Anda di halaman 1dari 17

1.

Sejarah Ekonomi Sumber Daya Perikanan di Indonesia

Ekonomi sumber daya perikanan didasarkan pada konstitusi Indonesia yaitu pada Undang-
Undang Dasar 1945 agar bumi, air dan sumberdaya alam yang terkandung di dalamnya
digunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat Indonesia. Pada awal kemerdekaan,
bahkan jauh sebelumnya, sumberdaya perikanan sudah dieksplotitasi. Kegiatan eksploitasi ini
berlangsung lama tetapi tidak mampu mensejahterakan kaum nelayan yang menjadi bagian dari
system perekonomian perikanan.
1.1. Zaman Kolonial Belanda
Perikanan mulai menjadi sector bisnis pada saat zaman Kolonial belanda dmulai pada
akhir 1800an. Pada saat itu perikanan telah berorientasi pada pasar yang ditandai dengan
pertumbuhan usaha pengolahan dan pemasaran ikan. Pada awal abad ke 20 Hindia
Belanda(Indonesia) telah memiliki pelabuhan penting di dunia yang memiliki kegiatan
ekspor perikanan, pelabuhan tersebut terletak di kota bagan si api-api. Pada tahun 1850,
namun pada tahun 1912 pelabuhan ini telah mengalami kemunduran diakibatkan kebijakan
dan monopoli yang diterapkan oleh pemerintah Kolonial Belanda. Pulau Jawa telah menjadi
pasar terpenting produk perikanan khususnya ikan kering (asin) dan terasi. Merujuk pada
data van der Eng, kontribusi perikanan terhadap total PDB pada tahun 1880 dan 1890
mencapai di atas 2% atau tertinggi yang pernah dicapai perikanan dari seluruh periode antara
1880-2002.
Prestasi Indonesia pada zaman tersebut di bidang perikanan tersebut tidak berlangsung
lama dikarenakan system tanam paksa yang diterapkan oleh pemerintah Kolonial belanda
mengeksploitasi penduduk pribumi sehingga pelabuhan yang beraktivitas di bidang
perikanan menjadi pelabuhan yang hanya mengekspor hasil dari system tanam paksa
tersebut. Selain itu kebijakan monopoli garam yang diterapkan oleh pemerintah Kolonial
belandamembuat aktifitas produksi pengolahan ikan asin terhenti. Karena pemerintah
Kolonial Belanda meningkatkan biaya sewa dari f6.000 pada tahun 1904 menjadi f32,000 di
tahun 1910 menghasilkan stagnasi dan penurunan peran industri perikanan yang ditunjukkan
oleh penurunan ekspor dari 25.900 ton ikan kering di tahun 1904 menjadi 20.000 ton di tahun
1910. Terjadinya pengerusakan secara ekologis seperti ekstraksi bakau dan pendangkalan
perairan, menyebabkan serta menurunnya sumberdaya ikan muncul dan mendorong
perikanan bergerak lebih jauh dari pantai. Pertumbuhan industri perikanan periode 1870an
sampai 1930an oleh Butcher disebut sebagai menangkap ikan lebih banyak dengan teknologi
yang sama. Periode ini diikuti oleh perubahan teknologi dan perluasan daerah penangkapan
sebagai akibat modernisasi perikanan dan semakin langkanya ikan di daerah pinggir
(1890an-1930an)
1.2. Masa Pendudukan Jepang

Sama halnya dengan akhir dari pemerintahan belanda, penurunan kegiatan ekonomi
perikanan juga terjadi pada masa pendudukan jepang. Hai ini dikarenakan nelayan-nelayan
ini datang dengan dukungan subsidi pemerintahan Meiji yang sedang giat menggalakan
industrialisasi. Teknologi perikanan yang lebih maju membuat nelayan Jepang mendapat
keuntungan yang lebih besar dari exploitasi sumberdaya ikan.

