi baru
yang diperoleh selama proses interaksi dengan orang lain (Desyandri dalam
Werang, 2019).
Desyandri (dalam Werang, 2019) selanjutnya menggambarkan secara detail
‘perkembangan ego’ dalam teori psikososial Erikson sebagai berikut. Erikson
menggambarkan adanya sejumlah kualitas yang dimiliki ego, yang tidak ada pada
psikoanalisis Freud, yakni kepercayaan dan penghargaan, otonomi dan kemauan,
kerajinan dan kompetensi, identitas dan kesetiaan, keakraban dan cinta,
generativitas dan pemeliharaan, serta integritas. Ego semacam itu disebut juga
ego-kreatif karena mampu menemukan pemecahan kreatif atas masalah baru pada
setiap tahap kehidupan. Berhadapan dengan hambatan atau konflik ego kreatif
tidak menyerah begitu saja, tetapi sebaliknya bereaksi dengan menggunakan
kombinasi antara kesiapan batin dan kesempatan yang disediakan lingkungan
untuk mengatasi hambatan atau konflik tersebut. Ego bukan budak tetapi justru
menjadi tuan/pengatur id, superego dan dunia luar.
Ego yang sempurna, menurut Erikson, selalu memiliki tiga dimensi berikut.
Pertama, faktualitas. Faktualitas adalah kumpulan fakta, data, dan metode yang
dapat diverifikasi dengan metode kerja yang sedang berlaku. Ego berisi kumpulan
fakta dan data basil interaksi dengan lingkungan. Kedua, universalitas.
Universalitas berkaitan dengan kesadaran akan kenyataan (sells of reality) yang
menggabungkan hal yang praktis dan konkrit dengan pandangan semesta, mirip
42
dengan prinsip realita dari Freud. Ketiga, aktualitas. Aktualitas adalah cara baru
dalam berhubungan satu dengan yang lain, memperkuat hubungan untuk
mencapai tujuan bersama. Ego adalah realitas kekinian, terus mengembangkan
cara baru dalam memecahkan masalah kehidupan, yang lebih efektif, prospektif,
dan progresif.
Menurut Erikson, ego sebagian bersifat taksadar, mengorganisir dan
mensintesa pengalaman sekarang dengan pengalaman diri masa lalu dan dengan
diri masa yang akan datang. Dia menemukan tiga aspek ego yang saling
behubungan, yakni egobody (gambaran seseorang tentang tubuh atau fisiknya
sendiri), ego ideal (gambaran seseorang tentang bagaimana dia seharusnya hidup,
bertutur kata, berbuat, dan berperilaku), dan ego identity (gambaran seseoraang
tentang dirinya dalam berbagai peran sosial). Ketiga aspek itu umumnya
berkembang sangat cepat pada masa dewasa, namun sesungguhnya perubahan
ketiga elemen itu terjadi pada semua tahap kehidupan.
Werang (2019) meringkas karakteristik psikologi ego dari Erikson sebagai
berikut. (a) Erikson menekankan kesadaran individu untuk menyesuaikan diri
dengan pengaruh sosial. Pusat perhatian psikologi ego adalah kematangan ego
yang sehat; (b) Erikson berusaha mengembangkan teori insting dari Sigmund
Freud dengan menambahkan konsep epigenetik kepribadian; (c) Erikson secara
eksplisit mengemukakan bahwa motif mungkin berasal dari impuls id yang
taksadar, namun motif itu bisa membebaskan diri dari id seperti individu
meninggalkan peran sosial di masa lalunya. Fungsi ego dalam pemecahan
masalah, persepsi, identitas ego, dan dasar kepercayaan bebas dari id, membangun
sistem kerja sendiri yang terlepas dari sitem skerja id; (d) Erikson menganggap
ego sebagai sumber kesadaran diri seseorang. Selama menyesuaikan diri dengan
realita, ego mengembangkan perasaan keberlanjutan diri dengan masa lalu dan
masa yang akan datang.
Erikson (dalam Werang, 2019) membagi perkembangan psikososial anak ke
dalam 8 (delapan) tahap. Kesuksesan seorang anak pada suatu tahap di bawahnya
akan sangat berpengaruh pada tahapan di atasnya. Berikut keterangan singkat
tentang ke-8 tahapan perkembangan psikososial Erikson (Werang, 2019).
