Anda di halaman 1dari 18

I.

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Meningkatnya pengaruh antropogenik terhadap lingkungan membutuhan


suatu perangkat bioindikasi sebagai peringatan dini. Polusi udara (industri,
kendaraan bermotor, kegiatan rumah tangga) seperti adanya emisi gas-gas dan
logam berat ke udara, secara umum merupakan tekanan terhadap lingkungan yang
menyebabkan suatu organisme atau komunitas organisme menunjukan suatu
gejala yang akut ataupun perubahan komposisi komunitas (Chaphekar 1987 di
dalam Mhatre & pankhurst 1996).
Lumut kering (Lichen) merupakan salah satu tanaman yang mudah terpapar
oleh polutan udara yang berasal dari kegiatan manusia seperti gas-gas atau materi
buangan yang berasal dari industri, kendaran bermotor, ataupun yang berasal dari
kegiatan pertanian modern. Tanaman ini merupakan tanaman yang rentan terpapar
oleh polutan karena tidak memiliki lapisan pelindung luar seperti pada tanaman
vascular lainnya. Jaringannya mudah dipenetrasi oleh zat-zat adiktif dari luar
yang sering merupakan materi yang dapat mengacaukan sistem fisiologi pada
tanaman ini. Walaupun, ada beberapa materi tersebut merupakan material esensial
bagi fungsi sel. Konsekuensinya sejumlah spesies lichen mulai menyusut di dan
sekitar kawasan urban atau industri (Garcia et al. 2000).
Penutupan lichen pada batang-batang pepohonan meningkat secara bertahap
seiring dengan penurunan konsentarsi zat polutan seperti SO2 dan NO2 di udara
(Ranta 2001; Hultengren 2004). Lichen dapat dimanfaatkan sebagai peringatan
dini akan adanya tekanan polusi udara pada suatu kawasan dimana biota-biota
pada kawasan tersebut mengalami kerusakan atau bahkan mulai punah (Seaward,
2004).
Lichen merupakan tanaman yang dapat digunakan sebagai indikator kondisi
lingkungan yang terpapar oleh polutan. Lichen yang dipapar dengan senyawa
belerang, ozon, etilen dan logam berat lainnya secara mikroskopis menyebabkan
kerusakan memban akibat kebocoran electrolytes (Branquinho et al. 1997),
pengurangan fosfolopid (Byechek & Guschina et al, 1999) dan kandungan ATP
(Balaguer & Manrique, 1991), perbaikan degradasi kandungan klorofil, penurunan
fotosintesis, pengitanan nitogen, dan respirasi (Kytoviita & Crittenden 1989).
Lichen yang tumbuh di lokasi yang bersih, ketika ditransplatasi ke kawasan yang
tercemar akan mengalami kegagalan pertumbuhan secara lmiah (Garty et al,
1997). Lichen yang tumbuh di kawasan dengan udara bersih menunjukan
perbedaan karakteristik fisiologis dan penutupan dibandingkan dengan lichen
yang hadir di kawasan yang telah terkontaminasi oleh polutan.

B. Tujuan

Praktikum ini bertujuan untuk mengetahui tingkat penutupan lichen pada


tumbuhan inang yang berada pada beberapa site seperti perumahana, terminal,
jalan raya, hutan, pertamanan. Dan mengkaji secara literatur pemanfaatannya
sebagai bioindikasi tingkat polusi udara di sekitarnya.

C. Manfaat

Hasil praktikum ini dapat menunjang pemahaman tentang bioindikator dan


sebagai prakajian tentang lichen sebagai indikator polusi udara.

