Anda di halaman 1dari 21

Diplomasi Inggris – Uni Eropa Pasca Referendum Brexit

Syelda Titania1, Refi Siwi Handhini2, Izzatul Khusna Dilla3, Frizky Dwi4
Program Studi Hubungan Internasional - Universitas Muhammadiyah Malang
Jawa Timur - Indonesia
Email : syeldaputri98@gmail.com
Dosen Pembimbing : Hafid Adim

PENDAHULUAN
Inggris telah menjadi anggota Uni Eropa selama lebih dari empat puluh tahun.
Hal ini membuat berbagai elemen, seperti pemerintah dan juga masyarakat Inggris
mencoba mengevaluasi kinerja dan manfaat dari bergabungnya Inggris ke dalam Uni
Eropa yang telah dipertimbangkan dari berbagai sektor, seperti sektor ekonomi, sosial,
dan juga politik. Akibat adanya evaluasi kinerja tersebut, muncullah perdebatan dari
aktor-aktor yang berasal dari berbagai kalangan, sehingga terbentuklah kubu pendukung
Brexit (British Exit) dan kubu pendukung Uni Eropa1.
Kubu pendukung Brexit berpendapat jika Inggris keluar dari keanggotaan Uni
Eropa maka Inggris dapat mengatur perekonomian dan masalah domestiknya sendiri
tanpa perlu adanya campur tangan pihak Uni Eropa. Pada akhirnya kelompok pendukung
Brexit tersebut berinisiatif untuk mengadakan referendum untuk mengetahui opini
masyarakat inggris terkait keanggotaan Inggris dalam Uni Eropa yang diadakan pada 23
Juni 20162. Hasilnya, lima puluh dua persen masyarakat Inggris setuju untuk Inggris
keluar dari keanggotaan Uni Eropa
Disisi lain, kelompok buruh menganggap jika Inggris keluar dari keanggotaan Uni
Eropa maka banyak kemudahan yang sudah diterima Inggris selama empat puluh tahun
menjadi anggota Uni Eropa akan terputus begitu saja, seperti kemudahan dalam
melakukan perdagangan, kemudahan dalam mencari pekerjaan, dan lain sebagainya. Hal

1
Francisca & Trihastuti, “Implikasi Referendum Brexit terhadap Kebijakan Imigrasi United Kingdom”. Diponegoro
Law Journal. Vol. 6 No. 2, 2017, hal 1-2.
2
Faridah & Wiyanarti .2018. Dinamika Inggris dan Uni Eropa; Integrasi hingga Brexit Vol.7, No.2. Factum.
ini tentu menjadi masalah yang serius bagi Uni Eropa karena selama ini pandangan
masyarakat internasional terhadap Uni Eropa ialah sebuah lembaga mitra kerjasama yang
strategis bagi negara-negara maju, ternyata perlahan-lahan melemah dan tingkat
kepercayaan publik terhadap loyalitas Uni Eropa akan menurun. Diplomasi yang berbeda
antara Inggris dan Uni Eropa sama-sama memiliki kepentingan atas apa yang mereka
ajukan karena keduanya sering memiliki pandangan yang berbeda. Situasi diplomatik
Inggris dan Uni Eropa yang sulit ini berusaha untuk membahas suatu kesepakatan pada
waktu Inggris keluar dari blok Uni Eropa, pihak mana yang akan dirugikan dan pihak
mana yang lebih untung. Selanjutnya dalam penelitian ini akan dibahas bagaimana
diplomasi Inggris-Uni Eropa pasca terjadinya brexit ? Guna mempermudah bahasan
dalam tulisan ini penelitian ini dibagi dalam lima bagian. Pertama, metode penelitian.
Metode penelitian menjadi penting sebagai cara penulis dalam melakukan prosedur dan
teknik penulisan dan mendapatkan data yang akan digunakan dalam penulisan ini. Kedua,
tinjauan literatur. Tinjauan menjadi penting sebagai pembanding dan pembeda dari
penulisan atau penelitian yang dilakukan oleh penulis dengan data mengenai topik terkait
yang telah ditemukan oleh penulis. Ketiga, kerangka analisis. Kerangka analisis menjadi
hal penting dikarenakan didalam kerangka analisis terdapat konsep atau landasan teori
sebagai pondasi untuk menganalisa permasalahan yang dipilih oleh penulis. Keempat,
pembahasan. Pembahasan menjadi faktor utama dalam penulisan ini sehingga menjadi
sangat penting. Pembahasan menjadi tempat penulis untuk menganalisa isu yang
digunakan, memberikan argumen, dan juga memberikan solusi yang dirangkai dalam
suatu paragraf analisa. Kelima, kesimpulan. Kesimpulan memberikan peran penting juga
dalam penulisan ini dikarenakan akan menentukan kejelasan dari penulisan yang telah
dibuat oleh penulis akan menuju ke arah mana dan tentu kesimpulan merupakan sebuah
garis besar pembahasan dari penulisan ini.

Metode Penelitian
Penelitian ini menggunakan metode penelitian historis dengan langkah-langkah
sebagai berikut. Pertama, heuristik adalah mencari, menemukan dan mengumpulkan data
dan fakta dari berbagai sumber baik berupa buku-buku maupun artikel3 mengenai
diplomasi Inggris dan Uni Eropa dalam studi kasus Brexit. Kedua, kritik sumber, setelah
penulis mendapatkan berbagai sumber yang dianggap relevan dengan permasalahan yang
dikaji, tahap selanjutnya adalah penulis melakukan penilaian dengan memberikan
kritikan terhadap sumber-sumber yang telah ditemukan baik dari buku, internet, dan hasil
penelitian lainnya4. Dalam melakukan penelitian ini penulis tidak melakukan kritik
eksternal karena sumber yang digunakan adalah sumber sekunder. Kritik yang dilakukan
oleh penulis adalah melalui kajian literatur yaitu membandingkan sumber-sumber yang
telah ditemukan oleh penulis. Hasil perbandingan sumber tersebut, akan diperoleh
kepastian bahwa sumber tersebut bisa digunakan karena sesuai dengan topic dan kajian.
Ketiga, interpretasi atau analisis tentang apa yang diajukan oleh Inggris dan Uni Eropa
melalui upaya diplomasi dalam studi kasus brexit ini. Hal ini merupakan tahap dimana
peneliti melakukan sintesis atas sejumlah fakta yang diperoleh dari sumber-sumber
sejarah dan bersamaan dengan konsep-konsep yang telah dipilih dan disesuaikan dengan
fakta kemudian menjadi suatu interpretasi5. Ketiga langkah diatas dilakukan penulis
melalui metode penelitian kualitatif dengan deskriptif analisis.

