Anda di halaman 1dari 10

DEPRESI

DEFINISI
Depresi merupakan satu masa terganggunya fungsi manusia yang
berkaitan dengan alam perasaaan yang sedih dan gejala penyertanya, termasuk
perubahan pada pola tidur dan nafsu makan, psikomotor, konsentrasi, kelelahan
dan rasa putus asa dan tak berdaya, serta gagasan bunuh diri.
Depresi adalah gangguan yang heterogen. Berdasarkan edisi keempat
Asosiasi Psikiatris America ( American Psychiatric Association) tahun1994
tentang Diagnostic Statistical Manual of Mental Disorders (DSM-IV), depresi
diklasifikasikan sebagai berikut :
1. Gangguan depresi mayor unipolar dan bipolar
2. Gangguan mood spesifik
3. Gangguan depresi akibat kondisi medik umum dan gangguan depresi akibat
suatu zat
4. Gangguan penyesuain dengan mood , depresi disebabkan oleh stesor
psikososial

EPIDEMIOLOGI
Gangguan depresi berat merupakan gangguan yang sering terjadi, dengan
prevalensi seumur hidup sekitar 15%, kemungkinan sekitar 25% terjadi pada
wanita. Terlepas dari kultur atau negara, terdapat prevalensi gangguan depresi
berat yang dua kali lebih besar pada wanita dibandingkan laki-laki. Usia onset
untuk gangguan depresi berat kira-kira usia 40 tahun. 50% dari semua pasien,
mempunyai onset antara usia 20-50 tahun.
Beberapa data epidemilogi baru-baru ini menyatakan bahwa insidensi
gangguan depresi berat mungkin meningkat pada orang-orang yang berusia
kurang dari 20 tahun, jika pengamatan tersebut benar, mungkin berhubungan
dengan meningkatnya penggunaan alkohol dan zat -zat lain pada kelompok usia
tersebut.
Angka gangguan depresif berat pada anak-anak pre sekolah diperkirakan
adalah sekitar 0,3% dalam masyarakat, dibandingkan dengan 0,9% dalam

1
lingkungan klinis. Diantara anak-anak usia sekolah dalam masyarakat, kira-kira
2% memiliki gangguan depresif berat. Depresi lebih sering pada anak laki-laki
dibandingkan anak perempuan pada anak usia sekolah.1

ETIOLOGI DEPRESI AKIBAT STRESS KRONIK


Faktor Biologi
Pada kasus stress kronik terjadi aktivasi aksis Hypothalamic-Piuitary-
Adrenal (HPA) yang menimbulkan perubahan pada amin biogenik sentral.
Faktor yang sangat fundamental menyebabkan gangguan aksis HPA pada
pasien depresi adalah hipersekresi Corticotropin-Releasing Hormom (CRH).
Hipersekresi diduga karena defek pada sistem umpan balik kortisol di sistem
limbik atau adanya kelainan pada sistem monoaminergik dan neuromodulator
yang mengatur CRH (Schule, 2003).
Faktor neurokimiawi
Gamma-amino butyric acid-GABA berperan dalam patofisiologi
gangguan mood. Beberapa penelitian menunjukkan bahwa sistem second
messenger seperti adenylate cyclase, phosphotydlinositol dan kalsium terlibat
secara kasual. Asam amino glutamat dan glisin yang merupakan
neurotransmiter eksitatori utama dalam susunan saraf pusat terikat pada sisi
membran yang berkaitan dengan N-methyl-D-aspartate (NMDA).
Hipokampus memiliki banyak reseptor NMDA. Pada kasus stress kronik
terjadi efek neurokognitif yang dimediasi oleh hiperkortisolemia.