1.3. Orde Lama


Pada awal kemerdekaan Indonesia banyak sekali kebijakan ekonomi dan
perikanan tidak dilaksanakan karena banyak terjadi pergolakan politik. Pada tahun 1961,
sektor perikanan mulai dilirik pemerintah menjadi pengerak ekonomi nasional seperti
tertuang dalam Perencanaan Pembangunan Delapan Tahunan yang disusun Dewan
Perantjang Nasional (Depernas, sekarang Bappenas). Target pendapatan dari ekstraksi
sumberdaya perikanan menurut Pauker mencapai US$ 500 juta, namun karena
ekspektasi yang sangat berlebihan, target tersebut akhirnya direvisi menjadi US$ 12,5
juta dalam sidang kabinet.
Pada orde lama setelah kemerdekaan, produksi perikanan terus meningkat dari
320 ribu ton pada tahun 1940 menjadi 324 ribu ton pada tahun 1951, dan kemudian
menjadi 661 ribu ton pada tahun 1965. Pertumbuhan produksi tertinggi 7,4% per tahun
dicapai pada periode 1959-1965, namun produktivitas per kapal menurun dari 4 ton di
tahun 1951 menjadi 2,8 ton pada tahun 1965. Produktivitas nelayan juga turun dari 1 ton
menjadi 0,7 ton dalam periode yang sama. Basis perikanan pada era ini sepenuhnya di
daerah pantai dan hanya sedikit industri perikanan modern yang berkembang.

1.4. Zaman Orde Baru


Kemajuan kegiatan ekonomi perikanan pada zaman orde dimulai pada saat
produksi perikanan meningkat dari 721 ribu ton pada tahun 1966 menjadi 1,923 ribu ton
pada 1986. Produksi ikan meningkat menjadi 3.724 ribu ton tahun 1998. Setelah
mengalami pertumbuhan negatif dalam periode peralihan (1966-1967), laju pertumbuhan
produksi perikanan meningkat dari 3,5% (1968-1973) menjadi 5,3% per tahun (1974-
1978). Periode berikutnya pertumbuhan produksi perikanan cenderung menurun (Tabel
2). Produktivitas perikanan dalam era ini walaupun tumbuh dengan laju yang
berfluktuasi (khususnya kapal), secara nomimal meningkat dari rata-rata 4,3 ton/kapal
periode 1974-1978 menjadi 8,4 ton per kapal periode 1994-1998.
Motorisasi perikanan merupakan salah satu penyebab peningkatan produksi sektor
ini. Tahun 1966 motorisasi hanya meliputi 1.4% dari total armada perikanan sebanyak
239.900 unit, menjadi 5,8% pada tahun 1975, dan mencapai 16% dari total armada pada
tahun 1980. Pada tahun 1998 armada perikanan bermotor telah mencapai 45,8% dari
total sebanyak 412.702 unit, namun data tahun ini menunjukkan hanya 21% berupa
kapal motor (“inboard motor”), dan bagian terbesar adalah perahu motor tempel dan
perahu tanpa motor. Dengan demikian, basis perikanan masih dominan di wilayah
pantai.
Pada saat orde baru sector ekomi perikanan dipegang oleh nelayan skala besar
yang menggunakan trawl dan purse seine. Pada saat tersebut terjadi kesenjangan
ekonomi yang terjadi diantera nelayan kecil dan nelayan skala besar. Nelayan kecil yang
mempunyai produktivitas rendah (1,4-6,7 ton/unit alat) semakin tersingkirkan oleh
nelayan skala besar (trawl dan purse seine) dengan produktivitas masing-masing
mencapai 70,4 ton/unit dan 38 ton/unit. Kondisi ini yang mendorong pemerintah
melarang penggunaan trawl secara bertahap melalui Keppres 39/1980 yang diikuti
Inpress 11/1982 dan SK Menteri Pertanian No. 545/Kpts/Um/8/1982 tentang
penghapusan jaring trawl di seluruh perairan Indonesia terhitung mulai 1 Januari 1983.
1.5. Reformasi
Pada zaman reformasi perikanan dijadikan salah satu motor penggerak ekonomi
nasianal. Berdasarkan Nota Keuangan dan APBN tahun 2000-2005, Pendapatan Negara
Bukan Pajak PNBP) perikanan meningkat sangat pesat dari Rp 52 miliar pada tahun 2000
menjadi Rp 450 miliar pada tahun 2003. Dibanding tahun sebelumnya, PNBP 2004 turun
menjadi Rp 282,8 miliar (di bawah target Rp 450 miliar) dan diperkirakan target PNBP
sebesar Rp 700 miliar pada tahun 2005 juga tidak tercapai karena belum optimalnya
perjanjian bilateral dengan Cina, Filipina dan, Thailand.

