Anda di halaman 1dari 23

MAKALAH

MANAJEMEN STRATEGI MENUJU GOOD GOVERNANCE

OLEH :

NAMA :
KATA PENGANTAR
Puji syukur kami panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa karena atas
berkat dan rahmat-Nya sehingga kami dapat menyelesaikan makalah ini dengan
baik. Penyusunan makalah ini merupakan salah satu syarat untuk memenuhi tugas
mata kuliah Manajemen Strategik.

Adapun masalah yang akan dibahas dalam makalah ini adalah mengenai
“MANAJEMEN STRATEGIK MENUJU GOOD GOVERNANCE”. Dan
harapan kami semoga makalah ini dapat menambah pengetahuan dan pengalaman
bagi para pembaca dalam mempelajari Manajemen Strategik dalam bidang
kesehatan.

Karena keterbatasan pengetahuan maupun pengalaman kami, makalah ini


masih jauh dari kesempurnaan, dan kami yakin masih banyak kekurangan dalam
makalah ini. Oleh karena itu, kami sangat mengharapkan saran dan kritik yang
membangun dari pembaca demi kesempurnaan makalah ini.

Kupang, Agustus 2019

Tim Penyusun

i
DAFTAR ISI

MAKALAH..........................................................................................................................0
KATA PENGANTAR...........................................................................................................i
DAFTAR ISI........................................................................................................................ii
BAB I PENDAHULUAN.....................................................................................................1
BAB II PEMBAHASAN......................................................................................................2
A. MANAJEMEN STRATEGIK SEKTOR PUBLIK........................................................2
B. GOOD GOVERNANCE................................................................................................4

ii
BAB I
PENDAHULUAN

A. LATAR BELAKANG

Manajemen strategik yaitu kesatuan proses manajemen pada suatu


organisasi yang berulang-ulang dalam menciptakan nilai serta kemampuan
untuk menghantar dan memperluas distribusinya kepada pemangku
kepentingan ataupun pihak lain yang berkepentingan, Manajemen strategik
tidak hanya digunakan pada sector swasta tetapi juga sudah diterapkan
pada sektor public. Good governance merupakan suatu cara yang
dilakukan oleh sektor puplik maupun swasta untuk meningkatkan efek
yang baik agar cenderung membawa efisiensi dan efektifitas dalam dunia
usaha. Good Governance bersifat partisipatif, keterbukaan, responsif,
berorientasi konsensus, kesetaraan dan membela yang lemah, efektif dan
efisien, dan akuntabilitas.

B. RUMUSAN MASALAH
1. Apakah yang dimaksud dengan manajemen strategi sektor publik ?
2. Apa yang dimaksud dengan Good governance?
3. Bagaimana cara menbangun Good governance?
4. Apa hubungan manajemen strategi dengan Good governance?

C. TUJUAN
1. Untuk mengetahui apa yang dimaksud dengan manajemen strategi
sektor publik.
2. Unruk mengetahui apa yang dimaksud dengan Good governance.
3. Unruk mengetahui bagaimana cara menbangun Good governance.
4. Unruk mengetahui apa hubungan manajemen strategi dengan Good
governance.

1
BAB II
PEMBAHASAN

A. MANAJEMEN STRATEGIK SEKTOR PUBLIK


Manajemen strategik memiliki pengertian dengan muatan yang
sangat banyak, baik secara teoritis maupun dalam praktik manajemennya.
Berdasarkan pertimbangan akan keutamaan akan penciptaan dan
pendistribusian nilai dalam setiap tugas organisasi, maka dideskripsikan
manajemen strategik sebagai kesatuan proses manajemen pada suatu
organisasi yang berulang-ulang dalam menciptakan nilai serta
kemampuan untuk menghantar dan memperluas distribusinya kepada
pemangku kepentingan ataupun pihak lain yang berkepentingan. Artinya,
manajemen strategik menjadi suatu kesatuan dari keselurah proses yang
terintegrasi.

Manajemen strategik tidak hanya digunakan pada sector swasta


tetapi juga sudah diterapkan pada sektor publik. Penerapan manajemen
strategik pada kedua jenis intitusi tersebut tidaklah jauh berbeda, hanya
pada organisasi sektor publik tidak menekankan tujuan organisasi pada
pencarian laba tetapi lebih pada pelayanan. Menurut Anthony dan Young
dalam Salusu (2003) penekanan organisasi sektor publik dapat
diklasifikasikan ke dalam 7 hal yaitu: (1) tidak bermotif mencari
keuntungan. (2) adanya pertimbangan khusus dalam pembebanan pajak.
(3) ada kecenderungan berorientasi semata-mata pada pelayanan. (4)
banyak menghadapi kendala yang besar pada tujuan dan strategi. (5)
kurang banyak menggantungkan diri pada kliennya untuk mendapatkan
bantuan keuangan. (6) dominasi professional. (7) pengaruh politik
biasanya memainkan peranan yang sangat penting, seorang ahli bernama
Koteen menambahkan satu hal lagi yaitu less responsiveness
bureaucracy dimana menurutnya birokrasi dalam organisasi sektor
publik sangat lamban dan berbelit-belit. Sedangkan pada sektor swasta

2
penekanan utamanya pada pencarian keuntungan atau laba dan tentunya
kelangsungan hidup organisasi melalui strategi dan tujuan yang telah
ditetapkan sebelumnya.