TINJAUAN LITERATUR
Literatur pertama didapatkan penulis dari Jurnal Online (Fidya Faridah dan Erlina
Wiyanarti. 2018. Vol.7, No.2) yang membahas tentang dinamika hubungan antara Inggris
dengan Uni Eropa. Sebenarnya sikap Inggris dalam menjadi anggota Uni Eropa, apalagi
pandangan politik Inggris terhadap Uni Eropa yang berubah-ubah. Hal tersebut kemudian
membuat Uni Eropa sebagai bahan untuk kampanye setiap partai. Pilihannya tetap di uni
Eropa atau tidak. Juga referendum Brexit menjadi senjata bagi Inggris agar Uni Eropa
mentoleransi Inggris dalam kebijakannya. Brexit diajukan karena masyarakat Inggris
merasa dirugikan atas adanya imigrasi, tentang kedaulatan, dimana Inggris tidak berhak
atas kedaulatannya sendiri karena segala aturan dikendalikan Brussels. Tidak
diherankankan jika pandangan politik Inggris sering terlihat naik turun. Terkadang pro

3
Abdurahman, D. 2007. Pengantar Metode Penelitian. Yogyakarta: Kurnia Alam Semesta.
4
Abdurahman, D. 2007. Pengantar Metode Penelitian. Yogyakarta: Kurnia Alam Semesta.
5
Abdurahman, D. 2007. Pengantar Metode Penelitian. Yogyakarta: Kurnia Alam Semesta.
dan terkadang juga kontra. Hal tersebut terjadi dikarenakan sebelumnya Inggris juga
merasa enggan masuk ke Eropa karena Inggris adalah negara yang independen dalam
segala bidang, bahkan ia adalah negara pencetus revolusi industry yang memiliki
pengaruh kepada sistem ekonomi dunia.
Literatur yang kedua didapatkan penulis dari jurnal online (Andrias Darmayadi.
2018. Transformasi Uni Eropa: Prospek Kerjasama Kawasan Pasca Brexit. Vol VIII
No.1. Jurnal Ilmu Politik dan Komunikasi). Dalam jurnal kedua ini membahas tentang
apa yang sebenarnya membuat Inggris menyatakan keluar dari Uni Eropa yang dirasa
hal-hal yang berasal dari Uni Eropa merugikan bagi Inggris. Hal yang dirasa membuat
Inggris keberatan terhadap Uni Eropa adalah mengenai kebijakan ekonomi bersama dan
aturan bagi negara anggota untuk menggunakan mata uang tunggal (euro) yang dipakai
oleh seluruh negara anggota. Saat ini EMU (European Monetary Union) suatu hal yang
legal yang paling dikenal dan signifikan di Eropa Barat. Ada dua motif utama dalam
menuju EMU, yaitu ekonomi dan politik. Kasus ekonomi berdasarkan pada logika yang
sama untuk membangun pasar bersama, hal ini merupakan elemen yang sangat kuat
karena dianggap bahwa penggunaan sumberdaya yang merupakan faktor produksi akan
lebih efisien. Sedangkan atas dasar politik, argument untuk mengintensifkan integrasi
ekonomi adalah dengan memperkuat hubungan ekonomi nasional yang akan
menumbuhkan interaksi dan kerjasama yang lebih besar antar pemerintah nasional. Jadi,
setiap negara harus mentransfer kebijakan moneternya pada bank sentral Eropa dan
tunduk pada peraturan kerangka kerja. Oleh karena itu, dalam periode kontemporer ini,
Brexit sangat berpengaruh sekali pada kredibilitas masa depan Uni Eropa dan kerjasama
kawasan Eropa Barat sehingga Uni Eropa terus melakukan koordinasi-korrdinasi untuk
mempertahankan Inggris supaya tetap dalam satu ikatan di Uni Eropa.
Literatur yang ketiga didapatkan penulis dari jurnal online (Khairur Munzilan, Ali
Muhammad. 2017. Brexit: Eurosceptic Victory in British Referendum in Term of Britain
Membership of European Union. Universitas Muhammadiyah Yogyakarta). Dalam jurnal
yang ketiga ini dibahas tentang bagaimana diplomasi yang sangat kuat yang dilakukan
oleh kelompok kepentingan, “Eurosceptic” sehingga bisa mempengaruhi masyarakat
Inggris untuk memilih Brexit. Pertama, kelompok Eurosceptic berusaha mempengaruhi
masyarakat Inggris melalui latar belakang kela sosial masyarakat. Kelas sosial yang
menjadi focus dari kelompok ini adalah mencakup masyarakat kelas menengah kebawah,
masyarakat dengan umur 60 tahun keatas, pekerja buruh, dan masyarakat dengan
pendidikan rendah. Kedua, kelompok Eurosceptic berusaha mempengaruhi hasil
referendum dengan menggunakan kebangkitan dan penyebaran paham Eurosceptic yang
meluas dalam masyarakat Inggris saat ini. Ketiga, kelompok Eurosceptic memanfaatkan
kepentingan keterikatan sekelompok masyarakat pada suatu partai, untuk emnjadi bagian
dari masyarakat yang memilih agar Inggris keluar dari keanggotaan Uni Eropa.
Kemenangan kelompok Eurosceptic pun tidak terlepas dari dari keberhasilan dalam
menjalankan strategi kampanye. Kelompok euroscpetic memiliki tiga strategi dalam
referendum Brexit ini, pertama, strategi dengan membuat ketakutan pada masyarakat
inggris, sehingga masyarakat menilai bahwa keluar dari Uni Eropa merupakan opsi
terbaik. Kedua, memanfaatkan hubungan emosional masyarakat dalam menjalankan
kampanye kelompok Eurosceptic. Ketiga, pengaruh dari publik figure, strategi dengan
menggunakan peran tokoh terkemuka yang ada di Inggris.
Literatur keempat berjudul “Brexit: Pelajaran bagi ASEAN” ditulis oleh Bima Jon
Nanda dan Inda Mustika Permata, dalam Jurnal Hubungan Internasional Vol.6, No.1
Universitas Brawijaya pada tahun 2017. Tulisan dari literatur keempat membahas tentang
model kerja sama regional Uni Eropa. Dimana dalam tulisan ini juga dibahas bagaimana
Uni Eropa menjadi wadah kerja sama regional yang cukup berhasil dalam melakukan
perluasan keanggotaan. Namun, dengan adanya fenomena Brexit ini menimbulkan suatu
kekhawatiran baru terhadap suatu kerja sama regional. Inggris memutuskan keliar dari
Uni Eropa tentunya mempengaruhi arsitektur dari Uni Eropa. Inggris harus kembali
menegosiasikan setiap aspek yang sudah disepakati ketika Inggris bergabung dengan Uni
Eropa. Namun, fenomena ini tidak memberikan pengaruh yang signifikan bagi kerja
sama regional lainnya, seperti ASEAN, agar peristiwa keluarnya keanggotaan di suatu
organisasi regional dapat dibendung sehingga tidak terjadi.
Literatur kelima berjudul “Mengapa Brexit? Faktor-faktor di Balik
Penarikan Inggris Dari Keanggotaan Uni Eropa” ditulis oleh Yulyan Maharta
Saviar dari Program Studi Ilmu Hubungan Internasional Universitas Airlangga.
Dalam tulisan ini menjelaskan bahwa ada tiga pokok utama yang menyebabkan
Inggris keluar dari Uni Eropa, pertama, sikap kritis Inggris terhadap aturan atau
perjanjian yang dibuat oleh Uni Eropa terkait permasalahan kedaulatan Inggris
untuk menjaga independensi penerapan aturan dalam negeri. Kedua, timbulnya
beban ekonomi dan sosial yang ditanggung Inggris sebagai negara anggota Uni
Eropa. Ketiga, dinamika politik domestik Inggris yang memberikan kesempatan
bagi kelompok penolak Uni Eropa dalam mempengaruhi pilihan pemilih pada
referendum keanggotaan Inggris di Uni Eropa.
Perbedaan jurnal-jurnal yang telah ditemukan oleh penulis dengan tulisan
penulis ini yaitu, pertama, berbeda dari segi konteks pembahasan Brexit, penulis
lebih menekankan pada diplomasi pasca adanya Brexit antara Uni Eropa dan
Inggris sedangkan jurnal-jurnal lainnya membahas tentang dinamika Brexit,
mengapa Inggris menyatakan keluar dari keanggotaan Uni Eropa, transformasi
Uni Eropa menjadi kerja sama regional yang sukses, dan juga ada pembahasan
megenai Eurosceptic. Kedua, perbedaan terletak pada kerangka analisis yang
digunakan yaitu mengenai konsep atau landasan teori yang digunakan oleh
penulis sebagi pondasi dasar dalam menganalisa. Persamaan tulisan penulis
dengan jurnal-jurnal yang telah ditemukan dalam literatur review ini yaitu, sama-
sama mengangkat tema Brexit dalam tulisannya, menggambarkan dampak yang
ditimbulkan oleh Inggris dan Uni Eropa setelah adanya Brexit.

