Anda di halaman 1dari 25

KUMPULAN 7 LAPORAN PENDAHULAN

ASUHAN KEPERAWATAN JIWA

Disusun Oleh:
HANIFATUZUHRO SYAIFUDIN
NIM. 201910461011051

PROGRAM STUDI PROFESI NERS


FAKULTAS ILMU KESEHATAN
UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH MALANG
2019
A. TINJAUAN TEORI
1. Definisi
Fraktur adalah terputusnya kontinuitas tulang dan ditentukan sesuai jenis
dan luasnya (Bruner & Suddart, 2013). Sedangkan menurut (Helmi, 2012)
fraktur adalah hilangnya kontinuitas tulang rawan, baik yang bersifat total
maupun sebagian.
2. Etiologi
a. Trauma langsung
Trauma langsung menyebabkan patah tulang pada titik terjadinya
kekerasan. Fraktur demikian demikian sering bersifat fraktur terbuka
dengan garis patah melintang atau miring.
b. Trauma tidak langsung
Trauma tidak langsung menyebabkan patah tulang ditempat yang
jauh dari tempat terjadinya kekerasan. Yang patah biasanya adalah
bagian yang paling lemah dalam jalur hantaran vektor kekerasan.
c. Trauma akibat tarikan otot
Patah tulang akibat tarikan otot sangat jarang terjadi.Kekuatan
dapat berupa pemuntiran, penekukan, penekukan dan penekanan,
kombinasi dari ketiganya, dan penarikan.
Pada dasarnya tulang bersifat relatif rapuh, namun cukup mempunyai
kekuatan dan daya pegas untuk menahan tekanan. Penyebab fraktur batang
femur antara lain (Muttaqin, 2011):
a. Fraktur terbuka
Fraktur femur terbuka disebabkan oleh trauma langsung pada
paha.
b. Fraktur femur tertutup
Fraktur tertutup disebabkan oleh trauma langsung atau kondisi
tertentu, seperti degenerasi tulang (osteoporosis) dan tumor atau
keganasan tulang paha yang menyebabkan fraktur patologis.
Berikut adalah Faktor yang mempengaruhi fraktur, yaitu:
a. Faktor Ekstrinsik
Adanya tekanan dari luar yang bereaksi pada tulang yang
tergantung terhadap besar, waktu, dan arah tekanan yang dapat
menyebabkan fraktur.
b. Faktor Intrinsik
Beberapa sifat yang terpenting dari tulang yang menentukan daya
tahan untuk timbulnya fraktur seperti kapasitas absorbsi dari tekanan,
elastisitas, kelelahan, dan kepadatan atau kekerasan tulang.
3. Klasifikasi Fraktur
Penampikan fraktur dapat sangat bervariasi tetapi untuk alasan yang
praktis , dibagi menjadi beberapa kelompok, yaitu:
a. Berdasarkan sifat fraktur (luka yang ditimbulkan).
i. Fraktur Tertutup (Closed), bila tidak terdapat hubungan antara
fragmen tulang dengan dunia luar, disebut juga fraktur bersih
(karena kulit masih utuh) tanpa komplikasi.
ii. Fraktur Terbuka (Open/Compound), bila terdapat hubungan antara
hubungan antara fragmen tulang dengan dunia luar karena adanya
perlukaan kulit.

b. Berdasarkan komplit atau ketidakklomplitan fraktur.


i. Fraktur Komplit, bila garis patah melalui seluruh penampang
tulang atau melalui kedua korteks tulang.
ii. Fraktru Inkomplit, bila garis patah tidak melalui seluruh
penampang tulang seperti:
 Hair Line Fraktur (patah retidak rambut)
 Buckle atau Torus Fraktur, bila terjadi lipatan dari satu korteks
dengan kompresi tulang spongiosa di bawahnya.
 Green Stick Fraktur, mengenai satu korteks dengan angulasi
korteks lainnya yang terjadi pada tulang panjang.