1.1 Organisasi Publik


Dalam artikel Ring dan Perry, “strategic Management in public and
Private Organizations: Implications of Distinctive Contexts and
Constraints” yang sering dikutip luas, mengemukakan keyakinan
bagi di pertahankannya suatu pemosisian tertentu dimana
karakteristik unik sektor publik akan menstimulan penerapan
manajemen strategik dari sudut pandang yang berbeda. Ciri
karakteristik yang sangat spesifik dalam konteks publik ini
memunculkan kendala-kendala struktural (misalnya penciutan
wewenang) maupun prosedural (misalnya rentang waktu semu) yang
akhirnya mengarah diberlakukannya penerapan manajemen dari
sudut pandang yang berbeda. Adapun faktor-faktor penting yang
membentuk realitas karakteristik spesifik dalam penerapan
manajemen strategik organisasi publik yang telah dirangkum menjadi
5 unsur, sebagai berikut:
1) Fokus kebijakan organisasi publik dirumuskan dengan lebih
ketat;
2) Karakteristik untuk kepentingan umum dalam perumusan
kebijakannya, menciptakan kendala yang lebih besar bagi
para manajer organisasi publik;
3) Organisasi publik cenderung menataati secara langsung dan
terus-menerus patuh pada upaya-upaya persuasif kelompok
tertentu yang punya jangkauan lebih luas dibanding para
pemegang saham;
4) Manajemen publik harus senantiasa bertindak cepat
menghadapi berbagai situasi rentang waktu semu;

3
5) Kerja sama perumusan kebijakan sektor publik ternyata rawan
solidaritasnya, sehingga seringkali terbengkalai saat
pengimplementasiannya.

B. GOOD GOVERNANCE
1. Good Governance Di Sektor Kesehatan

Konsep Good Governance dalam sistem kesehatan mempunyai komponen


penting dikehidupan sehari-hari yaitu:

1) Pemerintah
2) Masyarakat
3) Kelompok pelaku usaha.
Hubungan antara ketiga komponen ini perlu dirinci agar terjadi tata aturan
yang baik dalam sistem. Indentifikasi peran dan hubungan antara lembaga
merupakan hal penting namun mungkin sulit dilakukan.

Ada beberapa kasus yang menunjukan kesulitan ini.

a. Kasus 1.

Dalam sebuah kegiatan penelitian kekabupaten X, kepala dinas kesehatan


dan direktur RSD mempunyai pendapat mengenai perkembangan RS sebagai
Lembaga Teknis Daerah. Berikut ini kutipan ucapan dari kepala dinas
kesehatan :

Setelah rumah sakit menjadi lembaga teknis daerah, kami sulit masuk
kerumah sakit. Sepertinya diriject. Jadi kami seperti jalan sendiri-sendiri.
Seksi RS di dinas sulit memeriksa RS dan kami tahu memeriksanya dengan
dasar apa?

Sisi lain direktur RSD menyatakan:

Setelah kami mnjadi lembaga teknis daerah, kepala dinas mengajukan


kami proyek-proyek lembaga kelembagaan tidak pernah masuk ke RS.
Peralatan radiologi puskesmas saat ini malah lebih canggih dibandingkan RS

4
karena ad dana dari pusat . Kami tidak kebagian RS seperti tempat
pembuangan sampah tenaga kerja manusia. Kami sama-sama tau diri jangan
sampai konflik. Tetap menjaga perasaan masing-masing.

b. Kasus 2.

Terkait dengan hubungan dinas kesehatan dan RS Swasta. Dalam ebuah


pertemuan antar direktur antar RS Swasta di kota M, ada pertanyaan
mengelitik mengenai fungsi dinas kesehatan kota dan proponsi. Sebenarnya
apa fungsi mereka? Pada initinya para direktur RS Swasta berharap bahwa
dinas kesehatan dapat membantu mereka dalam pengembangan sumber daya
manusia, memberi subsidi, dan meningkatkan mutu pelayanan. Akan tetapi
harapan ini terlihat sulit dipenuhi. Salah satu tandanya adalah perhatian dinas
kesehatan terhadap RS tidaklah besar. Hal ini dapat dilihat pada kenyataan
bahwa sudah empat bulan seksi pelayanaan di dinas kesehatan kosong karena
pejabat lama, seorangperawat senior, pensiun dan belom ada orang yang siap
menggantikan.

c. Kasus 3.

