PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
B. Tujuan
C. Manfaat
2
II. TINJAUAN PUSTAKA
3
habitat. Indikator biodiversitas dapat dibedakan menjadi 3 kelompok yaitu
kelompok referensi, kelompok kunsi dan kelompok focal
Kategori indikator Fungsi alternatif (indikator digunakan untuk)
4
Tabel 2. Lanjutan
No Kriteria Bioindikator
Lingk Ekol Biodiv
9 Ukuran sampel relativ independen
10 Perubahan mudah diamatidengan remote sensing
11 Baseline data biologi tersedia v v
12 Kelimpahan data autecologi
13 Variabilitas fungsi dan genetik rendah v
Sensitivitasnya cukup untuk menyediakan
14 v
peringatan dini
Dapat dibedakan antara daur yang bersifat
alami dengan kecenderungan yang
15 v v
disebabkan oleh faktor
tekanan antropogenik
Memiliki komponen, fungsi dan proses yang
16 v v
kritis
Responnya dapat didefinisikan secara baik
17 (mati/penurunan; perubahan/pendewasaan; v v
pindah/dipindah oleh spesies lain)
Bukan spsies target jika diaplikasikan
18 v v
pestisida
19 Terakumulasi polutan dengan segera v
20 Mudah untuk dikultur di laboratoris v
Dapat menyediakan penilaian yang
21 berkesinambungan dalam rentang tekanan v
yang luas
Arti pentingnya secara agrikultur,ekologis
22
dikenal
Memiliki nilai ekonomis baik sebagai sumber
23
Ataupun hama
Mewakili semua tingkat tropik dan petunjuk
24 v
fungsi utama
25 Cocok dengan kelompok target v
26 Mewakili takson yang terkait atau tidak v v
27 Memiliki ukuran dan bentuk tubuh yang luas
28 Cenderung untuk terdistribusi secara luas v
Kekayaan informasi : distribusi yang
29 v
representatif
Kelopok seharusnya memilikispesies yang tak
30 terhubung, tersebar secara lingkungan v
didalam distribusinya
Mewakili keragaman kelompok yang kecil,
31 v
sedang dan tinggi
32 Range yang luas dari kekhasan inang v
Sumber : McGeoch (1998)
5
Bioindikasi dapat meliputi beberapa variasi skala dari aspek makromolekul,
sel, organ, organisme, populasi, sampai biocoenosis (ekosistem). Sehingga bentuk
bioindikasi meliputi : (1) reaksi biokima dan fisiologis; (2) penyimpangan bentuk
anatomis, morfologis, bioritme dan tingkah laku dari kondisi normalnya, (3)
perubahan floristik, faunistik, populasi secara berurutan (kronologis), (4)
perubahan ekosistem atauapun kombinasi ekosistem, (5) perubahan bentuk dan
fungsi ekosistem, dan (6) perubahan dari sifat lansekap (Mhatre & Pankhurst
1996).
Tipe indikator secara umum dibedakan menjadi tiga kelompok yaitu : (1)
Indikator (kehadiaran dan abensinya menyimpulkan tentang permasalahan
lingkungan, secara kuantitaif jarang). (2) Spesies uji (tanggapannya
mengindikasikan tentang permasalah yang luas, spesies uji umumnya memiliki
standardisasi yang tinggi), (3) Monitor (menyediakan bukti akan adanya
perubahan, kesimpulan kuantitaif biasanya mungkin melalui kalibrasi). Monitor
terdiri dari monitor aktif (organisme monitor yang tersedia dengan cepat di alam)
dan monitor pasif (organisme monitor yang diintoduksi). Monitor pasif terdiri dari
reaktor (tanggapannya adalah perubahan fungsi atau reaksi) dan akumultor
responya diamati dari akumulasi polutan (Hornby & Bateman 1996).
Pengembangan sistem bioindikator dapat dilihat sebagai hubungan timbal
balik antara faktor lingkungan dengan parameter biologis. Karakteristik biologis
diantara adalah komposisi jenis, gejala kerusakan suatu organisme, tubuh yang
terkontaminasi polutan, induksi dan penghambatan enzim (Straalen 1996).
