Anda di halaman 1dari 21

Topik : Neonatal Jaundice

Tanggal (kasus) : 2 Juli 2019 Presenter : dr. Rio Mendung Sinaga


Tanggal (presentasi) : 18 Juli 2019 Pendamping :
1. dr. Tajul Keumalahayati
2. dr. Leni Afriani
Tempat Presentasi : Ruang Auditorium RSUD Kota Langsa
Obyektif Presentasi
 Keilmuan Keterampilan Penyelenggaraan Tujuan Pustaka
 Diagnostik Manajemen Masalah Istimewa
 Neonatus Bayi Anak Remaja Bumil Lansia Dewasa
Deskripsi : Bayi dikeluhkan kulit berwarna kekuningan yang muncul sejak hari ke 2.
Awalnya hanya sekitar muka namun akhirnya semakin turun ke badan. Sejak baru lahir,
ibu mengaku tidak pernah menjemur bayinya di bawah sinar matahari. Riwayat demam (-),
mual (-), muntah (-). sesak (-), kebiruan (-), kejang (-). Pasien juga dikeluhkan belum BAB
sejak 2 hari yang lalu, terakhir BAB warna kuning konsistensi lunak. BAK (+) sering, bisa
mencapai > 7x/hari. Pasien kuat menyusu, namun sejak lahir pasien diberikan susu formula
(SGM) karena ASI ibu belum keluar, namun sejak kemarin pasien sudah mulai
mendapatkan ASI perah dari ibunya.

Tujuan : Menegakkan diagnosis dan pengobatan yang tepat bagi bayi neonatal jaundice
Bahan Bahasan Tinjauan Riset  Kasus Audit
Pustaka
Cara Membahas Diskusi  Presentasi Email Pos
dan diskusi
Data Pasien : Nama : By.Sakila Afika No.RM : 066 21 58
Telp : - Terdaftar Sejak : 05-7-2019
Data Utama Untuk Bahan diskusi
Diagnosis / Gambaran Klinis neonatal joundice kulit bayi berwarna kekuningan

Riwayat Pengobatan : Tidak diketahui


Riwayat Penyakit Dahulu : Tidak diketahui
Riwayat Keluarga : Tidak diketahui
Riwayat Kebiasaan sosial : Tidak diketahui
DAFTAR PUSTAKA

1. Richard E., et al. 2003. Nelson Textbook of Paediatrics 17th edition. Philadelpia :
WB Saunders Company
2. Etika Risa, dkk. 2007. Hiperbilirubinemia pada Neonatus. Divisi Neonatologi
Bagian Ilmu Kesehatan Anak. FK UNAIR/RSU Dr.Soetomo-Surabaya
3. Kosim, M. Sholeh, dkk. 2008. Buku Ajar Neonatologi. Ed.I. Ikatan Dokter Anak
Indonesia. Jakarta: Badan Penerbit IDAI.
4. Mansjoer, A. Dkk. 2002. Kapita Selekta Kedokteran. Jakarta : FKUI
5. Arianti R. 2009. Ikterik pada Bayi Baru Lahir. Padang : Poltekes
6. Sudigdo, dkk. 2004. Tatalaksana Ikterus Neonatorum. Jakarta : HTA Indonesia
7. WHO.2003. Managing Newborn Problems : A Guide For Doctors, Nurses, And
Midwives. Department of Reproductive Health and Research. Geneva : World
Organization Health.
8. Suraatmaja, S. Soettjiningsih 2000. Ikterus Neonatorum dalam Pedoman Diagnosis
dan Terapi Ilmu Kesehatan Anak RSUP Sanglah, Denpasar ; Lab/SMF Ilmu
Kesehatan Anak Fakultas Kedokteran UNUD/RSUP Sanglah
9. Kosim, M.S dkk. 2004. Standar Pelayanan Medis Kesehatan Anak, edisi I. Ikatan
Dokter Anak Indonesia, Jakarta.
10. American Academy of Pediatrics. 2004. Clinical Practice Guideline. Management
of Hyperbilirubinemia In The Newborn Infant 35 or More Weeks of Gestation.
Pediatrics 114:297-316

1. Subjektif
Bayi perempuan usia 8 hari dari Pengadang datang dengan badan kekuningan. Pasien
dikeluhkan kulit berwarna kekuningan muncul sejak lahir. Awalnya hanya sekitar muka
namun akhirnya semakin turun ke seluruh badan. Sejak baru lahir, ibu mengaku tidak
pernah menjemur bayinya di bawah sinar matahari. Riwayat demam (-), muntah (-). sesak
(-), kebiruan (-), kejang (-). Pasien juga dikeluhkan belum BAB sejak 2 hari yang lalu,
terakhir BAB warna kuning konsistensi lunak. BAK (+) sering, bisa mencapai > 7x/hari.
Pasien kuat menyusu, namun sejak lahir pasien diberikan susu formula (SGM) karena ASI
ibu belum keluar, namun sejak kemarin pasien sudah mulai mendapatkan ASI perah dari
ibunya.