Menggambarkan anatara profesional dengan dinas kesehatan disebuah


kota. Ada sebagian dokter spesialis yang bekerja dibanyak RS ( 6 RS).
Kegiatan ini jelas melanggar aturan . dinas kesehtan sedang merencanakan
untuk menguru hak ini, tapi sulit melakukannya. Seorang staff menyatakan
bahwa sulit karena sungkan. Karena para dokter yang merangkap-rangkap
adalah mantan dosennya saat kulia difakultas kedokteran.

Ketiga kasus di atas menunjukkan bahwa ada “ sesuatu” yang terjadi di


Dinas kesehatan yang perlu dikaji untuk melihat makna yang terdapat
didalamnya.

5
C. MEMBANGUN GOOD GOVERNANCE
1. Good Governance

Menurut dokumen ESCAP, Good Governance mempunyai 8


karakteristik utama: Good Governance bersifat partisipatif, rule of law,
keterbukaan, responsif, berorientasi konsensus, kesetaraan dan membela
yang lemah, efektif dan efisien, dan akuntabilitas. Akuntabilitas
merupakan fokus yang sentral; juga selalu disertai oleh keterbukaan
(transparancy) dan menerapkan undang-undang (rule of law).

Berikut ini penulis sajikan pokok-pokok paparan Prof. Dr. Sofian


Effendi dalam Lokakarya Nasional Reformasi Birokrasi.

1. Dalam kamus, government dan governance seringkali dianggap


memiliki arti yang sama yaitu cara menerapkan otoritasdalam suatu
organisasi, lembaga atau negara. Government atau pemerintah juga
adalah nama yang diberikan kepada entitas yang menyelenggarakan
kekuasaan pemerintahan dalam suatu negara.
2. Istilah Governance sebenarnya sudah dikenal dalam literatur
administrasi dalam ilmu politik hampir 120 tahun, sejak Woodrow
Wilson memperkenalkan bidang studi tersebut kira-kira 1125 tahun
yang lalu. Tetapi selama itu Governance hanya digunakan dalam
konteks pengelolaan organisasi korporat dan lembaga pendidikan
tinggi. Wacana tentang Governance dalam pengertian yang hendak
kita perbincangkan–dan diterjemahkan kedalam bahasa Indonesia
sebagai tata pemerintahan, penyelenggaraan pemerintahan atau
pengelola pemerintahan–baru muncul sekitar 15 tahun belakangan
ini, terutama setelah berbagai lembaga pembiayaan international
mempersyaratkan Good Governance dalam berbagai program
bantuannya. Oleh para teoritis dan praktisi administrasi negara
indonesia, istilah Good Governance telah diterjemahkan menjadi
penyelenggaraan pemerintah yang amanah, tata pemerintahan yang
baik (UNDP), pengelolaan pemerintahan yang baik dan bertanggung

6
jawab (LAN), dan ada juga yang mengartikan secara sempit sebagai
pemerintahan yang bersih.
3. Istilah pemerintah (government) lebi berkaitan dengan lembaga yang
mengemban fungsi memerintah dan mengemban fungsi mengelola
administrasi pemerintah. Sedangkan tata pemerintahan (governance)
lebih menggambarkan pada pola hubungan yang sebaik-baiknya
antar elemen yang ada, yaitu pola hubungan antara pemerintah,
kelembagaan politik, kelembagaan ekonomi dan kelembagaan sosial
dalam upaya menciptakan kesepakatan bersama menyangkut
pengaturan proses pemerintahan. Hubungan yang diidealkan adalah
sebuah hubungan yang seimbang dan proposional antara empat
kelembagaan tersebut.
4. Dengan demikian cakupan tata pemerintahan (governance) lebih luas
dibandingkan dengan pemerintah (government), karena unsur yang
terlibat dalam tata pemerintahan mencakup semua kelembagaan
yang ada, termaksud didalamnya ada unsur pemerintah (goverment).
5. Hubungan antara pemerintah (government) dengan tata
pemerintahan (governance) bisa diibaratkan hubungan antara rumput
dengan padi. Jika kita hanya menanam rumput, maka padi tidak akan
tumbuh. Tapi kalau kita menanam padi maka rumput dengan
sendirinya akan juga turut tumbuh. Jika kita hanya ingin
menciptakan pemerintah (government) yang baik, maka tata
pemerintahan (governance) yang baik belum tentu tumbuh. Tapi jika
menciptakan tata pemerintahan (governance) yang baik, maka
pemerintah (government) yang baik juga akan terwujud.