43
Pada tahap ini anak mulai belajar beradaptasi dengan lingkungannya, terutama
dengan ibu dan ayahnya sebagai lingkungan terdekat. Hal pertama yang dipelajari
anak adalah rasa percaya. Seorang ibu atau pengasuh biasanya adalah orang
penting pertama yang ada dalam dunia anak. Apabila ibu memperhatikan
kebutuhan anak seperti makan maupun kasih sayang, maka anak akan merasa
sangat aman dan percaya untuk menyerahkan dan/atau menggantungkan segala
kebutuhannya kepada ibunya. Namun, bila ibu tidak memberikan apa yang
seharusnya diberikan kepada anak, maka secara tidak langsung ibu membentuk
anaknya menjadi seorang yang penuh curiga karena dia merasa tidak aman untuk
hidup di dunia (Slavin dalam Werang, 2019). Dengan perkataan lain, pengasuhan
yang penuh dengan kasih sayang yang tulus dalam pemenuhan kebutuhan dasar
anak akan menimbulkan rasa trust pada anak terhadap lingkungan (keluarganya).
Sebaliknya pengasuhan yang tidak didasari kasih sayang dan tidak memberikan
rasa aman pada bayi akan menimbulkan ‘mistrust’ yaitu kecemasan dan
kecurigaan terhadap lingkungan.
Sama seperti Freud, Erikson menganggap hubungan ibu-anak menjadi bagian
penting dari perkembangan kepribadian. Tetapi Erikson tidak membatasi teori
hubungan id-ego dalam bentuk usaha memuaskan kebutuhan id oleh ego.
Menurutnya, situasi memberi makan merupakan model interaksi sosial antara bayi
dengan dunia luar. Rasa lapar jelas merupakan manifestasi dari kebutuhan
biologis, tetapi konsekuensi dari pemuasan id (oleh ibu) itu akan menimbulkan
kesan bagi bayi tentang ‘kasih sayang’ yang diperolehnya dari dunia luar.
Melalui pengalaman makannya, seorang bayi belajar untuk mengantisipasi
interaksinya dalam bentuk kepercayaan dasar (basic trust), yakni mereka
memandang kontak dengan manusia sangat menyenangkan karena pada masa lalu
hubungan semacam itu menimbulkan rasa aman dan menyenangkan. Tanpa basic-
trust ini bayi pasti akan mengantisipasi interaksi interpersonal dengan dunia luar
(orang-orang yang dijumpainya) dalam kecemasan karena masa lalu hubungan
interpersonalnya menimbulkan frustrasi dan rasa sakit.
44
Kepercayaan orang tua kepada anak pada usia ini untuk mengeksplorasi hal-hal
baru yang dapat dilakukannya secara mandiri dan memberikan bimbingan
kepadanya akan sangat membantu dalam membentuk anak menjadi pribadi yang
mandiri dan percaya diri. Sebaliknya orang tua yang membatasi dan berlaku keras
pada anak-anaknya pada usia ini akan membentuk anak tersebut menjadi orang
yang lemah dan tidak kompeten yang dapat menyebabkan munculnya rasa malu
dan ragu-ragu terhadap kemampuannya.
Rasa malu, ragu-ragu, dan tidak percaya diri pada tahapan ini akan sangat
berpengaruh pada tahap perkembangan selanjutnya. Anak di satu pihak
mempunyai impuls dan insting yang bertujuan untuk memuaskan dirinya, namun
di pihak lain ada norma yang harus diajarkan. Norma ini harus diajarkan secara
benar dan bijak. Apabila anak belum dapat mengikuti norma tersebut maka
lingkungan harus dengan bijak menyikapinya sehingga anak tidak merasa rasa
malu dengan dirinya. Toilet training merupakan salah satu isu yang sangat penting
dalam tahapan ini.
45
sangat dibutuhkan ketika anak mengalami kegagalan. Hal ini dimaksudkan agar
anak dapat melewati tahap ini dengan baik.
46
memberikan penghargaan pada semua anak supaya anak-anak dapat merasa
bangga dan percaya diri terhadap pencapaian yang mereka peroleh.