Saat hamil ibu bayi mengaku tidak pernah menderita penyakit berat. Riwayat minum
jamu-jamuan atau obat-obatan yang dijual bebas selama hamil (-). Pasien dilahirkan di
RSD Cut Nyak Dhine SC , langsung menangis dengan AS:5-7 dan berat badan lahir 2.500
gr, panjang badan 47 cm, anus (+), caput (-), tanda-tanda trauma (-), kelainan congenital
(-).

2. Objektif
Status Present
Identitas Pasien
Nama : By.Sakila Afika
Tanggal lahir : 05-07-2019
Jenis kelamin : Perempuan
Cara persalinan : SC
BBL : 2.500 gr
Alamat : Kp.Baru Langsa Lama

Identitas Keluarga:

Ibu Bapak

Nama Ny. Susilawati Tn. Ananro

Umur 26 tahun 28 tahun

Pendidikan SMA SMA

Pekerjaan Ibu Rumah Tangga Pedagang


Alamat Kp.Baru Langsa Lama Kp.Baru Langsa Lama

ANAMNESA :
Keluhan utama : kulit bayi berwarna kekuningan
Riwayat Penyakit Sekarang :
Bayi dikeluhkan kulit berwarna kekuningan yang muncul sejak hari ke 2. Awalnya
hanya sekitar muka namun akhirnya semakin turun ke badan. Sejak baru lahir, ibu
mengaku tidak pernah menjemur bayinya di bawah sinar matahari. Riwayat demam (-),
mual (-), muntah (-). sesak (-), kebiruan (-), kejang (-). Pasien juga dikeluhkan belum BAB
sejak 2 hari yang lalu, terakhir BAB warna kuning konsistensi lunak. BAK (+) sering, bisa
mencapai > 7x/hari. Pasien kuat menyusu, namun sejak lahir pasien diberikan susu formula
(SGM) karena ASI ibu belum keluar, namun sejak kemarin pasien sudah mulai
mendapatkan ASI perah dari ibunya.

Riwayat Penyakit Keluarga :


Tidak terdapat riwayat kuning dalam keluarga, penyakit jantung (-), tekanan darah tinggi
(-), ginjal (-), asma (-).

Riwayat Kehamilan dan persalinan :


Riwayat Kehamilan
GPA : G1P0A0
HPHT :-
Periksa hamil/ANC : Oleh bidan di Puskesmas dan saat Posyandu
Kebiasaan ibu sebelum/selama kehamilan
Minum alkohol : Tidak pernah
Merokok : Tidak pernah
Makan obat-obatan tertentu : Tidak pernah
Riwayat demam dalam kehamilan : Tidak ada
Penyakit atau komplikasi kehamilan : Tidak ada
Riwayat Persalinan
Persentasi : Kepala
Cara persalinan : SC
Riwayat ketuban kental, hijau, bau : Tidak ada
Tempat lahir : Rumah Sakit Umum Cut Nyak Dhien Langsa
Keadaan bayi saat lahir
Jenis kelamin : Perempuan
Kelahiran : Tunggal
Kondisi saat lahir : Hidup
A-S : 5-7
BBL : 2.500 gram
PB : 47 cm

PEMERIKSAAN FISIK
Keadaan Umum : sedang
Kesadaran : Composmentis
1. Tanda Vital :
 Suhu : 37.1 C
 DJJ : 140 x/menit
 Respirasi : 32 x/menit
 Tek. Darah : Tidak dievaluasi
 CRT : < 2 detik
2. Menilai Pertumbuhan :
 Berat Badan : 2.500 gram
 Panjang Badan : 47 cm
 Lingkar Kepala : 34 cm
3. Penampakan Umum :
 Aktivitas : baik
 Warna kulit : kekuningan
 Cacat bawaan yang tampak : (-)
4. Kepala
 Bentuk kepala : simetris, lecet (-), ubun-ubun besar terpisah, ubun-ubun cembung
(-), sutura melebar (-), craniosynostosis (-), caput sucendaneum (-), dan
cephalhematom (-).
 Mata:
Pupil: reflex cahaya (+/+), isokor (+), miosis (-), midriasis (-)
Sekret mata: (-/-), sclera: ikterus (+/+)
Konjungtiva: anemis (-/-), edema palpebra (-/-)
 Telinga: dbn
 Hidung: dbn
 Tenggorok: tidak di nilai
 Mulut: sianosis (-)

5. Leher
Pembesaran kelenjar getah bening (-), hematoma pada musculus SCM (-), pembesaran
kelenjar Tiroid (-), leher pendek (-), Rooting refleks (+).