c. Berdasarkan bentuk garis patah dan hubbungannya dengan


mekanisme trauma.
i. Fraktur Transversal: fraktur yang arahnya melintang pada tulang
dan merupakan akibat trauma angulasi atau langsung.
ii. Fraktur Oblik: fraktur yang arah garis patahnya membentuk sudut
terhadap sumbu tulang dan meruakan akibat trauma angulasijuga.
iii. Fraktur Spiral: fraktur yang arah garis patahnya berbentuk spiral
yang disebabkan trauma rotasi.
iv. Fraktur Kompresi: fraktur yang terjadi karena trauma aksialfleksi
yang mendorong tulang ke arah permukaan lain.
v. Fraktur Avulsi: fraktur yang diakibatkan karena trauma tarikan
atau traksi otot pada insersinya pada tulang.
d. Berdasarkan jumlah garis patah.
i. Fraktur Komunitif: fraktur dimana garis patah lebih dari
satu dan saling berhubungan.
ii. Fraktur Segmental: fraktur dimana garis patah lebih dari
satu tapi tidak berhubungan.
iii. Fraktur Multiple: fraktur dimana garis patah lebih dari satu
tapi tidak pada tulang yang sama.
e. Berdasarkan pergeseran fragmen tulang.
i. Fraktur Undisplaced (tidak bergeser): garis patah lengkap ttetapi
kedua fragmen tidak bergeser dan periosteum masih utuh.
ii. Fraktur Displaced (bergeser): terjadi pergeseran fragmen tulang
yang juga disebut lokasi fragmen, terbagi atas:
 Dislokasi ad longitudinam cum contractionum (pergeseran
searah sumbu dan overlapping).
 Dislokasi ad axim (pergeseran yang membentuk sudut).
 Dislokasi ad latus (pergeseran dimana kedua fragmen saling
menjauh).
f. Berdasarkan posisi frakur Sebatang tulang terbagi menjadi tiga
bagian:
i. 1/3 proksimal
ii. 1/3 medial
iii. 1/3 distal
g. Pada fraktur tertutup ada klasifikasi tersendiri yangberdasarkan
keadaan jaringan lunak sekitar trauma, yaitu:
i. Tingkat 0: fraktur biasa dengan sedikit atau tanpa ceddera jaringan
lunak sekitarnya.
ii. Tingkat 1: fraktur dengan abrasi dangkal atau memar kulit dan
jaringan subkutan.
iii. Tingkat 2: fraktur yang lebih berat dengan kontusio jaringan lunak
bagian dalam dan pembengkakan.
iv. Tingkat 3: cedera berat dengan kerusakan jaringan lunak yang
nyata ddan ancaman sindroma kompartement.
4. Patofisiologi
Tulang bersifat rapuh namun cukup mempunyai kekuatan dan gaya pegas
untuk menahan. Tapi apabila tekanan eksternal yang datang lebih besar dari
yang dapat diserap tulang, maka terjadilah trauma pada tulang yang
mengakibatkan rusaknya atau terputusnya kontinuitas tulang. Setelah terjadi
fraktur, periosteum dan pembuluh darah serta saraf dalam korteks, marrow,
dan jaringan lunak yang membungkus tulang rusak. Perdarahan terjadi karena
kerusakan tersebut dan terbentuklah hematoma di rongga medula tulang.
Jaringan tulang segera berdekatan ke bagian tulang yang patah.
Jaringan yang mengalami nekrosis ini menstimulasi terjadinya respon
inflamasi yang ditandai dengan vasodilatasi, eksudasi plasma dan leukosit,
dan infiltrasi sel darah putih. Kejadian inilah yang merupakan dasar dari
proses penyembuhan tulang nantinya.
5. Manifestasi Klinis
a. Deformitas
b. Bengkak/edema
c. Echimosis (Memar)
d. Spasme otot
e. Nyeri
f. Kurang/hilang sensasi
g. Krepitasi
h. Pergerakan abnormal
i. Rontgen abnormal
6. Pemeriksaan Penunjang
a. Pemeriksaan Rontgen: menentukan lokasi/luasnya fraktur/luasnya
trauma.
b. Scan tulang, temogram, CT scan/MRI :memperlihatkan tingkat
keparahan fraktur, juga dan mengidentifikasi kerusakan jaringan
lunak.
c. Hitung darah lengkap: Hb mungkin meningkat/menurun.
d. Peningkatan jumlal sop adalah respons stress normal setelah trauma.
e. Kreatinin: traumaa otot meningkatkan beban kreatinin untuk ginjal.
f. Profil koagulasi: perubahan dapat terjadi pada kehilangan darah,
transfusi multiple, atau cederah hati.
7. Penatalaksanaan Medis
a. Fraktur Terbuka
Merupakan kasus emergensi karena dapat terjadi kontaminasi oleh
bakteri dan disertai perdarahan yang hebat dalam waktu 6-8 jam
(golden period). Kuman belum terlalu jauh meresapdilakukan:
i. Pembersihan luka
ii. Exici
iii. Hecting situasi
iv. Antibiotik
b. Seluruh Fraktur
i. Rekognisis/Pengenalan
Riwayat kejadian harus jelas untuk mentukan diagnosa dan
tindakan selanjutnya.
ii. Reduksi/Manipulasi/Reposisi
Upaya untuk memanipulasi fragmen tulang sehingga
kembali seperti semula secara optimun. Dapat juga diartikan
Reduksi fraktur (setting tulang) adalah mengembalikan fragmen
tulang pada kesejajarannya dan rotasfanatomis.
Reduksi tertutup, traksi, atau reduksi terbuka dapat
dilakukan untuk mereduksi fraktur. Metode tertentu yang dipilih
bergantung sifat fraktur, namun prinsip yang mendasarinya tetap,
sama. Biasanya dokter melakukan reduksi fraktur sesegera
mungkin untuk mencegah jaringan lunak kehilaugan elastisitasnya
akibat infiltrasi karena edema dan perdarahan. Pada kebanyakan
kasus, roduksi fraktur menjadi semakin sulit bila cedera sudah
mulai mengalami penyembuhan.
8. Penatalaksanaan Keperawatan
a. Monitor tanda-tanda vital  
b. Kaji adanya infeksi atau peradangan
c. Beri rasa aman
9. Pencegahan
Untuk mencegah kerentanan mengalami fraktur, perkuat tulang dengan
mengonsumsi makanan tinggi kalsium seperti susu, yogurt, atau keju. Bila
asupan kalsium kurang, penuhi kebutuhan dengan mengonsumsi suplemen
kalsium dan vitamin D.
Perbanyak aktivitas olahraga yang membantu meningkatkan kepadatan
tulang, seperti jalan kaki dan latihan beban secukupnya. Usahakan juga untuk
beraktivitas luar ruang di pagi hari pada pukul 06.00–08.00. Saat itu tubuh
akan mendapat paparan vitamin D yang cukup dari sinar matahari. Bila Anda
melakukan aktivitas yang membutuhkan banyak pergerakan, gunakan sepatu
olahraga yang baik dan tepat agar gerakan lebih ergonomis, leluasa, dan
aman.
10. Komplikasi
1) Kerusakan Arteri
Pecahnya arteri karena trauma bisa ditandai dengan tidak adanya
nadi, CRT menurun, cyanosis bagian distal, hematoma yang lebar, dan
dingin pada ekstrimitas yang disebabkan oleh tindakan emergensi
splinting, perubahan posisi pada yang sakit, tindakan reduksi, dan
pembedahan.
2) Kompartement Syndrom
Kompartement Syndrom merupakan komplikasi serius yang terjadi
karena terjebaknya otot, tulang, saraf, dan pembuluh darah dalam jaringan
parut. Ini disebabkan oleh oedema atau perdarahan yang menekan otot,
saraf, dan pembuluh darah. Selain itu karena tekanan dari luar seperti gips
dan embebatan yang terlalu kuat.
3) Fat Embolism Syndrom
Fat Embolism Syndrom (FES) adalah komplikasi serius yang
sering terjadi pada kasus fraktur tulang panjang. FES terjadi karena sel-sel
lemak yang dihasilkan bone marrow kuning masuk ke aliran darah dan
menyebabkan tingkat oksigen dalam darah rendah yang ditandai dengan
gangguan pernafasan, tachykardi, hypertensi, tachypnea, demam.
4) Infeksi
System pertahanan tubuh rusak bila ada trauma pada jaringan.
Pada trauma orthopedic infeksi dimulai pada kulit (superficial) dan masuk
ke dalam. Ini biasanya terjadi pada kasus fraktur terbuka, tapi bisa juga
karena penggunaan bahan lain dalam pembedahan seperti pin dan plat.
5) Avaskuler Nekrosis
Avaskuler Nekrosis (AVN) terjadi karena aliran darah ke tulang
rusak atau terganggu yang bisa menyebabkan nekrosis tulang dan diawali
dengan adanya Volkman’s Ischemia.
6) Shock
Shock terjadi karena kehilangan banyak darah dan meningkatnya
permeabilitas kapiler yang bisa menyebabkan menurunnya oksigenasi. Ini
biasanya terjadi pada fraktur.
7) Delayed Union
Delayed Union merupakan kegagalan fraktur berkonsolidasi sesuai
dengan waktu yang dibutuhkan tulang untuk menyambung. Ini disebabkan
karenn\a penurunan supai darah ke tulang.
8) Nonunion
Nonunion merupakan kegagalan fraktur berkkonsolidasi dan
memproduksi sambungan yang lengkap, kuat, dan stabil setelah 6-9 bulan.
Nonunion ditandai dengan adanya pergerakan yang berlebih pada sisi
fraktur yang membentuk sendi palsu atau pseudoarthrosis. Ini juga
disebabkan karena aliran darah yang kurang.
9) Malunion
Malunion merupakan penyembuhan tulang ditandai dengan
meningkatnya tingkat kekuatan dan perubahan bentuk (deformitas).
Malunion dilakukan dengan pembedahan dan reimobilisasi yang baik.
Fiksasi internal atau Open Reduction Internal Fiksasi (ORIF)
Fragmen tulang dapat diikat dengan sekrup, pen atau paku pengikat, plat
logam yang diikat dengan sekrup, paku intra meduler yang panjang
(dengan atau tanpa sekrup pengunci).
11. Pathway
PATHWAY