Dalam hubungan ini Prof. Dr. Sofian Effendi juga menuturkan


bahwa perbedaan paling pokok antara konsep government dan
governance terletak pada bagaimana cara penyelenggaraan otoritas
publik, ekonomi dan administrasi dalam pengelolaan urusan suatu
bangsa. Konsep pemerintahan berkonotasi peranan pemerintah yang
lebih dominan dalam penyelenggarakan berbagai otoritas tadi.

7
Sedangkan dalam governance mengandung makna bagaimana cara suatu
bangsa mendistribusikan keuasaan dan mengelola sumber daya dan
berbagai masalah yang dihadapi masyarakat. Dengan kata lain, dalam
konsep governance terkandung unsur demokratis, adil transparan, rule of
law, partisipatif dan kemitraan. Mungkin definisi yang dirumuskan IIAS
adalah yang paling tepat menggambarkan makna tersebut yakni: “the
process where by elements in society wield power and authority, and
influence and enact policies and decisions concerning public life,
economic and social development.”

OECD pada tahun 1992, telah menggunakan keruntuhan Uni Sovyet,


sebagai momentum untuk membenarkan sistem ideologi liberal yang
intinya adalah (1) penghargaan terhadap HAM; (2) demokrasi; (3)
penegakan rule of law; (4) pasar bebas; dan (5) perhatian terhadap
lingkungan. Sejak itu pula Good Governance di Negara penerima bantuan
dijadikan salah satu persyaratan oleh lembaga penyedian keuangan
international.

Ada 3 pilar pokok yang mendukung kemampuan suatu bangsa dalam


melaksanakan Good Governance yakni pemerintahan (state), civil society
(masyarakat abad, masyarakat madani, dan masyarakat sipil), dan
masyarakat pengusaha. Penyelenggaraan pemerintahan yang baik dan
bertanggung jawab baru tercapai menurut teori segitiga besi (iron theree
angle) yakni apabila dalam menerapkan otoritas politik, ekonomi, dan
administrasi, ketiga unsur tersebut memiliki jaringan dan interaksi yang
sinergik dan setara.

Interaksi dan kemitraan seperti itu biasanya baru dapat bekembang


subur bila ada kepercayaan (trust), transparansi, partisipasi, serta tata
aturan yang jelas dan pasti, Good Governance yang sehat akan
berkembang sehat dibawah kepemimpinan yang berwibawa dan memiliki
visi yang jelas.

8
Konsep Good Governance dapat dijelaskan pula sebagai berikut:

a. Sebagai pengelolaan atau kepengarahan negara yang baik.


b. Pelaksananya disebut Government.
c. Government identik dengan pengelola, pengurus negara.
d. Pengelola negara yang mengetahui apa yang harus dikerjakan dan
mengerjakan dengan efisien.
e. Bagaimana penyelenggaraan negara ditata dan bagaimana tataan itu
berproses.

Berbagai assessment yang diadakan oleh lembaga-lembaga


internasional selama ini menyimpulkan bahwa Indonesia sampai saat ini
belum pernah mampu mengembangkan Good Governance. Mungkin
karena alasan itulah gerakan reformasi yang digulirkan oleh para
mahasiswa diberbagai kampus telah menjadikan Good Governance masih
terbatas pada pemberantasan praktik KKN (clean Governance).

Namun, hingga saat ini salah satu tuntutan pokok dari amanat reformasi
itupun belum terlaksana. Kebijakan yang tidak jelas, penempatan personal
yang tidak kredibel, serta kehidupan politik yang kurang berorientasi pada
kepentingan bangsa telah menyebabkan dunia bertanya apakah indonesia
memang serius melaksanakan Good Governance? Demikian dinyatakan
oleh Prof. Dr. Sofian Effendi.

Tidak perlu disanggah lagi bahwa indonesia masa depan yang kita cita-
citakan amat memerlukan Good Governance agar kita dapat
menyelenggarakan pemerintahan negara sesuai dengan praktik-praktik
yang diterima secara internasional. Namun, perumusan praktik-praktik
tersebut harus dilakukan secara hati-hati dan dengan sangat memerhatikan
budaya dan kondisi bangsa indonesia. Jangan terjadi, Indonesia kemudian
semakin terjerumus kedalam jebakan negara asing atau lembaga
internasional dalam pemilihan bentuk penyelenggaraan pemerintahan

9
negara, hubungan antara pusat dan daerah serta dalam pengelolaan
keuangan negara.