2. Eksternalitas dalam Perikanan

Eksternalitas merupakan dampak negative atau positif satu pihak/pelaku ekonomi dari
produksi dan konsumsi terhadap pihak lain dan memberikan kompensasi. Dalam ekonomi
perikanan eksternalitas cenderung dianggap sebagai dampak negative. Jenis eksternalitas
tersebut adalah:

a. Eksternalitas Ruang(Space Interception)


Eksternalitas ruang yang dimaksud dalam sector perikanan adalah eksternalitas yang
secara umum terjadi akibat perebutan suatu area untuk melakukan kegiatan perikanan dan
fishing ground khususnya oleh nelayan pada perikanan tangkap. Contohnya dalam
interaksi antara sesama nelayan sebagai produsen ikan, mereka akan saling berebut jika
mendapatkan informasi tentang fishing ground yang terdapat banyak ikan. Akibat
perebutan tersebut penangkapan yang harusnya maksimal menjadi terbagi akibat

menangkap di daerah yang sama. Akhirnya keuntungan yang didapat lebih sedikit
daripada yang diharapkan. Kejadian ini disebut crowding effect, yang menyebabkan
nelayan yang tidak bisa lagi melakukan kegiatan penangkapan akan mencari tempat lain
yang lebih jauh dengan biaya yang tinggi.

Persaingan ini berakibat terhadap interaksi ekonomi dari produsen kepada konsumen,
jika nelayan mendapatkan ikan sedikit atau mencari ikan dengan fishing ground yang
jauh maka mereka akan menaikkan harga untuk menutupi biaya operasionalnya. Secara
sederhana akibat eksternalitas ruang dari interaksi produsen dan konsumen adalah tentang
harga. Sebaliknya interaksi konsumen kepada produsen adalah konsumen akan
melakukan penawaran harga yang rendah dari harga yang ditetapkan konsumen, dalam
hal ini nelayan jika tidak menjualnya dengan harga yang sesuai hasil tangkapannya dapat
membusuk, karena produk perikanan tidak tahan lama. Interaksi ekonomi antara sesame
konsumen adalah mereka saling berlomba mencari produsen dengan harga yang murah.
b. Eksternalitas Waktu(Time Interception)
Eksternalitas ini timbul dalam bentuk intersepsi waktu. Karena sumberdaya perikanan
tidak ada yang memiliki, nelayan cenderung menangkap ikan sebanyak-banyaknya dan
ini dilakukan sebelum di dahului oleh nelayan yang lain. Eksternalitas ini juga
berdampak pada daur hidup ikan. Contohnya adalah nelayan akan mengambil ikan yang
belum siap tangkap/panen karena takut di dahului oleh nelayan lain, ini akan berdampak

pada hasil produsen yang lain. Sama halnya dengan eksternalitas ruang, nelayan yang
terlambat harus mencari ke area yang lebih jauh. Dikarenakan hasil tangkapan yang
banyak dan tidak selektif maka konsumen akan lebih diuntungkan karena harganya akan
lebih murah sebaliknya pada produsen keuntungan akan lebih sedikit karena hasil
tangkapan kurang layak. Interaksi sesame konsumen tidak terlalu berdampak dengan
ekstenalitas ini.
c. Mobility Interception
Intersepsi mobilitas sering juga disebut dengan gear interception yaitu dampak
negative dari penggunaan alat. Intesepsi ini mengakibatkan persaingan antara nelayan
menjadi tidak seimbang dalam penangkapan. Contohnya jika nelayan yang memiliki
kapal dan perlengkapan modern akan lebih cepat dan mudah menangkap ikan dengan
perlengkapan kapal yang canggih seperti dengan sonar dan GPS. Sedangkan nelayan
yang hanya memiliki perahu tempel akan tersingkir karena nelayan ini hanya memakai
kapal seadanya dan alat tradisional sedangkan nelayan besar memiliki alat tangkap
modern seperti purse seine dan trawl dengan kecepatan yang tinggi. Oleh sebab itu
banyak nelayan yang menggunakan bom. Ini akan berdampak kepada ekosistem ikan
sehingga baik produsen dan konsumen akan mendapat akibat negative secara tidak
langsung karena akan menghancurkan habitat ikan.
d. Information Externalities
Eksternalitas ini merupakan dampak dari informasi keberadaan ikan. Tidak hanya
dalam perikanan tangkap tapi juga dalam bidang yang lain informasi merupakan seseatu
yang paling bermanfaat bagi pelaku perikanan. Secara umum adalah informasi tentang
permintaan pasar akan ikan. Dalam perikanan tangkap, informasi tentang keberadaan
ikan jika diketahui pihak lain akan dapat mengurangi jumlah tangkapan. Contohnya bagi
nelayan yang tau lokasi ikan akan menyembunyikan informasi tersebut, kalau diketahui
oleh nelayan lain maka akan banyak nelayan lain yang ikut pada lokasi tersebut, ini bisa
menyebabkan terjadinya eksternalitas ruang. Jika itu terjadi maka hasil tangkapan secara
tidak langsung akan terbagi dan dapat juga terjadi gear externality dimana nelayan yang
mempunyai alat yang lebih baik akan menang dalam persaingan ini.
e. Eksternalitas Antarspesies
Eksternalitas ini timbul akibat dari predasi, dimana ikan menjadi bahan makanan ikan
lain yang lebih tinggi level trofiknya. Jika terjadi lonjakan predator maka ikan yang
menjadi bahan makanan predator tersebut akan merosot, dan ketika ikan tersebut
populasinya menurun maka predator juga menurun. Jika dilihat dari segi interaksi
ekonomi, eksternalitas ini berdampak pada jumlah spesies tertentu, jika nelayan
menangkap ikan ikan yang jumlahnya terbatas maka nelayan lain tidak berkemungkinan
mendapat ikan tersebut sehingga harga ikan tersebut akan naik.
f. Eksternalitas Stok
Eksternalitas Stok merupakan bagian yang tidak dapat dipisahkan dari perikanan.
Dalam interaksi ekonomi antara nelayan dan nelayan lain, stok ikan akan berkurang jika
datangnya armada penangkapan baru.
g. Eksternalitas teknologi
Eksternalitas ini merupakan dampak negative dari pemakaian suatu alat/teknologi
yang dapat mengubah dinamika populasi sehingga menimbulkan efek negative bagi alat
lain. Contohnya adalah pengunaan pukat harimau yang menangkap ikan secara tidak
selektif karena ukuran mesh sizenya yang kecil, ini akan berdampak pada pengguna
purse seine karena jika ikan dewasa telah habis tidak ada ikan yang akan ditangkap
kemudian hari karen pukat harimau telah menangkap ikan yang berukuran juvenile.