2
II. TINJAUAN PUSTAKA

A. Bioindikator, Dasar dan Konsep

Bioindikator adalah organisme yang yang menunjukan sesnsitivitas atau


toleransi terhadap kondisi lingkungan sehingga memungkinkan untuk digunakan
sebagai alat penilai kondisi lingkungan. Menurut Wittig (1993) di dalam Mhatre
& Pankhurst (1996) bioindikator adalah organisme, bagain dari suatu organisme
atau masayarakat suatu organisme (komunitas) yang menyediakan informasi
tentang kondisi lingkungan baik sebagaian atau keseluruhan. Spesies indikator
adalah spesies yang memiliki amplitudo terhadap pengaruh satu atau beberapa
faktor lingkungan yang sempit, oleh karena itu kehadirananya dapat
mengindikasikan kondisi lingkungan baik sebagaian ataupun keseluruhan (Allaby
1992 di dalam McGeoch 1998). Sedangkan McGeoch (1998) mendefinisikan
bioindikator sebagai spesies atau kelompok spesies yang secara cepat dapat
menggambarkan kondisi lingkungan baik abiotik maupun biotik; menggambarkan
dampak perubahan lingkungan dari sebuah habitat, komunitas atau ekosistem;
atau mengindikasikan keragaman dari kelompok takson, atau keragaman secara
kseluruhan di dalam suatu kawasan.
Bioindikasi menurut McGeoch (1998) dalam aplikasinya dikelompokan ke
dalam tiga kategori yaitu: Lihat Gambar 1.
1. Indikator lingkungan (Enviromental indicator) adalah spesies atau kelompok
spesies yang tanggap terhadap lingkungan yang rusak atau perubahan kondisi
lingkungan. Indikator lingkungan dibagi lagi menjadi 5 yaitu sentinels,
detektor, eksploiter, akumulator dan bioassay organisms.
2. indikator ekologis (Ecological indicatori) yaitu karakteristik takson atau
kelompok yang sensitif untuk mengidentifikasikan faktor tekanan lingkungan,
yang menggambarkan pengaruh dari tekanan-tekanan ini terhadap biota dan
tanggapannya diwakili oleh sedikit takson yang ada pada habitat tersebut.
3. (3) Indikator keanekaragaman hayati (Biodiversity indicator) adalah
kelompok takson atau kelompok fungsional dimana keragamannya dapat
menggambarkan beberapa ukuran tentang keragaman (kayaan jenis, kekayaan
sifat dan endimisitas) takson di atasnya dalam sebuah habitat atau kelompok

3
habitat. Indikator biodiversitas dapat dibedakan menjadi 3 kelompok yaitu
kelompok referensi, kelompok kunsi dan kelompok focal
Kategori indikator Fungsi alternatif (indikator digunakan untuk)

Menduga perubahan kondisi lingkungan


Lingkungan
Memonitor perubahan kondisi lingkungan

Menampilkan dampak stessorterhadap biota


Ekologi
Monitoring jangka panjang stressor terhadap
perubahan biota

Mengidentifikasi keragaman takson pada suatu


kawasan yang khusus
Biodiversitas
Monitoring perubahan biodiversitas
Gambar 1. Fungsi indikator dari masing-masing kelompok indikasi McGeoch
(1998)
Kriteria umum untuk menetapkan suatu organisme digunakan sebagai
indikator adalah : (1) Takson yang lebih tinggi dan/atau lebih tinggi, dipilih
takson ang telah diketahui secara detail dan taksonominya jelas dan mudah untuk
diidentifikasi; (2) Biologi organisme tersebut dikatahui dengan baik, memiliki
respon yang baik terhadap faktor tekanan atau perubahan sifat habitat; (3)
Organisme tersebut tersedia secara melimpah, mudah disurvei dan dimanipulasi;
(4) Terdistribusi dalam ruang dan waktu; dan (5) Berkorelasi dengan kuat dengan
komunitas keseluruhan dan jika tidak berkorelasi kuat dengan faktor tekanan
(Hodkinson & Jackson 2005).
Tabel 2. Kriteria penetapan spesies sebagai bioindikator
No Kriteria Bioindikator
Lingk Ekol Biodiv
Efisiensi dan efektivitas (waktu, biaya dan
v v v
1 tenaga)
2 Mudah dipilah dan disampling v v v
3 Representasi sample tersedia v v v
4 Melimpah v v v
5 Mudah disimpan dan tahan lama v v v
Secara taksonomis sudah dikenal, mudah
v v v
6 diidentifikasi dan taksonominya tersedia
7 Sampel individu dapat dihabiskan v v v
Distribusi ruang dan waktu dapat diprediksi
v v v
8 untuk menjamin kotiunitas jangka panjang