Sebagaimana diungkapkan oleh Rian Nugroho D. (2001) tentang


adanya jebakan negara maju yang disebut dengan “The Pentagon Trap”
yaitu skenario yang dimotori utamnya oleh Amerika Serikat dengan tujuan
agar negara sedang berkembang atau miskin tetap stagnan dan tetap
bergantung pada negara maju. Kelima jebakan trsebut meliputi: pertama,
diliberalisasi perdagangan, apabila diikuti bukan menjadi peluang bagi
negara sedang berkembang atau baru berkembang, tetapi justru akan
semakin ketergantungan kepada negara industri maju. Hal ini disebabkan
penguasaan teknologi yang masih jauh tertinggal di negara sedang
berkembang atau baru berkembang terlebih yang miskin, sehingga produk-
produk industrinya tidak akan memiliki daya saing yang cukup terhadap
produk negara maju. Kedua, demokratisasi dengan standar yang
disebarluaskan adalah standar atau prisip demokrasi dari Amerika Serikat
yang dalam berdemokrasi telah berpengalaman ratusan tahun, sehingga
lebih mapan dalam berdemokrasi. Sedangkan di negara sedang
berkembang termasuk di Indonesia belum bisa diseragamkan dengan
kualitas demokrasinya Amerika Serikat. Kasus dengan ketidaksesuaian ini
maka praktik demokrasi di Indonesia atau negara sedang berkembang
dianggap bertentangan dengan prinsip-prinsip demokrasi. Ini dianggap
sebagai pelanggaran hak asasi manusia, sehingga perangkap yang ketiga
adalah hak asasi manusia dianggap tidak memenuhi standar yang
ditetapkan oleh Amerika Serikat yang menganggap dirinya paling
demokratis dan paling menghargai HAM.

Misalnya penumpasan atau penindakan tegas gerakan spratis atau


subversif di suatu negara dianggap sebagai pelanggaran HAM.
Pelanggaran ini akan mendatangkan sanksi berupa embargo sebagai
bidang, misalnya sebagai program bantuan atau kerjasama ekonomi atau
militer dapat dibatalkan sepihak karena dianggap ada pelanggaran prinsip

10
demokrasi dan HAM tersebut. Pada hal sesungguhnya tidak mungkin
praktik demokrasi disamakan, sebagaimana yang diungkapkan oleh
presiden RI, Susilo Bambang Yudoyono (SBY) dalam berbagai
kesempatan itu : “ Prinsip demokrasi memang bersifat universal akan
tetapi di setiap bangsa ada variannya yang berbeda.”

Perangkap keempat adalah lingkungan hidup. Negara-negara


berkembang umumnya memiliku hutan yang cukup luas yang tentu ingin
dimanfaatkan untuk kesejahteraan rakyatnya. Namun hal ini di hambat
dengan isu lingkungan hidup berupa hutan yang dianggap sebagai paru-
paru dunia sehingga harus dilestarikan, tidak boleh diolah. Terlebih lagi
hutan tropis tersebut rentan mengalami kebakaran di musim kemarau yang
dianggap suatu kesalahan negara berkembang tidak mampu melestarikan
lingkungan hidup. Inimjuga dihadapkan dengan sanksi embrago. Dan
perangkap kelima adalah hak paten. Seringkli negara berkembang
termasuk Indonesia kurang perhatian pada hak paten ini, sehingga sering
mengalami kerugian yang disebabkan produk-produk asli Indonesia justru
dipatenkan oleh negara lain. Misalnya tempe yang asli resep Indonesia
telah dipatenkan oleh Jepang. Batik Indonesia juga dipatenkan oleh
Malaysia dan Jepang, demikian juga produk-produk lainyang asli
Indonesia dipatenkan oleh negara asing, misalnya produk rotan, seni
budaya dan terjadi belakangan lagu rasa sayange yang asli maluku
dimanfaatkan oleh negara Malaysia. Dan mungkin masih banyak lagi.

2. Budaya Organisasi

Budaya organisasi amat besar pengaruhnya pada keberhasilan dan mati


hidup sebuah organisasi. Karena itu untuk mewujudkan Good Governance
atau tata pemerintahan yang baik atau tata pemerintahan yang amanah
harus mengembangkan secara berkelanjutan perubahan budaya organisasi.

Dalam surat Keputasn Kepala BPKB Nomor : KEP-504/K/SU/2004


tanggal 2 April 2004 disebutkan pengertian budaya kerja adalah sikap atau

11
perilaku seseorang dalam melaksanakan kerja sehari-hari yang bermutu
dengan selalu berdasarkan nilai-nilai yang dianut, sehingga menjadi
motivator, member inspirasi untuksenantiasa berkerja lebih baik dan
memuaskan bagi semua pihak.

