Disusun Oleh:
1. AKHFINI (NIM: 7183142037)
2. INDAH YULIA PUTRI (NIM: 7183142036)
3. NAZHIIFAH ULAYYA NST (NIM: 7182142015)
4. ROSLIANA BERUTU (NIM: 7181142017)
PENDIDIKAN AKUNTANSI
FAKULTAS EKONOMI
UNIVERSITAS NEGERI MEDAN
MEDAN 2020
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Hukum adalah komponen yang sangat erat hubungannya dengan masyarakat, dan pada
dasarnya hukum itu adalah masyarakat itu sendiri. Setiap tingkah laku masyarakat selalu di
monitor oleh hukum, baik hukum yang tertulis maupun hukum yang tidak tertulis. Negara
Indonesia adalah Negara hukum yang memiliki penduduk mayoritas beragama islam, secara
sengaja maupun tidak sengaja hal tersebut mempengaruhi terbentuknya suatu aturan hukum yang
berlandaskan atas agama Islam.
Sedikit kita tilik, pada hakikatnya hukum islam sangat adil (terutama hukum pidana) dan
hukumannya pun dapat menimbulkan efek jera bagi pelaku dan dapat menjadi pelajaran bagi
yang lain. Tetapi untuk pelaksanaan hukuman untuk si pelaku cukup sulit, semisal pidana potong
tangan bagi yang mencuri, eksekusi tidak bisa dilaksanakan sebelum mendatangkan 4 saksi, 4
saksi harus disumpah untuk membuktikan kebenarannya. Jadi salah apabila ada orang yang
mengatakan bahwasanya hukum islam itu sangat kejam dan tidak pantas diterapkan karena tidak
manusiawi. Hal ini disebabkan ia belum memahami benar hukum islam secara menyeluruh. Bila
kita memahami benar prinsip hukum islam, kita akan mengetahui betapa adil dan membawa
kemaslahatan bagi seluruh lapisan masyarakat, karena tidak memandang jabatan atau pangkat
sekalipun itu raja apabila bersalah wajib menerima hukuman sesuai ketentuan yang berlaku.
B. Rumusan Masalah
1. Bagaimana menumbuhkan kesadaran hukum untuk menaati hukum Allah?
2. Apa saja pembagian dalam hukum islam?
C. Tujuan Penulisan
1. Untuk mengetahui cara menumbuhkan kesadaran hukum untuk menaati hukum Allah.
2. Untuk mengetahui pembagian hukum islam.
BAB II
PEMBAHASAN
g َنgوgُلgوgَُ قgَو يg g ِهgِ لg ُسg ُرgَو gِ َن هَّللاg gَ ْيg بgاgوgُِّر قg َgفgُ يgنgْ َgَن أg g وg ُدg يg ِرgُ يg َوg ِهgِ لg ُسgَو ُرg gِ هَّللg اgَِن بg g وg ُرgُ فgَ ْكgَن يg g يg ِذgَّلg اg َّنgِإ
اًلg يgِ بgس
َ gك َ gِ لg َذgٰ َنg gَ ْيg بgاg وg ُذg ِخgََّ تg يgنgْ َgَن أg g وg ُدg يg ِرgَُو يg gض ٍ gَ ْعg بgِ بg ُرgُ فgَ ْكgَو نg )150( gض ٍ gَ ْعg بgِ بgنgُ g ِمgؤgْ gُن
Artinya:
Sesungguhnya orang-orang yang kafir kepada Allah dan rasul-rasul-Nya, dan bermaksud
memperbedakan antara (keimanan kepada) Allah dan rasul-rasul-Nya, dengan mengatakan:
"Kami beriman kepada yang sebahagian dan kami kafir terhadap sebahagian (yang lain)", serta
bermaksud (dengan perkataan itu) mengambil jalan (tengah) di antara yang demikian (iman
atau kafir).(Q.S An-Nisa’: 150).
Disebabkan hukum islam disyariatkan untuk kepentingan dunia dan akhirat maka keadaan
iini menjadi faktor terpenting yang mendorong pemeluknya untuk menaati hukum tersebut
secara publik dan pribadi pada waktu suka atau duka.