Trauma Langsung Trauma Tidak Langsung Kondisi Patologis

FRAKTUR

Diskontinuitas Tulang Pergeseran Fragmen Tulang Luka terbuka

Deformitas Nyeri Akut Kontaminasi


Perubahan Jaringan Kerusakan Fragmen Tulang lingkungan
Spasme Otot
Sekitar luar
Gangguan Fungsi
Peningkatan tekanan kapiler Tekanan Sumsum Tulang
Laserasi Kulit lebih tinggi dari kapiler Risiko
Gangguan Mobilitas Infeksi
Fisik
Putus vena/arteri Pelepasan histamin
Reaksi Stress Klien

Protein plasma hilang Tindakan


Hipovolemi Perdarahan Melepaskan Katekolamin bedah
Edema
Suplai O2 oleh Memobilisasi asam lemak
darah ↓
Pre-bedah Intra-bedah Post-bedah
Penekanan p/d
Bergabung dengan trombosit
Kebutuhan O2 ↑ Kurang Perdarahan Luka Efek
perfusi jaringan ↓ informasi insisi anestesi
Emboli
Takipnea, dispnea
Hipovolemi
Perfusi Perifer Defisit Risiko Nausea
Tidak Efektif Menyumbat
Pola nafas Pengetahuan Infeksi
pembuluh darah
tidak efektif
B. ASUHAN KEPERAWATAN
1. PENGKAJIAN
a. Identitas Klien
Nama, umur, jenis kelamin, alamat, agama, pekerjaan, kebangsaan,
suku, pendidikan, no register, diagnosa medis.
b. Keluhan Utama
Biasanya klien dengan fraktur akan mengalami nyeri saat
beraktivitas / mobilisasi pada daerah fraktur tersebut.
c. Riwayat Penyakit
i. Riwayat Penyakit Sekarang.
Pada klien fraktur / patah tulang dapat disebabkan oleh
trauma / kecelakaan, degeneratif dan pathologis yang didahului
dengan perdarahan, kerusakan jaringan sekitar yang
mengakibatkan nyeri, bengkak, kebiruan, pucat / perubahan warna
kulit dan kesemutan.
ii. Riwayat Penyakit Dahulu.
Pada klien fraktur pernah mengalami kejadian patah tulang
atau tidak sebelumnya dan ada / tidaknya klien mengalami
pembedahan perbaikan dan pernah menderita osteoporosis
sebelumnya.
iii. Riwayat Penyakit Keluarga.
Pada keluarga klien ada / tidak yang menderita
osteoporosis, arthritis dan tuberkolosis atau penyakit lain yang
sifatnya menurun dan menular.
iv. Riwayat penyakit alergi
Pada klien fraktur pernah mengalami alergi terhadap benda,
makanan, ataupun obat-obatan sebelumnya.
d. Riwayat Imunisasi
Klien fraktur sebelumnya sudah/ belum diimunisasi lengkap sesuai
dengan usia nya.
e. Riwayat Tumbuh Kembang
i. Prenatal
Pada saat ibu dari pasien mengandung pasien apa ada/ tidak
komplikasi ataupun gangguan kehamilan.
ii. Natal
Pasien lahir cukup bulan 37-38 minggu atau prematur,
dengan persalinan normal atau SC, menangis kencang atau tidak
menangis.
iii. Post natal
 Stress intra uterin
 Full-term, preterm, atau kecil masa kehamilan
 Apgar skor dibawah 5
 Terdapat mekonium pada cairan amnion
 Suctioning, rescucitasi atau pemberian therapi oksigen
 Disstress pernafasan dengan gasping, takipnea (lebih dari 60
x pernafasan per menit),   grunting, retraksi, dan nasal flaring
 Peningkatan suara nafas dengan crakles, tergantung dari
jumlah mekonium dalam paru
 Cyanosis
 Barrel chest dengan peningkatan dengan peningkatan
diameter antero posterior (AP)
f. Pola pertumbuhan dan perkembangan
Teori yang mendasari tahap perkembangan manusia:
i. Tahap perkembangan psikoseksual (Sigmun Freud)
Fase Oral (0-1 Thn), Fase Anal ( 1-3 Thn), Fase
Oedipal/Falik (3-5 Thn), Fase Laten (5 - 12 Thn), Fase Genital (>
12 Thn).
ii. Tahap perkembangan psikososial (Erik Erikson)
Trust Vs Mistrust (0-1 Thn), Autonomy Vs Shame Doubt
(1-3 Thn), Initiative Vs Guilt (4 - 6 Thn), Industry Vs Infioritas (6
-12 Thn), Identitas Vs Role Confusion (Adolesent)
iii. Tahap perkembangan kognitif (Piaget)
Piaget menyakini bahwa perkembangan kognitif terjadi
dalam empat tahapan, yaitu sensorimotor (usia 0 – 2 tahun), pra-
operasional (usia 2 – 7 tahun), operasional konkret (usia 7 – 11
tahun), dan operasional formal (usia 7 – 15 tahun).
iv. Tahap perkembangan moral (Kohberg)
Keenam tahapan perkembangan moral dari Kolhlberg
dikelompokkan ke dalam tiga tingkatan, yaitu pra-konvensional,
konvensional, dan pasca-konvensional.
 Pra-Konvensional
Tahap I. Orientasi hukuman dan ketaatan
Pada tahap ini penalaran moral didasarkan atas hukuman dan
individu taat karena orang lain menuntut mereka untuk taat.
Tahap II. Individualisme dan tujuan
Pada tahap ini penalaran moral didasarkan atas imbalan
(hadiah) dan kepentingan sendiri. Individu taat bila mereka
ingin taat dan yang paling baik untuk kepentingan mereka