Dengan demikian budaya kerja merupakan cara pandang atau cara


seseorang memberikan makna terhadap kerja. Budaya kerja aparatur
negara secara sederhana dapat dipahami secara pandang serta suasana hati
yang menumbuhkan keyakinan yang kuat atas dasar nilai-nilai yang
diyakininya, serta memiliki semangat yang tinggi dan bersungguh-
sungguh untuk mewujudkan prestasi kerja terbaik.

Budaya organisasi akan terbentuk terutama dipengaruhi oleh sifat


bawaan dari manajemen yaitu falsafah hidup, nilai-nilai budaya, visi, misi,
dan tujuan dari manajemen yang kemudian terselaraskan dengan falsafah
hidup, nilai-nilai budaya,visi, misi, dan tujuan dari anggota organisasi.

Budaya organisasi juga dipengaruhi oleh lingkungan sosial, yang


kemudian mengkristal menjadi budaya organisasi. Dengan demikian
budaya organisasi merupakan nilai-nilai budaya yang berlaku di organisasi
tersebut yang menggambarkan perilaku dan diterima oleh seluruh anggota
organisasi. Budaya organisasi yang sudah terbentuk akan memengaruhi
gaya kepemimpinan dan komunikasi yang efektif, menciptakan dinamika
kelompok dan juga berpengaruh terhadap lingkungan kerja organisasi.
Budaya organisasi demikian menjadi hidup dan menciptakan kualitas kerja
bermutu yanga nantinya akan mendorong motivasi kerja para anggota
organisasi (dari dokumen Program Jangka Panjang Mengembangan
Budaya Kerja 2005-2009 di BPKP).

Budaya organisasi adalah semua ciri yang menentukan kepribadian


suatu organisasi : keyakinan bersama nilai-nilai dan perilaku-perilaku yang
dianut oleh semua anggota organisasi. Budaya organisasi adalah tradisi
yang sangat sukar diubah. Dalam bukunya Budaya Korporat dan

12
keunggulan korporasi, Djokosantoso Moelyono mendefinisikan budaya
organisasi sebagai: “ Sistem nilai yang diyakini oleh semua anggota
organisasi, yang dipelajari, diterapkan dan dikembangkan secara
berkesinambungan, berfungsi sebagai sistem perekat dan dapat dijadikan
acuan berperilaku dalam organisasi untuk mencapai tujuan organisasi yang
telah ditetapkan”.

Selanjutnya menurut Djokosantoso Moeljono, pembentukan budaya


organisasi melalui tahap-tahap berikut :

1. Penyusunan nilai-nilai : nilai yang berlaku dalam organisasi di survei,


ditampung dan disaring sehingga diperoleh nilai-nilai utama yang
berlaku dalam organsasi tersebut. Nilai-nilai utama yang telah
diperoleh merupakan titik tolak dalam mengembangkan budaya kerja
organisasi.
2. Internalisasi nilai-nilai. Nilai-nilai organisasi yang ada
diinternalisasikan pada seluruh anggota organisasi dengan cara
sosialisasi atau simulasi.
3. Pembentukan change agent. Untuk mengefektifkan transformasi
budaya organisasi perlu dibentuk change agents, yang bertugas untuk
menularkan nilai-nilai,(budaya organisasi) dengan model pembiakan
sel.
4. Menyusun sistem. Membuat sistem dan prosedur untuk menjaga dan
memelihara kesinambungan dan keajuan perusahaan, dengan selalu
mengacu pada referensi budaya organisasi.
Nilai-nilai dan perilaku yang diperlukan untuk penyelenggaraan
pemerintahan amanah antara lain adalah: demokratis, adil, cost-
consious, transparan, akuntabel. Semuanya ini sebenarnya terangkum
dalam konsep budaya FAST yang disebarluaskan oleh Ary Ginandjar,
yaitu: fathonah, amanah,shiddiq, dan tabligh.
Budaya organisasi mempunyai beberapa fungsi yaitu :

13
a. Budaya mempunyai suatu peran pembeda antara orgnisasi yang
satu dengan yang lain.
b. Budaya orgnisasi membentuk suatu rasa identitas bagi anggota-
anggota organisasi.
c. Budaya organisasi memudahkan tumbuh berkembangnya
komitmen pada suatu yang lebih luas dari pada kepentingan
individual.
d. Budaya organisasi meningkatkan kemantapan system social
(Robbins, dalam Djokosantoso Moeljono, 2004).

Budaya organisasi sebagai suatu sistem nilai-nilai yang diterima


secara umum yang mengatur tingkah laku anggota organisasi dalam
berinteraksi dengan lingkungan, dalam menjalankan tanggungjawab,
serta cara mengelola sumberdaya manusia (personil) secarai internal
termasuk hubungan atasan-bawahan.