4
Tabel 2. Lanjutan

No Kriteria Bioindikator
Lingk Ekol Biodiv
9 Ukuran sampel relativ independen
10 Perubahan mudah diamatidengan remote sensing
11 Baseline data biologi tersedia v v
12 Kelimpahan data autecologi
13 Variabilitas fungsi dan genetik rendah v
Sensitivitasnya cukup untuk menyediakan
14 v
peringatan dini
Dapat dibedakan antara daur yang bersifat
alami dengan kecenderungan yang
15 v v
disebabkan oleh faktor
tekanan antropogenik
Memiliki komponen, fungsi dan proses yang
16 v v
kritis
Responnya dapat didefinisikan secara baik
17 (mati/penurunan; perubahan/pendewasaan; v v
pindah/dipindah oleh spesies lain)
Bukan spsies target jika diaplikasikan
18 v v
pestisida
19 Terakumulasi polutan dengan segera v
20 Mudah untuk dikultur di laboratoris v
Dapat menyediakan penilaian yang
21 berkesinambungan dalam rentang tekanan v
yang luas
Arti pentingnya secara agrikultur,ekologis
22
dikenal
Memiliki nilai ekonomis baik sebagai sumber
23
Ataupun hama
Mewakili semua tingkat tropik dan petunjuk
24 v
fungsi utama
25 Cocok dengan kelompok target v
26 Mewakili takson yang terkait atau tidak v v
27 Memiliki ukuran dan bentuk tubuh yang luas
28 Cenderung untuk terdistribusi secara luas v
Kekayaan informasi : distribusi yang
29 v
representatif
Kelopok seharusnya memilikispesies yang tak
30 terhubung, tersebar secara lingkungan v
didalam distribusinya
Mewakili keragaman kelompok yang kecil,
31 v
sedang dan tinggi
32 Range yang luas dari kekhasan inang v
Sumber : McGeoch (1998)

5
Bioindikasi dapat meliputi beberapa variasi skala dari aspek makromolekul,
sel, organ, organisme, populasi, sampai biocoenosis (ekosistem). Sehingga bentuk
bioindikasi meliputi : (1) reaksi biokima dan fisiologis; (2) penyimpangan bentuk
anatomis, morfologis, bioritme dan tingkah laku dari kondisi normalnya, (3)
perubahan floristik, faunistik, populasi secara berurutan (kronologis), (4)
perubahan ekosistem atauapun kombinasi ekosistem, (5) perubahan bentuk dan
fungsi ekosistem, dan (6) perubahan dari sifat lansekap (Mhatre & Pankhurst
1996).
Tipe indikator secara umum dibedakan menjadi tiga kelompok yaitu : (1)
Indikator (kehadiaran dan abensinya menyimpulkan tentang permasalahan
lingkungan, secara kuantitaif jarang). (2) Spesies uji (tanggapannya
mengindikasikan tentang permasalah yang luas, spesies uji umumnya memiliki
standardisasi yang tinggi), (3) Monitor (menyediakan bukti akan adanya
perubahan, kesimpulan kuantitaif biasanya mungkin melalui kalibrasi). Monitor
terdiri dari monitor aktif (organisme monitor yang tersedia dengan cepat di alam)
dan monitor pasif (organisme monitor yang diintoduksi). Monitor pasif terdiri dari
reaktor (tanggapannya adalah perubahan fungsi atau reaksi) dan akumultor
responya diamati dari akumulasi polutan (Hornby & Bateman 1996).
Pengembangan sistem bioindikator dapat dilihat sebagai hubungan timbal
balik antara faktor lingkungan dengan parameter biologis. Karakteristik biologis
diantara adalah komposisi jenis, gejala kerusakan suatu organisme, tubuh yang
terkontaminasi polutan, induksi dan penghambatan enzim (Straalen 1996).
Efektivitas suatu bioindikator tergantung pada kekuatan hubungan antara faktor
lingkungan dan papameter biologis. Interaksi natara kedua parameter ini dapat
dilahat pada Gambar 2.

Hubungan kausatif
Parameter Parameter
Lingkungan Biologis
Digunakan sebagai bioindikator

Gambar 2. Skema hubungan antara faktor lingkungan dengan parameter biologi.