47
suatu hubungan dengan orang lain. Dia sudah mulai selektif untuk membina
hubungan yang intim hanya dengan orang-orang tertentu yang sepaham. Namun,
jika dia mengalami kegagalan, maka akan muncul rasa keterasingan dan jarak
dalam berinteraksi dengan orang.
Keberhasilan seseorang dalam melewati fase ini tentu saja tidak terlepas dari
fase-fase sebelumnya. Apabila pada fase sebelumnya seseorang belum mampu
mengatasi perasaan curiga, rendah diri, dan kebingungan identitas maka hal ini
akan sangat berdampak pada kegagalan dalam membina sebuah komunikasi atau
hubungan dengan orang lain. Orang ini cenderung akan berkembang menjadi
seseorang yang sangat terisolasi. Karena itu, bantuan dan dukungan moral dari
pasangan ataupun teman dekat sangat dibutuhkan agar orang yang sempat gagal
pada fase sebelumnya dapat dibantu untuk melewati tahap ini dengan sukses.
48
8. Tahap Integrity versus Despair (± 65 ke atas)
Seseorang yang berada pada fase ini cenderung menengok ke belakang untuk
melihat kembali (flash-back) kehidupan yang sudah dijalaninya dan akan
berusaha menyelesaikan semua permasalahan yang belum sempat terselesaikan
sebelumnya. Pengakuan atas prestasi, kegagalan, dan keterbatasan pribadi menjadi
hal utama yang menuntun seseorang kepada sebuah kesadaran bahwa kehidupan
seseorang merupakan tanggung jawab orang itu sendiri. Orang yang mampu
melewati tahap ini akan mampu mencapai garis kebijaksaan, termasuk ketika
menghadapi kematian.
E. Perkembangan Moral
Kata bahasa Indonesia ‘moral’ diturunkan dari kata bahasa Latin mos yang
berarti adat kebiasaan. Adat kebiasaan menunjuk kepada nilai-nilai dan asas-asas
moral tertentu yang dianut oleh suatu kelompok masyarakat. Nilai-nilai dan asas-
asas moral ini biasanya mewujud dalam bentuk norma-norma yang menjadi
pegangan hidup bagi seseorang atau suatu kelompok dalam mengatur perilaku
hidupnya. Berdasarkan pengertian ini dapat disimpulkan bahwa ‘moral’ adalah
nilai-nilai dan norma-norma yang menjadi pegangan bagi seseorang atau suatu
kelompok dalam mengatur perilaku hidupnya untuk mencapai ideal hidup yang
dianggap baik dan benar (Werang, 2018).
Velasques (1998) mengemukakan beberapa hal yang mencirikhaskan
penentuan hakikat standar moral, yaitu: (a) standar moral berkaitan dengan
persoalan yang secara serius merugikan atau yang benar-benar akan
menguntungkan manusia; (b) standar moral ditetapkan atau diubah berdasarkan
keputusan dewan otoritatif tertentu; (c) standar moral tidak ditetapkan oleh
kekuasaan; (d) validitas standar moral terletak pada kecukupan nalar yang
digunakan untuk mendukung atau membenarkannya. Artinya, sejauh nalarnya
mencukupi maka standarnya tetap sah; (e) standar moral harus lebih diutamakan
daripada nilai-nilai yang lain, apalagi kepentingan pribadi; (f) standar moral
didasarkan pada pertimbangan yang tidak memihak; dan (g) standar moral
diasosiasikan dengan emosi tertentu dan kosa kata tertentu, seperti: jika kita
melanggar norma moral maka batin kita akan tidak tenang dan kita akan selalu
dihantui oleh rasa bersalah, malu ataupun menyesal.
49
Dengan ‘nilai moral’ dimaksudkan sesuatu yang bermanfaat bagi manusia, baik
sebagai pribadi maupun sebagai kelompok. Sedangkan dengan ‘norma moral’
dimaksudkan seperangkat aturan tentang bagaimana manusia harus berperilaku
supaya menjadi baik. Menurut Magnis-Suseno (1989), ‘norma moral’ merupakan
neraca ukur untuk menentukan benar atau salahnya sikap dan tindakan manusia
dilihat dari segi baik-buruknya sebagai manusia dan bukan sebagai pelaku peran
tertentu dan terbatas.