adalah taat. Apa yang benar adalah apa yang dirasakan baik dan
apa yang dianggap menghasilkan hadiah.
 Konvensional
Tahap III. Individu memasuki masyarakat dan memiliki
peran sosial. Individu mau menerima persetujuan atau
ketidaksetujuan dari orang-orang lain karena hal tersebut
merefleksikan persetujuan masyarakat terhadap peran yang
dimilikinya. Mereka mencoba menjadi seorang anak baik untuk
memenuhi harapan tersebut. Penalaran tahap tiga menilai
moralitas dari suatu tindakan dengan mengevaluasi
konsekuensinya dalam bentuk hubungan interpersonal, yang
mulai menyertakan hal seperti rasa hormat, rasa terimakasih,
dan golden rule. Keinginan untuk mematuhi aturan dan otoritas
ada hanya untuk membantu peran sosial yang stereotip ini.
Tahap IV. Pada tahap ini penalaran moral didasarkan pada
kepatuhan akan hukum, keputusan, dan konvensi sosial karena
berguna dalam memelihara fungsi dari masyarakat. Penalaran
moral dalam tahap empat lebih dari sekadar kebutuhan akan
penerimaan individual seperti dalam tahap tiga tetapi kebutuhan
masyarakat harus melebihi kebutuhan pribadi.  Bila seseorang
melanggar hukum, maka ia salah secara moral, sehingga celaan
menjadi faktor yang signifikan dalam tahap ini karena
memisahkan yang buruk dari yang baik. Hukum harus ditaati
oleh semua orang.
 Pasca-Konvensional
Tahap V. Pada tahap ini disebut sebagai Keputusan Moral
Berdasarkan Hukum atau Legalitas (Sosial contract
orientation). Benar salahnya suatu tindakan didasarkan atas
hak-hak individu dan norma-norma yang sudah teruji
dimasyarakat. Disadari bahwa nilai-nilai yang bersifat relatif,
maka perlu ada usaha untuk mencapai suatu konsensus
bersama.
Tahap VI. Pada tahap ini sering disebut Kata Hati atau
Nurani Menentukan Apa Yang Benar (The universal ethical
principle orientation) Benar salahnya tindakan ditentukan oleh
keputusan suara nurani hati. Sesuai dengan prinsip prinsip etis
yang bersifat abstrak. Pada intinya prinsip etis itu adalah prinsip
keadilan, kesamaan hak, hak asasi, hormat pada harkat ( nilai )
manusia sebagai pribadi. individu bertindak karena hal itu
benar, dan bukan karena ada maksud pribadi, sesuai harapan,
legal, atau sudah disetujui sebelumnya.
Aspek yang dinilai dalam perkembangan menurut Soetjiningsih
(2010) di bagi menjadi 4 bagian yaitu :
i. Motorik kasar
Motorik kasar adalah aspek yang berhubungan dengan
kemampuan anak melakukan pergerakan dan sikap tubuh yang
melibatkan otot-otot besar seperti duduk, berdiri dan sebagainya
(Depkes, 2005)
ii. Motorik halus
Motorik halus adalah aspek yang berhubungan dengan
kemampuan anak melakukan gerakan yang melibatkan
bagianbagian tubuh tertentu dan dilakukan oleh otot-otot kecil,
tetapi memerlukan koordinasi yang cermat. Misalnya kemampuan
untuk menggambar, memegang suatu benda dan lain sebagainya
(Soetjiningsih, 2010).
Kecerdasan motorik halus anak berbeda-beda. Dalam hal
kekuatan maupun ketepatannya. Ada anak usia 4 tahun yang mahir
berenang. Ada pula anak yang genap 6 tahun belum dapat makan
dengan rapih. Anak perempuan cederung lebih dini dalam
kecerdasan motorik halus, terutama soal kecekatannya. Sedangkan
anak laki-laki lebih unggul dalam melangkah, melempar,
menangkap bola, dan menaiki atau menuruni tangga. Sementara
anak perempuan menunjukkan kemampuan yang lebih baik saat
berjingkat-jingkat, meloncat, dan berlari cepat.
Pencapaian kemampuan motorik halus (adaftif) anak akan
tampak pada usia 2-5 tahun. Berikut tahapan kemampuan sesuai
usia yang dapat dimiliki oleh seorang anak menurut (Wildan,
2011):
 Anak usia 2 tahun
 Mencontoh bentuk yang melingkar
 Menyusun 7 balok
 Memasukkan sendok kosong kedalam mulut dengan
benar
 Memegang gelas dengan satu tangan
 Mengelompokkan benda
 Anak usia 3 tahun
Membuat garis lurus
Menyusun 8 balok
Memasukkan sendok yang berisi makanan kedalam mulut
tanpa ada yang tumpah
Menulis
Mengunting
Menempel gambar
 Anak usia 4 tahun
 Menyusun 8 balok
 Menggambar manusia
 Menggunting
 Menggambar
 Menghitung
 Melengkapi gambar
 Mampu memakai baju sendiri
 Anak usia 5 tahun
 Menggunting dengan mahir
 Mampu melipat kertas menjadi segitiga
 Menghitung
 Membandingkan
 Berkebun
 Menggambar orang
 Membandingkan besar kecil
v. Bahasa
Bahasa adalah aspek yang berhubungan dengan
kemampuan untuk perintah (Depkes, 2005). Bahasa merupakan