Dari segi banyak sedikitnya orang yang meriwayatkan, Hadis (Sunnah) dibagi menjadi tiga,
yaitu:
a) Hadis Mutawatir, yaitu hadis yang diriwayatkan oleh orang banyak sejak Rasulullah saw
sampai masa ia dibukukan. Karena sangat banyak orang yang meriwayatkannya, maka
tidak ada kemungkinan ia dibuat-buat oleh orang-orang tertentu. Contoh: hadis tentang
cara-cara melakukan shalat, haji, dan sebagainya.
b) Hadis Masyhur, yaitu hadis yang diriwayatkan oleh banyak orang pada permulaan
tingkatan tetapi tidak sebanyak orang yang meriwayatkan hadis mutawatir, namun
terkadang ia menyamai tingkatan mutawatir pada masa-masa sesudahnya. Contoh:
hadis yang diriwayatkan oleh sahabat Umar ra dan Ibnu Mas’ud ra.
c) Hadis ahad, yaitu hadis yang diriwayatkan dari Rasulullah saw. Oleh perseorangan
sampai kepada masa kemudian. Kebanyakan hadis yang termasuk tingkatan ahad,
yaitu yang diriwayatkan di bawah tiga orang periwayat.
Kata-kata, perbuatan, dan pengakuan (taqrir) Rasul saw yang terkait dengan peristiwa-
peristiwa hukum (tasyri’) dan diriwayatkan dengan sahih, maka ia mengikatt bagi kaum Muslim
dan wajib dilaksanakan. Sifat Sunnah yang demikian didasarkan atas ketentuan Al-Qur’an di
dalam surah al-Hasyr ayat 7 yang berbunyi:
Jadi, Sunnah merupakan sumber hukum yang wajib dilaksanakan berdasarkan dalil dan
ketentuan Al-Qur’an. Pelaksanaan hukum-hukum tersebut ditaati oleh sahabat-sahabat Nabi
saw., baik sewaktu beliau masih hidup atau sesudah meninggal. Ini merupakan prinsip dasar
yang harus diterima kaum Muslim dan telah menjadi ijma’.
c. Ijma’
Ijma’ adalah kebulatan pendapat semua ulama mujtahid dari umat Islam atas suatu pendapat
(hukum) yang disepakati oleh mereka, baik dalam suatu pertemuan atau terpisah, maka hukum
tersebut mengikat, wajib ditaati. Dalam hal ini ijma’ merupakan dalil qath’i (pasti). Namun,
ketika hukum tersebut hanya pendapat kebanyakan mujtahid, maka dianggap sebagai dalil
zhanni (dugaan kuat).
Dasar dari ijma’ ialah Al-Qur’an dan juga Sunnah Rasul saw. Hal ini dikarenakan ijma’ tidak
boleh didasarkan atas kemauan atau hawa nafsu melainkan harus ditegakkan berdasarkan aturan-
aturan Syara’ dan ruhnya. Ia diterapkan ketika tidak terdapat nas dari Al-Qur’an da Sunnah
secara tegas yang menjelaskannya.
Kekuatan ijma’ sebagai sumber (dalil) hukum yang mengikat ditentukan oleh Al-Qur’an dan
Sunnah. Misalnya surah an-Nisa’ ayat 59:
Artinya:
Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul (Nya), dan ulil amri di antara
kamu. Kemudian jika kamu berlainan pendapat tentang sesuatu, maka kembalikanlah ia kepada
Allah (Al Quran) dan Rasul (sunnahnya), jika kamu benar-benar beriman kepada Allah dan hari
kemudian. Yang demikian itu lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya.
Macam-macam ijma’:
Ijma’ sharih atau Ijma’ Bayaniy, yaitu masing-masing mujtahid menyatakan dan menegaskan
pendapatnya, baik berupa ucapan ataupun tulisan.
Ijma’ Sukuty, yaitu seorang mujtahid mengungkapkan pendapatnya sedangkan mujtahid lain
diam saja dan tak seorangpun yang mengingkarinya.
d. Qiyas
Qiyas adalah mempersamakan hukum dari peristiwa yang belum ada ketentuannya dengan
hukum pada peristiwa yang sudah ada ketentuannya. Sebab antara kedua peristiwa tersebut
terdapat segi-segi persamaan (‘illat).
