Anda di halaman 1dari 6

Windu Laut

Kamis, 07 Februari 2013

Profil Perikanan Budi Daya Sulawesi Selatan “Mengembangkan Komoditas Unggulan”

PRAKATA PENULIS

Potensi perikanan Indonesia—laut dan perairan umum/tawar—diperkirakan mencapai 65 juta


ton/tahun yang nilainya dapat mencapai 82.064 juta dollar AS. Dengan potensi yang begitu besar,
sumber daya perikanan merupakan salah satu sektor yang dapat diandalkan bagi pembangunan bangsa
dan negara untuk saat ini dan mendatang. Bahkan sumber daya laut—hayati dan nonhayati—disebut-
sebut sebagai salah satu prime mover perekonomian Indonesia (Dahuri, 2004).

Tahun 2008 produksi perikanan nasional mencapai 8,6 juta ton. Produksi akuakultur mencapai 3,5 juta
ton dan perikanan tangkap sebesar 5,1 juta ton. Kontribusi perikanan tangkap sebesar 5,1 juta ton
berarti sekitar 83 % perikanan laut Indonesia telah dieksploitasi jika tolak ukurnya adalah MSY. Namun
jika menggunakan perkiraan TAC maka perikanan laut Indonesia telah mengalami kelebihan tangkap.

Tingkat pemanfaatan sumber daya ikan laut yang telah mencapai 83 % (perkiraan MSY) sebenarnya
telah melewati batas maksimal jumlah ikan yang ditangkap, karena berdasarkan tanggung jawab
komitmen internasional mengenai perikanan yang dibuat FAO dalam CCRF (Code of Conduct for
Responsible Fisheries), hanya sekitar 80 % ikan yang boleh ditangkap. Itu berarti perikanan laut
Indonesia telah ditangkap melebihi 3 % pada tahun 2008.

Karena itu, upaya peningkatan produksi pada perikanan tangkap mulai dibatasi oleh ketersediaan
sumber daya yang dapat ditangkap. Produksi perikanan dapat ditingkatkan, baik untuk memenuhi
kebutuhan konsumsi dalam negeri maupun untuk ekspor, melalui usaha budi daya perairan atau
akuakultur, baik air air tawar, payau (tambak) maupun laut. Potensi lahan yang luas dan beragamnya
komoditas budi daya yang dapat dikembangkan merupakan suatu usaha yang prospektif.
Sementara itu,potensi lahan akuakultur secara nasional yang telah diketahui mencapai 15,59 juta ha,
yang terdiri atas lahan akuakultur air tawar 2,23 juta ha, akuakultur air payau 1,22 juta ha, dan
marikultur 8,37 juta ha. Luas ini masih sangat kecil, karena potensi lahan secara keseluruhan
diperkirakan mencapai

Luas lahan untuk budi daya laut (marine culture) mencapai 24 juta ha dengan potensi produksi 47 juta
ton/tahun. Komoditas yang dapat dikembangkan antara lain ikan kerapu (Cromileptes altivelis,
Epinephelus sp, Plectropoma sp), kakap (Lates calcalifer, Psammoperca waigiensis, Lutjanus sp),
beronang (Siganus sp), bandeng (Chanos chanos), napoleon (Cheilinus undulatus),
kuwe/bobara/lawakan (Caranx sp, Alectis sp, Gnatodon sp), kuda laut (Hippocampus sp), rumput
laut/alga atau seaweeds (Eucheuma sp, Gracillaria sp, Gelidium sp), tiram mutiara (Pinctada maxima),
kerang (Crassostrea sp, Ostrea sp), kima (Tridacna sp), kerang hijau (Perna viridis/Mytilus viridis),
teripang (Holothuria sp, Stichopus sp), rajungan (Portunus sp) dan lain-lain. Pada tahun 2003 produksi
budi daya laut sebesar 0,7 juta ton atau baru mencapai 1,5 %.

Luas lahan pesisir (coastal lands) yang cocok untuk budi daya tambak sekitar 1 juta ha dengan potensi
produksi 5 juta ton/tahun, dan baru dimanfaatkan seluas 0,35 juta ha dengan total produksi sebesar 0,4
juta ton (8 %) pada tahun 2003. Komoditas yang dapat dikembangkan pada lahan ini antara lain
berbagai jenis udang laut (Penaeus sp, Metapenaeus sp), bandeng (Chanos chanos), kakap (Lates
calcalifer, Psammoperca waigiensis, Lutjanus sp), kerapu (Cromileptes altivelis, Epinephelus sp,
Plectropomus sp), beronang (Siganus sp), kepiting bakau (Scylla serrata), rumput laut (Eucheuma sp,
Gracillaria sp, Gelidium sp), dan lain-lain.