KERANGKA ANALISIS
Konsep Diplomasi

Diplomasi merupakan salah satu instrumen penting dalam


pelaksanaan kepentingan nasional suatu negara. Diplomasi dapat
dikatakan sebagai alat utama dalam pencapaian kepentingan nasional yang
berkaitan dengan negara lain atau organisasi internasional. Melalui
diplomasi ini sebuah negara dapat membangun citra tentang dirinya.
Dalam hubungan antar negara, pada umumnya diplomasi dilakukan sejak
tingkat paling awal sebuah negara ketika hendak melakukan hubungan
bilateral dengan negara lain hingga keduanya mengembangkan hubungan
ke tahap selanjutnya. Diplomasi memiliki banyak macamnya, seperti
diplomasi politik, diplomasi budaya, diplomasi sosial, dan lain sebagainya.

Diplomasi merupakan praktek pelaksana perundingan antar negara


melalui perwakilan resmi. Perwakilan resmi dipilih oleh negara itu sendiri
tanpa ada campur tangan pihak lain atau negara lain. Diplomasi antar
negara dapat mencakup seluruh proses hubungan luar negeri, baik
pembentukan kebijakan luar negeri dan pelaksanaannya. Diplomasi
dikatakan juga mencakup teknik operasional untuk mencapai kepentingan
nasional di luar batas wilayah yuridiksi. Ketergantungan antar negara yang
semakin tinggi yang kemudian menyebabkan semakin banyak jumlah
pertemuan internasional dan konferensi internasional yang dilakukan
sampai saat ini. Diplomasi juga diartikan sebagai suatu relasi atau
hubungan, komunikasi dan keterkaitan. Selain itu diplomasi juga
dikatakan sebagai proses interaktif dua arah antara dua negara yang
dilakukan untuk mencapai poltik luar negeri masing-masing negara.
Diplomasi terus mengalami perkembangan seiring dengan adanya saling
ketergantungan antara suatu negara dengan negara lain. Dalam
kegiatannya, diplomasi adalah salah satu proses yang sering dilakukan
adalah dengan menggunakan cara negosiasi disamping bentuk kegiatan
diplomasi lainnya, seperti pertemuan, kunjungan, dan perjanjian-
perjanjian. Oleh karena itu negosiasi merupakan salah satu teknik dalam
diplomasi untuk menyelesaikan perbedaan secara damai dan memajukan
kepentingan nasional suatu negara6.

Bagi suatu negara, untuk dapat mencapai tujuan dan diplomatiknya


dapat dilakukan dengan berbagai macam cara. Menurut Kautilya, yaitu
dalam bukunya Kautilya’s Concept of Diplomacy: a New Interpretation,
menyatakan bahwa tujuan utama diplomasi yaitu pengamanan
kepentingan negara sendiri7. Dapat dikatakan bahwa tujuan diplomasi
merupakan penjaminan keuntungan maksimum negara sendiri. Selain itu
6
S.L, Roy, 1995, Diplomasi, Jakarta Utara: PT. Raja Gafrindo Persada, hlm. 35
7
Jayanti, E, (2014, Maret 4) – ejournal.hi.fisip-unmul.ac.id
juga terdapat kepentingan lainnya, seperti ekonomi, perdagangan dan
kepentingan komersial, perlindungan warga negara yang berada di negara
lain, pengembangan budaya dan ideologi, peningkatan prestise bersahabat
dengan negara lain, dan lain-lain. Dalam pembahasan penelitian ini lebih
menekankan diplomasi politik diantara kedua kubu, yaitu antara pihak
Inggris dan pihak Uni Eropa dalam memenuhi kepentingan mereka.

