Anda di halaman 1dari 20

BAB III

KARAKTERISTIK PESERTA DIDIK

Pemahaman terhadap aspek-aspek perkembangan peserta didik merupakan


salah satu unsur pedagogik yang wajib dimiliki guru karena proses pendidikan
hanya dapat dilakukan secara benar dan tepat sasaran jika guru memiliki
kemampuan dan gambaran yang jelas dan menyeluruh tentang manusia yang
dididiknya (Tirtarahardja & La Sulo, 2005). Interaksi antara guru dan para peserta
didik merupakan komponen terpenting di dalam proses pembelajaran di dalam
kelas. Hal senada diungkapkan juga oleh Hinde (2004) yang mengatakan bahwa
'interaksi antara guru dan peserta didik' itu sebagai kondisi dasar yang harus terjadi
dalam setiap proses pembelajaran. Werang (2019) merinci dan mengulas beberapa
aspek perkembangan peserta didik yang wajib dipahami guru sebagai berikut.

A. Perkembangan Fisik
Istilah ‘perkembangan fisik’ seringkali digunakan secara bergantian dengan
istilah pertumbuhan biologis atau biological growth. Werang (2019) merinci
beberapa aspek pertumbuhan biologis sebagai berikut: (a) pertumbuhan organ
tubuh, seperti pertumbuhan otak, sistem saraf, hormon, berat badan, dan tinggi
badan; (b) perubahan dalam cara individu menggunakan tubuhnya, seperti
perkembangan keterampilan motorik dan perkembangan seksual; dan (c)
perubahan dalam kemampuan fisik, seperti penurunan fungsi jantung, penglihatan
yang terus mengabur, dan pendengaran yang terus berkurang.
Fisik manusia terdiri dari begitu banyak organ yang semuanya telah terbentuk
sejak masih dalam kandungan. Menurut Seifert & Hoffnung (1994),
perkembangan fisik meliputi antara lain: (a) perkembangan organ tubuh, seperti
pertumbuhan otak, sistem saraf, hormon, berat badan, dan tinggi badan; (b)
perubahan dalam cara individu menggunakan tubuhnya, seperti perkembangan
keterampilan motorik dan perkembangan seksual; dan (c) perubahan dalam
kemampuan fisik, seperti penurunan fungsi jantung, fungsi penglihatan dan fungsi
pendengaran pada saat seseorang memasuki usia tua. Sedangkan menurut Kuhlen
dan Thompson (1952), perkembangan fisik manusia mencakup empat aspek
berikut: (a) perkembangan sistem syaraf: berpengaruh terhadap tingkat kecerdasan

35
dan emosi; (b) perkembangan otot: berpengaruh terhadap perkembangan kekuatan
dan kemampuan motorik; (c) perkembangan kelenjar endokrin: berpengaruh
terhadap munculnya pola-pola tingkah laku baru, seperti perasaan senang dalam
diri anak remaja untuk aktif dalam suatu kegiatan yang sebagian anggotanya
adalah lawan jenis; dan (d) perkembangan struktur tubuh: seperti pertumbuhan
tinggi dan berat badan. Mengacu kepada tulisan Sigelman dan Shaffer (1995),
Werang (2019) merunut pengaruh kelenjar endokrin terhadap pertumbuhan dan
perkembangan sebagai berikut (lihat Tabel 1).

Tabel 2.1. Pengaruh Kelenjar Endokrin Terhadap Pertumbuhan

Kelenjar Hormon yang Fungsi


Endokrin Dihasilkan

Hormon Merangsang dan mengatur pertumbuhan sel-sel


Pertumbuhan tubuh mulai dari kelahiran sampai dengan masa
remaja
Pituitary
Hormon Pemicu Memicu atau merangsang kelenjar endokrin
lainnya, seperti ovarium dan testes untuk
mengeluarkan hormonnya

Thyroid Thyroxin Mempengaruhi pertumbuhan otak dan


membantu pengaturan pertumbuhan tubuh
selama masa anak-anak.
Testes Tetosteron Mengatur pertumbuhan sistem reproduksi pria
pada periode sebelum lahir, dan mengarahkan
pertumbuhan seksual pria pada masa remaja.

Ovarium Estrogen dan Mengatur menstruasi dan mengarahkan


Progesteron pertumbuhan seksual wanita pada masa remaja.

Adrenal Androgen Adrenal Mendorong pertumbuhan otot dan tulang.

Peserta didik tidak hanya memiliki perbedaan dalam tingkat kecerdasan dan
kreativitas, tetapi juga perbedaan dalam kondisi fisik. Ada peserta didik yang
memiliki kekurangan dalam pendengaran, penglihatan, dan kemampuan berbicara.
Tidak jarang ada juga peserta didik yang pincang dan lumpuh. Terhadap peserta
didik yang memiliki kelainan fisik ini guru perlu memerlihatkan sikap dan
layanan yang berbeda dan khusus, misalnya: bersikap lebih sabar dan telaten,
guna membantu perkembangan pribadi mereka.

36
Terkait peserta didik dengan tingkat hambatan tertentu, Ornstein dan Levine
(1989) mengatakan sebagai berikut:
a. Orang-orang yang mengalami hambatan, bagaimanapun hebatnya
ketidakmampuan mereka, harus diberikan kebebasan dan pendidikan yang
cocok;
b. Penilaian terhadap mereka harus menyeluruh dan adil;
c. Orang tua atau wali mereka harus adil, dan boleh memrotes keputusan
kepala yang dipandang tidak memihak;
d. Rencana pendidikan individual, baik pendidikan jangka panjang
maupun jangka pendek, harus diberikan. Tujuan dan metode pendidikan
yang dipilih pun harus selalu ditinjau kembali;
e. Layanan pendidikan sebaiknya diberikan dalam lingkungan yang agak
terbatas. Pada saat tertentu anak-anak bisa ditempatkan di dalam kelas
yang khusus atau terpisah agar dapat diberikan layanan yang tepat kepada
mereka.