GEJALA KLINIS
Gejala utama (pada derajat ringan, sedang dan berat):
 Efek depresif,
 Kehilangan minat dan kegembiraan, dan
 Berkurangnya energi yang menuju
meningkatnya keadaan mudah lelah (rasa lelah yang nyata sesudah kerja
sedikit saja) dan menurunnya aktivitas.4
Gejala lainnya :
a. Konsentrasi dan perhatian berkurang

2
b. Harga diri dan kepercayaan diri berkurang
c. Gagasan tentang rasa bersalah dan tidak berguna
d. Pandangan masa depan yang suram dan pesimistis
e. Gagasan atau perbuatan membahayakan diri atau bunuh diri
f. Gangguan tidur
g. Nafsu makan berkurang.
Untuk episode depresif dari ketiga tingkat keparahan tersebut diperlukan
masa sekurang – kurangnya 2 minggu untuk penegakan diagnosis, akan tetapi
periode lebih pendek dapat dibenarkan jika gejala luar biasa beratnya dan
berlangsung lama.
PATOFISIOLOGI
Timbulnya depresi dihubungkan dengan peran beberapa neurotransmiter
aminergik. Neurotransmiter yang paling banyak diteliti  ialah serotonin. Konduksi
impuls dapat terganggu apabila terjadi kelebihan atau kekurangan neurotransmiter
di celah sinaps atau adanya gangguan sensitivitas pada reseptor neurotransmiter
tersebut di post sinaps sistem saraf pusat.
Pada depresi telah di identifikasi 2 sub tipe reseptor utama serotonin yaitu
reseptor 5HTIA dan 5HT2A. Kedua reseptor inilah yang terlibat dalam
mekanisme biokimiawi depresi dan memberikan respon pada semua golongan anti
depresan.
Pada penelitian dibuktikan bahwa terjadinya depresi disebabkan karena
menurunnya pelepasan dan transmisi serotonin (menurunnya kemampuan
neurotransmisi serotogenik). Beberapa peneliti menemukan bahwa selain
serotonin terdapat pula sejumlah neurotransmiter lain yang berperan pada
timbulnya depresi yaitu norepinefrin, asetilkolin dan dopamin. Sehingga depresi
terjadi jika terdapat defisiensi relatif satu atau beberapa neurotransmiter aminergik
pada sinaps neuron di otak, terutama pada sistem limbik. Oleh karena itu teori
biokimia depresi dapat diterangkan sebagai berikut :
1. Menurunnya pelepasan dan transport serotonin atau menurunnya
kemampuan neurotransmisi serotogenik.

3
2. Menurunnya pelepasan atau produksi epinefrin, terganggunya regulasi
aktivitas norepinefrin dan meningkatnya aktivitas alfa 2 adrenoreseptor
presinaptik.
3. Menurunnya aktivitas dopamin.
4. Meningkatnya aktivitas asetilkolin.
Teori yang klasik tentang patofisiologi depresi ialah menurunnya neurotransmisi
akibat kekurangan neurotransmitter di celah sinaps. Ini didukung oleh bukti-bukti
klinis yang menunjukkan adanya perbaikan depresi pada pemberian obat-obat
golongan SSRI (Selective Serotonin Re-uptake Inhibitor) dan trisiklik yang
menghambat re-uptake dari neurotransmiter atau pemberian obat MAOI (Mono
Amine Oxidasi Inhibitor) yang menghambat katabolisme neurotransmiter oleh
enzim monoamin oksidase.
Belakangan ini dikemukakan juga hipotesis lain mengenai depresi yang
menyebutkan bahwa terjadinya depresi disebabkan karena adanya aktivitas
neurotransmisi serotogenik yang berlebihan dan bukan hanya kekurangan atau
kelebihan serotonin semata. Neurotransmisi yang berlebih ini mengakibatkan
gangguan pada sistem serotonergik, jadi depresi timbul karena dijumpai gangguan
pada sistem serotogenik yang tidak stabil. Hipotesis yang belakangan ini
dibuktikan dengan pemberian anti depresan golongan SSRE (Selective Serotonin
Re-uptake Enhancer) yang justru mempercepat re-uptake serotonin dan bukan
menghambat. Dengan demikian maka turn over dari serotonin menjadi lebih cepat
dan sistem neurotransmisi menjadi lebih stabil yang pada gilirannya memperbaiki
gejala-gejala depresi.
Mekanisme biokimiawi yang sudah diketahui tersebut menjadi dasar penggunaan
dan pengembangan obat-obat anti depresan.