PEMBAHASAN
Uni Eropa

Setelah berahirnya perang dunia ke II negara-negara di Eropa membentuk


aliansi guna menghindari kemungkinan negara-negara tersebut berperang
serta hidup damai dengan negara bertetangga maka dibentuklah Uni
Eropa, seiring berjalannya waktu Uni Eropa mengalami perkembangan
sehingga menjadi sebuah Organisasi besar dengan mencakup berbagai
aspek seperti iklim, lingkungan, kesehatan, hukum, dan imigrasi.8 Uni
Eropa beranggotakan 27 negara-negara independen yang memiliki lebih
dari 492 juta warga negara yang tinggal berdasarkan batas wilayahnya.
Awal mula berdirinya Uni Eropa dengan para anggota memutuskan trategi
yang baik dalam pencegahan konflik adalah dengan melakukan bersama
produksi bahan utama untuk perang yaitu bara dan baja. Serangkaian
traktat yang telah ditandatangani masing-masing Negara Anggota harus
disepakati sehingga kemudian diratifikasi oleh parlemen nasional maupun
melalui referendum.9

Keanggotan Inggris di UE

8
Francisca & Trihastuti, “Implikasi Referendum Brexit terhadap Kebijakan Imigrasi United Kingdom”. Diponegoro
Law Journal. Vol. 6 No. 2, 2017, hal 1-2.
9
Jean Breteche, European Union Development Co-operation in Indonesia. Agustus 2007, hal 4.
Proses pengajuan diri Inggris untuk bergabung dengan masyarakat
Eropa cukup rumit, karena Inggris mendapatkankan dua kali veto oleh
Perancis pada tahun 1962, sebab hubungan keduanya di masa lalu. Pada
tahun 1944 Chruchill yang merupakan Perdana Menteri Inggris
mengatakan kepada De Gaulle, Presiden Prancis bahwasannya jika mereka
disuruh memilih antara Eropa dan laut terbuka, mereka akan selalu
memilih laut terbuka, jika untuk memilih De Gaulle dan Roosevelt, ia
akan selalu memilih Roosevelt. Ketakukan Perancis akan Inggris menjadi
jembatan antara Eropa dan Amerika Serikat adalah penyebab dari Veto de
Gaulle. Jika hak itu memang benar De Gaulle berasumsi bahwa Amerika
Serikat akan mengambil alih Eropa, sehingga dikhawatirkan pengaruh
Prancis di Eropa akan diambil pula. namun , permasalahan itu berakhir
saat Presiden Prancis digantikan oleh Georges Popidou pada 1969. Dalam
perkembangannya inggris telah melewati kesulitan yang dihadapi.
Ditunjukkan komponen utama keberhasilan Inggris dalam negosiasi
lingkungan eksternal yang menguntungkan dengan pensiun dan
meninggalnya De Gaulle terdapat pada laporan internal di kantor luar
negeri “Accession of Britain in the European Community”.

Komponen pentingnya ada pada kemenangan partai Konservatif


pada pemilu. Perdana Menteri yang menjabat dan kebijakan yang diambil
dalam menjalin hubungan dengan Uni Eropa, merupakan hal yang
mempengaruhi karakter Inggris saat setelah menjadi anggota Uni Eropa.
Di era E. Health 1970-1974, Awal keanggotaan Inggris cenderung
menyepakati kebijakan Uni Eropa, meskipun masih ada permasalahan
yang terjadi akibat dari penyesuaian pra keanggotaan yang belum tuntas.
Masa pemerintahan Inggris dibawah Thatcher cenderung pada sikap
skeptis, karena terdapat ketidaksesuaikan terkait kebijakan Uni Eropa
terhadap Inggris mengenai masalah kesatuan moneter serta finansial,
dimana Uni Eropa membentuk kesatuan moneter dengan Bank Sentral dan
mata uang tunggal. Lalu mengenai masalah anggaran Inggris untuk ME
yang dirasa terlalu besar sehingga harus dikurangi. Selanjutnya pada masa
pemerintahan John Mayor pada tahun 1009-1997 terkait perjanjian
Maastricht mengenai permasalahan EMU. Inggris tidak menandatangani
bab tentang “Social Chapter of Treaty, dimana dalam bab tersebut
menyatukan aturan umum hubungan industrial serta kesejahteraan sosial
di negara-negara Eropa. Didukung melalui situasi ekonomi Inggris,
dengan tingkat inflansinya rendah selama 30 tahun, berkurangnya
pengangguran, kegiatan usaha yang meningkat, tingkat bunga bank
rendah, serta kestabilan nilai tukar poundsterling. Sedangkan dalam
piagam tersebut negara dipaksa mengambil biaya sosial yang tinggi, yang
dirasa dapat membahayakan, dimana hal itu bisa berpengaruh pada
pekerjaan sehingga banyak pekerjaan yang ditutup karena tidak sesuai
dengan standar Eropa yang akan berakibat pada peningkatan harga, serta
daya saing perusahaan Inggris di dunia pasar internasional menjadi kacau.
10

Pengajuan Inggris mengenai Brexit

Referendum Brexit yang diajukan oleh Inggris sudah membawa hal yang
menjadi penting dan banyak memiliki pengaruh terhadap dunia khususnya
Uni Eropa dan Inggris. Ukuran dari perekonomian negara-negara Eropa
Barat dalam ekonomi global dianggap terlalu kecil dalam mencapai tujuan
stabilitasisai kestabilan keuangan otonom atau faktor ekonomi makro
dengan pengecualian dari Inggris. Setiap negara di Eropa dianjurkan untuk
mengirim kebijakan moneternya pada Bank Sentral Eropa serta patuh
terhadap peraturan kerangka kerja. Dalam kerangka kerja tersebut terpapar
bahwa pilihan fiskal serta anggaran dibatasi, dimana dalam ketentuan
Maastricht dan perebutan akan stabilitas pakta. Pola perdaganagan Inggris
saat ini dapat dikatakan dapat menjamin sebuah pemantauan yang kuat
terhadap kebijakan fiskal negara anggota Europen Union dan strategi