B. Perkembangan Inteligensi (Kecerdasan)


Inteligensi atau kecerdasan merujuk kepada gambaran perilaku individu yang
berhubungan dengan kemampuan intelektual. Menurut Anita E. Woolfolk (1995),
inteligensi merujuk kepada tiga kemampuan berikut: (a) kemampuan untuk
belajar; (b) keseluruhan pengetahuan yang diperoleh; dan (c) kemampuan untuk
menyesuaikan diri dengan situasi baru atau lingkungan pada umumnya.
Berdasarkan ketiga arti ini, Woolfolk (1995) memaknai inteligensi sebagai satu
atau beberapa kemampuan untuk memperoleh dan mengolah pengetahuan dalam
rangka memecahkan masalah dan beradaptasi dengan lingkungan. Hal senada
dikemukakan juga oleh Chaplin (1985) yang mengartikan inteligensi sebagai
kemampuan untuk secara cepat dan efektif menghadapi dan menyesuaikan diri
dengan situasi baru.
Sampai saat ini para ahli psikologi belum mencapai 'kata sepakat' tentang
batasan tingkat kecerdasan. Menurut Kendler dan Kendler (1976), inteligensi
merupakan sebuah istilah yang merujuk kepada kemampuan intelektual untuk: (a)
berpikir abstrak, (b) belajar, dan (c) mengintegrasikan pengalaman-pengalaman

37
dan mengadaptasikannya ke dalam situasi-situasi baru. Sedangkan menurut Binet
(1989), inteligensi adalah kemampuan untuk mempertimbangkan segala sesuatu
dengan baik. Sementara Therman (1916) mengartikan inteligensi sebagai suatu
kemampuan untuk berpikir tentang gagasan-gagasan yang abstrak.
Werang (2015a) selanjutnya menyebutkan beberapa upaya sudah dilakukan
oleh para ahli psikologi untuk mengetahui tingkat kecerdasan manusia sebagai
berikut:
a. Tes yang dilakukan oleh Cattel pada tahun 1890 yang lebih dikenal
dengan sebutan mental test.

b. Tes inteligensi yang dilakukan oleh Alfred Binet dan Simon pada
tahun 1905. Binet dan Simon berhasil melakukan tes inteligensi yang
digunakan secara luas. Mereka juga berhasil menemukan cara untuk
menentukan usia mental seseorang. Menurut pasangan peneliti ini, usia
mental seseorang itu bisa lebih rendah, lebih tinggi, atau sama dengan usia
kronologis. Anak cerdas memiliki usia mental lebih tinggi dari usia
kronologisnya, dan mampu mengerjakan tugas-tugas yang diperuntukkan
bagi anak-anak yang usianya lebih tinggi. Misalnya, jika seorang anak yang
berusia lima tahun mampu mengerjakan dengan benar tugas-tugas yang
diperuntukkan bagi anak yang berusia delapan tahun, tetapi tidak mampu
mengerjakan tugas yang lebih dari tugas tersebut, maka usia mentalnya
adalah delapan tahun. Sebaliknya, jika seorang anak yang berusia delapan
tahun tetapi hanya mampu mengerjakan dengan benar tugas-tugas yang
diperuntukkan bagi anak-anak yang berusia lima tahun dan sebagian tugas
yang diperuntukkan bagi anak-anak yang berusia enam tahun, maka usia
mental anak tersebut adalah 5,5 tahun. Menurut Binet dan Simon, tingkat
kecerdasan adalah usia mental dibagi usia kronologis dikalikan dengan 100.

c. Pada tahun 1916, Lewis M. Therman dari Stanford University berhasil


memperbaiki Tes Binet-Simon dan kemudian dikenal dengan sebutan
Stanford Binet Test. Revisi berikutnya dilakukan pada tahun 1937 dan 1960.

d. Berpijak kepada hasil penelitian yang dilakukan Spearman, pada tahun


1938 Thurstone berhasil mengembangkan tes kemampuan mental dasar
(primary mental abilities test) yang meliputi: (a) verbal comprehension atau

38
pemahaman kata: kemampuan untuk memahami ide-ide yang diungkapkan
dengan kata-kata, (b) number atau bilangan: kemampuan untuk menalar dan
memanipulasi secara matematis, (c) spatial atau ruang: kemampuan untuk
memvisualisasi objek-objek dalam bentuk ruang, (d) reasoning atau
penalaran: kemampuan untuk memecahkan masalah, (e) perceptual speed
atau kecepatan persepsi: kemampuan menemukan persamaan-persamaan
dan ketidaksamaan-ketidaksamaan di antara objek-objek secara tepat.

e. Till (1971) berhasil menggolongkan kecerdasan inteligensi (IQ) ke


dalam beberapa tingkatan sebagai berikut: (a) kelompok terendah adalah
mereka yang IQ-nya antara 0–50. Kelompok ini masih dibedakan lagi
menjadi dua, yaitu mereka yang IQ-nya 0–20 atau 25 dan mereka yang IQ-
nya antara 25–50. Mereka yang IQ-nya berada di bawah 25 tergolong tidak
mampu dididik atau dilatih karena mereka hanya mampu belajar lebih dari
dua tahun. Sedangkan mereka yang IQ-nya antara 25–50 termasuk dalam
kelompok yang dapat dididik atau dilatih untuk mengurus kegiatan rutin
yang sederhana atau untuk mengurus kebutuhan jasmaninya. Dua kelompok
ini oleh sebagian penulis dinyatakan sebagai kelompok yang memiliki
keterbatasan mental, lemah pikiran atau cacat mental. Ada juga sebagian
penulis yang menyebutnya dengan istilah idiot; (b) kelompok yang lebih
tinggi dari mereka yang tergolong idiot adalah mereka yang IQ-nya antara
50–70 dan dikenal dengan kelompok moron, yaitu keterbatasan atau
kelambatan mental. Kelompok ini dapat dididik, dapat belajar membaca,
menulis, berhitung sederhana, dan dapat mengembangkan kecakapan
bekerja secara terbatas. Untuk melayani kelompok ini diperlukan latihan
khusus; (c) kelompok yang memiliki IQ antara 70–90 disebut sebagai 'anak
lambat'. Untuk membangkitkan semangat anak-anak kelompok ini, guru
seharusnya menghindari penggunaan kata-kata yang bisa membuat mereka
patah semangat, seperti: kata 'bodoh' dan 'tolol'; (d) kelompok yang
memiliki IQ antara 90–110. Kelompok ini merupakan bagian yang paling
besar jumlahnya, sekitar 45–50 %. Kelompok ini bisa belajar secara normal;
(e) kelompok yang memiliki IQ antara 110–130 adalah kelompok yang
memiliki kemampuan di atas rata-rata. Sebutan bagi anak-anak yang masuk

39
dalam kelompok ini adalah peserta didik yang cepat mengerti atau anak-
anak superior, dan (f) kelompok yang memiliki IQ 140 ke atas disebut
kelompok anak-anak genius. Kelompok ini memiliki kemampuan belajar
yang jauh lebih cepat dari kelompok lainnya.