Efektivitas suatu bioindikator tergantung pada kekuatan hubungan antara faktor
lingkungan dan papameter biologis. Interaksi natara kedua parameter ini dapat
dilahat pada Gambar 2.
Hubungan kausatif
Parameter Parameter
Lingkungan Biologis
Digunakan sebagai bioindikator
6
B. Lichen sebagai Bioindikasi kondisi lingkungan Tercemar
7
melanophtalma dikenal sebagai bioindikator kelimpahan Cu ( Pandolfini et al.
1996). Lecanora atra menunjukan konsentrasi yang tinggi terhadap Mg dan Fe di
thallinya. Ramalina lacera merupakan indikator peringatan dini untuk mendeyksi
tekanan polusi udara (Weissman et al. 2006). Spesies ini menunjukan respon
ROS (reaktive oxygen species) dari hasil interaksi dengan polutan di udara dengan
menghasilkan aktivitas antioksidan, namun dalan jangka panjang menyebabkan
kerusakan selular. Dalam percobaan ini menunjukan peningkatan rasio klorofil
a/klorofil b pada lichen yang dipapar dengan polutan.
8
III. BAHAN DAN METODE
C. Pelaksanaan Kegiatan
1. Pemilihan tempat
Lokasi untuk pengamatan lichen dipilih berdasarkan tingkat pencemaran
kawasan tersebut dan jarak dari sumber utama polutan. Berdasarkan kriteria ini
maka dipilih kawasan-kawasan sebagai berikut: Arboretum fakultas Kehutanan
IPB Darmaga (P0), Jalan raya depan (P1), Jalan Ton Jagorawi di pintu gerbang
Tol Baranangsiang (P2), Terminal Baranangsiang (P3), Terminal Bubulak (P4),
Kompleks air mancur Taman kampus IPB (P5) dan komplek perumahan Yasmin
VI (P6).
2. Pengukuran lichen
Pemilihan pohon tempat inang lichen dipilih secara purposive. Pohon inang
dicatat nama jenis lalu diukur diameter dan tinggi bebas cabangnya. Pada satu
batang pohon diukur luasan lichen yang terdapat di batangnya dan diukur rata-
ratanya (cm2).
D. Analisis Data
9
IV. HASIL DAN PEMBAHASAN
Data hasil pengamatan luasan lichen pada batang pohon pada 7 lokasi
yang berbeda ditunjukan pada Lampiran 1 dan rekapitulasinya dapat dilihat pada
Tabel 2 di bawah ini.
Tabel 2. Rekapitulasi data pengamatan penutupan lichen pada 7 lokasi yang
berbeda
Rata-rata ± SD
Lokasi Jumlah ulangan
(cm2)
Hutan (Arboretrum FKH IPB) 77,83 ± 4.41a 6
Jalan Raya 28.13 ± 33.36b 3
Jalan Tol (Jagorawi) 8.71 ± 1.81c 3
Terminal Baranangsiang 17.33 ± 17.33c 3
Terminal Bubulak 22.33 ± 7.66c 6
Taman (Kampus IPB Darmaga) 4.99 ± 3.08d 3
Perumahan (Taman Yasmin VI) 6.19 ± 3.67cd 4
Keterengan: Nilai pada kolom 2 yang diikuti dengan huruf yang sama berarti
tidak berbeda nyata
100
penutupan lichen (cm2)
77.83
80
60
40 28.13 22.33
17.33
20 8.71 6.19 4.99
0
lokasi
10
Berdasarkan Tabel 2. penutupan lichen tertinggi terdapat di sekitar lokasi
arboretum kampus kehutanan IPB dan penutupan terkecil diperoleh di komplek
perumahan. Penutupan lichen pada lokasi yang berbeda tingkat pencemarannya
udara menunjukan pengaruh yang berbeda.
Hal ini sesuai dengan pendapat Wolterbeek et al. (2003) bahwa lichen telah
lama digunakan sebagai organisme indikator terhadap perubahan udara. Namum
umumnya yang digunakan sebagai data adalah kejadian spesies lichen
(keanekaragam jenis) pada suatu lokasi. Hubungan antara kekayaan jenis dan
konsentrasi polutan (So2) di udara menunjukan pola yang sederhana dimana
penurunan konsentarasi senyawa ini akan menurunkan jumlah lichen jenis
nitrophytic.