TANDA GANGGUAN DEPRESI BERAT


a. Perasaan yang berubah-ubah
Depresi berat merupakan gangguan mood yang mempengaruhi cara seseorang
merasa tentang kehidupan pada umumnya. Memiliki pandangan putus asa atau tak
berdaya pada kehidupan adalah gejala yang paling sering dikaitkan dengan

4
depresi. Perasaan lain yang mungkin dirasakan adalah merasa tidak berharga,
membenci diri atau rasa bersalah yang tidak tepat.
b. Kehilangan minat
Depresi dapat merenggut kesenangan atau kenikmatan dari hal yang disukai.
Hilangnya minat dari kegiatan yang pernah dinantikan, seperti olahraga, hobi atau
pergi keluar dengan teman adalah satu lagi tanda-tanda depresi berat.
c. Kelelahan dan tidur
Sebagian alasan seseorang berhenti melakukan hal-hal yang dinikmatinya adalah
karena merasa sangat lelah. Depresi sering datang dengan kekurangan energi dan
perasaan yang luar biasa dari kelesuan, yang dapat menjadi gejala paling
melemahkan. Dan bisa mengakibatkan tidur berlebihan atau tidak tidur sama
sekali.
d. Kecemasan dan lekas marah
Orang dengan depresi juga memberikan kontribusi menimbulkan kecemasan dan
mudah tersinggung. Penelitian menunjukkan, pria lebih cenderung menunjukkan
tanda-tanda ini. Karena wanita lebih mungkin menginternalisasi masalah mereka,
sementara pria cenderung mengeksternalisasi perasaan mereka dengan
menyalahkan orang lain.
e. Selera makan dan berat badan meningkat
Nafsu makan dan berat badan dapat berfluktuasi secara berbeda untuk setiap
orang dengan depresi berat. Beberapa akan memiliki nafsu makan dan berat badan
bertambah, sementara yang lain sebaliknya.
f. Emosi tak terkendali
Satu menit dikuasai amarah. Berikutnya, menangis tak terkendali. Emosi yang
naik dan turun dalam waktu singkat ini adalah gejala depresi. Mirip dengan
kelainan suasana hati (gangguan bipolar), yakni suasana hati yang berfluktuasi tak
terkendali dan membuat orang tersebut bingung.
g. Bunuh diri
Realitas paling menakutkan dari depresi adalah hubungannya dengan keinginan
bunuh diri. Emosi yang tak terkendali dan perasaan hampa sering menyebabkan
orang untuk berpikir bahwa bunuh diri adalah solusi permanen. Bahkan, 90 persen

5
dari lebih dari 34.000 orang yang bunuh diri di AS setiap tahun didiagnosis
memiliki gangguan psikiatrik.

TERAPI
Mekanisme terjadinya obat anti depresi adalah :
 Menghambat ‘reuptake aminergic
neurotransmitter’
 Menghambat penghancuran oleh enzim
‘monoamine oxidase’
Sehingga terjadi peningkatan jumlah ‘aminergic transmitter’ pada sinaps
neuron di SSP.

Golongan obat anti depresan antara lain :

MIRTAZAPIN
Mirtazapin memiliki dua mekanisme aksi sebagai antidepresan.
Mekanisme aksi tersebut disebut dengan NaSSA (noradrenergic and spesifik
serotonergic antideppresant) (Kamal, 2013; Lanni et al, 2009; Sami, 2001).
Struktur molekul mirtazapin dapat dilihat pada gambar 1 dan mekanisme aksi
mirtazapin terlihat pada gambar 2 dan 3.

6
Gambar 1. Struktur Molekul Mirtazapine

Gambar 1 di atas menunjukkan struktur molekul obat antidepressan


mirtazapin dengan molekul tetrasiklik {1,2,3,4,10,14b-hexa-hydro-2-meth-
ylpyrazino [2,1-a] pyrido [2,3-c]benzazepin}(Anonim, 2013).

