NIM : 1183070029
Jur/Smt/Kelas : MKS/4/A
Dari kedua ayat tersebut bisa disimpulkan arti kaidah adalah dasar, asas atau
fondasi, tempat yang diatasnya berdiri bangunan.
Pengertian kaidah semacam ini terdapat pula dalam ilmu-ilmu lain, misalnya
dalam nahwu/gramer bahasa arab seperti maf’ul itu manshub dan fa’il itu marfu. Dari
sini ada unsur penting dalam kaidah yaitu hal yang bersifat kulli (menyeluruh,
general) yang mencakup seluruh bagian-bagiannya. Dengan demikian, maka al-
Qawa’id al-Fiqhiyah (kaidah-kaidah fikih) secar etimologis adalah dasar-dasar atau
asas-asas yang bertalian dengan masalah-masalah atau jenis-jenis fikih.1
1
Asymuni A. Rahman, Qaidah-Qaidah Fiqh, (Jakarta: Bulan Bintang, 1976), cet 2.
2. Objek kajian Kaidah Fikih
Adapun objek bahasan kaidah-kaidah fikih itu adalah perbuatan mukallaf itu
sendiri, dan materi fikih itu sendiri yang dikeluarkan dari kaidah-kidah fikih yang
sudah mapan yang tidak ditemukan nash-nya secara khusus di dalam Al-Qur’an atau
Sunnah atau Ijma (konsesus para ulama).
2
A. Djazuli, Ilmu Fiqh: Penggalian, Perkembangan dan Penerapan Hukum Islam,(Jakarta: Prenada Media, 2005), cet. v, hlm. 17.
(1)Sumber hukum Islam: Al-Qur'an dan Hadis; (2) kemudian muncul ushul fiqh
sebagai metodologi di dalam penarikan hukum (istinbâth al-ahkâm). Dengan
metodologi ushul fiqh yang menggunakan pola pikir deduktif menghasilkan fikih; (3)
Fikih ini banyak materinya. Dari materi fikih yang banyak itu kemudian oleh ulama-
ulama yang di dalam ilmunya di bidang fikih, diteliti persamaannya dengan
menggunakan pola pikir induktif, kemudian dikelompokkan, dan tiap-tiap kelompok
merupakan kumpulan dari masalah-masalah yang serupa, akhirnya disimpulkan
menjadi kaidah-kaidah fikih; (4) Selanjutnya kaidah-kaidah tadi dikritisi kembali
dengan menggumakan banyak ayat dan banyak hadis, terutama untuk dinilai
kesesuaiannya dengan substansi ayat-ayat Al-Qur'an dan hadis nabi; (5) Apabila
sudah di-anggap sesuai dengan ayat Al-Qur'an dan banyak hadis nabi, Baru kaidah
fikih tadi menjadi kaidah fikih yang mapan; (6) Apabila sudah menjadi kaidah yang
mapan/akurat, maka ulama-ulama fikih menggunakan kaidah tadi untuk menjawab
tantangan perkembangan masyarakat, baik di bidang sosial, ekonomi, politik, dan
budaya, akhirnya memunculkan fikih-fikih baru; (7) Oleh karena itu tidaklah
mengherankan apabila ulama memberi fatwa, terutama di dalam hal-hal baru yang
praktis selalu menggunakan kaidah-kaidah fikih, bahkan kekhalifahan Turki Utsmani
di dalam Majalah al-Ahkam al-Adliyah, menggunakan 99 kaidah di dalam membuat
undang-undang tentang akad-akad muamalah dengan 1851 pasal; (8) Seperti telah
disinggung di muka.3
3
A. Djazuli, Signifikansi Kaidah Fikih, dalam Jaih Mubarok, Sejarah dan Kaidah Asasi, (Jakarta: Raja Grafindo
Persada, 2002), cet. I, hlm. vii-xiii.
tumbuh lebih dahulu dari kaidah-kaidah fikih, maka sering kita temukan kaidah-
kaidah itu ada dalam kitab fikih ulama tersebut. Misalnya, Ibnu Qayyim al-Jauziyah
(w. 751H) murid Ibnu Taimiyah dalam kitab fikihnya “I'lâm al-Muwâqi'in 'an Rabb
al-'Âlamîn", memunculkan kaidah:
Ibnu Qayyim dianggap sebagai penemu kaidah tersebut, demikian pula Ibnu
Rusyd (w. 520-595 H) dalam kitab fikihnya Bidâyat al-Mujtahid Wanihayat al-Muqtasid,
sesudah menjelaskan perbedaan pendapat ulama tentang masa kehamilan yang paling
panjang (mudatal-haml), beliau berkesimpulan dengan kaidah:
"Hukum itu wajib dengan apa yang biasa terjadi bukan dengan apa yang jarang
terjadi"5
Dalam kitab al-Kharaj, Abu Yusuf memberi fatwa kepada khalifah Harun al-
Rasyid dengan kata-kata:
4
Ibn Qayyim, al-Jauziyah, I'lâm al-Muwâqi'in 'an Rabb al-'Âlamîn, (Beirut:Dâr al-Jail, t.th), Juz III, hlm. 3.
5
Ibnu Rusyd: Bidâyat al-Mujtahid wa Nihayat al-Muqrashid, (Mesir: Mustafa al-Babi al-Halabi, 1950), Juz II, hlm.
358.