6. Thoraks
 Inspeksi : Dinding dada simetris, retraksi dinding dada (-), kekeuningan (+)
 Palpasi : Gerakan diding dada simetris
 Perkusi : Sonor dikedua lapang paru
 Auskultasi : Cor: S1S2 tunggal regular, murmur (-), gallop (-),
Paru: vesikuler (+/+), ronkhi (-/-), wheezing (-/-)
7. Abdomen
 Inspeksi : Distensi (-), massa (-), kelainan congenital (-)
 Auskultasi : Bising usus (+) Normal
 Palpasi : Massa (-), soepel (+), hepar-lien tidak teraba.
 Perkusi : Timpani (+) diseluruh lapang abdomen

8. Umbilicus
 Umbilicus mengering, tanda-tanda radang (-)
9. Anggota Gerak :
Tungkai atas Tungkai bawah
 Kelainan bentuk (-/-) (-/-)
 Tonus otot Normal normal
 Edema (-/-) (-/-)
 Ikterus
(+/+) (+/+)
 Refleks fisiologis (+/+) (+/+)
 Refleks patolosis (-/-) (-/-)

10. Kulit :
 Ikterus (+) pada seluruh tubuh dan ekstremitas (derajat kramer V), pustula (-), ruam
(-), petechie (-)
 Turgor kulit : normal
 kelainan kulit lainnya (-)

11. Uro-genital
 Kelainan bawaan : (-)

12. Pemeriksaan penunjang


Parameter Nilai Nilai Normal Satuan

Bilirubin total 15,05 1,5-12,0 mg/dL

Bilirubin direk 0,58 0,0-0,5 mg/dL

Parameter Hasil Normal (usia 2 minggu)


HGB 13,3 13,4 – 19,6 [g/dL]
RBC 3,69 4,0 – 5,0 [10^6/µL]
WBC 11,96 6 – 21 [10^3/ µL]
HCT 40.4 41-65 [%]
MCV 109,5 88-110 [fL]
MCH 39.0 27,0-31,0 [pg]
MCHC 32.9 32,0-37,0 [g/dL]
PLT 142 150-450 [10^3/ µL]

RESUME
Bayi perempuan usia 8 hari dari Pengadang datang dengan badan kekuningan. Pasien
dikeluhkan kulit berwarna kekuningan muncul sejak lahir. Awalnya hanya sekitar muka
namun akhirnya semakin turun ke seluruh badan. Sejak baru lahir, ibu mengaku tidak
pernah menjemur bayinya di bawah sinar matahari. Riwayat demam (-), muntah (-). sesak
(-), kebiruan (-), kejang (-). Pasien juga dikeluhkan belum BAB sejak 2 hari yang lalu,
terakhir BAB warna kuning konsistensi lunak. BAK (+) sering, bisa mencapai > 7x/hari.
Pasien kuat menyusu, namun sejak lahir pasien diberikan susu formula (SGM) karena ASI
ibu belum keluar, namun sejak kemarin pasien sudah mulai mendapatkan ASI perah dari
ibunya.

DIAGNOSA
Ikterus Neonatorum (Kramer V)

TINDAKAN
 Observasi KU dan TTV serta berat badan setiap hari.
 Fototerapi
 Cek lab : GDS, Bilirubin total, Bilirubin direk, Darah rutin
 Untuk ibu menyusui lebih sering minimal 2 jam sekali

Hiperbilirubinemia merupakan salah satu fenomena klinis yang paling sering


ditemukan pada bayi baru lahir. Lebih dari 85% bayi cukup bulan yang kembali dirawat
dalam minggu pertama kehidupan disebabkan oleh keadaan ini. Hiperbilirubinemia
menyebabkan bayi terlihat berwarna kuning, keadaan ini timbul akibat akumulasi pigmen
bilirubin yang berwarna ikterus pada sklera dan kulit. Isomer bilirubin ini berasal dari
degradasi heme yang merupakan komponen hemoglobin mamalia.1

Pada masa transisi setelah lahir hepar belum berfungsi secara optimal, sehingga
proses glukuronidasi bilirubin tidak terjadi secara maksimal. Keadaan ini akan
menyebabkan dominasi bilirubin tak terkonjugasi dalam darah. Pada kebanyakan bayi baru
lahir, hiperbilirubinemia tak terkonjugasi merupakan fenomena transisional yang normal,
tetapi pada beberapa bayi, terjadi peningkatan bilirubin secara berlebihan sehingga
bilirubin berpotensi menjadi toksik dan dapat menyebabkan kematian, dan bila bayi
tersebut dapat bertahan hidup pada jangka panjang akan menimbulkan sekuele neurologis.
Dengan demikian, setiap bayi yang mengalami kuning, harus dibedakan apakah ikterus
yang terjadi merupakan keadaan yang fisiologis atau patologis serta dimonitoring apakah
mempunyai kecenderungan untuk berkembang menjadi hiperbilirunemia yang berat.1

Pengertian Ikterus Neonatorum

Ikterus neonatorum adalah keadaan ikterus pada bayi baru lahir. Ikterus adalah
pewarnaan kuning di kulit, konjungtiva dan mukosa yang terjadi karena meningkatnya
kadar bilirubin dalam darah. Biasanya mulai tampak pada kadar bilirubin serum > 5 mg/dL
atau disebut dengan hiperbilirubinemia, yang dapat menjurus ke arah terjadinya kern
ikterus atau ensefalopati bilirubin bila kadar bilirubin yang tidak dikendalikan.1,2