kemampuan untuk berkomunikasi dengan orang lain. Dalam
pengertian ini, mencakup semua cara untuk berkomunikasi, dimana
pikiran, dan perasaan dinyatakan dalam sesuatu pengertian, seperti
dengan menggunakan lisan, tulisan, isyarat, bilangan, lukisan dan
mimik muka (Yusuf, 2010).
vi. Sosial
Aspek yang berhubungan dengan kemampuan anak dalam
bersosial dan berinteraksi dengan lingkungan dan sebagainya.
Semakin bertambah usia semakin bertambah pula hubungan
dengan orang lain, dengan adanya kontak sosial dengan orang lain
akan menghasilkan tingkah sosial yang beraneka macam seperti
mengganggu, menggoda, simpatik, bertengkar dan sebagainya.
g. Pola-pola Fungsi Kesehatan.
i. Pola resepsi dan tata laksana hidup sehat.
Pada fraktur akan mengalami perubahan dan gangguan
pada personal hiegene, misalnya kebiasaan mandi, gosok gigi,
mencuci rambut, ganti pakaian, BAK dan BAB serta berolahraga
sehingga dapat menimbulkan masalah perawatan diri.
ii. Pola eliminasi
Kebiasaan miksi dan defekasi sehari-hari, kesulitan waktu
defekasi, dikarenakan imubilisasi, fases warna kuning dan
konsistensi defekasi padat . Pada miksi klien tidak mengalami
gangguan, warna urin jernih, buang air kecil 3 – 4 x/hari.
iii. Pola nutrisi dan metabolisme
Pada umumnya tidak akan mengalami gangguan penurunan
nafsu makan, meskipun menu berubah misalnya makan di rumah
gizi tetap sama sedangkan di rumah sakit disesuaikan dengan
penyakit dan diet klein.
iv. Pola aktivitas dan latihan
Aktivitas dan latihan mengalami perubahan / gangguan dari
fraktur femur sehingga kebutuhan perlu dibantu baik oleh perawat
atau keluarga, misalnya kebutuhan sehari-hari, mandi, BAB, BAK
dilakukan diatas tempat tidur.
v. Pola penanggulangan stres
Masalah fraktur femur dapat menjadi stres tersendiri bagi
klien. Dalam hal ini pola penanggulangan stress sangat tergantung
pada sistem mekanisme klien itu sendiri misalnya pergi kerumah
sakit untuk dilakukan perawatan / pemasangan traksi.
vi. Pola sensori dan kognitif
Nyeri yang disebabkan oleh fraktur femur adanya
kerusakan jaringan lunak serta tulang yang parah dan hilangnnya
darah serta cairan seluler ke dalam jaringan. Hal ini yang
menyebabkan gangguan sensori sedangkan pada pola kognitif atau
cara berfikir klien tidak mengalami gangguan jiwa.
vii. Pola hubungan peran
Pola hubungan dan peran akan mengalami gangguan, jika
klien sebagai kepala rumah tangga / menjadi tulang punggung
keluarga.
viii. Pola persepsi diri
Pada fraktur femur akan mengalami gangguan konsep diri
karena terjadi perubahan cara berjalan akibat kecelakaan yang
menyebabkan patah tulang dan klien takut cacat seumur hidup /
tidak dapat kembali bekerja.
ix. Pola reproduksi dan seksual
Bila klien sudah berkeluarga dan mempunyai anak maka
akan mengalami pola seksual dan reproduksi, jika klien belum
berkeluarga klein tidak akan mengalami gangguan.
x. Pola tidur dan istirahat
Kebiasaan pola tidur dan istirahat mengalami gangguan
yang disebabkan oleh nyeri, misalnya nyeri akibat fraktur.
xi. Pola tata nilai dan kepercayaan
Pada fraktur terutama fraktur femur akan mengalami
perubahan / gangguan dalam menjalankan sholat dengan cara
duduk dan dilakukan diatas tempat tidur.
h. Pemeriksaan Fisik
i. Keadaan Umum
Meliputi keadaan sakit pasien, tingakat kesadaran dan
tanda-tanda vital
ii. Pemeriksaan Sistem Integumen.
Tidak ada perubahan yang menonjol pada sistem integumen
seperti warna kulit, adanya jaringan parut / lesi, tekstur kulit kasar
dan suhu kulit hangat serta kulit kotor.
iii. Pemeriksaan Kepala Dan Leher.
Tidak ada perubahan yang menonjol pada kepala dan leher
seperti warna rambut, mudah rontok, kebersihan kepala, alupeaus,
keadaaan mata, pemeriksaan takanan bola mata (TIO),
pemeriksaan visus, adanya massa pada telinga, kebersihan telinga,
adanya serumen, kebersihan hidung, adanya mulut dan gigi, mulut
bau adanya pembengkakan pada leher, pembesaran kelenjar linfe
atau tiroid.
iv. Pemeriksaan Sistem Respirasi.
Tidak ada perubahan yang menonjol seperti bentuk dada
ada tidaknya sesak nafas, sura tambahan, pernafasan cuping
hidung.
v. Pemeriksaan Kordiovaskuler.
Klien fraktur mengalami denyut nadi meningakat terjadi
respon nyeri dan kecemasan, ada tidaknya hipertensi, tachikardi
perfusi jaringan dan perdarahan akiobat trauma.
vi. Pemeriksaan Sistem Gastro Intestinal.