Faktor lingkungan mempengaruhi parameter biologis melalui
beberapa hubungan kausatif. Ketika parameter biologis dijadikan
sebagai indikator, dapat dilihat sebagai kebalikan dari hubungan sebab
akibat (Straalen 1996)

6
B. Lichen sebagai Bioindikasi kondisi lingkungan Tercemar

Pengaruh konsetrasi polutan yang terdapat di udara menyebabkan


perkembangan indikator lingkungan menjadi 2 kelompok besar yaitu : indicator
species (organisme yang memiliki sensitivitas tinggi terhadap paparan polutan)
dan indicator processes, yaitu proses yang terjadi pada organisme yang meiliki
sentivitas yang tinggi terhadap polutan (Mhatre & Pankhurst 1996).
Pemaparan senyawa-senyawa beracun seperti bahan kimia polutan dalam
tempo yang lama akan menyebabkan beberapa interaksi antara organisme
(tumbuhan) dengan faktor penekan (stress factor). Pada tingkat awal pengaruh ini
terjadi pada tingkat biokimia dan proses selular. Awal interaksi atau “shock-
absorbing” mempengaruhi efek fisiologis seperti fotosisntesis, transpirasi,
respirasi, proses pertumbuhan dan reproduktif. Efek fisiologis ini dipengaruhi
oleh struktur DNA dan kromosom yang diakibatkan oleh modifikasi dan akhir
evolusi dari suatu tumbuhan yang mampu bertahan terhadap tekanan.
Lichen adalah organisme yang menyerupai tumbuhan yang tersusun dari
laga hijau (cyanobacterium, photobiont) dengan jamur (mycobiont). Thalli
mengalami penghilangan cuticles, stomata, dan fungsi akar, namun demikian
lichen memilki efektivitas sistem pengambilan nutrisi dan memiliki kemamapuan
tinggi untuk menyerap dan melapas air secara cepat (Pandolfini et al. 1996).
Lichen secara umum dapat diterima sebagai bioindikator yang penting yang
digunakan secara luas sebagai indikasi pencemaran udara, seperti logam, non
logam, radionukliotida, dan material organik. Polutan yang beracun dapat
meracuni organisme yang lebih sensitif sehingga menyebabkan perubahan
pertumbuhan populasi pada sebagaian substrat. Namum demikian lichen mampu
mengembangkan strategi bertahan yang dapat menyerap dengan cepat,
mengkaumulasi secara simultan, beberapa polutan di dalam thalli. Beberapa
sample yang dikumpulkan dari kawasan urban dan sumber emisi industri
menunjukan peningkatan konsentrasi polutan, dimana hubungan membentuk pola
logaritmik dan mengalami penurun pada kawasan yang tidak tercemar.
Spesies Peltigera canina, P rufescens, Cladonia furcata, C. implexa, C.
uncialis, Cornicularia aculeata merupakan bioindikator yang baik untuk Pb dan
Zn. Lecanora cascadenis, Umbicilaria phaea, Acarosphora chlorophana dan L

7
melanophtalma dikenal sebagai bioindikator kelimpahan Cu ( Pandolfini et al.
1996). Lecanora atra menunjukan konsentrasi yang tinggi terhadap Mg dan Fe di
thallinya. Ramalina lacera merupakan indikator peringatan dini untuk mendeyksi
tekanan polusi udara (Weissman et al. 2006). Spesies ini menunjukan respon
ROS (reaktive oxygen species) dari hasil interaksi dengan polutan di udara dengan
menghasilkan aktivitas antioksidan, namun dalan jangka panjang menyebabkan
kerusakan selular. Dalam percobaan ini menunjukan peningkatan rasio klorofil
a/klorofil b pada lichen yang dipapar dengan polutan.

8
III. BAHAN DAN METODE

A. Waktu dan Tempat Pengamatan

Pengamatan lichen dilaksanakan pada Bulan Mei 2007 selama 2 minggu.


Lokasi pengamatan berada di sekitar kawasan Kota Bogor.

B. Alat dan Bahan

Peralatan yang digunakan dalam pengamatan ini adalah mika transparan


putih, penggaris, kamera digital, alat tulis menulis, dan kertas label serta
seperangkat komputer. Sedangkan obyek pengamatan adalah lichen dan pohon
inangnya.

C. Pelaksanaan Kegiatan

1. Pemilihan tempat
Lokasi untuk pengamatan lichen dipilih berdasarkan tingkat pencemaran
kawasan tersebut dan jarak dari sumber utama polutan. Berdasarkan kriteria ini
maka dipilih kawasan-kawasan sebagai berikut: Arboretum fakultas Kehutanan
IPB Darmaga (P0), Jalan raya depan (P1), Jalan Ton Jagorawi di pintu gerbang
Tol Baranangsiang (P2), Terminal Baranangsiang (P3), Terminal Bubulak (P4),
Kompleks air mancur Taman kampus IPB (P5) dan komplek perumahan Yasmin
VI (P6).
2. Pengukuran lichen
Pemilihan pohon tempat inang lichen dipilih secara purposive. Pohon inang
dicatat nama jenis lalu diukur diameter dan tinggi bebas cabangnya. Pada satu
batang pohon diukur luasan lichen yang terdapat di batangnya dan diukur rata-
ratanya (cm2).