Secara umum meningkatnya konsetrasi senyawa toksik di udara akan
meningkatkan akumulasi senyawa-senyawa tersebut pada tubuh lichen.
Akumulasi polutan ini akan memberikan dampak pada karakter morfologi dan
fisiologi lichen. Senyawa-senyawa metal dari udara akan mengakibatkan
perubahan ukuran dan ketebalan thallial, kepadatan rhizinal, ketebalan relatif
lapisan jamur dan alga (Brown 1991 di dalam Wolterbeek et al. 2003). Pada
beberapa kasus untuk lichen yang terpapar polutan mengalami perubahan
morfologi seperti penurunan ukuran thalli dan panjang rhizinal, pertumbuhan
rhizinal lebih padat (dibandingkan dengan percabangan yang lebih banyak), thalli
yang lebih tebal, dan lapaisan alga yang relatif lebih tebal dibandingkan dengan
lapisan jamur. Mekanisme ini merupakan usaha pertahanan diri lichen terhadap
keracunan secara alami.
Polusi udara secara luas berkorelasi dengan kelimpahan dan kekayaan jenis
lichen. Namum, berdasarkan penelitian Van Dobben et al. (2001) di dalam
Wolterbeek et al. (2003) keanekaragaman hayati lichen tidak dipengaruhi oleh
sulfat, amonium, dan nitat tapi dipengaruhi oleh konsentrasi SO2 dan NO2.
Proses fisiologis menurut Wolterbeek et al. (2003) yang terjadi dimulai
dengan penumpukan logam yang meningkat sehingga menyebabkan gangguan
proses kehidupan penting (metabolisme). Efek lebih lanjut terjadi penyimpangan
produksi enzim dan aktivitas membram (Franzle 2003). Akibatnya terjadi
11
penurunan pertumbuhan populasi pada beberapa media (Richadson 1991 di dalam
Pandolfini et al. 1998).
Efek polutan terhadap lichen tergantung pada beberapa faktor antara lain:
konsentrasi polutan, periode dan lama pemaparan, kelembaban udara (sensitivitas
meningkat dengan meningkatnya kelembaban) serta transfer polutan ke dalam
materi lain (Franzle 2003).
Tingkat penutupan lichen pada lokasi secara umum menunjukan 4
kelompok (lihat Tabel 2). Pada hasil ini menunjukan suatu kecenderungan yang
tidak dapat diprediksi. Kawasan perumahan dan pertamanan yang relatif agak jauh
dari sumber polautan menunjukan angka penutupan yang lebih kecil dibandingkan
dengan jalan tol dan terminal apalagi dengan jalan umum. Umumnya jalan raya
dan terminal merupakan kawasan dengan tingkat pencemaran udara yang tinggi
karena banyaknya kendaran yang mengemisi sisa pembakaran dari mesinnya.
Hal ini bisa dikarenakan kurangnya standardisasi pengamatan ataupun
kekeliruan dalam pengamatan. Perbedaan jenis lichen pada kawasan yang teramti
juga bisa penyebab perbedaan ini. Karena respon spesies lichen terhadapan
polutan berbeda-beda.
Karakteristik anatomis dan morfologis lichen secara umum menunjukan
perbedaan fenotif dan tingkat tolerensi masing-masing jenis lichen. Morfologi
lichen tergantung terhadap temperatur, cahaya, pengambilan gas, efisiensi
pemanafaatan air. Kinerja morfologi lichen (pertumbuhan) juga sangat terkait
dengan konsentrasi SO2 di atmosfer dan peristiwa hujan asam. Pertumbuhan
lichen juga dipengaruhi oleh musim, dimana pada musim basah kecepatan
perumbuhannya tinggi. Sulfur, flour dan ozon juga mempengaruhi perubahan
ultrastruktur lichen.
Sifat-sifat fisiologis dan morfologis merupakan parameter penting dalam
proses akaumulasi logam. Oleh karena itu pengamatan lichen sebagai bioindikator
tidak hanya mendasarkan pada akumulasi polutan yang terdapat dalam lichen
tetapi juga melibatkan beberapa karaketristik morfologis dan fisiologis lichen
(Wolterbeek et al. 2003).