Dari berbagai eksternalitas diatas maka efisiensi alokasi sumberdaya dan distribusi
konsumsi dalam ekonomi pasar dengan kompetisi bebas dan sempurna bisa terganggu, jika
aktivitas dan tindakan individu pelaku ekonomi baik produsen maupun konsumen mempunyai
dampak (externality) baik terhadap mereka sendiri maupun terhadap pihak lain. Eksternalitas itu
dapat terjadi dari empat interaksi ekonomi, seperti ini:

a. Eksternalitas dari kegiatan produsen terhadap produsen lain.

Suatu kegiatan produksi dikatakan mempunyai dampak eksternal terhadap produsen


lain jika kegiatannya itu mengakibatkan terjadinya perubahan atau penggeseran fungsi
produksi dari produsen lain. Contohnya jika terjadi eksternalitas ruang, informasi dan
teknologi, jika terjadi persaingan antara nelayan yang menangkap pada suatu area
bersama-sama maka ini akan menurunkan pendapatannya. Dan pada eksternalitas alat,
produsen yang memiliki alat yang modern akan mengalahkan produsen yang masih
tradisional sehingga produksinya terganggu. Pada perairan umum seperti di danau dan
waduk interaksi eksternalitas ini bias terjadi ketika pengusaha KJA memberi pakan yang
berlebihan terhadap ikannya, sehingga pakan tersebut mengendap di dasar perairan,
ketika terjadi stratifikasi/upwelling residu pakan yang mengendap tersebut akan meracuni
ikan. Selain itu perncemaran yang diakibatkan oleh produsen di sector lain misalnya
industry pulp yang mencemari lingkungan perairan dapat menyebabkan lethal ataupun
sublethal pada ikan yang terdapat pada area tersebut sehingga terjadi penurunan angka
tangkapan ikan nelayan.

b. Eksternalitas dari kegiatan produsen terhadap konsumen.

Suatu produsen dikatakan mempunyai eksternal efek terhadap konsumen, jika


aktivitasnya merubah atau menggeser fungsi utilitas rumah tangga (konsumen). Dampak
atau efek samping yang sangat populer dari kategori kedua yang populer adalah
pencemaran atau polusi. Kategori ini meliputi polusi suara (noise), berkurangnya fasilitas
daya tarik alam (amenity) karena pertambangan, bahaya radiasi dari stasiun pembangkit
(polusi udara) serta polusi air, yang semuanya mempengaruhi kenyamanan konsumen
atau masyarakat luas. Dalam hal ini, suatu agen ekonomi (perusahaan/produsen) yang
menghasilkan limbah (waste products) ke udara atau ke aliran sungai mempengaruhi
pihak dan agen lain yang memanfaatkan sumber daya alam tersebut dalam berbagai
bentuk. Sebagai contoh, kepuasan konsumen terhadap usaha pemancingan akan
berkurang karena banyak polutan yang mencemari perairan yang mengaliri area tersebut
sehungga menyebabkan kematian pada ikan di kolam pemancingan.

c. Eksternalitas dari suatu konsumen terhadap konsumen lain.