C. Perkembangan Kognitif
Perkembangan kognitif merupakan proses psikologis yang berkaitan dengan
bagaimana seorang anak mempelajari, memperhatikan, mengamati,
membayangkan, memperkirakan, memikirkan, dan menilai lingkungannya.
Perkembangan kognitif merujuk kepada perubahan aktivitas mental yang
berhubungan dengan persepsi, pemikiran, ingatan, keterampilan, keterampilan
berbahasa, dan pengolahan informasi yang memungkinkan seorang anak
memperoleh pengetahuan, memecahkan masalah, merencanakan masa depan.
Pertumbuhan dan perkembangan selalu berkaitan dengan perubahan struktur
dan fungsi karakteristik manusia. Perubahan tersebut merupakan sebuah proses
pematangan dan merupakan hasil interaksi antara potensi bawaan individu dengan
lingkungan sekitar. Pandangan yang paling menyeluruh tentang pertumbuhan dan
perkembangan kognitif diberikan oleh Piaget. Piaget (1971) mendeskripsikan
perkembangan mental anak ke dalam empat tahap berikut.

a. Tahap Sensomotorik (Usia 0-2 tahun)


Anak mengalami kemajuan dalam operasi-operasi refleks dan belum
mampu membedakan apa yang ada di sekitarnya sampai pada aktivitas
sensomotorik yang kompleks, sehingga terjadi formulasi baru terhadap
organisasi pola-pola lingkungan. Individu mulai menyadari bahwa semua
benda yang berada di sekitarnya mempunyai keberadaan, dapat ditemukan
kembali dan mulai mampu membuat hubungan-hubungan sederhana
antara benda-benda yang mempunyai persamaan.

b. Tahap Praoperasional (Usia 2-7 tahun)


Pada tahap ini objek dan peristiwa mulai mendapatkan arti secara
simbolik. Misalnya: kursi adalah tempat untuk duduk, pura, gereja adalah
tempat beribadah, sekolah adalah tempat belajar. Kemampuan anak untuk
belajar tentang konsep yang lebih kompleks meningkat apabila diberikan
contoh-contoh yang nyata dan familiar (yang sudah dikenal). Melalui

40
berbagai contoh tersebut anak mendapatkan suatu gambaran ataupun
kriteria yang digunakan untuk 'mendefinisikan' konsep yang disampaikan
kepadanya.

c. Tahap Operasional (Usia 7-11 tahun)


Pada tahap ini anak mulai menyusun data ke dalam berbagai hubungan
logis dan mendapatkan kemudahan untuk memanipulasi data guna
memecahkan suatu masalah. Hal ini bisa dimungkinkan dan bahkan terjadi
jika objek nyata memang ada dan bahwa pengalaman-pengalaman aktual
pada masa lalu bisa disusun dalam suatu kerangka hubungan timbal balik
atau hubungan yang berkebalikan.

d. Tahap Operasional Formal (Usia 11 ke atas)


Tahap ini ditandai oleh perkembangan kegiatan (operasi) berpikir formal
dan abstrak. Pada tahap ini anak mampu: (a) berpikir logis tentang data
yang abstrak, (b) menilai data berdasarkan kriteria yang diterima, (c)
menyusun hipotesis dan menemukan akibat yang disebabkan oleh
hipotesis tersebut, (d) membangun teori-teori dan memperoleh simpulan
logis tanpa harus memiliki pengalaman langsung.

Piaget (1971) berpendapat bahwa setiap organisme yang ingin melakukan


adaptasi (penyesuaian) dengan lingkungannya harus mencapai titik keseimbangan
(ekuilibrium) antara aktivitas individu terhadap lingkungannya (asimilasi) dan
akitivitas lingkungan terhadap individu (akomodasi). Artinya, ketika individu
bereaksi terhadap lingkungan, dia sesungguhnya menggabungkan stimulus dunia
luar dengan struktur yang sudah ada dalam dirinya (asimilasi). Dan ketika
lingkungan bereaksi terhadap individu, dia sesungguhnya tengah berjuang untuk
mengubah struktur yang sudah dimilikinya supaya sesuai dengan stimulus dunia
luar (akomodasi).

D. Perkembangan Psikososial
Perkembangan psikososial menunjuk kepada perubahan kepribadian, emosi,
dan kemamampuan seorang anak untuk membangun relasi dan menyesuaikan diri
dengan lingkungan sosial yang lebih luas. Di dalam proses perkembangan peserta
didik diharapkan untuk lebih memahami dan menghargai orang lain. Peserta didik