Sementara potensi produksi budi daya perairan umum (air tawar) mencapai 5,7 juta ton/tahun pada
lahan perairan seluas 13,7 juta ha, yang terdiri dari sungai, danau, waduk, rawa-rawa, dan genangan air
lainnya. Pada perairan umum dapat digunakan untuk budi daya perairan pada kolam, keramba,
keramba jaring apung (KJA), sangkar, kolam tadah hujan, mina padi dan lain-lain. Pada tahun 2003 baru
diproduksi sebesar 0,3 juta (5,5 %) hasil-hasil perikanan di perairan umum melalui usaha budi daya air
tawar.

Komoditas yang dapat dibudidayakan di perairan umum atau air tawar, baik berupa biota asli di perairan
umum Indonesia maupun biota-biota introduksi yang didatangkan dari berbagai negara. Beberapa
komoditas yang merupakan biota asli di perairan umum Indonesia, seperti baung (Mystus nemurus),
jelawat (Leptobarbus hoevenii), betutu (Oxyeleotris marmorata), arwana (Scleropages formosus), patin
(Pangasius djambal/Pangasius pangasius), tambakan (Helostoma temmincki), tawes (Barbodes
gonionotus), gabus (Channa striata), toman (Channa micropeltes), gurami (Osphronemus gouramy),
nilem (Osteochilus hasselti), lele lokal (Clarias batrachus), lele keli (C. maladerma), udang galah
(Macrobrachium rosenbergii), dan puluhan jenis lainnya masih dalam tahap penelitian.

Sedangkan jenis-jenis ikan introduksi yang berkembang dengan baik dan menjadi komoditas penting
antara lain ikan mas (Cyprinus carpio), nila (Oreochromis nilotica), jambal siam (P. sutchi, P.
hypopthalmus), lele dumbo (Clarias gariepinus), bawal air tawar (Colossoma macropomum), karper
rumput/kowan atau grass carp (Ctenopharyngodon idellus), mola atau silver carp (Hypopthalmichthys
molitrix dan H. nobilis), dan berbagai jenis ikan hias.

Selain itu, terdapat ratusan jenis ikan hias, baik ikan hias air tawar maupun laut yang potensial
dibudidayakan. Baru sedikit jenis ikan hias, terutama ikan hias air tawar yang dapat dibenihkan secara
terkontrol.

Biota air yang dapat dikembangkan sebagai komoditas budi daya, baik biota air tawar maupun biota
laut, jumlahnya masih sangat banyak. Beberapa jenis terancam punah, sementara teknologi
pembudidayaannya belum dikuasai. Misalnya ikan bungo atau ikan beloso (Glossogobius bungo/G.
giuris) yang terdapat di perairan umum Sulawesi. Ikan ini merupakan salah satu ikan penting di danau
Tempe (Sulawesi Selatan) yang semakin terdesak karena penangkapan yang intensif, introduksi, dan
degradasi habitatnya (Fauzi, 1999; Tamsil, 2000). Padahal bungo merupakan ikan endemik di beberapa
danau dan sungai di Sulawesi.

Penyu (turtle) atau biasa disebut juga kura kura laut, tuturuga,atau hen termasuk hewan yang terancam
punah. Enam jenis penyu dari tujuh jenis yang hidup di dunia, ditemukan di perairan Indonesia, yaitu
penyu sisik (Eretmochelys imbricata), penyu hijau (Chelonia mydas), penyu belimbing (Dermochelys
coriacea), penyu lekang (Lepidochelys olivacea), penyu tempayan (Caretta caretta), dan penyu pipih
(Natator depressus). Semua jenis penyu dilindungi karena populasinya diperkirakan hanya sekitar
250.000 ekor. Hewan purba ini terus ditangkap yang tiap tahunnya diperkirakan di atas 30.000 ekor.
Telurnya pun terus diburu sehingga dikhawatirkan mempercepat kepunahan hewan ini.

Walaupun di beberapa lokasi penelurannya secara alami telah dilindungi, namun kehidupan tukik (anak
penyu) setelah menetas masih tergantung pada alam. Upaya pembudidayaan secara terkontrol belum
dilakukan, sementara penangkapan penyu dan pengambilan telurnya di alam terus berlangsung.
Beberapa jenis siput yang dilindungi secara hukum, namun terus dieksploitasi adalah kepala kambing
atau taugu (Cassis cornuta), susu bundar atau cege (Trochus niloticus), siput terompet (Charonia
tritotis), dan siput hijau atau batu laga (Turbo marmuratus). Hewan-hewan ini bernilai ekonomis, baik
dikonsumsi maupun kulitnya dibuat perhiasan. Namun biologi hewan ini belum banyak diketahui,
sehingga upaya-upaya ke arah pembenihan masih jauh.