Tidak ada perubahan yang menonjol seperti nafsu makan
tetap, peristaltik usus, mual, muntah, kembung.
vii. Pemeriksaan Sistem Ganitourinaria.
Tidak ada perubahan yang menonjol seperti produksi urin,
warna urin, apakah ada hematovia / tidak, adakah disuria,
kebersihan genital.
viii. Pemeriksaan Sistem Muskuslukeletal.
Terdapat fraktur, yeri gerak, kekakuan sendi, bagaimana
tinus ototnya ada tidaknya atropi dan keterbatasan gerak, adanya
karepitus.
ix. Pemeriksaan Sistem Endokrin.
Tidak ada perubahan yang menojol seperti ada tidaknya
pembesaran thyroid / struma serta pembesaran kelenjar limfe.
x. Pemeriksaan Sistem Persyarafan.
Ada tidaknya hemiplegi, pavaplegi dan bagaimana reflek
patellanya.
2. Prioritas Diagnosa Keperawatan atau masalah keperawatan :
a. Pola nafas tidak efektif berhubungan dengan ganggaun neuromuskular
(D.0005)
b. Perfusi perifer tidak efektif berhubungan dengan penurunan aliran arteri
dan/atau vena (D.0009)
c. Hipovolemi berhubungan dengan kehilangan cairan aktif (D.0003)
d. Hambatan mobilitas fisik berhubungan dengan kerusakan integritas
struktur tulang (D.0054)
e. Nyeri akut berhubungan dengan agen cedera fisik (spasme otot dan
kerusakan sekunder pada fraktur) (D.0077)
f. Nausea berhubungan dengan efek agen farmakologis (D.0076)
g. Defisit pengetahuan berhubungan dengan kurang terpapar informasi
(D.0111)
h. Resiko infeksi berhubungan dengan kerusakan integritas kulit (D.0142)
3. Perencanaan dan Intervensi
Diagnosa
Tujuan dan kriteria hasil Intervensi
keperawatan
Hipovolemi Setelah dilakukan tindakan Manajemen Hipovolemia
berhubungan keperawatan selama 3 x 24 (I.03116)
dengan jam, mobilitas fisik Observasi:
kehilangan membaik dengan kriteria a. Periksa tanda dan gejala
cairan aktif hasil: hipovolemia
(D.0003) Status Cairan (L.03028) b. Monitor intake dan output cairan
a. Kekuatan nadi Terapeutik:
b. Turgor Kulit c. Hitung kebutuhan cairan
c. Output Urine d. Berikan posisi modified
d. Pengisian Vena trendelenburg
e. Edema perifer e. Berikan asupan cairan oral
f. Frekuensi Nadi Edukasi:
g. Tekanan Darah f. Anjurkan memperbanyak
h. Tekanan Nadi asupan cairan oral
i. Membran Mukosa g. Anjurkan menghindari
j. Kadar Hb perubahan posisi mendadak
k. Kadar Ht Kolaborasi:
l. Suhu Tubuh h. Kolaborasi pemberian cairan IV
isotonis
i. Kolaborasi pemberian cairan IV
hipotonis
j. Kolaborasi pemberian cairan
koloid
k. Kolaborasi pemberian produk
darah
Perfusi perifer Setelah dilakukan tindakan Perawatan Sirkulasi (I.02079)
tidak efektif keperawatan selama 3 x 24 Observasi:
berhubungan jam, perfusi perifer a. Periksa sirkulasi perifer
dengan meningkat dengan kriteria b. Identifikasi faktor risiko
penurunan hasil: gangguan srikulasi
aliran arteri Perfusi Perifer (L.02011) c. Monitor panas, kemerahan,
dan/atau vena a. Denyut nadi perifer nyeri, atau bengkak pada
(D.0009) b. Penyembuhan luka ekstremitas
c. Sensasi Terapeutik:
d. Warna kulit pucat d. Hindari pemasangan infus atau
e. Edema perifer engambilan darah di area
f. Pengisian kapiler keterbatasan perfusi
g. Akral e. Hindari pengukuran tekanan
h. Turgor kulit darah pada ekstremitas dengan
i. Tekanan darah sistolik keterbatasan perfusi
j. Tekanan darah f. Hindari penekanan dan
diastolik pemasangan torniquet ada area
yang cedera
g. Lakukan pencegahan infeksi
Edukasi:
h. Anjurkan melakukan perawatan
kulit yang tepat
i. Informasikan tanda dan gejala
darurat yang harus dilaporkan
Gangguan Setelah dilakukan tindakan Dukungan Ambulasi (I.06171)
mobilitas fisik keperawatan selama 3 x 24 Observasi:
berhubungan jam, mobilitas fisik a. Identifikasi adanya nyeri atau
dengan meningkat dengan kriteria keluhan fisik lainnya
kerusakan hasil: b. Identifikasi toleransi fisik
integritas Mobilitas Fisik (L.05042) melakukan ambulasi
struktur tulang a. Pergerakan ekstremitas c. Monitor kondisi umum selama
(D.0054) b. Kekuatan otot melakukan ambulasi
c. Rentang gerak (ROM) Terapeutik:
d. Nyeri d. Fasilitasi aktivitas ambulasi
e. Gerakan terbatas dengan alat bantu (tongkat atau
kruk)
e. Fasilitasi melakukan mobilisasi
fisik
f. Libatkan keluarga untuk
membantu pasien dalam
meningkatkan ambulasi
Edukasi:
g. Jelakan tujuan dan prosedur
ambulasi
h. Ajarkan ambulasi sederhana
yang harus dilakukan (misal
berjalan dari tempat tidur ke
kursi)