Nilai dan norma moral terhimpun dalam apa yang disebut sebagai moralitas
(Werang, 2018). Moralitas diartikan sebagai keseluruhan sistem nilai dan norma
tentang bagaimana manusia harus bersikap dan berperilaku agar dapat disebut
baik sebagai manusia. Sistem nilai ini mewujud dalam berbagai bentuk ajaran
moral seperti petuah, nasihat, amanat, wejangan, peraturan, dan perintah yang
diwariskan secara turun temurun, antara lain melalui keluarga, lembaga agama
dan lembaga Negara (Magnis-Suseno, 1989). Moralitas memberikan kepada
manusia petunjuk kongkrit tentang bagaimana dia harus hidup dan bertindak,
bersikap dan berperilaku agar menjadi manusia yang baik, serta bagaimana dia
harus menghindari sikap dan perilaku yang tidak baik.
Perkembangan moral seorang anak banyak ditentukan atau dipengaruhi oleh
faktor lingkungan, baik keluarga maupun lingkungan lain yang lebih luas. Anak-
anak memperoleh nilai-nilai moral dari lingkungannya, terutama dari orang tua.
Orang tua memegang peranan yang sangat penting dan menentukan dalam
mengembangkan moral anak. Sehubungan dengan perkembangan moral anak,
Yusuf (dalam Werang, 2015a) merunut beberapa sikap yang perlu diperhatikan
oleh para orang tua.
1. Ayah dan ibu harus memiliki sikap dan perlakuan yang sama dalam
membolehkan atau melarang tingkah laku tertentu kepada anak. Selain itu,
orang tua juga harus konsisten. Artinya, suatu perbuatan atau sikap yang
pada hari ini sangat tidak diperbolehkan, harus tetap tidak diperbolehkan
pada hari-hari selanjutnya.
2. Sikap dan perilaku orang tua sendiri secara tidak langsung dapat
berpengaruh bterhadap perkembangan moral anak, karena anak-anak akan
selalu meniru. Melalui proses imitasi, anak-anak akan melakukan apa yang
50
dilakukan kedua orang tuanya. Sikap orang tua yang keras (otoriter)
cenderung akan melahirkan sikap disiplin semu pada diri anak. Sedangkan
sikap yang acuh tak acuh atau sikap masa bodoh terkadang cenderung
mengembangkan sikap yang kurang bertanggung jawab dan kurang
memedulikan norma pada diri anak-anak. Sikap yang sebaiknya dimiliki
oleh para orang tua adalah sikap penuh kasih sayang, dialogis, terbuka,
dan konsisten.
4. Orang tua yang tidak menghendaki anaknya berbohong atau berlaku tidak
jujur, maka mereka harus menjauhkan dirinya sendiri dari perilaku
berbohong dan tidak jujur. Apabila orang tua mengajarkan anak-anaknya
untuk selalu sopan dalam bertutur kata, bertanggung jawab, taat beragama,
dan tidak berbohong, tetapi mereka sendiri menampilkan sikap dan
perilaku yang sebaliknya, maka anak-anak akan mengalami konflik batin.
Anak-anak, pada gilirannya, akan menggunakan ‘ketidakkonsistenan kata
dan perbuatan orang tuanya itu’ sebagai alasan untuk tidak melakukan apa
yang diajarkan kepada mereka, dan bahkan akan bersikap dan berperilaku
seperti kedua orang tuanya.
a. Heteronomous Morality
Istilah lain untuk heteronomous morality adalah morality of constrain.
Heteronomous morality mengacu kepada tahapan perkembangan moral yang
terjadi pada anak-anak usia kira-kira 6-9 tahun. Di dalam tahap berpikir ini,
anak-anak menghormati berbagai ketentuan permainan sebagai sesuatu yang
51
bersifat suci dan tidak dapat diubah, karena berasal dari otoritas yang
dihormati. Anak-anak pada usia ini yakin akan keadilan imanen, yaitu suatu
konsep bahwa hukuman pasti akan segera dijatuhkan bila suatu aturan
dilanggar. Pelanggaran diasosiasikan secara otomatis dengan hukuman. Setiap
pelanggaran pasti akan dihukum berdasarkan tingkat pelanggaran yang telah
dilakukan, tanpa peduli apakah pelanggaran itu disengaja atau tidak.
b. Authonomous Morality
Istilah lain untuk authonomous morality adalah morality of cooperation.
