Anda di halaman 1dari 5

ARSITEKTUR TRADISIONAL BALI 3

“Tata Nilai Arsitektur Masa Kini “

OLEH:

I Komang Ari Satya Wiguna 1805521095

PROGRAM STUDI TEKNIK ARSITEKTUR


FAKULTAS TEKNIK
UNIVERSITAS UDAYANA
TAHUN AJARAN 2019/2020
Tata Nilai Arsitektur Masa Kini

Arsitektur tradisional adalah perwujudan ruang makro untuk menampung aktifitas


kehidupan dengan pengulangan pola ruang dari generasi ke generasi berikutnya dengan
sedikit atau tanpa perubahan apapun. Perubahan ini dilandasi norma-norma agama dan
dilandasi oleh adat kebiasaan setempat serta dijiwai kondisi dan potensi alam lingkungannya.
Kecenderungan manusia Bali, keadaan alam, dan adat kebiasaan masyarakatnya yang dilatar
belakangi oleh norma-norma agama (Hindu), mengeras ke dalam bentuk arsitektur dan
permukiman tradisional beserta wujud tingkah laku budaya yang diwadahinya. Falsafah
perwujudan arsitektur tradisional Bali menjadikan lingkungan binaan yang serasi dan selaras
dengan manusia, alam dan Tuhannya. Permukiman dan arsitekturnya yang berlokasi di Bali,
dibangun, dihuni atau digunakan oleh penduduk Bali yang berkebudayaan Bali, kebudayaan
yang berwajah natural dan berjiwa ritual. Permukiman dan arsitektur tradisional Bali, dihuni
oleh masyarakat Bali/mereka yang ingin berada dalam ruang-ruang Bali yang umumnya
cenderung merancang ruang-ruang yang dibangunnya dengan arsitektur tradisi dalam
lingkungan binaan bermukim/permukimannya.
Kecenderungan manusia Bali, keadaan alam, dan adat kebiasaan masyarakatnya yang
dilatar belakangi oleh norma-norma agama (Hindu), mengeras ke dalam bentuk arsitektur dan
permukiman tradisional beserta wujud tingkah laku budaya yang diwadahinya. Falsafah
perwujudan arsitektur tradisional Bali menjadikan lingkungan binaan yang serasi dan selaras
dengan manusia, alam dan Tuhannya. Konsep dasarnya berpedoman pada norma agama.
Konsep perancangan mengacu pada situasi dan kondisi lingkungan. Konsep perencanaan
kawasan dan permukimannya mengadaptasi pada tempat, waktu, dan ruang serta
orang/masyarakatnya. Konsep arsitekturnya yang berpedoman pada bentuk dan fungsi
peruntukannya.
Dalam permukiman dan arsitektur tradisional Bali, ada konsepsi sebagai pedoman tata
nilai normatif dalam profesi. Ada dimensi sebagai penjelmaan manusia pemiliknya yang
ditata dalam suatu komposisi bermakna untuk masing-masing massa bangunan dan
penempatannya. Ada sistem konstruksi elemen-elemen struktur dengan menampilkan
teknologi tradisional yang konstruktif-ornamental-fungsional. Juga tentang kreasi bentuk
proporsi dan ragam hias yang disesuaikan dengan tipologi penyajiannya. Sebagai bagian dari
kebudayaan, arsitektur dan lingkungan permukiman tradisional di Bali cenderung
berkembang, terjadi pembaharuan-pembaharuan, perubahan-perubahan yang menimbulkan
dilema antara tradisi dan perkembangannya dengan kecenderungan merombak norma-norma
dengan nilai-nilai baru.
Pola berfikir tradisional atitha, warthamana dan nagatha, sebagai landasan bahwa
mengenal masa lampau dengan memprediksi kemungkinan di masa datang berpijak pada
kenyataan masa sekarang, menjadikan ketidak pastian dan segala konflik, memerlukan telaah
untuk pendekatan anggapan dan batasan dalam pola-pola analisis untuk suatu kesimpulan
sebagai langkah penterapan.
Kesinambungan alam/makrokosmos (bhuwana agung) dan manusia/mikrokosmos
(bhuwana alit). Kesinambungan diatur melalui unsur-unsurnya yang disebut Panca
Mahabhuta (5 unsur alam) apah, teja, bayu, akasa, pertiwi, atau air, sinar, angina, udara dan
zat padat/tanah. Dengan begitu arsitektur tradisional memperhatikan iklim sebaik-baiknya,
penataan pekarangan, pola ruang, struktur konstruksi dan pemilihan bahan diperhitungkan
guna keseimbangan dan pengkondisian manusia dengan lingkungan sekitarnya.
Konsepsi perancangan arsitekturnya didasarkan pada tata nilai ruang yang dibentuk oleh
3(tiga) sumbu, yaitu :
1. sumbu kosmos, bhur, bhwah, swah (hidrosfir, litosfir, atmosfir)
2. sumbu ritual, kangin-kauh terbit dan terbenamnya matahari)
3. sumbu natural, kaja-kelod (gunung-laut). Masing-masing dengan daerah tengah yang
bernilai madia.
Dengan adanya pegunungan di tengah, maka untuk Bali Selatan, kaja adalah ke arah
gunung di utara, kelod ke arah laut di selatan. Untuk Bali Utara, kaja adalah kea rah gunung
di selatan, kelod kearah; laut di utara. Kedua sumbu lainnya berlaku sama. Unit-unit
permukiman tradisional di Bali disebut Desa Adat/Pekraman yang mengatur secara horisontal
satu atau beberapa banjar adat/pekraman. Disebutkan bahwa dalam tataran tradisional, syarat
untuk adanya suatu Desa Adat, adalah lengkapnya Tri hita Karana yaitu Atma, Angga dan
Khaya (jiwa, fisik, dan tenaga) yang berlaku pula di setiap sendi kehidupan lainnya. Dalam
suatu desa Adat, Kahyangan Tiga sebagai jiwa, Krama desa (penduduk) sebagai tenaga, dan
Pekraman desa (teritori/wilayah desa) sebagai fisiknya.
Pola-pola permukiman tradisional yang selanjutnya disebut Desa Tradisional di Bali
umumnya dipengaruhi oleh beberapa faktor. Faktor tata nilai ruang dari tata nilai ritual yang
menempatkan zona ‘sakral’ dibagian kangin (timur) arah terbitnya matahari sebagai arah
yang diutamakan. Berlanjut sampai pada penempatan zona ‘provan’ dibagian kauh (barat)
arah terbenamnya matahari. Faktor kondisi dan potensi alam, nilai utama ada pada arah
gunung dan kearah laut dinilai lebih rendah. Faktor sosioekonomi juga berpengaruh, bahwa
desa nelayan menghadap ke-arah laut, desa petani menghadap kearah persawahan atau
perkebunannya. Terjadi hubungan yang erat dan seimbang antara pola desanya dengan area
tempat kerjanya.
Arsitektur bali memiliki ciri yang kuat, baik pada lanskap, tata bangunan dan elemen
bangunannya. Saat ini arsitektur tradisional bali telah mengalami perubahan seiring dengan
perkembangan teknologi dan masyarakatnya. Gaya arsitektur bali masa kini dikenal dengan
sebuah arsitektur bali modern walaupun tidak murni termasuk dalam arsitektur modern.
Arsitektur bali modern adalah gaya arsitektur yang mengutamakan keseerhanaan bentuk dari
arsitektur bali tradisional, perhatian yang besar terhadap fungsi ruang, material bangunan
sebagai sumber estetika, fungsi bangunan mulai beraneka ragam, mulai dari rumah tinggal,
hotel, spa, resort, bangunan pemerintahan, museum dan yang lainnya. Dalam perkembangan
kekinian , prediksi serta proyeksi gerakan perubahan penduduk (Bali) yang umumnya
merupakan gerakan yang cenderung semakin meningkat dari tahun ketahun, yang disebabkan
oleh peningkatan pertambahan alamiah (kelahiran–kematian), dan pertambahan gerak
perpindahan (mobilitas/migrasi – transmigrasi). Pertambahan penduduk dari tahun ketahun
meningkat dan oleh karena pertambahan alamiah, ternyata pertambahan penduduk di
pedesaan lebih tinggi (sepuluh tahun terakhir, rata-rata 1,5% per tahun).