Dampak konsumen terhadap yang lain terjadi jika aktivitas seseorang atau kelompok
tertentu mempengaruhi atau menggangu fungsi utilitas konsumen yang lain. Konsumen
seorang individu bisa dipengaruhi tidak hanya oleh efek samping dari kegiatan produksi
tetapi juga oleh konsumsi oleh individu yang lain. Dampak atau efek dari kegiatan suatu
konsumen yang lain dapat terjadi dalam berbagai bentuk. Sebagai contoh, jika konsumen
usaha perikanan yang akan melakukan transaksi dengan produsen pembibitan ikan, secara
tidak langsung membuang sampah, seperti puntung rokok ke kolam pembibitan. Sampah
tersebut jikan berakumulasi akan mengebabkan pencemaran di kolam tersebut sehingga
berkemungkinan menyebabkan gangguan pertmbuhan sehingga konsumen lain yang akan
membeli bibit tersebut menerima dampak atas perbuatan konsumen yang membuang
sampah tadi.

d. Eksternalitas dari suatu konsumen terhadap produsen.

Dampak konsumen terhadap produsen terjadi jika aktivitas konsumen mengganggu


fungsi produksi suatu produsen atau kelompok produsen tertentu. Contohnya adalah
ketika konsumen membuang limbah domestic mereka ke perairan akan menyebabkan
polusi, seperti konsumen yang membuang sampahnya ke danau atau waduk akan
menyebabkan polusi sehingga ikan yang sudah terkontaminasi pertumbuhannya
berkemungkinan terhambat dan ini merugikan produsen.

2. 1400an-1600an: “Age of Commerce”

Abad ke-7 dan ke-8 perdagangan telah menjadi ciri dari beberapa wilayah seperti di Selat
Malaka dan Laut Jawa. Perkembangan ekonomi dan formasi negara bahkan sangat terkait
dengan aktivitas ini. Hal tersebut juga tergambar dari hikayat yang berkembang yang
menunjukkan hubungan dialektis antara penguasa dan pedagang.

Periode 1450-1680 menjadi periode emas ekonomi pesisir, atau Reid menyebut “age of
commerce”. Puncak keemasan ekonomi nusantara merupakan hasil dari spesialisasi ekonomi
yang tinggi (misalnya produk pangan untuk pasar domestik dan beberapa hasil pertanian, hutan
dan hasil laut, serta emas untuk pasar global), jaringan perdagangan yang luas, merebaknya
monetisasi dan urbanisasi. Bagaimana industri perikanan periode ini? Perdagangan mutiara dan
kerang-kerangan cukup penting, namun keterangan Zuhdi tentang perikanan Cilacap yang hanya
menggunakan alat tangkap sederhana dan nelayan mengolah hasilnya untuk dibarter dengan
wilayah pedalaman menjadi panduan kondisi lain perikanan di era ini.
1800an-Pertengahan 1900an: Pasang – Surut Perikanan

Tarik-menarik politik pesisir dan pedalaman menandai maju-mundurnya peran ekonomi wilayah
ini. Di Jawa misalnya, Houben membagi menjadi tiga periode yaitu

1) 1600-1755 dimana terjadi perubahan orientasi politik dari pesisir ke pedalaman atau dari
perdagangan ke pertanian yang ditandai naik-turunnya kekuasaan Mataram

2) periode 1755-1830 Jawa terpecah belah dan berakhir dengan perang. Belanda memanfaatkan
momen ini melalui serial kerjasama pengembangan pertanian tanaman ekspor dengan para
penguasa Jawa, sehingga tahun 1757 Belanda telah menguasai daerah pedalaman,

3) 1830-1870 merupakan periode menguatnya kolonialisme. Periode ini ditandai dengan


diberlakukannya tanam paksa pada tahun 1830.