Ikterus neonatorum merupakan fenomena biologis yang timbul akibat tingginya


produksi dan rendahnya ekskresi bilirubin selama masa transisi pada neonatus. Pada
neonatus produksi bilirubin 2 sampai 3 kali lebih tinggi dibanding orang dewasa normal.
Hal ini dapat terjadi karena jumlah eritrosit pada neonatus lebih banyak dan usianya lebih
pendek. Keadaan bayi kuning (ikterus) sangat sering terjadi pada bayi baru lahir, terutama
pada bayi berat lahir rendah (BBLR). Penyebab yang sering terjadi adalah belum
matangnya fungsi hati bayi untuk memproses eritrosit. Pada bayi, usia sel darah merah
sekitar 90 hari. Hasil pemecahannya, eritrosit harus diproses oleh hati. Saat lahir, hati bayi
belum cukup baik untuk melakukan tugasnya. Sisa pemecahan eritrosit disebut biliruibn,
bilirubin inilah yang menyebabkan pewarnaan kuning pada bayi.1,2,3

Metabolisme Bilirubin

Bilirubin merupakan produk yang bersifat toksik dan harus dikeluarkan oleh tubuh.
Sebagian besar (80%) bilirubin berasal dari degradasi hemoglobin darah dan sebagian lagi
(20%) dari hem bebas atau eritropoesis yang tidak efektif. Pembentukan bilirubin tadi
dimulai dengan proses oksidasi yang menghasilkan biliverdin serta beberapa zat lain.
Biliverdin inilah yang mengalami reduksi dan menjadi bilirubin bebas. Zat ini sulit larut
dalam air tetapi larut dalam lemak, karena mempunyai sifat lipofilik yang sulit diekskresi
dan mudah melalui membran biologik seperti plasenta dan sawar darah otak. Bilirubin
tersebut kemudian bersenyawa dengan albumin dan dibawa ke hepar. Di dalam hepar
terjadi mekanisme ambilan, sehingga bilirubin terikat oleh reseptor membran sel hati dan
masuk ke dalam sel hati. Segera setelah ada dalam sel hati, terjadi persenyawaan dengan
ligandin (protein Y) protein Z dan glutation hati lain yang membawanya ke retikulum
endoplasma hati, tempat terjadinya proses konjugasi.1

Prosedur ini timbul berkat adanya enzim glukoronil transferase yang kemudian
menghasilkan bentuk bilirubin indirek. Jenis bilirubin ini dapat larut dalam air dan pada
kadar tertentu dapat diekskresikan melalui ginjal. Sebagian besar bilirubin yang
terkonjugasi ini diekskresikan melalui duktus hepatikus ke dalam saluran pencernaan dan
selanjutnya menjadi urobilinogen dan keluar dengan feses sebagai sterkobilin. Dalam usus
sebagian diabsorbsi kembali oleh mukosa usus dan terbentuklah proses absorbsi
enterohepatik.1

Sebagian besar neonatus mengalami peninggian kadar bilirubin indirek pada hari-
hari pertama kehidupan. Hal ini terjadi karena terdapatnya proses fisiologik tertentu pada
neonatus. Proses tersebut antara lain karena tingginya kadar eritrosit neonatus, masa hidup
eritrosit yang lebih pendek (80-90 hari) dan belum matangnya fungsi hepar. Peninggian
kadar bilirubin ini terjadi pada hari ke 2-3 dan mencapai puncaknya pada hari ke 5-7,
kemudian akan menurun kembali pada hari ke 10-14 kadar bilirubin pun biasanya tidak
melebihi 10 mg/dl pada bayi cukup bulan dan kurang dari 12 mg/dl pada bayi kurang
bulan, pada keadaan ini peninggian bilirubin masih dianggap normal dan karenanya
disebut ikterus fisiologik. Masalah akan timbul apabila produksi bilirubin ini terlalu
berlebihan atau konjugasi hati menurun sehingga terakumulasi di dalam darah.
Peningkatan kadar bilirubin yang berlebihan dapat menimbulkan kerusakan sel tubuh,
misal kerusakan sel otak yang akan menyebebabkan gejala sisa di kemudian hari.4,5

Etiologi Ikterus Neonatorum4

Peningkatan kadar bilirubin umumnya terjadi pada setiap bayi baru lahir, karena :

a. Meningkatnya kadar bilirubin


Hemolisis yang disebabkan oleh jumlah sel darah merah lebih banyak dan berumur
lebih pendek.

b. Penurunan eksresi bilirubin


Hal ini dapat terjadi karena :

- Fungsi hepar yang belum sempurna sehingga terjadi penurunan ambilan dalam
hati dan penurunan konjugasi oleh hati
- Peningkatan sirkulasi bilirubin enterohepatik meningkat karena masih
berfungsinya enzim glukoronidase di usus, penurunan motilitas usus halus, dan
penurunan bakteri flora normal.
Pada bayi yang diberi minum lebih awal atau frekuensi menyusu yang sering dan
bayi dengan pengeluaran mekonium lebih awal cenderung mempunyai insiden yang
rendah untuk terjadinya ikerus fisiologis. Pada bayi yang diberi minum susu formula
cenderung mengeluarkan bilirubin lebih banyak pada mekoniumnya selama 3 hari pertama
kehidupan dibandingkan dengan yang mendapat ASI. Bayi yang mendapat ASI, kadar
bilirubin cenderung lebih rendah pada yang defekasinya lebih sering. Bayi yang terlambat
mengeluarkan mekonium lebih sering terjadi ikterus fisiologis.1