Sejalan dengan itu morfologi desa berkembang, sesuai dengan pemenuhan kebutuhan
akan pengadaan perumahan, tempat-tempat pemujaan dan bangun-bangunan untuk
akomodasi/fungsi aktifitas adat/agama (bale adat, bale delod, bale dangin, bale gede, dll) juga
bertambah. Di sisi lain kecenderungan terpandang ‘baru’ nmembutuhkan ruang-ruang
berkatifitas atas nama aktifitas modernitas. Pelaksanaan aktifitas keagamaan, upacara
adat/yadnya, tradisi dan tata cara desa tetap menghendaki adanya bangun-bangunan dengan
konsep arsitektur tradisi. Agama, adat dan kepercayaan yang masih berkembang, meluas
sejalan dengan pertambahan penduduk skuantitas, namun juga seirama secara kualitas,
memerlukan kehadiran bangunan-bangunan tradisional berkembang memenuhi ruang
pekraman desa. Dalam era sekarang yang ditandai oleh kemajuan ilmu pengetahuan dan
teknologi berasaskan ratio, sangat sulit menerima dan memahami hal-hal yang bersifat
dogmatis dan mistis. Masalahnya sekarang pemikiran rasional telah mengabaikan rasa, rasa
hanya dapat dirasakan secara individu dan bersifat subyektif, sedang rasio dapat membutikan
kebenarannya secara ilmiah. Ketidak pahaman tersebut berdampak terhadap menurunnya
keyakinan akan nilai-nilai dan makna yang ada dibalik perwujudan fisik arsitekturnya.
Akhirnya pola spasial hunian tradisional banyak ditinggalkan penghuninya berpaling ke pola
spasial hunian non tradisional.

Disamping ke-modern-an masyarakat, pertambahan penghuni dan makin


sempit/mahalnya lahan sebagai faktor pengubah pola spasial hunian tradisional. Keberadaan
arsitektur tanpa Undagi dan/atau Arsitek telah memunculkan degradasi sistem nilai spasial
hunian menjadi disharmonis, akhirnya hubungan antara manusia (bhuana alit) selaku isi tidak
harmonis lagi dengan huniannya (bhuana agung) selaku wadahnya. Disamping secara
filosofis hunian tradisional Bali hanya harmonis bila dihuni oleh satu keluarga, karena dasar
pengukuran (sikut/sukat) hanya berpatokan kepada penghuni utama (anangga ayah).
Keterbatasan lahan dan pertambahan penghuni (jumlah KK) telah memunculkan “rumah” di
dalam “umah”, bukan “bale“ di dalam “umah”.

Anda mungkin juga menyukai