"Tidak ada kewenangan bagi kepala negara (eksekutif) untuk mengambil sesuatu dari
seseorang/penduduk, kecuali atas dasar hukum yang berlaku"
Contoh lainnya:
Kata-kata Imam al-Syafi'i ini setelah dikritisi oleh ulama-ulama lain, terutama
ulama di bidang fiqh siyasah, akhirmya memunculkan kaidah tersebut di atas. Hanya saja
sesudah jadi kaidah fikih yang mapan dan dilegitimasi oleh Al-Qur'an dan Sunnah
(kaidah tadi jadi sumber, dan di bawah kaidah itu dimunculkan kembali fikih bahkan
dikelompokkan lagi, inilah yang kita lihat di dalam kitab-kitab kaidah fikih, setelah
kaidah-kaidah fikih itu dibukukan.
Di dalam proses pengujian kaidah-kaidah fikih oleh Al-Qur'an dan Sunnah sering
bertemu kaidah dengan hadis, maka hadis tersebut jadi kaidah, seperti:
6
Al-Suyuthi: Al-Asybâh wa al-Nazhâir fi Qawâ'id wa Furû' Figh al-Syâfi'î, (Beirut: Dâr al-Kutub al-Ilmiyah, 1399
H/1979 M), cet. I. hlm. 134.
"Bukti/keterangan wajib disampaikan oleh penggugat dan sumpah wajib diberikan oleh
yang mengingkari/tergugat" (HR. Muslim dari Ibnu'Abbas), atau juga hadis:
Apabila penulis menyebut legitimasi kaidah dengan ayat-ayat dan hadis nabi,
maka kaidah:
Kaidah ini berasal dari banyak materi fikih, karena di dalam fikih, nilai suatu
perbuatan tergantung kepada niatnya. Di dalam ibadah, apakah niat ibadah itu wajib atau
7
Ahmad al-Nadwi, hlm. 288, al-dharar: ada manfaat bagi diri sendiri, tapi bagi orang lain memudaratkan, al-dhirar,
tidak ada manfaat bagi diri sendiri dan bagi orang lain memudaratkan.
sunnah, adâan atau qadhâan; dalam muamalah, apakah niat memberi atau meminjamkan;
dalam jinayah apakah kesengajaan (dengan niat) atau kesalahan (tanpa niat) dan
seterusnya. Maka muncul kaidah tersebut di atas. Kaidah tersebut di rujukkan kepada
hadis:
"Setiap perbuatan tergantung niatnya" (HR. Bukhari Muslim dari Umar bin Khattab)
"Diangkat dari umatku (tidak ditulis berdosa) perbuatan karena keliru, lupa, dan
terpaksa" (HR. Ibnu Majah dari Ibnu Abbas)
Tidak cukup sampai di situ tapi juga ditujukan kepada ayat-ayat Al-Qur'an yang
berhubungan dengan niat, seperti surat al-Ahzab ayat 5:
"Dan tidaklah ada dosa atasmu terhadap apa yang kamu khilaf padanya, tetapi (yang
ada dosanya) apa yang disengaja oleh hatimu"
Demikian pula dalam surat an-Nisaa' ayat 92 dan 93 yang menyatakan adanya
pembunuhan karena kesalahan (tanpa niat) dan pembunuhan karena sengaja (dengan
niat). Selain itu juga dirujukkan kepada tujuannya, baik atau buruk, apakah tujuannya
penipuan yang dilarang atau bertujuan baik untuk memberi manfaat kepada manusia.
Dari sini bisa diambil kesimpulan bahwa; Pertama, apabila di rujukkan kepada
hadis, dan ternyata hadis-hadis tadi sama dengan kaidah, maka hadis tadi menjadi kaidah
di kalangan fuqaha. Kedua,kaidah yang dirujukkan kepada pemahaman nash-nash (Al-
Qur'an dan Al-Hadis), maka substansi pemahaman itulah yang jadi kaidah.
Seperti telah disinggung di muka, setelah menjadi kaidah yang mapan, para ulama
mengelompokkan kembali materi-materi fikih yang masuk dalam kaidah tersebut dan
apa-apa yang keluar (kekecualian) sebagai contoh-contoh penerapan kaidah. Misalnya,
dalam kitab al-Asybâh wa al Nazhâir, Imam al-Suyuthi menjelaskan kaidah:
“Niat di dalam sumpah mengkhususkan (yang diucapkan) dengan kata-kata yang umum
dan tidak bisa mengumumkan kata-kata yang khusus"
Dalam kitab al-Qawâ'id fi al-Fiqh, karangan Ibnu Rajab al-Hanbali, ada kaidah
yang berbunyi:
Kaidah ini setelah dikritisi kemudian menjadi kaidah yang dianggap mapan
dengan ungkapan:
Di antara para peneliti di bidang kaidah ushul figh dan kaidah fikih menyatakan
bahwa yang pertama kali membedakan antara kaidah ushul dan kaidah fikih adalah al-
Qurafi (w. 684 H), yang menyatakan bahwa "syariah itu ada dua hal, yaitu ushul dan
furu', sedangkan ushul terbagi dua, yaitu ushul figh dan kaidah-kaidah kuliyah fighiyah"
8
Al-Sayuthi, Op. cit., hlm. 9-56.
Lebih jauh lagi Ali Ahmad al-Nadwi memerinci perbedaan antara kaidah ushul dan
kaidah-kaidah fikih.