Anda di halaman 1dari 12

Nama : Balqis Rizki Permata

NIM : 1183070029

Jur/Smt/Kelas : MKS/4/A

Mata Kuliah : Kaidah-Kaidah Hukum Ekonomi Syariah

Dosen :Dadang Husen Sobana, H. M.Ag.

A. PENGERTIAN KAIDAH FIKIH


1. Definisi Al-Qawai’d al Fiqhiyah (Kaidah Fikih)
Al-Qawa’id bentuk jamak dari kata qaidah (kaidah).para ulama mengartikan
qaidah secara etimologis dan terminologis, (lughatan wa istlahan) dalam arti bahasa,
qaidah bermakna asas, dasar, atau fondasi, baik dalam arti yang konkret maupun yang
abstrak, seperti kata-kata qawa’id al-bait, yang artinya pondasi rumah, qawai’id al-
din, artinya dasar-dasar agama, qawaid al-‘ilin, artinya kaidah-kaidah ilmu. Arti ini
digunakan di dalam Alqur’an surat al-Baqarah ayat 127 dan surat an-Nahl ayat 26.

Dari kedua ayat tersebut bisa disimpulkan arti kaidah adalah dasar, asas atau
fondasi, tempat yang diatasnya berdiri bangunan.
Pengertian kaidah semacam ini terdapat pula dalam ilmu-ilmu lain, misalnya
dalam nahwu/gramer bahasa arab seperti maf’ul itu manshub dan fa’il itu marfu. Dari
sini ada unsur penting dalam kaidah yaitu hal yang bersifat kulli (menyeluruh,
general) yang mencakup seluruh bagian-bagiannya. Dengan demikian, maka al-
Qawa’id al-Fiqhiyah (kaidah-kaidah fikih) secar etimologis adalah dasar-dasar atau
asas-asas yang bertalian dengan masalah-masalah atau jenis-jenis fikih.1
1
Asymuni A. Rahman, Qaidah-Qaidah Fiqh, (Jakarta: Bulan Bintang, 1976), cet 2.
2. Objek kajian Kaidah Fikih

Adapun objek bahasan kaidah-kaidah fikih itu adalah perbuatan mukallaf itu
sendiri, dan materi fikih itu sendiri yang dikeluarkan dari kaidah-kidah fikih yang
sudah mapan yang tidak ditemukan nash-nya secara khusus di dalam Al-Qur’an atau
Sunnah atau Ijma (konsesus para ulama).

3. Manfaat mempelajari Kaidah Fikih

Adapun manfaatnya adalah memberi kemudahan dalam menemukan hukum-


hukum untuk kasus-kasus yang baru dan tidak jelas nash-nya dan memungkinkan
menghubungkannya dengan materi-materi fikih yang lain yang tersebar di berbagai
kitab fikih serta memudahkan di dalam memberi kepastian hukum