Rukun qiyas ada empat, yaitu adanya ashl, furu’, ‘illah, dan hukum. Ashl adalah sesuatu yang
telah ditetapkan hukumnya oleh nash. Furu’ adalah sesuatu yang hukum-hukumnya tidak
dijelaskan nash, namun mujtahid ingin menyamakan hukumnya dengan hukum ashl. Hukum
adalah ketetapan atau hukum syara’ yang ditetapkan nash pada ashl. ‘Illah yaitu suatu sifat yang
ditemukan pada ashl (hukum yang memilliki nash) yang dibangun di atas sifat itu hukum syara’
ditegakkan.
Macam-macam qiyas:
a) Qiyas Aula, yaitu suatu qiyas yang ‘illatnya mewajibkan adanya hukum dan yang
disamakan(mulhaq) mempunyai hukum yang lebih utama daripada tempat
menyamakannya(mulhaq bih). Misalnya, mengqiyaskan memukul kedua orang tua dengan
mengatakan “ah”(cih,hus) kepadanya yang terdapat pada surat Al-Isra’ ayat 23.
...)23(... ٍّفَاَل تَقُلْ لَهُ َما أُف
Artinya:
...Maka sekali-kali janganlah kamu mengatakan kepada keduanya perkataan “ah”...
b) Qiyas Musawi, yaitu suatu qiyas yang ‘illatnya mewajibkan adanya hukum dan ‘illat hukum
yang terdapat dalam mulhaq-nya adalah sama dengan ‘illat hukum yang terdapat pada
mulhaq bih. Misalnya, haramnya membakar harta anak yatim disamakan dengan memakan
harta anak yatim(surat An-Nisa’ ayat 10).
ال ْاليَتَا َمى ظُ ْل ًما ِانَّ َما يَأْ ُكلُوْ نَ فِ ْي بُطُوْ نِ ِه ْم نَارًا َو َسيَصْ لَوْ نَ َس ِع ْيرًا
َ إِ َّن الَّ ِذ ْينَ يَأْ ُكلُوْ نَ أَ ْم َو.
Artinya:
Sesungguhnya orang-orang yang memakan harta anak yatim secara dzalim, sebenarnya
mereka itu menelan api sepenuh perutnya dan mereka akan masuk ke dalam api yang
menyala-nyala(neraka).
c) Qiyas Dilalah, yaitu suatu qiyas dimana ‘illat yang ada pada mulhaq menunjukkan hukum,
tetapi tidak mewajibkan hukum padanya seperti mengqiyaskan harta milik anak kecil kepada
harta orang dewasa dalam kewajibannya mengeluarkan zakat, dengan ‘illat bahwa
seluruhnya adalah harta benda yang mempunyai sifat bertambah.
d) Qiyas Syibhi, yaitu suatu qiyas dimana mulhaq-nya dapat diqiyaskan dengan dua mulhaq bih
yang mengandung banyak persamaannya dengan mulhaq. Misalnya, seorang budak yang
dapat diqiyaskan dengan orang merdeka karena sama-sama keturunan Nabi Adam as. dan
dapat diqiyaskan dengan harta benda karena sama-sama dapat dimiliki. Tapi, budak tersebut
diqiyaskan dengan harta benda karena dapat diperjual belikan, dihadiahkan, diwariskan dan
lain sebagainya.
A. Kesimpulan
Hukum Islam ialah ketentuan Allah yang berkaitan dengan perbuatan orang mukallaf yang
mengandung suatu tuntutan, pilihan, sebab, syarat, atau penghalang bagi adanya sesuatu yang
lain.
Syariat Islam menyamaratakan hukum dan keadilan antara sesama umat Islam.Islam
mengerahkan kekuatan manusia kepada tujuan besar, yaitu kepentingan masyarakat dengan
memanfaatkan segala bentuk kebajikan yang disumbangkan setiap individu.
B. Saran
DAFTAR PUSTAKA
Abdullah, Sulaiman. 1995. Sumber Hukum Islam Permasalahan dan Fleksibilitasnya. Jakarta:
Sinar Grafika
Anwar, Husnel. 2017. Islam Kaffah Pendidikan Agama Islam Untuk Perguruan Tinggi. Medan:
Perdana Publishing