Dukungan Mobilisasi (I.05173)


Observasi:
i. Identifikasi adanya nyeri atau
keluhan fisik lainnya
j. Identifikasi toleransi fisik
melakukan pergerakan
k. Monitor kondisi umum selama
melakukan mobilisasi
Terapeutik:
l. Fasilitasi aktivitas mobilisasi
dengan alat bantu (tongkat atau
kruk)
m. Fasilitasi melakukan pergerakan
n. Libatkan keluarga untuk
membantu pasien dalam
meningkatkan pergerakan
Edukasi:
o. Jelakan tujuan dan prosedur
mobilisasi
p. Ajarkan mobilisasi sederhana
yang harus dilakukan (misal
duduk di tempat tidur)
Nyeri akut Setelah dilakukan tindakan Manajemen nyeri (I.08238)
berhubungan keperawatan selama 3 x 24 Observasi:
dengan agen jam, tingkat nyeri menurun a. Identifikasi lokasi, karakteristik,
cedera fisik dengan kriteria hasil: durasi, frekuensi, kualitas,
(spasme otot Tingkat Nyeri (L.08066) intensitas nyeri.
dan kerusakan a. Keluhan nyeri b. Identifikasi skala nyeri
sekunder pada b. Meringis c. Identifikasi respon nyeri non-
fraktur) c. Gelisah verbal
(D.0077) d. Kesulitan Tidur d. Identifikasi faktor yang
e. Anoreksia memperberat dan memperingan
f. Ketegangan otot nyeri
g. Frekuensi nadi e. Identifikasi pengetahuan dan
h. Pola nafas keyakinan tentang nyeri
i. Tekanan darah f. Monitor keberhasilan terapi
j. Fungsi berkemih komplementer yang sudah
k. Nafsu makan diberikan
l. Pola tidur g. Monitor efek samping
penggunaan analgesik
Terapeutik:
h. Berikan teknik non-
farmakologis untuk mengurangi
ras nyeri (TENS, hipnosis,
akupresur, terapi musik,
biofeedback, terapi pijat,
aromaterapi, teknik imajinasi
terbimbing, kompres
hangat/dingin, terapi bermain)
i. Kontrol lingkungan yang
memperberat rasa nyeri
j. Fasilitasi istirahat dan tidur
k. Pertimbangkan jenis dan sumber
nyeri dalam pemilihan strategi
meredakan nyeri
Edukasi:
l. Jelakan penyebab, periode, dan
pemicu nyeri
m. Ajarkan teknik non-
farmakologis untuk mengurangi
nyeri
Kolaborasi:
n. Kolaborasi Pemberian analgetik
Resiko infeksi Setelah dilakukan tindakan Pencegahan Infeksi (I.14539)
berhubungan keperawatan selama 3x24 Observasi:
dengan jam, tingkat infeksi a. Monitor tanda dan gejala infeksi
kerusakan menurun dengan kriteria lokal dan sistemik
integritas kulit hasil: Terapeutik:
(D.0142) Tingkat Infeksi b. Cuci tangan sebelum dan
(L.14137) sesudah kontak dengan pasien
a. Kebersihan tangan dan lingkungan pasien
b. Kebersihan badan c. Pertahankan teknik aseptik
c. Nafsu makan Edukasi:
d. Demam d. Jelaskan tanda dan gejala infeksi
e. Kemerahan e. Ajarkan cara mencuci tangan
f. Nyeri dengan benar
g. Bengkak
h. Kadar sel darah putih