Standardisasi pengamatan lichen sebagai bioindikator tingkat pencemaran
udara harus memperhatikan hal-hal sebagai berikut: (1) konsistensi substrate
12
pengambilan data berdasarkan pertimbangan mikro-lingkungan (micro-
enviromental), sebagai contoh lichen yang akan diambil dijadikan sampel diambil
pada satu batang pohon atau pada sejumlah pohon secara terbatas; (2) Pohon yang
akan dijadikan unit sampling merupakan pohon yang soliter atau berada di luar
tegakan. Tegakan yang rapat biasanya pertumbuhan lichennya terhambat karena
intensitas cahayanya rendah; (3) Kapasitas buffer kulit batang pohon harus
diperhatikan. Keasaman kulit batang mempengaruhi kehadiran lichen pada batang
tersebut karena keasaman (kapasitas buffernya rendah) berbanding berbanding
terbalik dengan kehadiran lichen; (4) Karakteristik morfologi batang (yang terkait
dengan pola aliran batang (stemflow) harus diperhatikan. Pohon dengan pola
aliran btang yang berbeda harus dimasukan dalam kondisi mikrolingkungan yang
berbeda sehingga tidak dapat dipetakan; (5) karakteristik jenis lichen juga harus
diperhatikan, karena masing-masing spesies memiliki tingkat tleransi angbebeda-
beda terhadap stress polusi. Homogenitas komunitas lichen juga dapat disebabkan
oleh perbedaan pertumbuhan propagul atau kompetisi interspesifik; (6) Periode
waktu penilaian tingkat polusi terhadap flora lichen berbeda-beda tergantung pada
tingkat efek histerisis kulit batang kayu (Franzle 2003).
Berdasarkan pertimbangan-pertimbangan di atas maka standardisasi
pengamatan lichen sebagai bioindikator pencemaran udara harus mendasarkan
pada: (1) keseragaman karakteristik mikro-lingkungan (intensitas cahaya, sumber
pencemar); (2) karakteristik kulit batang pohon sebagai inang (kapasitas buffer,
morfologi kulit batang); dan (3) komposisi dan jenis flora lichen yang akan
dijadikan unit sampling.
Lichen umum digunakan sebagai biomonitoring ataupun bioindikator polusi
udara (Garty 1993 di dalam Pandolfini et al. 1998). Karena lichen sangat peka dan
merespon dengan cepat terhadap kondisi udara yang tercemar (Rasmussen et al.
1988 di dalam Pandolfini et al. 1998; Franze 2003). Sebagai bioindikator lichen
memiliki kemampuan tertanda untuk bioakumulasi dari beberapa komponen
pencemara terutama SO2, terdistribusi dengan luas secara alami dan variasi
musiman biomassa dan morfologi yang relatif stabil (Pandolfini et al. 1998).
13
V. SIMPULAN DAN SARAN
A. Simpulan
B. Saran
14
Daftar Pustaka
15
Seaward MRD. 2004. The use of lichens in enviromental impact assessement.
Symbiosis 37 : 293-305
Straalen, NH Van. 1996. Community structure of soil antropods as bioindicator of
soil health. Di dalam. Pankhurst CE, Doube BM, Gupta VVSR (editor).
Biological Indicator of Soil health. Hal : 325-347. Oxon : CABI
Weissman L, Frainberg M, Shine L, Garty J, Hochman A. 2006. Responses of
antioxidants in the lichen Ramalina lacera may serve as an early-warning
bioindcator syetem for the detction of air pollutaion stress. FEMS Microb
Ecol 58 : 41-53
Wolterbeek HT, Garty J, Reis MA, Freitas MC. 2003. Biomonitoring in use:
lichens and metal air pollution. Di dalam Markert BA, Breure AM,
Zechmeister HG (editor). Bioindicator and Biomonitoring Principles,
Concepts and Applications. Hal: 377 – 420
16
LAMPIRAN
Sumber
Db JK KT F.hitung Ftabel 1% KK (%)
keragaman
Perlakuan 6 17988.32 2998.053 16.1040604* 3.59 0.50779
Galat 21 3909.518 186.1675
Total 27 21897.84
17
Lampiran 4. Matrik perhitungan uji jarak berganda Duncan
18