4. Hubungan ilmu kaidah Fikih Dengan Ilmu lain


Kaidah fikih adalah bagian dari ilmu fikih. Ia memiliki hubungan erat dengan
Al-Quran, Al-Hadis, Akidah dan Akidah dan Akhlak. Sebab, kaidah-kaidah yang
sudah mapan, sudah dikritisi oleh ulama, dan diuji serta diukur dengan banyak ayat
dan hadis nabi, terutama tentang kesesuaiannya dengan substansinya. Apabila kaidah
fikih tadi bertentangan dengan banyak ayat Al-Qur’an ataupun Hadits yang bersifat
dalil kulli (general) maka dia tidak akan menjadi kaidah yang mapan. Oleh karena itu,
menggunakan kaidah-kaidah fikih yang sudah mapan pada hakikat-nya merujuk
kepada Al-Qur’an dan Hadits, setidaknya, kepada semangat dan kearifan Al-Qur’an
dan Hadis juga.
5. Sejarah perkembangan Kaidah Fikih
Para pembangunan kaidah-kaidah fikih adalah ulama-ulama yang sangat
dalam ilmunya di dalam ilmu fikih (al-rasikuna fi al-furu) sampai muncul Imam Abu
Thahir al Dibasi yang hidup pada akhir abad ke-3 dan awal abad ke-4 Hijriyah, yang
baru mengumpulkan 17 kaidah fikih. Di kalangan tiap mazhab, ada ulama-ulama
yang merupakan tokoh-tokoh di dalam hal kaidah fikih, misalnya dalam mazhab al-
Syafi’I ulama besar Imam ‘Izzudin bin Abd al-Salam (w.660 H), telah menyusun
kitab berjudul Qawa’id al-Ahkam fi Mashalih al-Anam (kaidah-kaidah hukum untuk
kemaslahatan manusia) yang menjelaskan tentang maksud Allah mensyari’atkan
hukum, dan semua kaidah dikembalikan kepada satu kaidah pokok.
Keseluruhan taklif yang tercermin di dalam konsep al-ahkam al khamsah,
(wajib, sunnah, mubah, makruh dan akhirat. Bagaimanapun ketaatan hamba, tidak
akan menambah apa-apa kepada kemahakuasaan dan kemahasemurnaan Allah.
Demikian pula sebaliknya, kemaksiatan hamba tidak akan mengurangi apa pun
terhadap kemahakuasaan dan kemahasempurnaan Allah.
B. PROSES PEMBENTUKAN KAIDAH FIKIH
Sulit diketahui siapa pembentuk pertama kaidah fikih, yang jelas dengan meneliti
kitab-kitab kaidah fikih dan masa hidup penyusunnya, ternyata kaidah fikih tidak
terbentuk sekaligus, tetapi terbentuk secara bertahap dalam proses sejarah hukum Islam.
Walaupun demikian, di kalangan ulama di bidang kaidah fikih menyebutkan bahwa Abu
Thahir al-Dibasi, ulama dari mazhab hanafi, yang hidup di akhir abad ke-3 dan awal abad
ke-4 Hijriyah., telah mengumpulkan kaidah fikih mazhab Hanafi sebanyak 17 kaidah.
Abu Thahir selalu mengulang-ngulang kaidah tersebut di masjid, setelah para jamaah
pulang ke rumahnya masing-masing.
Kemudian Abu Sa’id al-Harawi, seorang ulama mazhab Syafi’I mengunjungi Abu
Thahir dan mencatat kaidah fikih yang dihafalkan oleh Abu Thahir. Di antara kidah
terssebut adalah lima kaidah tersebut di atas. Setelah kurang lebih seratus tahun
kemudian, dating ulama besar Imam Abu Hasan al-Karkhi yang kemudian menambah
kaidah fikih dari Abu Thahir menjadi 37 kaidah.
Dari paparan di atas, jelaslah bahwa kaidah-kaidah fikih muncul pada akhir abad
ke-3 Hijriyah. Seperti kita ketahui dari perkembangan ilmu Islam, bahwa kitab-kitab
tafsir, hadis, ushul fiqh dan kitab-kitab fikih pada masa itu telah cukup banyak. Kedua,
tantangan dan masalah—masalah yang harus dicarikan solusinya juga bertabah terutama
karena telah meluasnya wilayah kekuasaan kaum muslimin masa itu, maka ulama
membutuhkan metode yang mudah untuk menyelesaikan masalah, baru kemudian
muncul kaidah-kaidah fikih.
Proses pembentukan kaidah fiki adalah sebagai berikut:2