Menurut Jusi (2001), budaya yang kuat didukung oleh faktor-


faktor leadership, sense of direction, climate, positive teamwork, value
add systems, enabling strukture, appropriate competences and
developed individual. Dari semua faktor pendukung tersebut yang
paling dominan adalah faktor leadership terutama pimpinan puncak
suatu organisasi sangat berpengaruh terlaksananya suatu budaya dalam
organisasi.

Budaya organisasi mempengaruhi pembentukan kinerja yang


baik sebagaimana pernyataan Imai (1996) budaya korporat atau
organizational culture (budaya organisasi) merupakan faktor struktur
dan skologis yang menentukan kekuatan menyeluruh perusahaan,
produktifitas dan daya saing dalam jangka panjang.

Budaya organisasi tercermin dari perilaku keseharian


anggotanya, meliputi praktik sehari-hari di tempat kerja, bagaimana
suasana psikologis anggotanya, bagaimana mereka bekerja, bagaimana

14
berhubungan dengan atasan, rekan kerja maupun bawahan, bagaimana
menyelesaikan masalah dan lain sebagainya yang merupakan wujud
budaya yang khas bagi setiap organisasi ( diadaptasi dari Djokosantoso
Moeljono, 2004:41).

Bahasan tersebut di atas menunjukkan bahwa yang paling


mendasar dalam reformasi birokrasi guna mewujudkan tata
pemerintahan negara yang mencerminkan Good Govermance adalah
perubahan pada budaya orgsnisasinya.

Dalam buku Budaya Korporat dan Keunggulan Korporasi(2004),


Djokosantoso Moeljono menyatakan budaya organisasi yang
diterapkan di BRI yang berpengaruh terhadap kinerja individu yang
berdampak terhadap kinerja organisasi meliputi : semangat integritas
yang tinggi, profesionalsisme, keteladanan, dan penghargaan pada
sumber daya manusia.

a. Integritas: Bertaqwa, penuh dedikasi, jujur, selalu menjaga


kehormatan dan nama baik, serta taat pada kode etik dan peraturan
yang berlaku.
b. Profesionalisme: bertanggungjawab, efektif, efisien, disiplin, dan
beriorintasi kemasa depan dalam mengantisipasi perkembangan,
tantangan, dan kesempatan.
c. Keteladanan: memberikan panutan yang konsisten, bertindak adil,
bersikap tegas, dan berjiwa besar.
d. Penghargaan pada sumber daya manusia: merekrut,
mengembangkan dan mempertahankan SDM yang berkualitas.
Sekaligus memperlakukan personil berdasarkan kepercayaan,
keterbukaan, keadilan, dan saling menghargai, mengembangkan
sikap kerja sama dan kemitraan, memberikan penghargaan
berdasarkan hasil kerja individu maupun kelompok.

15
Selanjutnya Djokosantoso Moeljono menambahkan bahwa budaya
organisasi yang merupakan nilai-nilai yang diyakini secara umum dapat
berpengaruh terhadap perilaku kinerja individual serta untuk mencapai
tujuan jangka panjang organisasi maka kinerja organisasi secara
universal memerlukan daya dukung dalam bentuk empat pilar, yaitu:

a. Sumber daya manusia yang bermutu.


b. Sistem dan teknologi terpadu.
c. Strategi yang tepat.
d. Dan logistik yang memadai.
3. Mengubah Budaya Organisasi

Peter Bijur(2001) menganggap syarat yang paling utama untuk


menjamin keberhasilan upaya perubahan budaya organisasi adalah
kepemimpinan yang kuat ( strong leadership) baik dalam kemampuan
memimpin dalam ketajaman visinya.

Selanjutnya, Sofian Effendi menyatakan ada (5) faktor yang penting


untuk menyukseskan perubahan budaya orgsnisasi yaitu :

a. Nilai-nilai yang mendukung pencapaian visi yang telah ditetapkan.


b. Motivasi yang mampu memobiliasi dukungan untuk perubahan.
c. Ide dan strategi yang tepat untuk menciptakan lingkungan yang
mampu menyuburkan kebersamaan dalam perumusan ide-ide dan
strategi untuk mendorong perubahan.
d. Tujuan yang jelas serta selalu dikomunikasikan kepada para anggota
organisasi.
e. Etik kinerja yang ditumbuhkan dengan sistem remunerasi dan
penghargaan yang tepat.