Authonomous morality mengacu kepada tahapan perkembangan moral yang
terjadi pada anak-anak usia kira-kira 9-12 tahun. Pada tahap ini anak mulai
sadar bahwa berbagai aturan dan hukum yang ada di muka bumi ini
merupakan buatan manusia, dan bahwa hukuman yang dikenakan atas suatu
tindakan pelanggaran harus mempertimbangkan maksud pelaku dan akibat-
akibatnya. Bagi anak-anak usia ini, penerapan suatu aturan lebih didasarkan
pada masalah kenyamanan dan kontrak sosial yang telah disepakati bersama.
Atas dasar pemikiran ini, suatu perubahan hanya akan diterima dan diakui
berdasarkan suatu kesepakatan bersama. Pada tahap perkembangan moral ini,
anak-anak sudah mampu meninggalkan penghormatan yang sepihak kepada
otoritas yang telah menetapkan aturan dan mengembangkan penghormatan
terhadap teman-teman sebayanya. Mereka akan lebih taat dan patuh kepada
peraturan kelompok sebaya daripada peraturan yang ditetapkan oleh otoritas
tertentu.
Selain Piaget, sarjana lain yang meluangkan banyak waktu dan tenaga untuk
mempelajari fenomena moral dari sudut pandangan psikologi adalah Lawrence
Kohlberg (1927-1988). Kohlberg (1969) memperluas usaha Piaget dalam dua
cara, yaitu (a) Kohlberg melakukan penelitiannya tentang orang berumur 6-28
tahun yang sebagian besar telah diikutinya dari masa anak-anak sampai dewasa.
Artinya, sesudah jangka waktu tertentu dia menyelidiki orang yang sama supaya
dapat menentukan perkembangan moralnya; dan (b) Kohlberg memperluas
horizon kultural dengan mengikutsertakan dalam penelitiannya subjek dari negara
dan kebudayaan lain seperti Malaysia, Taiwan, Mexico, dan Turki (tidak hanya di
Amerika tempat dia sendiri hidup).
52
Kohlberg (1969) meyakini bahwa hasil penelitiannya berlaku secara
transkultural dan tidak terbatas pada suatu kebudayaan tertentu saja. Kohlberg
menemukan bahwa perkembangan moral seorang anak berlangsung menurut
enam tahap atau fase, tetapi tidak setiap anak berkembang dengan cepat, sehingga
tahap-tahap itu tidak dengan pasti dapat dikaitkan dengan umur tertentu. Bisa
terjadi juga bahwa seorang anak terfiksasi dalam suatu tahap dan tidak akan
berkembang lagi. Keseluruhan hasil penelitian Kohlberg tentang perkembangan
moral anak dapat diringkas dalam Tabel 2.2.
Tahap 2
Anak mendasarkan diri atas
egoisme naif yang kadang-
kadang ditandai relasi timbal-
balik: do utdes.
Tahap 4
Orang berpegang pada
ketertiban moral dengan
aturannya sendiri.
53
Hidup moral adalah persetujuan demokratis, kontrak Penyesalan atau
tanggung jawab pribadi atas sosial, konsensus bebas. penghukuman diri
dasar prinsip-prinsip batin: karena tidak mengikuti
maksud dan akibat-akibat Tahap 6 pengertian moralnya
tidak diabaikan motif-motif Orang berpegang pada hati sendiri.
batin dan universal. nurani pribadi, yang ditandai
oleh keniscayaan dan
universalitas.
Menurut Kohlberg tahap ke-6 adalah tahap yang paling tinggi dan sempurna.
Bila ditinjau dari sisi isi dan bentuknya, tahap 6 akan tetap dinilai sebagai puncak
perkembangan moral. Atas dasar pemikiran ini, menurut Kohlberg, tahap ke-6
harus menjadi tujuan pendidikan moral, walaupun pada kenyataannya hanya
sedikit orang yang berhasil mencapai tahap ini.
54