Faridah & Wiyanarti, “Dinamika Inggris dan Uni Eropa: Integrasi hingga Brexit”. FACTUM. Vol. 7 No. 2, Oktober
10

2018, hal. 167-169


kebijakan moneter pada Bank Sentral Eropa. Meskipun Iggris tidak ikut
andil dalam partisipasi uang bersama.11

Awal terjadinya Brexit

Dengan segala keresahan Inggris tersebut mengenai kebijakan Uni


Eropa menyebabkan munculnya keputusan rakyat untuk keluar dari
keanggotaan Uni Eropa atau disebut “Brexit”. Tepat pada tanggal 23 Juni
2016 diperingatkan sebagai hari besar oleh masyarakat Inggris, setelah
bertahun-tahun terkait isu referendum Brexit dicanangkan, pada hari hasil
telah terpapar, total 52% memilih untuk keluar dan 48% untuk tetap
bertahan12. Hal tersebut melalui proses yang panjang, dimana pada saat
keputusan rakyat mendominasi terkait Brexit, perdana Menteri David
Cameron yang memerintah Inggris disaat itu memilih untuk
mengundurkan diri karena ia ingin Inggris tetap menjadi anggota Uni
Eropa. Kemudian digantikan oleh Theresa May sebagai perdana menteri
Inggris untuk menyelesaikan isu terkait referendum Brexit. Alasan dari
keputusan masyarakat mengenai brexit ini dikarenakan bukan soal
ekonomi tetapi masalah kultur menurut Inglehart dan Norris. Kejayaan
Inggris di masa lalu yang masih membayangi generasi tua, generasi yang
paling banyak mendukung Brexit, mengenai masalah imigrasi, dimana
masyarakat merasa terganggu akibat perbedaan budaya dan bahasa yang
berbeda, hal itu diawali dengan munculnya kelompok euroskeptis.13

Paham eurosceptic muncul pertama kali ialah pada masa awal


Inggris menjadi anggota resmi dari EEC atau sekarang disebut Uni Eropa
tepatnya pada tahun 1975, ditandai dengan peristiwa referendum

Andrias Darmayati, “Transformasi Uni Eropa: Prospek Kerjasama Kawasan Pasca Brexit”, Jurnal Ilmu Politik dan
11

Komunikasi. Vol 8 No.1, 2018, hal 10.

Francisca & Trihastuti, “Implikasi Referendum Brexit terhadap Kebijakan Imigrasi United Kingdom”. Diponegoro
12

Law Journal. Vol. 6 No. 2, 2017, hal 1-2.

Faridah & Wiyanarti, “Dinamika Inggris dan Uni Eropa: Integrasi hingga Brexit”. FACTUM. Vol. 7 No. 2, Oktober
13

2018, hal. 171.


masuknya Inggris ke dalam anggota EEC, pada saat itu kelompok ini
gagal mendominasi masyarakat Inggris sehingga hasil dari referendum
1975 menunjukkan bahwa mayoritas masyarakat memilih untuk
bergabung dengan EEC14. Namun pada tahun 2016, kelompok ini berhasil
memenangkan suara dalam referendum Brexit, dengan merefleksikan
besarnya sikap skeptis masyarakat Inggris terhadap Uni Eropa. Dengan
demikian, secara tidak langsung paham euroskeptic ini terus meluas dan
berkembang di dalam masyarakat Inggris sejak paham ini muncul pertama
kalinya di Inggris. Euroskeptic menjadi paham di setiap kalangan terutama
para aktor politikus, serta hampir seluruh negara anggota Uni Eropa,
dengan level dan jumlah yang berbeda antara masing-masing negara.
Yang menjadi pemicu utama kebangkitan kelompok ini yaitu ada pada
ratifikasi perjanjian Maastricht pada tahun 1992, dimana penerapan
kebijakan baru Uni Eropa dalam memperluas wilayah kerjasama hingga
ke area politik yang berdampak pada menurunnya legitimasi masyarakat
Uni Eropa terhadap Uni Eropa.15

EU dalam menyikapi Brexit

Setelah hasil referendum Brexit diekspos, secara resmi Inggris


menyatakan diri keluar dari Uni Eropa, mengundang berbagai reaksi dari
seluruh dunia. Termasuk dari pihak negara-negara Uni Eropa itu sendiri.
Oleh karena itu, marak terjadinya kampanye-kampanye Eurosceptic serta
ideologi nasionalisme yang dipimpin oleh aktor-aktor dari partai right-
wing seperti Perancis, Belanda, Swedia, Yunani dan Denamrk. Dengan

Mashita Dewi Tidore, Skripsi: “Dinamika Referendum Inggris Di Uni Eropa Studi Kasus: Referendum Brexit”
14

(Makassar, UNHAS, 2017), Hal. 9-12.

Khairul Munzilin dan Ali Muhammad, “Brexit : Eurosceptic Victory In british Referendum In Term Of Britain
15

Membership Of European Union”. Sosial Politik Humaniora. Vol. 5 No. 1, 2017, hal. 10.
menyuarakan keinginan yang sama dengan Inggris untuk penyelenggaraan
referendum untuk keluar dari Uni Eropa. Pemimpin Partai Nasional
Perancis Marine Le Pen menegaskan pada kampanyenya “Now is the time
to import democracy in our country. The French should have the right to
choose!”. Menurut Marine Le Pen mengenai agenda referendum tersebut
merupakan cerminan sesungguhnya dari sistem demokrasi yang dijunjung
warga Eropa. Sehingga Marine Le Pen berjanji jika ia memenangkan
pemilu 2017, ia akan menyelenggarakan referendum agar masyarakat bisa
memilih untuk bertahan atau keluar dari Uni Eropa. Geert Wilders,
pemimpin Partai Kebebasan Belanda juga melakukan hal sama, dengan
menyerukan referendum keanggotaan Belanda di Uni Eropa. Melalui
pidatonya “We must also liberate ourselves from the europhiles in
Brussles who wipe the floor with our identity, our sovereignity and our
prosperity. We must loner in control of our own money, our own
democracy”.