Untuk mendukung ekspor pemerintah membangun pelabuhan, namun pelabuhan yang tumbuh
berkarakter menghisap potensi alam dan bumiputera. Keuntungan tanam paksa tidak diterima
rakyat, tetapi oleh orang Eropa, pedagang China, importir dan eksportir selain pemerintah
Belanda. Tanam paksa juga diperkirakan mendorong penurunan tampilan industri perkapalan.
Sejak akhir 1800an perikanan telah berorientasi pada pasar yang ditandai dengan pertumbuhan
spektakuler usaha pengolahan dan pemasaran ikan. Bahkan, pada awal abad ke-20 Kota Bagan
Si Api Api di mulut Sungai Rokan telah menjadi salah satu pelabuhan perikanan terpenting di
dunia dengan kegiatan utama ekspor perikanan. Jawa dengan populasi 1/4 dari total penduduk
Asia Tenggara pada tahun 1850 telah menjadi pasar terpenting produk perikanan khususnya ikan
kering (asin) dan terasi. Merujuk pada data van der Eng, kontribusi perikanan terhadap total PDB
pada tahun 1880 dan 1890 mencapai di atas 2% atau tertinggi yang pernah dicapai perikanan dari
seluruh periode antara 1880-2002.

Pasang-surut perikanan tidak terlepas dari kebijakan pemerintah, permasalahan ketersediaan


sumberdaya, ekologi, ekonomi dan sosial. Kebijakan monopoli garam oleh pemerintah dengan
meningkatkan biaya sewa dari f6.000 pada tahun 1904 menjadi f32,000 di tahun 1910
menghasilkan stagnasi dan penurunan peran industri perikanan yang ditunjukkan oleh penurunan
ekspor dari 25.900 ton ikan kering di tahun 1904 menjadi 20.000 ton di tahun 1910. Tahun 1912
perikanan Bagan Si Api-Api telah mengalami kemunduran berarti. Hal yang serupa dan
permasalahan pajak dan kredit juga terjadi di Jawa dan Madura. Permasalahan ekologi seperti
ekstraksi bakau dan pendangkalan perairan, serta menurunnya sumberdaya ikan muncul dan
mendorong perikanan bergerak lebih jauh dari pantai.

Pertumbuhan industri perikanan periode 1870an sampai 1930an oleh Butcher disebut sebagai
menangkap ikan lebih banyak dengan teknologi yang sama. Periode ini diikuti oleh perubahan
teknologi dan perluasan daerah penangkapan sebagai akibat modernisasi perikanan dan semakin
langkanya ikan di daerah pinggir (1890an-1930an). Peran nelayan Jepang dalam hal ini patut
dicatat karena mereka masuk ke Indonesia dengan profesi salah satunya sebagai nelayan.
Butcher menilai nelayan-nelayan ini datang dengan dukungan subsidi pemerintahan Meiji yang
sedang giat menggalakan industrialisasi. Teknologi perikanan yang lebih maju membuat nelayan
Jepang mendapat keuntungan yang lebih besar dari exploitasi sumberdaya ikan.

Awal Kemerdekaan dan Akhir Orde Lama : Pertarungan Politik

Diantara wacana politik ekonomi perikanan dan kelautan adalah 1) perjuangan Konsepsi
Archipelago sesuai deklarasi Desember 1957, 2) Undang-Undang Pokok Agraria (UUPA) No.
5/1960, dan 3) perikanan sebagai salah satu “mainstream” pembangunan nasional.

Konsepsi archipelago diperkuat dengan UU No. 4 prp. 1960 tentang Perairan Indonesia, yang
diikuti Keppres 103/1963 untuk memberikan pengertian lebih luas tentang lingkungan maritim.
UU tersebut tidak hanya memperkokoh konsep wawasan nusantara, bagi perikanan perangkat
kebijakan ini menguntungan karena secara prinsip kapal ikan asing tidak dibenarkan beroperasi
di dalam lingkungan maritim Indonesia.
Hak pemeliharaan dan penangkapan ikan di atur dalam UUPA (pasal 47 ayat 2). Walaupun
sejarah penyusunannya tidak diwarnai debat antara konsep “kepemilikan bersama” dan
“kepemilikan tunggal” sebagaimana di Jepang yang memperkuat konsep hak atas sumberdaya
ikan dalam perundangan perikanannya, konsepsi ini menurut Saad memberikan ruang bagi
pengakuan “kepemilikan tunggal”. Sayangnya, peraturan pemerintah yang dimaksud dalam
UUPA belum atau tidak ditetapkan sampai saat ini dan juga tidak menjadi acuan lahirnya UU
No. 9/1985 tentang perikanan ataupun UU Perikanan No. 31/2004.