41
diharapkan mampu menggambarkan ciri-ciri orang yang dijumpainya; mengenali
apa yang dipikirkan, dirasakan, dan diinginkan oleh orang tersebut; serta mampu
menempatkan diri pada sudut pandang orang lain, tanpa harus kehilangan jati
dirinya sendiri.
Teori perkembangan psikososial sangat berkaitan erat dengan prinsip-prinsip
perkembangan psikologi dan sosial. Teori perkembangan psikososial sejatinya
merupakan perkembangan dari teori perkembangan psikoseksual yang
dikembangkan oleh Sigmund Freud. Seperti Freud, Erikson pun sangat percaya
bahwa kepribadian itu berkembang dalam beberapa tingkatan. Salah satu elemen
terpenting dalam tingkatan psikososial Erikson adalah perkembangan persamaan
ego (perasaan sadar) yang terjadi melalui interaksi sosial. Menurut Erikson,
perkembangan ego selalu berubah berdasarkan pengalaman dan informasi baru
yang diperoleh selama proses interaksi dengan orang lain (Desyandri dalam
Werang, 2019).
Desyandri (dalam Werang, 2019) selanjutnya menggambarkan secara detail
‘perkembangan ego’ dalam teori psikososial Erikson sebagai berikut. Erikson
menggambarkan adanya sejumlah kualitas yang dimiliki ego, yang tidak ada pada
psikoanalisis Freud, yakni kepercayaan dan penghargaan, otonomi dan kemauan,
kerajinan dan kompetensi, identitas dan kesetiaan, keakraban dan cinta,
generativitas dan pemeliharaan, serta integritas. Ego semacam itu disebut juga
ego-kreatif karena mampu menemukan pemecahan kreatif atas masalah baru pada
setiap tahap kehidupan. Berhadapan dengan hambatan atau konflik ego kreatif
tidak menyerah begitu saja, tetapi sebaliknya bereaksi dengan menggunakan
kombinasi antara kesiapan batin dan kesempatan yang disediakan lingkungan
untuk mengatasi hambatan atau konflik tersebut. Ego bukan budak tetapi justru
menjadi tuan/pengatur id, superego dan dunia luar.
Ego yang sempurna, menurut Erikson, selalu memiliki tiga dimensi berikut.
Pertama, faktualitas. Faktualitas adalah kumpulan fakta, data, dan metode yang
dapat diverifikasi dengan metode kerja yang sedang berlaku. Ego berisi kumpulan
fakta dan data basil interaksi dengan lingkungan. Kedua, universalitas.
Universalitas berkaitan dengan kesadaran akan kenyataan (sells of reality) yang
menggabungkan hal yang praktis dan konkrit dengan pandangan semesta, mirip

42
dengan prinsip realita dari Freud. Ketiga, aktualitas. Aktualitas adalah cara baru
dalam berhubungan satu dengan yang lain, memperkuat hubungan untuk
mencapai tujuan bersama. Ego adalah realitas kekinian, terus mengembangkan
cara baru dalam memecahkan masalah kehidupan, yang lebih efektif, prospektif,
dan progresif.
Menurut Erikson, ego sebagian bersifat taksadar, mengorganisir dan
mensintesa pengalaman sekarang dengan pengalaman diri masa lalu dan dengan
diri masa yang akan datang. Dia menemukan tiga aspek ego yang saling
behubungan, yakni egobody (gambaran seseorang tentang tubuh atau fisiknya
sendiri), ego ideal (gambaran seseorang tentang bagaimana dia seharusnya hidup,
bertutur kata, berbuat, dan berperilaku), dan ego identity (gambaran seseoraang
tentang dirinya dalam berbagai peran sosial). Ketiga aspek itu umumnya
berkembang sangat cepat pada masa dewasa, namun sesungguhnya perubahan
ketiga elemen itu terjadi pada semua tahap kehidupan.
Werang (2019) meringkas karakteristik psikologi ego dari Erikson sebagai
berikut. (a) Erikson menekankan kesadaran individu untuk menyesuaikan diri
dengan pengaruh sosial. Pusat perhatian psikologi ego adalah kematangan ego
yang sehat; (b) Erikson berusaha mengembangkan teori insting dari Sigmund
Freud dengan menambahkan konsep epigenetik kepribadian; (c) Erikson secara
eksplisit mengemukakan bahwa motif mungkin berasal dari impuls id yang
taksadar, namun motif itu bisa membebaskan diri dari id seperti individu
meninggalkan peran sosial di masa lalunya. Fungsi ego dalam pemecahan
masalah, persepsi, identitas ego, dan dasar kepercayaan bebas dari id, membangun
sistem kerja sendiri yang terlepas dari sitem skerja id; (d) Erikson menganggap
ego sebagai sumber kesadaran diri seseorang. Selama menyesuaikan diri dengan
realita, ego mengembangkan perasaan keberlanjutan diri dengan masa lalu dan
masa yang akan datang.
Erikson (dalam Werang, 2019) membagi perkembangan psikososial anak ke
dalam 8 (delapan) tahap. Kesuksesan seorang anak pada suatu tahap di bawahnya
akan sangat berpengaruh pada tahapan di atasnya. Berikut keterangan singkat
tentang ke-8 tahapan perkembangan psikososial Erikson (Werang, 2019).

1. Tahap Trust versus Mistrust (Lahir – 18 bulan)

43
Pada tahap ini anak mulai belajar beradaptasi dengan lingkungannya, terutama
dengan ibu dan ayahnya sebagai lingkungan terdekat. Hal pertama yang dipelajari
anak adalah rasa percaya. Seorang ibu atau pengasuh biasanya adalah orang
penting pertama yang ada dalam dunia anak. Apabila ibu memperhatikan
kebutuhan anak seperti makan maupun kasih sayang, maka anak akan merasa
sangat aman dan percaya untuk menyerahkan dan/atau menggantungkan segala
kebutuhannya kepada ibunya. Namun, bila ibu tidak memberikan apa yang
seharusnya diberikan kepada anak, maka secara tidak langsung ibu membentuk
anaknya menjadi seorang yang penuh curiga karena dia merasa tidak aman untuk
hidup di dunia (Slavin dalam Werang, 2019). Dengan perkataan lain, pengasuhan
yang penuh dengan kasih sayang yang tulus dalam pemenuhan kebutuhan dasar
anak akan menimbulkan rasa trust pada anak terhadap lingkungan (keluarganya).
Sebaliknya pengasuhan yang tidak didasari kasih sayang dan tidak memberikan
rasa aman pada bayi akan menimbulkan ‘mistrust’ yaitu kecemasan dan
kecurigaan terhadap lingkungan.
Sama seperti Freud, Erikson menganggap hubungan ibu-anak menjadi bagian
penting dari perkembangan kepribadian. Tetapi Erikson tidak membatasi teori
hubungan id-ego dalam bentuk usaha memuaskan kebutuhan id oleh ego.
Menurutnya, situasi memberi makan merupakan model interaksi sosial antara bayi
dengan dunia luar. Rasa lapar jelas merupakan manifestasi dari kebutuhan
biologis, tetapi konsekuensi dari pemuasan id (oleh ibu) itu akan menimbulkan
kesan bagi bayi tentang ‘kasih sayang’ yang diperolehnya dari dunia luar.
Melalui pengalaman makannya, seorang bayi belajar untuk mengantisipasi
interaksinya dalam bentuk kepercayaan dasar (basic trust), yakni mereka
memandang kontak dengan manusia sangat menyenangkan karena pada masa lalu
hubungan semacam itu menimbulkan rasa aman dan menyenangkan. Tanpa basic-
trust ini bayi pasti akan mengantisipasi interaksi interpersonal dengan dunia luar
(orang-orang yang dijumpainya) dalam kecemasan karena masa lalu hubungan
interpersonalnya menimbulkan frustrasi dan rasa sakit.