D. Analisis Data

Data yang terkoleksi kemudian dianalisis mengunakan analisis ragam


(anova) dengan model rancangan menggunakan rancang acak lengkap (complete
random design). Uji lanjut yang digunakan jika hasil analisis varian menunjukan
perbedaan yang signifikan maka dilakukan Uji Jarak Ber Ganda Duncan (Gasperz
1996).

9
IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

Data hasil pengamatan luasan lichen pada batang pohon pada 7 lokasi
yang berbeda ditunjukan pada Lampiran 1 dan rekapitulasinya dapat dilihat pada
Tabel 2 di bawah ini.
Tabel 2. Rekapitulasi data pengamatan penutupan lichen pada 7 lokasi yang
berbeda

Rata-rata ± SD
Lokasi Jumlah ulangan
(cm2)
Hutan (Arboretrum FKH IPB) 77,83 ± 4.41a 6
Jalan Raya 28.13 ± 33.36b 3
Jalan Tol (Jagorawi) 8.71 ± 1.81c 3
Terminal Baranangsiang 17.33 ± 17.33c 3
Terminal Bubulak 22.33 ± 7.66c 6
Taman (Kampus IPB Darmaga) 4.99 ± 3.08d 3
Perumahan (Taman Yasmin VI) 6.19 ± 3.67cd 4
Keterengan: Nilai pada kolom 2 yang diikuti dengan huruf yang sama berarti
tidak berbeda nyata

Berdasarkan Tabel 2 di atas menunjukan bahwa perbedaan lokasi yang


diasumsikan dengan perbedaan tingkat pencemaran udara menunjukan pengaruh
yang berbeda-beda terhadap penutupan lichen pada phon yang diamati. Tingkat
penutupan lichen pada masing-masing lokasi dapat dilihat pada Gambar 1 di
bawah ini.

100
penutupan lichen (cm2)

77.83
80
60
40 28.13 22.33
17.33
20 8.71 6.19 4.99
0
lokasi

arboretum jalan raya


terminal bubulak terminal baranangsiang
jalan tol perumahan
pertamanan

Gambar 1. Luas penutupan lichen pada 7 lokasi pengamatan yang berbeda

10
Berdasarkan Tabel 2. penutupan lichen tertinggi terdapat di sekitar lokasi
arboretum kampus kehutanan IPB dan penutupan terkecil diperoleh di komplek
perumahan. Penutupan lichen pada lokasi yang berbeda tingkat pencemarannya
udara menunjukan pengaruh yang berbeda.
Hal ini sesuai dengan pendapat Wolterbeek et al. (2003) bahwa lichen telah
lama digunakan sebagai organisme indikator terhadap perubahan udara. Namum
umumnya yang digunakan sebagai data adalah kejadian spesies lichen
(keanekaragam jenis) pada suatu lokasi. Hubungan antara kekayaan jenis dan
konsentrasi polutan (So2) di udara menunjukan pola yang sederhana dimana
penurunan konsentarasi senyawa ini akan menurunkan jumlah lichen jenis
nitrophytic.
Secara umum meningkatnya konsetrasi senyawa toksik di udara akan
meningkatkan akumulasi senyawa-senyawa tersebut pada tubuh lichen.
Akumulasi polutan ini akan memberikan dampak pada karakter morfologi dan
fisiologi lichen. Senyawa-senyawa metal dari udara akan mengakibatkan
perubahan ukuran dan ketebalan thallial, kepadatan rhizinal, ketebalan relatif
lapisan jamur dan alga (Brown 1991 di dalam Wolterbeek et al. 2003). Pada
beberapa kasus untuk lichen yang terpapar polutan mengalami perubahan
morfologi seperti penurunan ukuran thalli dan panjang rhizinal, pertumbuhan
rhizinal lebih padat (dibandingkan dengan percabangan yang lebih banyak), thalli
yang lebih tebal, dan lapaisan alga yang relatif lebih tebal dibandingkan dengan
lapisan jamur. Mekanisme ini merupakan usaha pertahanan diri lichen terhadap
keracunan secara alami.
Polusi udara secara luas berkorelasi dengan kelimpahan dan kekayaan jenis
lichen. Namum, berdasarkan penelitian Van Dobben et al. (2001) di dalam
Wolterbeek et al. (2003) keanekaragaman hayati lichen tidak dipengaruhi oleh
sulfat, amonium, dan nitat tapi dipengaruhi oleh konsentrasi SO2 dan NO2.
Proses fisiologis menurut Wolterbeek et al. (2003) yang terjadi dimulai
dengan penumpukan logam yang meningkat sehingga menyebabkan gangguan
proses kehidupan penting (metabolisme). Efek lebih lanjut terjadi penyimpangan
produksi enzim dan aktivitas membram (Franzle 2003). Akibatnya terjadi