Pada bayi yang mendapat ASI terdapat dua bentuk neonatal jaundice yaitu early
yang berhubungan dengan breast feeding dan late berhubungan dengan ASI. Bentuk early
onset diyakini berhubungan dengan proses pemberian minum. Bentuk late onset diyakini
dipengaruhi oleh kandungan ASI ibu yang mempengaruhi proses konjugasi dan eksresi
bilirubin. Faktor spesifik dari ASI tersebut kemungkinan adanya peningkatan asam lemak
unsaturated yang menghambat proses konjugasi atau adanya beta glukorunidase yang
menyebabkan peningkatan jalur enterohepatik.1

Gambar 3. Distribusi level maksimal bilirubin selama 1 minggu pertama pada bayi
yang mendapat ASI dan susu formula

Faktor Risiko

Faktor risiko untuk timbulnya ikterus neonatorum adalah :

a. Faktor maternal
 Ras atau kelompok etnik tertentu
 Komplikasi kehamilan (DM, inkompatibilitas ABO dan Rh)
 Penggunaan infus oksitosin dalam larutan hipotonik, ASI
b. Faktor perinatal
 Trauma lahir (sefalhematom, ekimosis)
 Infeksi (bakteri, virus)
c. Faktor neonatus
 Prematuritas
 Faktor genetik
 Polisitemia
 Obat (sterptomisin, kloramfenikol, benzyl alkohol, sulfisoxazol)
 Rendahnya asupan ASI
 Hipoglikemia
 Hipoalbuminemia
Klasifikasi Ikterus Neonatorum4,5,6

Ada 2 macam ikterus neonatorum :

1. Ikterus fisiologis
a. Ikterus yang timbul pada hari kedua dan ketiga
b. Tidak mempuyai dasar patologis
c. Kadarnya tidak melewati kadar yang membahayakan atau tidak berpotensi menjadi
kern ikterus
d. Tidak menyebabkan morbiditas pada bayi
e. Ikterus tampak jelas pada hari kelima dan keenam dan menghilang pada hari
kesepuluh
2. Ikterus patologik
Ikterus yang cenderung menjadi patologik adalah ;

a. Ikterus klinis terjadi pada 24 jam pertama kehidupan


b. Peningkatan kadar bilirubin serum sebanyak 5 mg/dl atau lebih per 24 jam
c. Ikterus yang disertai proses hemolisis (inkompatibilitas darah, defisiensi G6PD,
atau sepsis)
d. Ikterus yang disertai oleh :
 Berat lahir kurang dari 2000 gram
 Masa gestasi 36 minggu
 Asfiksia, hipoksia, sindrom gawat nafas pada neonatus (SGNN)
 Infeksi
 Trauma lahir pada kepala
 Hipoglikemia, hiperkarbia
 Hiperosmolaritas darah
e. Ikterus klinis yang menetap setelah bayi berusia lebih dari 8 hari pada neonatus
cukup bulan atau lebih dari 14 hari pada neonatus kurang bulan

Penegakan Diagnosis

Menetapkan penyebab ikterus tidak selamanya mudah dan membutuhkan


pemeriksaan yang banyak dan mahal, sehingga dibutuhkan suatu pendekatan khusus untuk
dapat memperkirakan penyebabnya. Pendekatan yang dapat memenuhi kebutuhan itu ialah
menggunakan saat timbulnya ikterus.7

a. Ikterus yang timbul pada 24 jam pertama


Berikut penyebab ikterus yang dapat terjadi dalam kurun waktu 24 jam pertama
kehidupan :

 inkompatibilitas darah AB0, Rh atau golongan lain


 infeksi intrauterin (oleh virus, toksoplasma, lues dan kadang bakteri)
 defisiensi G6PD
b. Ikterus yang timbul 24-72 jam sesudah lahir
 Biasanya ikterus fisiologis
 Masih ada kemungkinan inkompatibilitas darah AB0, Rh atau golongan lain
 Hal ini dapat diduga dari jika terdapat peningkatan kadar bilirubin cepat, misalnya
melebihi 5 mg% per 24 jam
 Defisiensi enzim G6PD
 Polisitemia
 Hemolisis perdarahan tertutup (perdarahan subaponeurosis, perdarahan subkapsuler
hepar)
 Hipoksia
 Sferositosis, elipsitosis
 Dehidrasi asidosis
 Defisiensi enzim eritrosit lainnya
c. Ikterus yang timbul sesudah 72 jam pertama sampai akhir minggu pertama
 Biasanya karena infeksi (sepsis)
 Dehidrasi asidosis
 Defisiensi enzim G6PD
 Pengaruh obat
 Sindrom Crigler-Najjar
 Sindrom Gilbert
d. Ikterus yang timbul pada akhir minggu pertama dan selanjutnya
 Biasanya karena obstruksi
 Hipotiroidisme
 Breast milk jaundice
 Infeksi
 Neonatal hepatitis
Tabel 1. Gambaran Diagnostik dari Beberapa Tipe Neonatal Jaundice

Adapun pemeriksaan yang perlu dilakukan adalah :