2. Tahap Autonomy versus Doubt (18 bulan – 3 tahun)


Pada tahap ini anak sudah memiliki kemampuan untuk melakukan beberapa
kegiatan secara mandiri seperti makan, berjalan, atau memakai sandal.

44
Kepercayaan orang tua kepada anak pada usia ini untuk mengeksplorasi hal-hal
baru yang dapat dilakukannya secara mandiri dan memberikan bimbingan
kepadanya akan sangat membantu dalam membentuk anak menjadi pribadi yang
mandiri dan percaya diri. Sebaliknya orang tua yang membatasi dan berlaku keras
pada anak-anaknya pada usia ini akan membentuk anak tersebut menjadi orang
yang lemah dan tidak kompeten yang dapat menyebabkan munculnya rasa malu
dan ragu-ragu terhadap kemampuannya.
Rasa malu, ragu-ragu, dan tidak percaya diri pada tahapan ini akan sangat
berpengaruh pada tahap perkembangan selanjutnya. Anak di satu pihak
mempunyai impuls dan insting yang bertujuan untuk memuaskan dirinya, namun
di pihak lain ada norma yang harus diajarkan. Norma ini harus diajarkan secara
benar dan bijak. Apabila anak belum dapat mengikuti norma tersebut maka
lingkungan harus dengan bijak menyikapinya sehingga anak tidak merasa rasa
malu dengan dirinya. Toilet training merupakan salah satu isu yang sangat penting
dalam tahapan ini.

3. Tahap Initiative versus Guilty (3 tahun – 6 tahun)


Pada tahap ini kemampuan motorik dan bahasa anak mulai matang, sehingga
memungkinkan mereka untuk lebih agresif dalam mengeksplor lingkungan
mereka baik secara fisik maupun sosial. Anak, pada tahapan ini, mulai
mengembangkan inisiatif dengan mencoba kegiatan-kegiatan baru. Seorang anak,
pada tahap ini, mengembangkan keberanian untuk mencapai sesuatu. Oleh karena
itu, lingkungan sekitar (terutama orang tua) diharapkan dapat mendukung anak
untuk mencoba hal-hal yang baru. Orang tua yang suka memberikan hukuman
terhadap upaya anaknya dalam mengambil inisiatif akan membuat anak merasa
bersalah tentang dorongan alamiahnya untuk melakukan sesuatu selama fase ini
maupun fase selanjutnya.
Pada masa ini anak telah memasuki tahapan prasekolah. Anak sudah memiliki
beberapa kecakapan dalam mengolah kemampuan motorik dan bahasa. Dengan
kecakapan-kecakapan tersebut, anak terdorong untuk melakukan beberapa
kegiatan. Namun, karena kemampuan anak tersebut masih terbatas adakalanya dia
mengalami kegagalan. Kegagalan-kegagalan tersebut menyebabkan dia memiliki
perasaan bersalah. Peran orang tua untuk membimbing dan memotivasi anak

45
sangat dibutuhkan ketika anak mengalami kegagalan. Hal ini dimaksudkan agar
anak dapat melewati tahap ini dengan baik.

4. Tahap Industry versus Inferiority (6 tahun – 12 tahun)


Pada tahap ini anak sudah memasuki usia sekolah. Kemampuan akademik dan
sosialnya mulai berkembang. Anak-anak, pada tahap ini, sudah mulai melihat
adanya kaitan antara ketekunan dengan perasaan senang. Apabila suatu tugas
dapat diselesaikan dengan baik maka anak belajar keterampilan untuk menghadapi
rasa tidak mampu. Anak harus terus dilatih mengembangkan berbagai
keterampilan tertentu, terutama yang keterampilan yang sangat dibutuhkan di
masyarakat, sehingga dia memandang dirinya sebagai seseorang yang memiliki
kompetensi tertentu dan dapat berkontribusi terhadap perkembangan kehidupan
masyarakat di sekitarnya.
Pada tahap ini anak juga akan membandingkan dirinya dengan teman-
temannya. Shaffer (2005) mengatakan pada usia 9 tahun hubungan teman sebaya
menjadi sangat penting untuk anak-anak sekolah. Mereka peduli pada sikap-sikap
maupun penampilan yang akan memperkuat posisi mereka ketika berada bersama
atau di antara teman-teman sebayanya. Anak-anak yang berusia 11,5 tahun akan
semakin membandingkan dirinya dengan orang lain dan mengakui bahwa ada
aspek tertentu di mana mereka mungkin kurang dalam perbandingan tersebut,
seperti “aku tidak cantik, aku biasa-biasa saja dalam hal prestasi”.
Untuk menjaga supaya anak tidak mengalami perasaan rendah diri, orang tua
dan guru harus terus melatih anak mengerjakan tugas-tugas tertentu, mulai dari
yang paling mudah diselesaikan. Ketika anak mampu mengerjakan dan
menyelesaikan yang sudah diberikan itu dengan baik, maka orang tua dan/atau
guru dapat memberikan tugas-tugas lain yang lebih berat. Selain itu, anak juga
bisa dilatih untuk membuat jurnal kemajuan secara sederhana supaya anak dapat
melihat kemajuannya sendiri secara rutin dan menjadikannya pribadi yang
percaya pada kemampuan dirinya.
Guru yang bijak akan selalu memberikan motivasi kepada anak-anak yang
belum berhasil (gagal) supaya anak-anak tersebut tidak memiliki sifat yang rendah
diri. Guru dapat mencari momen-momen penting ketika di sekolah untuk

46
memberikan penghargaan pada semua anak supaya anak-anak dapat merasa
bangga dan percaya diri terhadap pencapaian yang mereka peroleh.