11
penurunan pertumbuhan populasi pada beberapa media (Richadson 1991 di dalam
Pandolfini et al. 1998).
Efek polutan terhadap lichen tergantung pada beberapa faktor antara lain:
konsentrasi polutan, periode dan lama pemaparan, kelembaban udara (sensitivitas
meningkat dengan meningkatnya kelembaban) serta transfer polutan ke dalam
materi lain (Franzle 2003).
Tingkat penutupan lichen pada lokasi secara umum menunjukan 4
kelompok (lihat Tabel 2). Pada hasil ini menunjukan suatu kecenderungan yang
tidak dapat diprediksi. Kawasan perumahan dan pertamanan yang relatif agak jauh
dari sumber polautan menunjukan angka penutupan yang lebih kecil dibandingkan
dengan jalan tol dan terminal apalagi dengan jalan umum. Umumnya jalan raya
dan terminal merupakan kawasan dengan tingkat pencemaran udara yang tinggi
karena banyaknya kendaran yang mengemisi sisa pembakaran dari mesinnya.
Hal ini bisa dikarenakan kurangnya standardisasi pengamatan ataupun
kekeliruan dalam pengamatan. Perbedaan jenis lichen pada kawasan yang teramti
juga bisa penyebab perbedaan ini. Karena respon spesies lichen terhadapan
polutan berbeda-beda.
Karakteristik anatomis dan morfologis lichen secara umum menunjukan
perbedaan fenotif dan tingkat tolerensi masing-masing jenis lichen. Morfologi
lichen tergantung terhadap temperatur, cahaya, pengambilan gas, efisiensi
pemanafaatan air. Kinerja morfologi lichen (pertumbuhan) juga sangat terkait
dengan konsentrasi SO2 di atmosfer dan peristiwa hujan asam. Pertumbuhan
lichen juga dipengaruhi oleh musim, dimana pada musim basah kecepatan
perumbuhannya tinggi. Sulfur, flour dan ozon juga mempengaruhi perubahan
ultrastruktur lichen.
Sifat-sifat fisiologis dan morfologis merupakan parameter penting dalam
proses akaumulasi logam. Oleh karena itu pengamatan lichen sebagai bioindikator
tidak hanya mendasarkan pada akumulasi polutan yang terdapat dalam lichen
tetapi juga melibatkan beberapa karaketristik morfologis dan fisiologis lichen
(Wolterbeek et al. 2003).
Standardisasi pengamatan lichen sebagai bioindikator tingkat pencemaran
udara harus memperhatikan hal-hal sebagai berikut: (1) konsistensi substrate