Gambar 2. Mekanisme aksi mirtazapin pada antagonis α2 adrenergik

Gambar 3. Mekanisme aksi mirtazapin pada serotonin

Gambar di atas memperjelas mekanisme aksi secara umum obat


antidepresan mirtazapin. Obat ini beraksi sebagai antagonis α2 (autoreceptor

7
dan heteroreceptors) adrenergik (gambar 2) yang berefek pada peranan
aktivitas enzim neurosteroidogenik, yaitu menghambat pada 3α-
hydroxisteroid dehydrogenase (3α-HSD), serta memiliki efek yang sama
dengan obat SSRIs (Selective Serotonin re-uptake Inhibitors) sehingga
jumlah norefinefrin meningkat di dalam celah sinap (Schule et al, 2013).
Mirtazapin sendiri hanya memiliki sedikit aktivitas atau bahkan tidak ada
sama sekali pada ambilan senyawa amin. Sehingga obat ini hanya
mengakibatkan efek samping yang lebih sedikit pada sistem syaraf otonom
(kurang kardiotoksik) sehingga tidak terlalu berbahaya bila terjadi over dosis
(Neal, 2006).
Selain itu aksi mirtazapin sebagai antidepresan dengan cara
meningkatkan sensitivitas reseptor 5-HT1, menghambat reseptor 5-HT2 yang
berperan dalam kejadian insomnia dan masalah seksual (5-HT2a), agitasi (5-
HT2c), dan menghambat reseptor 5-HT3 (nausea) (gambar 3). Serotonin (5-
HT) disintesis oleh 5-hydroxyindoleacetic acid (5-HAA). Reseptor 5-HT1A
ditemukan pada Interneuron GABA Inhibitor, dan GABAA dan GABAB
aktivasi ini menghambat pelepasan neuron serotonergik di dorsal raphe
nucleus. Selain itu aktivasi reseptor GABA B Menebabkan penurunan dalam
pelepasan norepinefrin. (Kamal, 2013; Lanni et al, 2009; Sami et al, 2000; De
Boer, 1996).

8
DAFTAR PUSTAKA

Anonim, 2013, available at http://www.drugbank.ca/drugs/DB00370 , 21


September 2013: 06.00 WIB
De Boer, T., 1996, The Pharmacologic Profile of Mirtazapine, J. Clin Psychiatry,
57(4):19-25.
Kamal, S.M., 2013, Modulating Role of Mirtazapine on Concentrations of both
Glutamate and GABA in Nucleus Accumbens of Chronic Mild Stressed
Albino Rats, J Neurol Disord., Vol.1(1):110
Kaplan, Sadock, Sinopsis Psikiatri, Jilid II, edisi Ketujuh, Binarupa Aksara,
Jakarta, 1997.
Kaplan, Harold I: Ilmu Kedokteran Jiwa Darurat, Widya Medika, Jakarta, 1998.
Lanni, K., Govoni, S., Luchelli, A., Boselli, C., 2009, Depression and
Antidepressants: molecular and cellular aspects, Cell. Mol. Life Sci.,
66:2985-3008.
Maslim, R: Panduan Praktis Penggunaan Obat Psikotropika, edisi II, Jakarta,
2001.
Maslim, R : Buku Saku Diagnosis Gangguan Jiwa, Rujukan Ringkas dari PPGDJ
III, Jakarta, 2001.
Maramis WF. Catatan Kuliah Kedokteran Jiwa, Cetakan Ketujuh. Penerbit
Airlangga University Press, Surabaya, 1998.
Sami, A.K., Anttila, Esa, V.J., Leinoen, 2001, A Review of the Pharmacological
and Clinical Profile of Mirtazapine, CNS Drug Reviews, Vol.7(3):249-264.
Schule, C., Baghai, T.C., Zwanzger, P., Ella, R., Eser, D., Padberg, F., Moller,
H.J., Ruppercht, R., Attenuation of Hypothalamic-Pituitary-Adrenocortical
Hyperactivity in Deprresed Patients by Mirtazapine, Psychopharmacology
(Berl), 166(3): 271-275.

9
Schule, C., Romeo, E., Uzunof, D.V., Eser, D., Michele, F., Baghai, T.C., Pasini,
A., Schwarz, M., Kempter, H., Rupprecht, R., 2006, Influence of
Mirtazapine on Plasma Concentration of Neuroactive Steroids in Major
Depression and on 3α-Hydroxysteroid Dehydrogenase Activity, Molecular
Psychiatry, 11:261-272

10

Anda mungkin juga menyukai