5. Tahap Identity versus Role Confusion (12 tahun – 18 tahun)


Pada tahap ini anak sudah memasuki usia remaja dan mulai mencari jati
dirinya. Masa ini adalah masa peralihan dari dunia anak-anak ke dunia orang
dewasa. Secara biologis anak pada tahap ini sudah mulai memasuki tahap dewasa,
namun secara psikis usia remaja masih belum bisa diberi tanggung jawab yang
berat layaknya orang dewasa.
Menurut Werang (2019), pertanyaan “Siapa Aku?” menjadi sangat penting
pada tahapan ini karena para remaja akan mencoba begitu banyak hal untuk
mengetahui jati diri mereka yang sesungguhnya. Para remaja ini biasanya akan
melalui semua upaya ‘coba-coba’ itu dengan teman-teman yang memiliki
kesamaan komitmen dalam sebuah kelompok. Hubungan mereka dalam kelompok
biasanya sangat erat dengan tingkat solidaritas yang tinggi antarsesama anggota
kelompok. Erikson (dalam Werang, 2019) meyakini bahwa individu tanpa
identitas yang jelas pada akhirnya akan menjadi tertekan dan kurang percaya diri.
Mereka bahkan akan dengan lapang dada menerima ketika dicap sebagai ‘orang
yang tidak punya tujuan hidup’ atau bahkan dipandang sebagai ‘pecundang’ dan
‘kambing hitam’. Harter (dalam Werang, 2019) mengatakan bahwa remaja yang
terlalu kecewa atas penggambaran diri mereka yang tidak konsisten akan
bertindak keluar dari karakter dalam upaya untuk meningkatkan citra mereka atau
mendapat pengakuan dari orang tua atau teman sebaya.
Anak pada usia ini rawan untuk melakukan beberapa hal negatif dalam rangka
pencarian jati diri mereka. Bimbingan dan pengarahan baik dari orang tua maupun
guru juga diperlukan bagi anak pada tahap ini, agar mereka dapat menemukan jati
diri mereka sebenarnya.

6. Tahap Intimacy versus Isolation (± 18 tahun – 40 tahun)


Pada tahap ini, seseorang sudah mengetahui jati diri mereka dan akan menjadi
apa mereka nantinya. Jika pada masa sebelumnya, individu memiliki ikatan yang
kuat dengan kelompok sebaya, namun pada masa ini ikatan kelompok sudah
mulai longgar. Pada fase ini seseorang sudah memiliki komitmen untuk menjalin

47
suatu hubungan dengan orang lain. Dia sudah mulai selektif untuk membina
hubungan yang intim hanya dengan orang-orang tertentu yang sepaham. Namun,
jika dia mengalami kegagalan, maka akan muncul rasa keterasingan dan jarak
dalam berinteraksi dengan orang.
Keberhasilan seseorang dalam melewati fase ini tentu saja tidak terlepas dari
fase-fase sebelumnya. Apabila pada fase sebelumnya seseorang belum mampu
mengatasi perasaan curiga, rendah diri, dan kebingungan identitas maka hal ini
akan sangat berdampak pada kegagalan dalam membina sebuah komunikasi atau
hubungan dengan orang lain. Orang ini cenderung akan berkembang menjadi
seseorang yang sangat terisolasi. Karena itu, bantuan dan dukungan moral dari
pasangan ataupun teman dekat sangat dibutuhkan agar orang yang sempat gagal
pada fase sebelumnya dapat dibantu untuk melewati tahap ini dengan sukses.

7. Tahap Generativity versus Absorption (± 40 tahun – 65 tahun)


Generativitas adalah perluasan cinta ke masa depan. Sifat ini adalah
kepedulian terhadap generasi yang akan datang. Generativitastercermin di dalam
sikap peduli terhadap orang lain. Salah satu tugas dan tanggung jawab yang harus
diemban pada tahapan perkembangan psikososial ini adalah mengabdikan diri
bagi perkembangan generasi berikutnya demi mencapai suatu keseimbangan
antara kemauan untuk ‘melahirkan sesuatu’ (generativitas) dan kemauan untuk
tidak berbuat apa-apa (stagnasi).
Biasanya orang yang telah mencapai fase generativitas akan berusaha
melaluinya dengan membesarkan anak-anak mereka sendiri. Krisis tahap ini dapat
juga dilalui dengan melewati beberapa bentuk produktivitas dan kreativitas
lainnya seperti mengajar. Pada tahap ini orang harus terus tumbuh dalam memikul
tanggung jawab yang diembankan kepada mereka. Orang yang tidak mau atau
tidak mampu memikul tanggung jawab ini cenderung akan stagnan dan
berkembang menjadi pribadi yang sangat egois.
Di dalam tahap perkembangan ini orang yang telah memasuki usia dewasa
dapat menjalin hubungan atau berinteraksi secara baik dan menyenangkan dengan
generasi penerusnya. Orang dewasa diharapkan untuk selalu membimbing
generasi penerus dengan tidak memaksakan kehendak kepada generasi penerus
berdasarkan pengalaman yang mereka alami.

48
8. Tahap Integrity versus Despair (± 65 ke atas)
Seseorang yang berada pada fase ini cenderung menengok ke belakang untuk
melihat kembali (flash-back) kehidupan yang sudah dijalaninya dan akan
berusaha menyelesaikan semua permasalahan yang belum sempat terselesaikan
sebelumnya. Pengakuan atas prestasi, kegagalan, dan keterbatasan pribadi menjadi
hal utama yang menuntun seseorang kepada sebuah kesadaran bahwa kehidupan
seseorang merupakan tanggung jawab orang itu sendiri. Orang yang mampu
melewati tahap ini akan mampu mencapai garis kebijaksaan, termasuk ketika
menghadapi kematian.