Meningkatnya konsumsi ikan masyarakat merupakan salah pasar yang baik untuk pengembangan sektor
perikanan, terutama budi daya perairan. Pengembangan budi daya perairan, selain dapat menyediakan
kebutuhan konsumsi dalam negeri dan ekspor untuk devisa, juga dapat menekan laju padat tangkap
(over fishing) dan kepunahan spesies (species extinction) sumber daya perikanan nasional, serta
memulihkan stok sumber daya melalui restocking

Kendala Pengembangan Budi Daya Perairan

Potensi yang begitu besar memberikan sebuah peluang yang ‘cukup cerah’, namun bukan berarti tanpa
masalah. Sederet kendala yang menghadang potensi besar ini. Pertama, sumber daya manusia (SDM).
Kualitas SDM di subsektor budi daya—termasuk perikanan umumnya—masih sangat rendah. SDM yang
dihasilkan oleh pendidikan formal perikanan—sekolah kejuruan dan perguruan tinggi—umumnya
meninggalkan dunia perikanan, dan bekerja di kantor-kantor, yang bahkan tidak terkait sedikit pun
dengan ilmu yang didapatkannya. Sehingga perikanan budi daya tetap dikelola oleh SDM yang
kualitasnya rendah. Kualitas SDM yang rendah menghasilkan produk budi daya yang kualitasnya juga
rendah, sehingga hanya bisa diserap pasar lokal/pasar rakyat.

Kedua, belum baiknya tata ruang. Walaupun sudah tersedia sejumlah data tentang potensi wilayah
untuk pengembangan budi daya perairan, para investor mengalami kesulitan ketika hendak melakukan
usaha ini. Belum adanya tata ruang yang memadai yang dapat dijadikan pegangan oleh berbagai pihak.
Sebagai contoh, untuk pengembangan budi daya tambak, pulau Jawa bukan merupakan wilayah
pengembangan berdasarkan lahan ekosistem mangrove. Namun, sejak pertengahan tahun 1980-an
hingga awal 1990-an, wilayah ini digenjot habis-habisan untuk budi daya udang windu (Penaeus
monodon), yang menyebabkan hilangnya ekosistem mangrove di berbagai pantai di Jawa.

Contoh lain, ketika serangan virus herpes koi (koi herpes virus, KHV) menghancurkan budi daya ikan mas
(Cyprinus carpio) di keramba jaring apung (KJA) di Danau Toba, Gubernur Sumatera Utara, Tengku Rizal
Nurdin, mengatakan pemerintah akan menata kembali pemanfaatan Danau Toba. Ini adalah bukti
kacaunya tata ruang.
Ketiga, penegakan hukum. Tidak tegaknya hukum menjadi persoalan bagi pengembangan budi daya
perairan. Para investor sangat khawatir kehilangan investasi karena ketidakpastian hukum. Tahun 1999,
sebuah perusahan budi daya mutiara di Kec. Bacan, Maluku Utara, menutup usahanya karena
penjarahan.

Ketidakpatuhan pada hukum menyebabkan serangan virus KHV menjalar ke seluruh Indonesia.
Sebelumnya pemerintah sudah melarang pemasukan ikan mas ke suatu daerah yang belum terinfeksi
virus KHV, namun larangan itu hanya di atas kertas. Tidak ada tindakan pemusnahan ikan-ikan yang
dicurigai berasal dari daerah yang telah terserang virus tersebut.

Keempat, rendahnya sosialisasi teknologi budi daya. Temuan-temuan teknologi budi daya perairan dari
para ahli di dalam negeri cukup maju, namun hasil kerja keras bertahun-tahun tersebut hanya mereka
yang tahu dan beredar di antara mereka melalui forum seminar, lokakarya, dan sebagainya. Masyarakat
pembudidaya tidak pernah mendengar dan tahu teknologi tersebut. Seorang teman penulis yang
bekerja di Kantor Dinas Perikanan dan Kelautan Provinsi Sulawesi Selatan berseloroh, penanggulangan
penyakit udang windu hanya di hotel dan restoran.

Kelima, persaingan global. Negara tetangga terdekat seperti Filipina dan Thailand cukup maju dalam hal
budi daya perairan, apalagi negara-negara yang sangat maju. Menghadapi negara-negara tersebut, para
pembudidaya di negeri ini harus meghasilkan produk berkualitas dan dapat bersaing, tidak hanya di
pasar internasional, tetapi juga di pasar nasional. Hasil-hasil perikanan termasuk komoditas yang
diperdagangkan secara bebas, maka Indonesia merupakan pasar potensial bagi negara-negara lain.

Budi daya perairan tidak hanya merupakan sebuah potensi yang bisa membawa negara ini menjadi
produsen utama ikan di dunia. Tetapi juga, bukan tidak mungkin, bila hanya menjadi sesuatu yang
mubazir di negeri ini karena tidak mampu dimanfaatkan.***

Andi di 04.24

Berbagi

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Beranda

Lihat versi web

Mengenai Saya

Foto saya

Andi

Lihat profil lengkapku

Diberdayakan oleh Blogger.

Anda mungkin juga menyukai