Sejak ekonomi terpimpin dicanangkan di tahun 1959, bersama minyak bumi dan hasil hutan,
perikanan menjadi harapan pengerak ekonomi nasional seperti tertuang dalam Perencanaan
Pembangunan Delapan Tahunan yang disusun Dewan Perantjang Nasional (Depernas, sekarang
Bappenas) di tahun 1961. Target pendapatan dari ekstraksi sumberdaya perikanan menurut
Pauker mencapai US$ 500 juta, namun karena ekspektasi yang sangat berlebihan, target tersebut
akhirnya direvisi menjadi US$ 12,5 juta dalam sidang kabinet.

Data yang dilaporkan Krisnandhi dapat menjadi acuan perikanan era ini. Setelah mengimpor
ikan pada era awal kemerdekaan, produksi perikanan terus meningkat dari 320 ribu ton pada
tahun 1940 menjadi 324 ribu ton pada tahun 1951, dan kemudian menjadi 661 ribu ton pada
tahun 1965. Pertumbuhan produksi tertinggi 7,4% per tahun dicapai pada periode 1959-1965,
namun produktivitas per kapal menurun dari 4 ton di tahun 1951 menjadi 2,8 ton pada tahun
1965. Produktivitas nelayan juga turun dari 1 ton menjadi 0,7 ton dalam periode yang sama.
Basis perikanan pada era ini sepenuhnya di daerah pantai dan hanya sedikit industri perikanan
modern yang berkembang.

5. Orde Baru: Terabaikan dan Dualisme Ekonomi Perikanan


Bagaimana perikanan di era ini? Produksi perikanan meningkat dari 721 ribu ton pada tahun
1966 menjadi 1,923 ribu ton pada 1986. Produksi ikan meningkat menjadi 3.724 ribu ton tahun
1998. Setelah mengalami pertumbuhan negatif dalam periode peralihan (1966-1967), laju
pertumbuhan produksi perikanan meningkat dari 3,5% (1968-1973) menjadi 5,3% per tahun
(1974-1978). Periode berikutnya pertumbuhan produksi perikanan cenderung menurun (Tabel 2).
Produktivitas perikanan dalam era ini walaupun tumbuh dengan laju yang berfluktuasi
(khususnya kapal), secara nomimal meningkat dari rata-rata 4,3 ton/kapal periode 1974-1978
menjadi 8,4 ton per kapal periode 1994-1998.

Motorisasi perikanan merupakan salah satu penyebab peningkatan produksi sektor ini. Tahun
1966 motorisasi hanya meliputi 1.4% dari total armada perikanan sebanyak 239.900 unit,
menjadi 5,8% pada tahun 1975, dan mencapai 16% dari total armada pada tahun 1980. Pada
tahun 1998 armada perikanan bermotor telah mencapai 45,8% dari total sebanyak 412.702 unit,
namun data tahun ini menunjukkan hanya 21% berupa kapal motor (“inboard motor”), dan
bagian terbesar adalah perahu motor tempel dan perahu tanpa motor. Dengan demikian, basis
perikanan masih dominan di wilayah pantai.

Konflik antara perikanan skala besar dan skala kecil mewarnai sejarah perikanan laut orde baru
sebagai akibat dualisme struktur perikanan. Dualisme perikanan ditunjukkan oleh Bailey pada
dua kasus penting yaitu:

1) introduksi trawl dan purse seine,

2) pengembangan budidaya udang. Kasus trawl menguatkan tesis Hardin tentang tragedi
sumberdaya kepemilikan bersama.
Ketika nelayan skala kecil dengan produktivitas rendah (1,4-6,7 ton/unit alat) semakin
tersingkirkan oleh nelayan skala besar (trawl dan purse seine) dengan produktivitas masing-
masing mencapai 70,4 ton/unit dan 38 ton/unit di tahun 1980, respon nelayan skala kecil adalah
melawan dengan berbagai cara termasuk menggunakan bom molotov. Kondisi ini yang
mendorong pemerintah melarang penggunaan trawl secara bertahap melalui Keppres 39/1980
yang diikuti Inpress 11/1982 dan SK Menteri Pertanian No. 545/Kpts/Um/8/1982 tentang
penghapusan jaring trawl di seluruh perairan Indonesia terhitung mulai 1 Januari 1983.

6. Pasca Reformasi : Harapan menjadi “Prime Mover”

Struktur perikanan laut di era terakhir ini juga belum banyak bergeser dimana perikanan skala
kecil masih dominan yang ditunjukkan oleh 75% armada perikanan adalah perahu tanpa motor
dan perahu motor tempel. Produksi perikanan dalam periode 1999-2001 tumbuh 2,5% per tahun,
sedangkan armada perikanan mulai tumbuh terbatas yaitu di bawah 1% per tahun. Pertumbuhan
nelayan lebih tinggi dari armada perikanan dan mendekati pertumbuhan produksi (2,1%).