E. Perkembangan Moral
Kata bahasa Indonesia ‘moral’ diturunkan dari kata bahasa Latin mos yang
berarti adat kebiasaan. Adat kebiasaan menunjuk kepada nilai-nilai dan asas-asas
moral tertentu yang dianut oleh suatu kelompok masyarakat. Nilai-nilai dan asas-
asas moral ini biasanya mewujud dalam bentuk norma-norma yang menjadi
pegangan hidup bagi seseorang atau suatu kelompok dalam mengatur perilaku
hidupnya. Berdasarkan pengertian ini dapat disimpulkan bahwa ‘moral’ adalah
nilai-nilai dan norma-norma yang menjadi pegangan bagi seseorang atau suatu
kelompok dalam mengatur perilaku hidupnya untuk mencapai ideal hidup yang
dianggap baik dan benar (Werang, 2018).
Velasques (1998) mengemukakan beberapa hal yang mencirikhaskan
penentuan hakikat standar moral, yaitu: (a) standar moral berkaitan dengan
persoalan yang secara serius merugikan atau yang benar-benar akan
menguntungkan manusia; (b) standar moral ditetapkan atau diubah berdasarkan
keputusan dewan otoritatif tertentu; (c) standar moral tidak ditetapkan oleh
kekuasaan; (d) validitas standar moral terletak pada kecukupan nalar yang
digunakan untuk mendukung atau membenarkannya. Artinya, sejauh nalarnya
mencukupi maka standarnya tetap sah; (e) standar moral harus lebih diutamakan
daripada nilai-nilai yang lain, apalagi kepentingan pribadi; (f) standar moral
didasarkan pada pertimbangan yang tidak memihak; dan (g) standar moral
diasosiasikan dengan emosi tertentu dan kosa kata tertentu, seperti: jika kita
melanggar norma moral maka batin kita akan tidak tenang dan kita akan selalu
dihantui oleh rasa bersalah, malu ataupun menyesal.

49
Dengan ‘nilai moral’ dimaksudkan sesuatu yang bermanfaat bagi manusia, baik
sebagai pribadi maupun sebagai kelompok. Sedangkan dengan ‘norma moral’
dimaksudkan seperangkat aturan tentang bagaimana manusia harus berperilaku
supaya menjadi baik. Menurut Magnis-Suseno (1989), ‘norma moral’ merupakan
neraca ukur untuk menentukan benar atau salahnya sikap dan tindakan manusia
dilihat dari segi baik-buruknya sebagai manusia dan bukan sebagai pelaku peran
tertentu dan terbatas.
Nilai dan norma moral terhimpun dalam apa yang disebut sebagai moralitas
(Werang, 2018). Moralitas diartikan sebagai keseluruhan sistem nilai dan norma
tentang bagaimana manusia harus bersikap dan berperilaku agar dapat disebut
baik sebagai manusia. Sistem nilai ini mewujud dalam berbagai bentuk ajaran
moral seperti petuah, nasihat, amanat, wejangan, peraturan, dan perintah yang
diwariskan secara turun temurun, antara lain melalui keluarga, lembaga agama
dan lembaga Negara (Magnis-Suseno, 1989). Moralitas memberikan kepada
manusia petunjuk kongkrit tentang bagaimana dia harus hidup dan bertindak,
bersikap dan berperilaku agar menjadi manusia yang baik, serta bagaimana dia
harus menghindari sikap dan perilaku yang tidak baik.
Perkembangan moral seorang anak banyak ditentukan atau dipengaruhi oleh
faktor lingkungan, baik keluarga maupun lingkungan lain yang lebih luas. Anak-
anak memperoleh nilai-nilai moral dari lingkungannya, terutama dari orang tua.
Orang tua memegang peranan yang sangat penting dan menentukan dalam
mengembangkan moral anak. Sehubungan dengan perkembangan moral anak,
Yusuf (dalam Werang, 2015a) merunut beberapa sikap yang perlu diperhatikan
oleh para orang tua.

1. Ayah dan ibu harus memiliki sikap dan perlakuan yang sama dalam
membolehkan atau melarang tingkah laku tertentu kepada anak. Selain itu,
orang tua juga harus konsisten. Artinya, suatu perbuatan atau sikap yang
pada hari ini sangat tidak diperbolehkan, harus tetap tidak diperbolehkan
pada hari-hari selanjutnya.

2. Sikap dan perilaku orang tua sendiri secara tidak langsung dapat
berpengaruh bterhadap perkembangan moral anak, karena anak-anak akan
selalu meniru. Melalui proses imitasi, anak-anak akan melakukan apa yang

50
dilakukan kedua orang tuanya. Sikap orang tua yang keras (otoriter)
cenderung akan melahirkan sikap disiplin semu pada diri anak. Sedangkan
sikap yang acuh tak acuh atau sikap masa bodoh terkadang cenderung
mengembangkan sikap yang kurang bertanggung jawab dan kurang
memedulikan norma pada diri anak-anak. Sikap yang sebaiknya dimiliki
oleh para orang tua adalah sikap penuh kasih sayang, dialogis, terbuka,
dan konsisten.

3. Orang tua merupakan panutan atau teladan bagi anak-anak, termasuk


panutan dalam mengamalkan ajaran agama. Orang tua yang menciptakan
iklim religius dalam diri anak-anaknya, anak-anak tersebut cenderung
memiliki perkembangan moral yang baik.

4. Orang tua yang tidak menghendaki anaknya berbohong atau berlaku tidak
jujur, maka mereka harus menjauhkan dirinya sendiri dari perilaku
berbohong dan tidak jujur. Apabila orang tua mengajarkan anak-anaknya
untuk selalu sopan dalam bertutur kata, bertanggung jawab, taat beragama,
dan tidak berbohong, tetapi mereka sendiri menampilkan sikap dan
perilaku yang sebaliknya, maka anak-anak akan mengalami konflik batin.
Anak-anak, pada gilirannya, akan menggunakan ‘ketidakkonsistenan kata
dan perbuatan orang tuanya itu’ sebagai alasan untuk tidak melakukan apa
yang diajarkan kepada mereka, dan bahkan akan bersikap dan berperilaku
seperti kedua orang tuanya.