 Pemeriksaan bilirubin berkala; direk dan indirek


 Pemeriksaan darah tepi
 Pemeriksaan penyaring G6PD
 Pemeriksaan lainnya yang berkaitan dengan kemungkinan penyebab

Ikterus dikatakan fisiologis sesudah observasi dan pemeriksaan lanjut tidak menunjukkan
dasar patologis dan tidak mempunyai potensi berkembang menjadi kern ikterus.3

Pemeriksaan bilirubin serum merupakan baku emas penegakan diagnosis ikterus


neonatorum serta untuk menentukan perlunya intervensi lebih lanjut. Beberapa hal yang
perlu dipertimbangkan dalam pelaksanaan serum bilirubin adalah tindakan ini merupakan
tindakan invasif yang dianggap dapat meningkatkan morbiditas neonatus.3 Umumnya yang
diperiksa adalah bilirubin total. Beberapa senter menyarankan pemeriksaan bilirubin direk,
bila kadar bilirubin total lebih 20 mg/dl atau usia bayi lebih 2 minggu.4
Gambar 6. Pembagian ikterus menurut Kramer4

Tabel 2. Hubungan kadar bilirubin (mg/dl) dengan daerah ikterus menurut Kramer

Daerah Kadar bilirubin (mg/dl)


Penjelasan
ikterus Prematur Aterm

1 Kepala dan leher 4-8 4-8

2 Dada sampai pusat 5-12 5-12

3 Pusat bagian bawah sampai lutut 7-15 8-16

Lutut sampai pergelangan kaki dan


4 9-18 11-18
bahu sampai pergelangan tangan

Kaki dan tangan termasuk telapak kaki


5 >10 >15
dan telapak tangan

Penatalaksanaan Ikterus Neonatorum

Bayi sehat, tanpa faktor risiko, tidak diterapi. Perlu diingat bahwa pada bayi sehat,
aktif, minum kuat, cukup bulan, pada kadar bilirubin tinggi, kemungkinan terjadinya kern
ikterus sangat kecil. Untuk mengatasi ikterus pada bayi sehat, dapat dilakukan beberapa
cara berikut :4

 Minum ASI dini dan sering


 Terapi sinar, sesuai dengan panduan WHO
 Pada bayi yang pulang sebelum 48 jam, diperlukan pemeriksaan ulang dan kontrol
lebih cepat (terutama bila tampak kuning).
Bilirubin serum total 24 jam pertama lebih dari 4,5 mg/dl dapat digunakan sebagai
faktor prediksi hiperbilirubinemia pada bayi cukup bulan sehat pada minggu pertama
kehidupannya. Hal ini kurang dapat diterapkan di Indonesia karena tidak praktis dan
membutuhkan biaya yang cukup besar.

Tatalaksana awal ikterus neonatorum :8

 Mulai terapi sinar bila ikterus diklasifikasikan sebagai ikterus berat


 Tentukan apakah bayi memiliki faktor risiko ; berat lahir kurang dari 2500 gram,
lahir sebelum usia kehamilan 37 minggu, hemolisis atau sepsis
 Ambil contoh darah dan periksa kadar bilirubin serum dan hemoglobin, tentukan
golongan darah bayi dan lakukan tes Coombs
 Jika kadar bilirubin serum di bawah nilai dibutuhkannya terapi sinar, hentikan
terapi sinar
 Jika kadar bilirubin serum berada pada atau di atas nilai dibutuhkannya terapi sinar,
lakukan terapi sinar
 Jika faktor Rhesus dan golongan darah AB0 bukan merupakan penyebab hemolisis
atau bila ada riwayat defisiensi G6PD di keluarga, lakukan uji saring G6PD bila
memungkinkan
Hal selanjutnya yang dilakukan adalah mengatasi hiperbilirubinemia. Adapun hal yang
dapat dilakukan antara lain :


Mempercepat proses konjugasi, misalnya dengan pemberian fenobarbital. Obat ini
bekerja sebagai enzyme inducer sehingga konjugasi dapat dipercepat. Pengobatan
dengan cara ini tidak begitu efektif dan membutuhkan waktu 48 jam baru terjadi
penurunan bilirubin yang berarti. Mungkin lebih bermanfaat bila diberikan pada
ibu kira-kira 2 hari sebelum melahirkan bayi.

Memberikan substrat yang kurang toksik untuk transportasi atau konjugasi.
Contohnya ialah pemberian albumin untuk mengikat bilirubin yang bebas. Albumin
dapat diganti dengan plasma dosis 15-20 mg/kgBB. Albumin biasanya diberikan
sebelum transfusi tukar dilakukan karena albumin akan mempercepat keluarnya
bilirubin dari ekstravaskuler ke vaskuler sehingga bilirubin yang diikatnya lebih
mudah dikeluarkan dengan transfusi tukar. Pemberian glukosa perlu untuk
konjugasi hepar sebagai sumber energi.