4. Pelaksanaan
Pelaksanaan atau implementasi adalah tindakan yang dilaksanakan
sesuai dengan rencana asuhan keperawatan yang telah disusun sebelumnya
berdasarkan tindakan yang telah dibuat, dimana tindakan yang dilakukan
mencakup tindakan mandiri dan kolaborasi.
DAFTAR PUSTAKA

Brunner & Sudarth. (2013). Keperawatan Medikal Bedah Edisi: 2. Jakarta: EGC.
Helmi, Z. N. (2012). Buku Ajar Gangguan Muskuloskeletal. Jakarta: EGC.
Muttaqin, A. (2011). Buku Saku Gangguan Muskuloskeletal Aplikasi pada Praktik Klinik
Keperawatan. Jakarta:EGC.
Tim POKJA SDKI DPP PPNI. (2017). Standar Diagnosa Keperawatan Indonesia Edisi
1. Jakarta Selatan: DPP PPNI.
Tim POKJA SIKI DPP PPNI. (2018). Standar Intervensi Keperawatan Indonesia Edisi 1.
Jakarta Selatan: DPP PPNI.
Tim POKJA SLKI DPP PPNI. (2019). Standar Luaran Keperawatan Indonesia Edisi 1.
Jakarta Selatan: DPP PPNI.

Anda mungkin juga menyukai