2
A. Djazuli, Ilmu Fiqh: Penggalian, Perkembangan dan Penerapan Hukum Islam,(Jakarta: Prenada Media, 2005), cet. v, hlm. 17.
(1)Sumber hukum Islam: Al-Qur'an dan Hadis; (2) kemudian muncul ushul fiqh
sebagai metodologi di dalam penarikan hukum (istinbâth al-ahkâm). Dengan
metodologi ushul fiqh yang menggunakan pola pikir deduktif menghasilkan fikih; (3)
Fikih ini banyak materinya. Dari materi fikih yang banyak itu kemudian oleh ulama-
ulama yang di dalam ilmunya di bidang fikih, diteliti persamaannya dengan
menggunakan pola pikir induktif, kemudian dikelompokkan, dan tiap-tiap kelompok
merupakan kumpulan dari masalah-masalah yang serupa, akhirnya disimpulkan
menjadi kaidah-kaidah fikih; (4) Selanjutnya kaidah-kaidah tadi dikritisi kembali
dengan menggumakan banyak ayat dan banyak hadis, terutama untuk dinilai
kesesuaiannya dengan substansi ayat-ayat Al-Qur'an dan hadis nabi; (5) Apabila
sudah di-anggap sesuai dengan ayat Al-Qur'an dan banyak hadis nabi, Baru kaidah
fikih tadi menjadi kaidah fikih yang mapan; (6) Apabila sudah menjadi kaidah yang
mapan/akurat, maka ulama-ulama fikih menggunakan kaidah tadi untuk menjawab
tantangan perkembangan masyarakat, baik di bidang sosial, ekonomi, politik, dan
budaya, akhirnya memunculkan fikih-fikih baru; (7) Oleh karena itu tidaklah
mengherankan apabila ulama memberi fatwa, terutama di dalam hal-hal baru yang
praktis selalu menggunakan kaidah-kaidah fikih, bahkan kekhalifahan Turki Utsmani
di dalam Majalah al-Ahkam al-Adliyah, menggunakan 99 kaidah di dalam membuat
undang-undang tentang akad-akad muamalah dengan 1851 pasal; (8) Seperti telah
disinggung di muka.3

Dengan menggunakan proses seperti digambarkan di atas, kemudian muncul


kitab-kitab kaidah-kaidah fikih di berbagai mazhab di dalam Islam. Oleh karena fikih

3
A. Djazuli, Signifikansi Kaidah Fikih, dalam Jaih Mubarok, Sejarah dan Kaidah Asasi, (Jakarta: Raja Grafindo
Persada, 2002), cet. I, hlm. vii-xiii.
tumbuh lebih dahulu dari kaidah-kaidah fikih, maka sering kita temukan kaidah-
kaidah itu ada dalam kitab fikih ulama tersebut. Misalnya, Ibnu Qayyim al-Jauziyah
(w. 751H) murid Ibnu Taimiyah dalam kitab fikihnya “I'lâm al-Muwâqi'in 'an Rabb
al-'Âlamîn", memunculkan kaidah:

"Fatwa berubah dan berbeda sesuai dengan perubahan zaman, tempat


keadaan, niat, dan adat kebiasaan"4

Ibnu Qayyim dianggap sebagai penemu kaidah tersebut, demikian pula Ibnu
Rusyd (w. 520-595 H) dalam kitab fikihnya Bidâyat al-Mujtahid Wanihayat al-Muqtasid,
sesudah menjelaskan perbedaan pendapat ulama tentang masa kehamilan yang paling
panjang (mudatal-haml), beliau berkesimpulan dengan kaidah:

"Hukum itu wajib dengan apa yang biasa terjadi bukan dengan apa yang jarang
terjadi"5

Dalam kitab al-Kharaj, Abu Yusuf memberi fatwa kepada khalifah Harun al-
Rasyid dengan kata-kata:

4
Ibn Qayyim, al-Jauziyah, I'lâm al-Muwâqi'in 'an Rabb al-'Âlamîn, (Beirut:Dâr al-Jail, t.th), Juz III, hlm. 3.

5
Ibnu Rusyd: Bidâyat al-Mujtahid wa Nihayat al-Muqrashid, (Mesir: Mustafa al-Babi al-Halabi, 1950), Juz II, hlm.
358.
"Tidak ada kewenangan bagi kepala negara (eksekutif) untuk mengambil sesuatu dari
seseorang/penduduk, kecuali atas dasar hukum yang berlaku"

Contoh lainnya:

"Kebijakan seorang pemimpin terhadap rakyatnya harus berorientasi kepada


kemaslahatannya."6

Kaidah ini berasal dari kata-kata Imam al-Syafi'i yang berbunyi:

"Kedudukan seorang pemimpin terhadap rakyat seperti kedudukan wali anak


yatim"

Kata-kata Imam al-Syafi'i ini setelah dikritisi oleh ulama-ulama lain, terutama
ulama di bidang fiqh siyasah, akhirmya memunculkan kaidah tersebut di atas. Hanya saja
sesudah jadi kaidah fikih yang mapan dan dilegitimasi oleh Al-Qur'an dan Sunnah
(kaidah tadi jadi sumber, dan di bawah kaidah itu dimunculkan kembali fikih bahkan
dikelompokkan lagi, inilah yang kita lihat di dalam kitab-kitab kaidah fikih, setelah
kaidah-kaidah fikih itu dibukukan.