Melakukan dekomposisi bilirubin dengan fototerapi. Walaupun fototerapi dapat
menurunkan kadar bilirubin dengan cepat, cara ini tidak dapat menggantikan
transfusi tukar pada proses hemolisis berat. Fototerapi dapat digunakan untuk pra
dan pasca transfusi tukar. Indikasi terapi sinar adalah :9
- Bayi kurang bulan atau bayi berat lahir rendah dengan kadar albumin lebih dari 10
mg/dl
- Bayi cukup bulan dengan kadar bilirubin lebih dari 15 mg/dl
Lama terapi sinar adalah selama 24 jam terus menerus, istirahat 12 jam, bila
perlu dapat diberikan dosis kedua selama 24 jam.


Transfusi tukar pada umumnya dilakukan dengan indikasi sebagai berikut :9
- Kadar bilirubin indirek lebih dari 20 mg/dl
- Kadar bilirubin tali pusat lebih dari 4 mg/dl dan Hb kurang dari 10 mg/dl
- Peningkatan bilirubin lebih dari 1 mg/dl
Tabel 3. Bagan penatalaksanaan ikterus menurut waktu timbulnya dan kadar bilirubin

Bilirubin
< 24 jam 24-48 jam 49-72 jam >72 jam
serum(mg/dl)

<2500 >2500 <2500 >2500 <2500 >2500 <2500 >2500

<5 Tidak perlu terapi – observasi

5-9 Terapi sinar bila hemolisis

10-14 Transfusi tukar Terapi sinar

15-19 Transfusi tukar Terapi sinar

>20 Transfusi tukar

Terapi suportif, antara lain :10

 Minum ASI atau pemberian ASI perah


 Infus cairan dengan dosis rumatan
Monitoring yang dilakukan antara lain :10


Bilirubin dapat menghilang dengan cepat dengan terapi sinar. Warna kulit tidak
dapat digunakan sebagai petunjuk untuk menentukan kadar bilirubin serum selama
bayi mendapat terapi sinar dan selama 24 jam setelah dihentikan.

Pulangkan bayi jika terapi sinar sudah tidak diperlukan, bayi minum dengan baik,
atau bila sudah tidak ditemukan masalah yang membutuhkan perawatan di RS
Strategi pencegahan yang dapat dilakukan meliputi :6

a. Pencegahan primer
 Menganjurkan ibu untuk menyusui bayinya paling sedikit 8-12 kali/hari
untuk beberapa hari pertama
 Tidak memberikan cairan tambahan rutin seperti dekstrose atau air pada
bayi yang mendapat ASI dan tidak mengalami dehidrasi
b. Pencegahan sekunder
 Wanita hamil harus diperiksa golongan darah AB0 dan rhesus serta
penyaringan serum utnuk antibodi isoimun yang tidak biasa
 Memastikan bahwa semua bayi secara rutin dimonitor terhadap timbulnya
ikterus dan menetapkan protokol terhadap penilaian ikterus yang harus dinilai
saat memeriksa tanda-tanda vital bayi, tetapi tidak kurang dari setiap 8-12 jam

Terapi Sinar

Pengaruh sinar terhadap ikterus telah diperkenalkan oleh Cremer sejak 1958.
Banyak teori yang dikemukakan mengenai pengaruh sinar tersebut. Teori terbaru
mengemukakan bahwa terapi sinar menyebabkan terjadinya isomerisasi bilirubin. Energi
sinar mengubah senyawa yang berbentuk 4Z, 15Z-bilirubin menjadi senyawa berbentuk
4Z, 15E-bilirubin yang merupakan bentuk isomernya. Bentuk isomer ini mudah larut
dalam plasma dan lebih mudah diekskresi oleh hepar ke dalam saluran empedu.
Peningkatan bilirubin isomer dalam empedu menyebabkan bertambahnya pengeluaran
cairan empedu ke dalam usus, sehingga peristaltik usus meningkat dan bilirubin akan lebih
cepat meninggalkan usus halus. Di RSU Dr. Soetomo Surabaya terapi sinar dilakukan pada
semua penderita dengan kadar bilirubin indirek >12 mg/dL dan pada bayi-bayi dengan
proses hemolisis yang ditandai dengan adanya ikterus pada hari pertama kelahiran. Pada
penderita yang direncanakan transfusi tukar, terapi sinar dilakukan pula sebelum dan
sesudah transfusi dikerjakan.2

Peralatan yang digunakan dalam terapi sinar terdiri dari beberapa buah lampu neon
yang diletakkan secara paralel dan dipasang dalam kotak yang berventilasi. Agar bayi
mendapatkan energi cahaya yang optimal (380-470 nm) lampu diletakkan pada jarak
tertentu dan bagian bawah kotak lampu dipasang pleksiglass biru yang berfungsi untuk
menahan sinar ultraviolet yang tidak bermanfaat untuk penyinaran. Gantilah lampu setiap
2000 jam atau setelah penggunaan 3 bulan walau lampu masih menyala. Gunakan kain
pada boks bayi atau inkubator dan pasang tirai mengelilingi area sekeliling alat tersebut
berada untuk memantulkan kembali sinar sebanyak mungkin ke arah bayi 2