Jika periode ini dibandingkan periode sebelumnya (1994-1998), produksi perikanan tumbuh
lebih rendah (2,5%), demikian juga produktivitas kapal baik secara nomimal maupun laju
pertumbuhan. Rata-rata produktivitas perikanan periode 1994-1998 mencapai 8,4 ton/kapal dan
1.7 ton/nelayan turun menjadi 8,3 ton/kapal dan 1,5 ton/nelayan periode tahun 1999-2001. Laju
pertumbuhan produktivitas kapal mencapai 3,0% periode 1994-1998, turun menjadi 1,6%
periode 1999-2001.

Berdasarkan Nota Keuangan dan APBN tahun 2000-2005, Pendapatan Negara Bukan Pajak
(PNBP) perikanan meningkat sangat pesat dari Rp 52 miliar pada tahun 2000 menjadi Rp 450
miliar pada tahun 2003. Dibanding tahun sebelumnya, PNBP 2004 turun menjadi Rp 282,8
miliar (di bawah target Rp 450 miliar) dan diperkirakan target PNBP sebesar Rp 700 miliar pada
tahun 2005 juga tidak tercapai karena belum optimalnya perjanjian bilateral dengan Cina,
Filipina dan, Thailand. Kondisi ini menjadi satu tantangan bagi sektor perikanan dan kelautan
untuk menjadi salah satu “the prime mover” atau “mainstream” ekonomi nasional.

7. Sejarah Ekonomi Perikanan Pada Abad Ke 20

Pada abad ke 20, perairan Indonesia memiliki tidak kurang dari 1.500 sampai 2.000 jenis ikan,
khususnya Laut Jawa mempunyai potensi; yaitu 738,320 ton/tahun untuk ikan demersal dan
624,840 ton/tahun untuk ikan pelagic. Oleh karena itu, di sepanjang pantai utara Jawa dan
Madura sudah lama dikenal daerah-daerah yang mempunyai banyak ikan, dengan beraneka
jenis.Di samping kekayaan ikan, aneka biotik laut dan lingkungan alam juga menjadi faktor yang
turut menentukan berlangsungnya usaha penangkapan. Bahwa pantai utara Jawa dengan pantai
yang landai, berlumpur, banyak muara sungai, menjadikan banyak tempat di sepanjang pantai
dapat digunakan sebagai tempat pendaratan ikan.

Demikian juga dengan dua angin muson yang berlangsung secara teratur dalam setiap tahunnya,
menjadikan nelayan di kawasan ini sudah sejak lama meng gunakan perahu yang dilengkapi
dengan berbagai macam alat tangka.

*(diajukan dan ditulis ketika saya harus mengerjakan tugas mata kuliah Ekonomi Sumber Daya
Perikanan)

*untu referensinya maaf saya tidak cantumkan,, karena saya lupa lagi,,, heheheh,,, mhoon maaf
dan selamat membaca..
DAFTAR PUSTAKA

http://books.google.co.id/books?
id=46vKFj3pFZ0C&pg=PA24&lpg=PA24&dq=eksternalitas+dalam+perikanan&source=bl&ots=jESkxu
8A7O&sig=KDoEq6RDDaFqIkk6xeuCRT4Tu78&hl=id&sa=X&ei=DJxxULLSH4unrAfLsoC4CQ&ved=0CB
4Q6AEwAQ#v=onepage&q&f=false

http://books.google.co.id/books?
id=oct7YB1DNC4C&pg=PA21&lpg=PA21&dq=eksternalitas+dalam+perikanan&source=bl&ots=FFLN
0iKFag&sig=8WgJtSBIO2L3dJ-
aDEqqP62EzzY&hl=id&sa=X&ei=DJxxULLSH4unrAfLsoC4CQ&ved=0CBsQ6AEwAA#v=onepage&q=ek
sternalitas%20dalam%20perikanan&f=false

http://ml.scribd.com/doc/39631230/ESP-Eksternalitas-perikanan
http://lucianaindah.blogspot.com/2011/09/sejarah-perikanan-indonesia.html
http://pobersonaibaho.wordpress.com/2011/09/27/sejarah-perikanan-indonesia/
http://esl.fem.ipb.ac.id/tentang-kami/sejarah/

Anda mungkin juga menyukai