Dengan memanfaatkan momentum pasca Brexit untuk peningkatan


massa Anti-Uni Eropa di negaranya. Penyebaran massa eurosceptic di
Eropa cukup dinamis pasca Brexit, meskipun beberapa negara mengalami
Domino Effect sehingga memiliki rencana mengikuti langkah Inggris
melalui referendum, tetapi ada pula negara-negara yang tetap memberikan
dukungan mengenai upaya integrasi oleh Uni Eropa seperti Polandia dan
Hungaria, lain pihak tersebut menganggap bahwa Inggris akan mengalami
banyak kerugian terkait kasus Brexit tersebut. Tak dapat dipungkiri
dengan hasil pelaksanaan referendum Brexit oleh Inggris memberi
dampak yang luar biasa terhadap kohesivitas Uni Eropa. Dengan lahirnya
ketidakstabilan dalam bidang politik maupun ekonomi pasca Brexit telah
mampu membuat ideologi Euroscepticism di benua Eropa meluas dan
memperparah atas ancaman pada keutuhan integrasi Uni Eropa di masa
depan.16

Mashita Dewi Tidore, Skripsi: “Dinamika Referendum Inggris Di Uni Eropa Studi Kasus: Referendum Brexit”
16

(Makassar, UNHAS, 2017), Hal. 9-12.


Keputusan Inggris untuk keluar dari keanggotaan Uni Eropa dirasa
menjadi alarm penting bagi Uni Eropa untuk melakukan penguatan dalam
sistem keanggotaannya. Para pemimpin Uni Eropa berjanji untuk tetap
bersatu meskipun Inggris memilih keluar dari blok melalui referendum
yang telah diputuskan semenjak 2016 lalu17. Para pemimpin Uni Eropa
tersebut menegaskan bahwa Inggris haru menjunjung prinsip pergerakan
warga negara anggota secara bebas jika Inggris nantinya benar-benar
keluar dari Uni Eropa. Diplomasi yang dilakukan oleh Dewan Uni Eropa
terus dilakukan supaya jika Inggris memang benar-benar menginginkan
keluar dari Uni Eropa maka pemerintah Inggris harus menempuh
pendekatan yang sesuai prosedur sehingga tidak bisa sesuai cara keinginan
sendiri. Keinginan yang diajukan Uni Eropa tersebut diantaranya seperti,
Presiden Komisi Eropa, Jean-Claude Juncker, tidak menginginkan lagi
adanya perundingan dengan perwakilan Inggris tentang hubungan pasca-
brexit sampai Inggris benar-benar secara resmi memberitahukan keinginan
untuk keluar dengan memperhatikan Pasal 50 Traktat Lisbon, yang isinya
tentang prosedur jika negara anggota Uni Eropa ingin mengundurkan diri
dari keanggotaan18.

Hal tersebut ditekankan dan ditegaskan oleh pihak Uni Eropa dikarenakan
pemerintah Inggris saat ini semakin tidak tertib dalam menyikapi Brexit, seperti mereka
akan berani mengambil langkah untuk ‘No Deal Brexit’ yaitu keluar tanpa kesepakatan.
Kejadian inilah yang kemudian menjadi kekhawatiran bagi Uni Eropa. Sehingga hal ini
mendorong Uni Eropa untuk membuat KTT Komisi Eropa dengan menerbitkan pedoman
negosiasi19. Negosiasi yang dimaksud adalah negosiasi paralel terkait dengan kesepakatan
bagaimana perdagangan Uni Eropa-Inggris dimasa depan setelah Inggris benar-benar

Francisca & Trihastuti, “Implikasi Referendum Brexit terhadap Kebijakan Imigrasi United Kingdom”. Diponegoro
17

Law Journal. Vol. 6 No. 2, 2017, hal 1-2.

Mashita Dewi Tidore, Skripsi: “Dinamika Referendum Inggris Di Uni Eropa Studi Kasus: Referendum Brexit”
18

(Makassar, UNHAS, 2017), Hal. 9-12.

Nanda & Permata. 2017. Brexit: Pelajaran Bagi ASEAN. Jurnal Hubungan Internasional, Vol.6, No.1. FISIP,
19

Universitas Breawijaya.
keluar dari keanggotaan. Semua usaha yang telah dilakukan oleh UNI Eropa tersebut
tentu berlandaskan atas kepentingan nasional organisasi Uni Eropa, mereka tidak ingin
Uni Eropa sebagai mitra kerjasama negara-negara maju di Eropa ternyata bisa mengalami
perpecahan dengan adanya Brexit ini. Selain itu, selama ini saat Inggris menjadi anggota
Uni Eropa, ia adalah negara yang menyumbang paling banyak pemasukan untuk Uni
Eropa. Hal tersebut tentu saja membuat pihak Uni Eropa melakukan perundingan panjang
terhadap Inggris. Brexit sangat berpengaruh sekali pada kredibilitas masa depan Uni
Eropa dan kerjasama kawasan Eropa Barat sehingga Uni Eropa terus melakukan
koordinasi-korrdinasi untuk mempertahankan Inggris supaya tetap dalam satu ikatan di
Uni Eropa.

Maksud dan tujuan Brexit oleh Inggris

Namun, sepertinya semua yang diajukan oleh Uni Eropa tersebut


bertolak belakang dengan kepentingan Inggris. Pemerintah Inggris
bersama dengan masyarakatnya telah benar-benar memutuskan untuk
keluar dari keanggotaan Uni Eropa dikarenakan selama ini Inggris merasa
mengalami banyak kerugian ketika bergabung dengan keanggotaan.
Kerugian-kerugian tersebut akhirnya tidak dapat memenuhi kepentingan
nasional Inggris. Seperti permasalahan imigran, para imigran yang datang
ke Inggris akhirnya membuat berkurangnya kesempatan masyarakat
Inggris untuk mendapatkan pekerjaan dikarenakan peluang kerja yang ada
kebanyakan telah dimasuki oleh para imigran20. Disisi lain, jika Inggris
nantinya telah resmi keluar dari keanggotaan Uni Eropa maka dampak
negatif yang akan dihadapi Inggris yaitu, pertama, masyarakat Inggris
akan kehilangan lapangan kerja karena antar negara Uni Eropa memiliki
kerjasama yang sangat kuat diberbagai sektor, terutama di bidang industry
dan ternyata diperkirakan ada tiga juta pekerja di Inggris yang terkait
kerjasama dengan Uni Eropa. Jadi, jika Inggris telah keluar dari Uni Eropa

Pratiwi, Niken. 2017. Pengaruh Tory Political Cabinet Terhadap Keputusan Referendum British Exit (Brexit). FISIP,
20

Universitas Muhammadiyah Malang.


dikhawatirkan kerjasama tersebut dihentikan dan banyak orang yang
berpotensi menjadi pengangguran.