12
pengambilan data berdasarkan pertimbangan mikro-lingkungan (micro-
enviromental), sebagai contoh lichen yang akan diambil dijadikan sampel diambil
pada satu batang pohon atau pada sejumlah pohon secara terbatas; (2) Pohon yang
akan dijadikan unit sampling merupakan pohon yang soliter atau berada di luar
tegakan. Tegakan yang rapat biasanya pertumbuhan lichennya terhambat karena
intensitas cahayanya rendah; (3) Kapasitas buffer kulit batang pohon harus
diperhatikan. Keasaman kulit batang mempengaruhi kehadiran lichen pada batang
tersebut karena keasaman (kapasitas buffernya rendah) berbanding berbanding
terbalik dengan kehadiran lichen; (4) Karakteristik morfologi batang (yang terkait
dengan pola aliran batang (stemflow) harus diperhatikan. Pohon dengan pola
aliran btang yang berbeda harus dimasukan dalam kondisi mikrolingkungan yang
berbeda sehingga tidak dapat dipetakan; (5) karakteristik jenis lichen juga harus
diperhatikan, karena masing-masing spesies memiliki tingkat tleransi angbebeda-
beda terhadap stress polusi. Homogenitas komunitas lichen juga dapat disebabkan
oleh perbedaan pertumbuhan propagul atau kompetisi interspesifik; (6) Periode
waktu penilaian tingkat polusi terhadap flora lichen berbeda-beda tergantung pada
tingkat efek histerisis kulit batang kayu (Franzle 2003).
Berdasarkan pertimbangan-pertimbangan di atas maka standardisasi
pengamatan lichen sebagai bioindikator pencemaran udara harus mendasarkan
pada: (1) keseragaman karakteristik mikro-lingkungan (intensitas cahaya, sumber
pencemar); (2) karakteristik kulit batang pohon sebagai inang (kapasitas buffer,
morfologi kulit batang); dan (3) komposisi dan jenis flora lichen yang akan
dijadikan unit sampling.
Lichen umum digunakan sebagai biomonitoring ataupun bioindikator polusi
udara (Garty 1993 di dalam Pandolfini et al. 1998). Karena lichen sangat peka dan
merespon dengan cepat terhadap kondisi udara yang tercemar (Rasmussen et al.
1988 di dalam Pandolfini et al. 1998; Franze 2003). Sebagai bioindikator lichen
memiliki kemampuan tertanda untuk bioakumulasi dari beberapa komponen
pencemara terutama SO2, terdistribusi dengan luas secara alami dan variasi
musiman biomassa dan morfologi yang relatif stabil (Pandolfini et al. 1998).

13
V. SIMPULAN DAN SARAN

A. Simpulan

1. Penutupan lichen pada beberapa kawasan menunjukan luasan yang berbada-


beda
2. Penutupan lichen tertinggi terdapat di pohon yang terdapat di kawasan
arboretum
3. Lichen dapat digunakan sebagai bioindikator, namun variable yang
digunakan sebagai variable pengamatan harus lebih banyak bukan hanya
pada luasan penutuapn saja.

B. Saran

Pengamatan karakteristik lichen sebagai bioindikasi harus lebih banyak


parameter yang diukur (karakteri intrinsic licen, karakter mikro-lingkungan dan
sumber polutan). Perlu standardisasi pengamatan.

14
Daftar Pustaka

Balaguer I, Manrique E. 1991. Interaction between sulfur dioxide and nitrate in


some lichens. Environ Exp Bot 31 : 223-227
Branquinho C, Brown DH, Catarino F. 1997. The cellular location of Cu in
lichens and its effect om membrane integrity and chlorophyll flourescence.
Environ Exp Bot 38 : 165-179
Bychek Guschina IA, Kotlova ER, Heipieper H. 1999. Effects of sulfur dioxide on
lichens lipids and fatty acids. Biochemistry (Moskow) 64 : 61-65
Garcia AZ, Nash IIITH, Herrera-Campos ML. 2000. Lichen decline in desierto de
los leones (Mexico City). Bryologist 103 : 428-441
Garty J. Cohen Y, Kloog N, Karnieli A. 1997. Effects of air pollution on cell
membrene integrity, spectral reflectance and metal and sulfur
concentrations in lichens. Environ Toxicol Chem 16 : 1396-1420
Hordkinson ID, Jackson JK. 2005. Terrestrial and aquatic invertebrates as
bioindicators For environmental monitoring, with particular Reference to
mountain ecosystems. Environ Manag Vol. 35 (5) : 649–666
Hornby D, Bateman GL. 1996. Potential use of plant root pathogens as
bioindicator of soil health. Di dalam. Pankhurst CE, Doube BM, Gupta
VVSR (editor). Biological Indicator of Soil health. Hal :179-200. Oxon :
CABI
Kytoviita MM, Crittenden PD. 1994. Effects of stimulated acid rain on
nitrogenase activity (acetylene reduction) in the lichen Stereocaulon
paschale (L.) Hoffm., with special reference to nutritional aspects. New
Phytol 128 : 236-271
Franzle O. 2003. Bioindicator and environmental stress assessment. Di dalam
Markert BA, Breure AM, Zechmeister HG (editor). Bioindicator and
Biomonitoring Principles, Concepts and Applications. Hal: 41 - 83
(editor). Bioindicator and Biomonitoring Principles, Concepts and Applications.
Hal: 123 – 150
McGeoch MA. 1998. The selection, testing, and application of tersetial insect as
bioindicator. Biol Rev 73 : 181-201
Mhatre GN & Pankhurst CE. 1996. Bioindicator to detect contamination of soil
with special reference to heavy metals. Di dalam. Pankhurst CE, Doube
BM, Gupta VVSR (editor). Biological Indicator of Soil health. Hal :349-
370. Oxon : CABI
Pandolfini T, Gremigni P, Gabbrielli R. 1996. Biomonitoring of soil by plants. Di
dalam. Pankhurst CE, Doube BM, Gupta VVSR (editor). Biological
Indicator of Soil health. Hal : 235-264. Oxon : CABI
Ranta P. 2001. Chanes in urban lichen diversity after a fall in sulfur dioxide levels
in the city of Tampere, SW Finland. Ann Bot fenn 38 : 295-304