Pada saat penyinaran diusahakan agar bagian tubuh yang terpapar dapat seluas-
luasnya, yaitu dengan membuka pakaian bayi. Posisi bayi sebaiknya diubah-ubah setiap 6-
8 jam agar bagian tubuh yang terkena cahaya dapat menyeluruh. Kedua mata ditutup
namun gonad tidak perlu ditutup lagi, selama penyinaran kadar bilirubin dan hemoglobin
bayi dipantau secara berkala dan terapi dihentikan apabila kadar bilirubin <10 mg/dL
(<171 μmol/L). Lamanya penyinaran biasanya tidak melebihi 100 jam. Penghentian atau
peninjauan kembali penyinaran juga dilakukan apabila ditemukan efek samping terapi
sinar.2

Beberapa efek samping yang perlu diperhatikan antara lain : enteritis, hipertermia,
dehidrasi, kelainan kulit, gangguan minum, letargi dan iritabilitas. Efek samping ini
biasanya bersifat sementara dan kadang-kadang penyinaran dapat diteruskan sementara
keadaan yang menyertainya diperbaiki.2

Transfusi Tukar

Transfusi tukar merupakan tindakan utama yang dapat menurunkan dengan cepat
bilirubin indirek dalam tubuh selain itu juga bermanfaat dalam mengganti eritrosit yang
telah terhemolisis dan membuang pula antibodi yang menimbulkan hemolisis. Walaupun
transfusi tukar ini sangat bermanfaat, tetapi efek samping dan komplikasinya yang
mungkin timbul perlu di perhatikan dan karenanya tindakan hanya dilakukan bila ada
indikasi (lihat tabel 3). Kriteria melakukan transfusi tukar selain melihat kadar bilirubin,
juga dapat memakai rasio bilirubin terhadap albumin.10

Dalam melakukan transfusi tukar perlu pula diperhatikan macam darah yang akan
diberikan dan teknik serta penatalaksanaan pemberian. Apabila hiperbilirubinemia yang
terjadi disebabkan oleh inkompatibilitas golongan darah ABO, darah yang dipakai adalah
darah golongan O rhesus positip. Pada keadaan lain yang tidak berkaitan dengan proses
aloimunisasi, sebaiknya digunakan darah yang bergolongan sama dengan bayi. Bila
keadaan ini tidak memungkinkan, dapat dipakai darah golongan O yang kompatibel
dengan serum ibu. Apabila hal inipun tidak ada, maka dapat dimintakan darah O dengan
titer anti A atau anti B yang rendah. Jumlah darah yang dipakai untuk transfusi tukar
berkisar antara 140-180 cc/kgBB. 10

Macam Transfusi Tukar:

 ‘Double Volume’ artinya dibutuhkan dua kali volume darah, diharapkan dapat
mengganti kurang lebih 90 % dari sirkulasi darah bayi dan 88 %mengganti Hb
bayi.
 ‘Iso Volume’ artinya hanya dibutuhkan sebanyak volume darah bayi, dapat
mengganti 65 % Hb bayi.
 ‘Partial Exchange’ artinya memberikan cairan koloid atau kristaloid pada kasus
polisitemia atau darah pada anemia.
Komplikasi

Bahaya hiperbilirubinemia adalah kern ikterus. Kern ikterus atau ensefalopati


bilirubin adalah sindrom neurologis yang disebabkan oleh deposisi bilirubin tidak
terkonjugasi (bilirubin tidak langsung atau bilirubin indirek) di basal ganglia dan batang
otak. Patogenesis kern ikterus bersifat multifaktorial dan melibatkan interakasi antara
kadar bilirubin indirek, pengikatan oleh albumin, kadar bilirubin yang tidak terikat,
kemungkinan melewati sawar darah otak, dan suseptibilitas saraf terhadap cedera.
Keruskan sawar darah otak, asfiksia dan perubahan permeabilitas sawar darah otak
mempengaruhi risiko terjadinya kern ikterus.

Pada bayi sehat yang menyusu, kern ikterus terjadi saat kadar bilirubin lebih dari
30 mg/dl dengan rentang antara 21-50 mg/dl. Onset umumnya pada minggu pertama
kelahiran tapi dapat tertunda hingga umur 2-3 miggu.

Gambaran klinis kern ikterus, antara lain :1

a. Bentuk akut
 Fase 1 (hari 1-2) : menetek tidak kuat, hipotonia, kejang
 Fase 2 (pertengahan minggu I) : hipertoni otot ekstesor, opistotonus,
retrocollis, demam
 Fase 3 (setelah minggu I) : hipertoni
b. Bentuk kronis
 Tahun pertama : hipotoni, active deep tendon reflexes, obligatory tonic neck
reflexes, keterampilan motorik yang lambat
 Setelah tahun pertama : gangguan gerakan (choreoathetosis, ballismus, tremor),
gangguan pendengaran
Oleh karena itu, pada bayi yang menderita hiperbilirubinemia perlu dilakukan tindak
lanjut sebagai berikut :1

 Penilaian berkala pertumbuhan dan perkembangan


 Penilaian berkala pendengaran
 Fisioterapi dan rehabilitasi bila terjadi gejala sisa

Mengetahui,
Pendamping Pendamping

dr. Tajul Keumalahayati dr. Leni Afriani


NIP. 19771109 200701 2 004 NIP. 19780829 200604 2 010

Anda mungkin juga menyukai