Kedua, adanya keistimewaan pekerja yang akan dicabut. Uni


Eropa memiliki undang-undang bersama, seperti undang-undang
ketenagakerjaan anti-diskriminasi yang didalamnya tertulis, para pekerja
berhak mendapatkan gaji meskipun sedang liburan atau cuti, kemudian
aturan tentang pekerja yang memiliki anak, termasuk juga aturan tentang
jam kerja dan istirahat21. Jika nantinya Inggris keluar dari keanggotaan
maka dikhawatirkan keistimewaan tersebut akan dicabut. Ketiga, sistem
pertukaran pelajar yang akan semakin sulit. Kebijakan Uni Eropa dibidang
pendidikan memberikan akses untuk membebaskan setiap masyarakat
disuatu negara kenaggotaan untuk mengenyam pendidikan kemanapun,
selama negara yang dituju adalah sesama negara anggota Uni Eropa dan
mereka akan diperlakukan seperti warga negara aslinya. Misalnya, warga
Inggris bisa mengambil kuliah di Belanda dengan fasilitas yang sama
dengan pelajar Belanda, dan begitu pula sebaliknya. Selain dampak
negatif yang didapatkan oleh Inggris, ada juga dampak positif yang
didapatkan jika Inggris keluar dari Uni Eropa, pertama, Inggris akan lebih
independen. Inggris tidak harus lagi untuk mengikuti aturan-aturan Uni
Eropa yang mengikat dan berlaku bersama sehingga itu dirasa
membebankan Inggris. Inggris bisa menjadi negara yang dapat mengatur
otonomi negaranya sendiri dan memiliki kebebasan untuk membangun
negaranya sesuai dengan kebijakannya sendiri. Kedua, harga-harga bahan
pangan bisa lebih murah22.

Ketika nanti brexit sudah terealisasi maka Inggris tidak harus lagi
untuk mengikuti kebijakan Uni Eropa tentang pertanian bersama. Didalam

Nanda & Permata. 2017. Brexit: Pelajaran Bagi ASEAN. Jurnal Hubungan Internasional, Vol.6, No.1. FISIP,
21

Universitas Breawijaya.

Nanda & Permata. 2017. Brexit: Pelajaran Bagi ASEAN. Jurnal Hubungan Internasional, Vol.6, No.1. FISIP,
22

Universitas Breawijaya.
kebijakan tersebut, Inggris sebagai negara anggota wajib menyisihkan satu
miliar poundsterling per tahun untuk membayar petani maupun nelayan
asing sehingga hal tersebut dirasa memberatkan bagi Inggris. Maka
dengan Brexit bahan-bahan pangan bisa menurun drastis. Ketiga, Inggris
bisa dengan bebas menentukan perdagangan pasarnya sendiri. Kebijakan
pajak pertambahan nilai dan biaya perdagangan yang selama ini terjadi
antar negara ternyata telah diatur oleh Uni Eropa23. Sehingga dengan
Brexit ini Inggris bisa melakukan ekspansi perdagangannya sendiri dengan
bebas. Semua yang diinginkan oleh Inggris tersebut merupakan semata-
mata untuk mencapai kepentingan nasionalnya. Melalui diplomasi politik
yang dilakukan kepada Uni Eropa sehingga sampai saat ini Brexit masih
dalam kerancuan karena berlarut-larut. Suasana internal didalam Inggris
sangat kacau karena terjadi pro dan kontra antara pihak konservatif yang
dipimpin oleh Johnson dengan parlemen yang keduanya berbeda
pandangan. Setelah adanya referendum banyak sekali bermunculan cara
untuk menunda Brexit dan juga cara untuk mempercepat terjadinya Brexit.
Hal inilah yang kemudian membuat Brexit menjadi berlarut-larut. Pihak
Uni Eropa ingin Brexit dilakukan sesuai dengan prosedur namun pihak
Inggris yang sedang dalam situasi kacau menginginkan untuk cepat-cepat
Brexit terealisasi, walaupun itu dengan cara No Deal Brexit.

Perdana Menteri Theresa May yang melanjutkan terkait isu Brexit,


dikatakannya bahwa rakyat Inggris menyetujui keputusan negaranya untuk
mengundurkan diri dari keanggotaan Uni Eropa karena harapan
masyarakat mengenai arus imigran yang masuk ke Inggris dapat
berkurang pasca Brexit. Sehingga salah satu fokus utama yang harus
dilakukan oleh Kabinet Inggris yaitu melakukan negosiasi dengan Uni
Eropa mengenai akses pasar tunggal Inggris. Melalui pemberlakuan akses
tersebut yakni dengan tujuan untuk membatasi jumlah masyarakat Uni
Eropa yang ingin menetap dan bekerja di Inggris. Johnson, Gove dan Patel

Munzilin & Muhammad. 2017. Brexit; Eurosceptic Victory n British Referendum in Term of Britain Membership in
23

European Union. Jurnal Sosial Politik Humaniora, Universitas Muhammadiyah Yogyakarta.


yang merupakan menteri-menteri Inggris meyakinkan bahwa “jika kita
memungkinkan politikus untuk memenuhi janjinya terkait dengan
persoalan imigran”24. Beberapa aktivis dari kubu pro Brexit menyetujuan
pendapat dari ketiga menteri tersebut, mereka menyatakan bahwa segala
hak imigran untuk datang, tinggal, dan bekerja di Inggris tidak akan
diberikan akses kebebasan seperti sebelum brexit diputuskan, dimana
mereka para imigran yang ingin tinggal dan bekerja akan melewati tahap
seleksi serta memastikan seluruh imigran yang datang ke Inggris mampu
berbahasa Inggris dengan baik.

Kebijakan yang ditetapkan oleh Inggris merupakan kebijakan yang


diadopsi oleh pemerintah Australia sejak tahun 1989. Para imigran yang
akan bekerja di Inggris harus mempunyai visa kerja dengan berbagai
kriteria yang ditentukan, seperti penilaian pengalaman kerja, kualifikasi
kapabilitas individu, dan seleksi usia25. Dan untuk para imigran yang akan
memilih untuk tinggal menetap secara permanen harus memiliki visa
tinggal permanen dan harus lulus pada tahap uji kesehatan dengan bukti
bebas dari virus yang menular.