Perubahan budaya organisasi adalah ibarat perjalanan panjang yang


melelahkan dan merupakan upaya yang bersifat inkremental, tidak bisa
dicapai melalui gebrakan revolusioner. Budaya organisasi paternalistik

16
menjungkir balikan pemerintah yang berkuasa, seperti yang sedang kita
alami selama beberapa tahun terakhir.
Organisasi yang ingin merubah budayanya harus berani menempuh
jalan yang tidak selalu lurus, dari kondisi stabil, melalui turbulence atau
bahkan chaos, untuk mencapai penyesuaian dengan nilai-nilai, norma-
norma, perilaku dan simbol-simbol budaya baru. Organisasi harus
disiapkan untuk selalu adaptif terhadap perubahan-peruban, harus berani
bereksperimen, harus berani gagal dan harus dapat menyesuaikan diri
dengan unsur-unsur budaya baru, yang diletakkan oleh pimpinan
organisasi.
Walaupun sudah dilakukan dengan komitmen yang tinggi serta
program yang benar, selalu ada resiko perubahan budaya organisasi tidak
berjalan seperti diharapkan, atau dalam kasus ekstrim bertentangan
dengan arah yang diinginkan.

Perubahan budaya orgnisasi adalah proses panjang dan mahal yang


tidak ada jaminan akan sukses. Minimal diperlukan waktu 5 sampai 10
tahun untuk merubah budaya orgsnisasi dengan skala seperti republik
indonesia atau pemerintahan provinsi, kabupaten, dan kota. Karena itu
strategi yang dinjurkan oleh para ahli ( Morgan, 1996 dan Toolpack,
2001) adalah perubahan secara bertahap dan gradual. Memang kurang
revolusioner, kurang radikal tetapi lebih aman.

Mengugat betapa pengaruhnya budaya organisasi terhadap kinerja


individu yang berdampak pada kinerja organisasi, menurut penulis sangat
tepat apabila pemerintah saat ini telah menyiapkan rancangn undang-
undang tentang etika penyelenggara negara sekaligus juga rancangan
undang-undang tentang administrasi pemerintah.

Dari rancangan undang-undang tersebut menunjukkan upaya


membakukan budaya organisasi yang mengikat seluruh komponen
penyelenggara negara dari tingkat pusat hingga ke daerah. Namun

17
persoalanya sekarang adalah bagaimana komitmen dan konsistensi semua
pihak dalam menerapkan semua peraturan yang berlaku.

Jangan sampai pengalaman ini terulang selalu yaitu kurangnya


konsestensi dan komitmen menerapkan suatu peraturan perundang-
undangan, dimana hal tersebut masi terus berlangsung. Terutama
penegakkan hukum yang dirasakan sangat menentukan adanya perubahan
organisasi pemerintah yang ingin dibangun menuju Good Governance.
Membangun budaya organisasi yang mendukung terwujudnya tata
pemerintahan yang baik kiranya akan sulit dicapai, terlebih apabila
sinyalemen ketua muda pengawasan MA (Djoko Sarwoko, jawa pos, 6
desember 2007), benar-benar ada, yaitu k: “sekitar 90 persen hakim
indonesia urup dan suka memproyekkan perkara.”
Djoko Sarwoko juga mengungkapkan pengalamanya dengan
menyatakan: “ sering saya menemukan hakimnya sendiri minta disuap
dan paniteranya jadi perantara.” Belum lagi kalau kita ikuti pemberian
tentang salah satu anggota yudisial yang terlibat tindakan yang tidak
sepatutnya dilakukan.
Penegakan hukum berpengaruh terhadap penerapan sistem nilai-
nilai yang diyakini benar berpengaruh terhadap perilaku kinerja
individual dan berdampa pada kinerja organisasi yang akhirnya dapat
menjadi budaya organisasi. Hal ini didasarkan bahwa suatu sistem nilai-
nilai dapat efektif secara umum melalui tiga tahapan yaitu: pertama,
secara individual anggota organisasi tidak ingin berbuat salah;
selanjutnya kedua, setiap individu anggota organisasi “terbiasa” tidak
berbuat salah; dan ketiga proses selanjutnya setiap individu “malu”
berbuat salah. Apabila telah sampai pada tahap ketiga ini, maka berarti
sitem nilai tersebut telah membudaya pada setiap individu oraganisasi
yang akan berkembang menjadi budaya organisasi yang menjunjung
tinggi kejujuran dan ketaatan pada ketentuan atau sistem nilai yang
berlaku.

18
Tiga tahapan tersebut dapat dijelaskan sebagai berikut. Setiap
individu anggota organisasi awalnya tidak ingin berbuat salah. Ini dapat
terjadi disebabkan karena yang utama diawali adanya sanksi yang jelas
terhadap setiap pelanggaran nilai yang berarti adanya supremasi hukum.
Dalam semua ketentuan yang berlaku sebagai landasan pelaksanaan
tugas.
D. HUBUNGAN MANAJEMEN STRATEGIK DENGAN GOOD
GOVERNANCE

19
BAB III
PENUTUP

A. KESIMPULAN

20

Anda mungkin juga menyukai