Jean Piaget (1962) menggambarkan perkembangan moral melalui aturan


permainan. Berdasarkan hasil observasi yang dilakukannya terhadap berbagai
aturan permainan yang digunakan oleh anak-anak, Piaget (1962) berkesimpulan
bahwa pemikiran anak-anak tentang moralitas dapat dibedakan atas dua tahap,
yaitu (a) tahap heteronomous morality, dan (b) tahap authonomous morality.

a. Heteronomous Morality
Istilah lain untuk heteronomous morality adalah morality of constrain.
Heteronomous morality mengacu kepada tahapan perkembangan moral yang
terjadi pada anak-anak usia kira-kira 6-9 tahun. Di dalam tahap berpikir ini,
anak-anak menghormati berbagai ketentuan permainan sebagai sesuatu yang

51
bersifat suci dan tidak dapat diubah, karena berasal dari otoritas yang
dihormati. Anak-anak pada usia ini yakin akan keadilan imanen, yaitu suatu
konsep bahwa hukuman pasti akan segera dijatuhkan bila suatu aturan
dilanggar. Pelanggaran diasosiasikan secara otomatis dengan hukuman. Setiap
pelanggaran pasti akan dihukum berdasarkan tingkat pelanggaran yang telah
dilakukan, tanpa peduli apakah pelanggaran itu disengaja atau tidak.

b. Authonomous Morality
Istilah lain untuk authonomous morality adalah morality of cooperation.
Authonomous morality mengacu kepada tahapan perkembangan moral yang
terjadi pada anak-anak usia kira-kira 9-12 tahun. Pada tahap ini anak mulai
sadar bahwa berbagai aturan dan hukum yang ada di muka bumi ini
merupakan buatan manusia, dan bahwa hukuman yang dikenakan atas suatu
tindakan pelanggaran harus mempertimbangkan maksud pelaku dan akibat-
akibatnya. Bagi anak-anak usia ini, penerapan suatu aturan lebih didasarkan
pada masalah kenyamanan dan kontrak sosial yang telah disepakati bersama.
Atas dasar pemikiran ini, suatu perubahan hanya akan diterima dan diakui
berdasarkan suatu kesepakatan bersama. Pada tahap perkembangan moral ini,
anak-anak sudah mampu meninggalkan penghormatan yang sepihak kepada
otoritas yang telah menetapkan aturan dan mengembangkan penghormatan
terhadap teman-teman sebayanya. Mereka akan lebih taat dan patuh kepada
peraturan kelompok sebaya daripada peraturan yang ditetapkan oleh otoritas
tertentu.

Selain Piaget, sarjana lain yang meluangkan banyak waktu dan tenaga untuk
mempelajari fenomena moral dari sudut pandangan psikologi adalah Lawrence
Kohlberg (1927-1988). Kohlberg (1969) memperluas usaha Piaget dalam dua
cara, yaitu (a) Kohlberg melakukan penelitiannya tentang orang berumur 6-28
tahun yang sebagian besar telah diikutinya dari masa anak-anak sampai dewasa.
Artinya, sesudah jangka waktu tertentu dia menyelidiki orang yang sama supaya
dapat menentukan perkembangan moralnya; dan (b) Kohlberg memperluas
horizon kultural dengan mengikutsertakan dalam penelitiannya subjek dari negara
dan kebudayaan lain seperti Malaysia, Taiwan, Mexico, dan Turki (tidak hanya di
Amerika tempat dia sendiri hidup).

52
Kohlberg (1969) meyakini bahwa hasil penelitiannya berlaku secara
transkultural dan tidak terbatas pada suatu kebudayaan tertentu saja. Kohlberg
menemukan bahwa perkembangan moral seorang anak berlangsung menurut
enam tahap atau fase, tetapi tidak setiap anak berkembang dengan cepat, sehingga
tahap-tahap itu tidak dengan pasti dapat dikaitkan dengan umur tertentu. Bisa
terjadi juga bahwa seorang anak terfiksasi dalam suatu tahap dan tidak akan
berkembang lagi. Keseluruhan hasil penelitian Kohlberg tentang perkembangan
moral anak dapat diringkas dalam Tabel 2.2.

Tabel 2.2. Perkembangan Moral Anak Menurut Kohlberg

Tingkat Pertumbuhan Tahap Pertumbuhan Perasaan

Tingkat Pramoral Tahap 0


Perbedaan antara baik dan buruk
0-6 Tahun
belum didasarkan atas
kewibawaan atau norma-norma.

Tingkat Prakonvensional Tahap 1


Perhatian khusus untuk Anak berpegang pada kepatuhan Takut untuk akibat-
akibat perbuatan: hukuman, dan hukuman. Takut untuk akibat negatif dari
ganjaran; motif-motif kekuasaan dan berusaha perbuatan.
lahiriah dan partikular. menghindarkan hukuman

Tahap 2
Anak mendasarkan diri atas
egoisme naif yang kadang-
kadang ditandai relasi timbal-
balik: do utdes.

Tingkat Konvensional Tahap 3


Perhatian juga untuk maksud Orang berpegang pada Rasa bersalah terhadap
perbuatan: memenuhi keinginan dan persetujuan dari orang lain bila tidak
harapan, mempertahankan orang lain. mengikuti tuntutan-
ketertiban. tuntutan lahiriah.

Tahap 4
Orang berpegang pada
ketertiban moral dengan
aturannya sendiri.

Tingkat Pascakonvensional Tahap 5


atauTingkat Berprinsip
Orang berpegang pada

53
Hidup moral adalah persetujuan demokratis, kontrak Penyesalan atau
tanggung jawab pribadi atas sosial, konsensus bebas. penghukuman diri
dasar prinsip-prinsip batin: karena tidak mengikuti
maksud dan akibat-akibat Tahap 6 pengertian moralnya
tidak diabaikan motif-motif Orang berpegang pada hati sendiri.
batin dan universal. nurani pribadi, yang ditandai
oleh keniscayaan dan
universalitas.

Sumber: Werang (2019)

Menurut Kohlberg tahap ke-6 adalah tahap yang paling tinggi dan sempurna.
Bila ditinjau dari sisi isi dan bentuknya, tahap 6 akan tetap dinilai sebagai puncak
perkembangan moral. Atas dasar pemikiran ini, menurut Kohlberg, tahap ke-6
harus menjadi tujuan pendidikan moral, walaupun pada kenyataannya hanya
sedikit orang yang berhasil mencapai tahap ini.

54

Anda mungkin juga menyukai