Uni Eropa memiliki regulasi yang tentunya mengikat para negara


anggotanya agar patuh terhadap segala bentuk kebijakan yang ditentukan.
Imigrasi adalah salah satu faktor yang sedang dipertimbangkan oleh
Inggris mengenai kebijakan fiskal dan moneter, walaupun hal tersbut
memiliki dampak positif yang secara langsung bisa dirasakan, seperti
halnya pendapatan negara yang diperoleh dari pemungutan pajak maupun
retribusi dari para imigran di Inggris26. Tetapi, dengan kehadiran para
imigran, dapat mengancam keberlangsungan kehidupan masyarakatn
Inggris. Walaupun Inggris merupakan negara dengan perekonomian yang
sangat tingga dengan perindustrian modern terbesar di Eropa, dengan
24
Munzilin & Muhammad. 2017. Brexit; Eurosceptic Victory n British Referendum in Term of Britain Membership in
European Union. Jurnal Sosial Politik Humaniora, Universitas Muhammadiyah Yogyakarta.
25
Munzilin & Muhammad. 2017. Brexit; Eurosceptic Victory n British Referendum in Term of Britain Membership in
European Union. Jurnal Sosial Politik Humaniora, Universitas Muhammadiyah Yogyakarta.
26
Munzilin & Muhammad. 2017. Brexit; Eurosceptic Victory n British Referendum in Term of Britain Membership in
European Union. Jurnal Sosial Politik Humaniora, Universitas Muhammadiyah Yogyakarta.
masuknya tenaga kerja para imigran dalam jumlah banyak dapat
mengakibatkan berkurangnya lapangan pekerjaan yang tersedia bagi
masyarakat Inggris sendiri. Dengan begitu masyarakat Inggris
beranggapan bahwa dengan adanya arus imigrasi yang besar, stabilitas
keamanan sosietal dan ekonomi dari masyarakat penerima. Dengan begitu
maka akan memicu tingkat kriminalitas yang tinggi. Sehingga masyarakat
percaya bahwa keputusan Brexit terhadap Uni Eropa dinilai sangat efektif
dalam pengurangan jumlah kuantitas imigran yang masuk ke Inggris.

Masyarakat Inggris yakin bahwa akan lebih efektif apalabila


Inggris keluar dari keanggotaan Uni Eropa daripada pemerintah Inggris
harus membuat sistem dan kebijakan baru terkait imigran. Lembaga survei
menyatakan bahwa masyarakat Inggris mengalami dampak buruk terkait
adanya arus imigran yang masuk. Dengan persentase 64% masyarakat
Inggris percaya bahwasannya jaminan atas hak warga negara untuk tinggal
dan bekerja akan mengalami penurunan akibat banyaknya kehadiran para
pekerja imigran di Inggris.27

Kesimpulan

Diplomasi antara kedua belah pihak yaitu Inggris dan Uni Eropa sangat
berlarut-larut dan tidak segera menemui jalan temu sehingga selalu terjadi
perpanjangan waktu lagi dan lagi. Perpanjangan waktu yang tidak segera
menemui titik temu tersebut dikarenakan didalam internal Inggris terjadi
perdebatan pro dan kontra antara pihak parlemen dan pihak dari Boris
Johnson tentang keputusan Brexit. Sedangkan dari pihak Uni Eropa yang
mengajukan banyak prosedur yang harus dipenuhi oleh Inggris ketika
benar-benar ingin brexit. Namun, semua prosedur tersebut tidak dapat
dilaksanakan oleh Inggris dengan baik. Hal itu membuat pihak Uni Eropa
terus mengulur waktu mengenai Brexit ini.

Hardi Alunaza SD dan Virginia Sherin, “Pengaruh Briitish Exit (Brexit) Terhadap Kebijakan Pemerintah Inggris
27

Terkait Masalah Imigran”. Intermestic: Journal International Studies. Vol. 2 No. 2, Mei 2018, hal. 163-164.
DAFTAR PUSTAKA

Bibliography
Francisca, & Trihastuti. (2017). Implikasi Referendum Brexit terhadap Kebijakan Imigrasi United
Kingdom. Diponegoro Law Journal , Vol.6 No.2, 1-2.

Faridah, & Wiyanarti. (2018). Dinamika Inggris dan Uni Eropa; Integrasi hingga Brexit . FACTUM ,
Vol.7 No.2 , 167-169.

D, A. (2007). Pengantar Metode Penelitian . Yogyakarta: Kurnia Alam Semesta.

Nanda, & Permata. (2017). Brexit; Pelajaran Bagi ASEAN . Jurnal Hubungan Internasional , vol.6
no.1 .

Munzilin, & Muhammad. (2017). Brexit; Eurosceptic Victory in British Referendum in Term of
Britain Membership of European Union . Sosial Politik dan Humaniora , vol.5 no.1, 10 .

Jackson, & Sorensen. (2009). Pengantar Studi Ilmu Hubungan Internasional. Yogyakarta: Pustaka
Pelajar.

Pratiwi, N. (2017). Pengaruh Tory Political Cabinet Terhadap Keputusan Referendum British Exit
(Brexit).

Tidore, M. D. (2017). Dinamika Referendum Inggris di Uni Eropa Studi Kasus; Referendum Brexit.
Makassar: Univeristas Hassanudin .

Darmayanti, A. (2018). Transformasi Uni Eropa; Prospek Kerjasama Kawasan Pasca Brexit . Jurnal
Ilmu Politik dan Komunikasi , Vol. 8 No.1, 10.
Breteche, J. (2007). European Union Development Co-operation in Indonesia. p. 4.

S.L, R. (1995). Diplomasi . Jakarta Utara: PT.Raja Gafrindo Persada .

Jemadu, A. (2008). Politik Global dalam Teori dan Praktik. Yogyakarta: Graha Ilmu .

Mas'oed, M. (1994). Ilmu Hubungan Internasional; Disiplin dan Metodologi. Jakarta: PT. PUstaka
LP3ES.

Sitepu, A. (2011). Studi Hubungan Internasional . Yogyakarta: Graha Ilmu .

Mas'oed, M. (1989). Studi Hubungan Internasional Tingkat Analisa dan Teorisasi . Yogyakarta,
Yogyakarta, Indonesia: Pusat Studi Sosial Universitas Gajah Mada.

Anda mungkin juga menyukai