15
Seaward MRD. 2004. The use of lichens in enviromental impact assessement.
Symbiosis 37 : 293-305
Straalen, NH Van. 1996. Community structure of soil antropods as bioindicator of
soil health. Di dalam. Pankhurst CE, Doube BM, Gupta VVSR (editor).
Biological Indicator of Soil health. Hal : 325-347. Oxon : CABI
Weissman L, Frainberg M, Shine L, Garty J, Hochman A. 2006. Responses of
antioxidants in the lichen Ramalina lacera may serve as an early-warning
bioindcator syetem for the detction of air pollutaion stress. FEMS Microb
Ecol 58 : 41-53
Wolterbeek HT, Garty J, Reis MA, Freitas MC. 2003. Biomonitoring in use:
lichens and metal air pollution. Di dalam Markert BA, Breure AM,
Zechmeister HG (editor). Bioindicator and Biomonitoring Principles,
Concepts and Applications. Hal: 377 – 420

16
LAMPIRAN

Lampiran 1. Data hasil pengamatan luas lichen pada 7 lokasi di Bogor

Luasan lichen (cm2)


Ulangan Jalan Jalan Terminal Terminal
Arboretum Taman Perumahan
Raya Tol Bubulak Baranangsiang
1 77.75 65.44 10.50 22.00 26.00 2.08 9.67
2 73.00 17.75 6.88 17.00 28.00 8.22 5.60
3 73.25 1.19 8.75 13.00 28.00 4.66 1.30
4 77.50 27.00 8.20
5 84.25 13.00
6 81.25 12.00
Jumlah 467.00 84.38 26.13 52.00 134.00 14.96 24.77
Rerata 77.83 28.13 8.71 17.33 22.33 4.99 6.19
SD 4.41 33.36 1.81 4.51 7.66 3.08 3.67

Lampiran 2. Matrik perhitungan uji homogenenitas Barttlet

Perlakuaan db 1/db Jk Si2 Logsi2 Db.logsi2


p0 5 0.20 732.02 146.40 2.17 10.83
p1 2 0.50 2225.41 1112.71 3.05 6.09
p2 2 0.50 6.55 3.28 0.52 1.03
p3 2 0.50 40.67 20.34 1.31 2.62
p4 5 0.20 1077.33 215.47 2.33 11.67
p5 2 0.50 19.01 9.51 0.98 1.96
p6 3 0.33 40.41 13.47 1.13 3.39
total 21 2.73 4141.40 197.21 2.29 37.58
Keterangan : X2 koreksi adalah 9,649 < X2(0,05) : 12,6 maka dinyatakan
bahwa data tersebut homogen

Lampiran 3. Matriks sidik ragam

Sumber
Db JK KT F.hitung Ftabel 1% KK (%)
keragaman
Perlakuan 6 17988.32 2998.053 16.1040604* 3.59 0.50779
Galat 21 3909.518 186.1675
Total 27 21897.84

17
Lampiran 4. Matrik perhitungan uji jarak berganda Duncan

Perlakuan Rerata Selisih Kesamaan


p0 77.83 a
p1 28.13 60.66374 b
p4 22.33 11.2707341 b
p3 17.33 5.726565181 c
p2 8.71 5 1.084729 c
p6 6.19 13.62 8.62 cd
p5 4.99 16.14 11.14 d
12.34
Keterangan : Sy tertimbang : 38.39309489

Lampiran 5. Penampakan lichen yang dijadikan contoh uji

18

Anda mungkin juga menyukai