Di dalam proses pengujian kaidah-kaidah fikih oleh Al-Qur'an dan Sunnah sering
bertemu kaidah dengan hadis, maka hadis tersebut jadi kaidah, seperti:

6
Al-Suyuthi: Al-Asybâh wa al-Nazhâir fi Qawâ'id wa Furû' Figh al-Syâfi'î, (Beirut: Dâr al-Kutub al-Ilmiyah, 1399
H/1979 M), cet. I. hlm. 134.
"Bukti/keterangan wajib disampaikan oleh penggugat dan sumpah wajib diberikan oleh
yang mengingkari/tergugat" (HR. Muslim dari Ibnu'Abbas), atau juga hadis:

"Jangan memudaratkan dan jangan dimudaratkan" (HR. al-Hakim)."7

Hadis ini digunakan untuk melegitimasi kaidah:

“Kemudaratan harud dihilangkan.”(salah satu kaidah fikih pokok yang lima)

Apabila mau memunculkan kaidah-kaidah baru di dalam fikih, maka harus


ditelusuri dahulu fikihnya, baru diukur akurasi kaidah tadi dengan banyak ayat dan
banyak hadis, selanjutnya didiskusikan dan dalam ilmunya, baru muncul kaidah diuji
oleh para ulama yang dalam ilmunya, baru muncul kaidah yang mapan. Kaidah yang
sudah mapan ini yang menjadi alat (metode) di dalam menjawab problem-problem di
masyarakat dan memunculkan fikih-fikih baru.

Apabila penulis menyebut legitimasi kaidah dengan ayat-ayat dan hadis nabi,
maka kaidah:

"Segala sesuatu itu tergantung kepada niatnya"

Kaidah ini berasal dari banyak materi fikih, karena di dalam fikih, nilai suatu
perbuatan tergantung kepada niatnya. Di dalam ibadah, apakah niat ibadah itu wajib atau

7
Ahmad al-Nadwi, hlm. 288, al-dharar: ada manfaat bagi diri sendiri, tapi bagi orang lain memudaratkan, al-dhirar,
tidak ada manfaat bagi diri sendiri dan bagi orang lain memudaratkan.
sunnah, adâan atau qadhâan; dalam muamalah, apakah niat memberi atau meminjamkan;
dalam jinayah apakah kesengajaan (dengan niat) atau kesalahan (tanpa niat) dan
seterusnya. Maka muncul kaidah tersebut di atas. Kaidah tersebut di rujukkan kepada
hadis:

"Setiap perbuatan tergantung niatnya" (HR. Bukhari Muslim dari Umar bin Khattab)

Juga kepada Hadis:

"Diangkat dari umatku (tidak ditulis berdosa) perbuatan karena keliru, lupa, dan
terpaksa" (HR. Ibnu Majah dari Ibnu Abbas)

Tidak cukup sampai di situ tapi juga ditujukan kepada ayat-ayat Al-Qur'an yang
berhubungan dengan niat, seperti surat al-Ahzab ayat 5:

"Dan tidaklah ada dosa atasmu terhadap apa yang kamu khilaf padanya, tetapi (yang
ada dosanya) apa yang disengaja oleh hatimu"

Demikian pula dalam surat an-Nisaa' ayat 92 dan 93 yang menyatakan adanya
pembunuhan karena kesalahan (tanpa niat) dan pembunuhan karena sengaja (dengan
niat). Selain itu juga dirujukkan kepada tujuannya, baik atau buruk, apakah tujuannya
penipuan yang dilarang atau bertujuan baik untuk memberi manfaat kepada manusia.

Dari sini bisa diambil kesimpulan bahwa; Pertama, apabila di rujukkan kepada
hadis, dan ternyata hadis-hadis tadi sama dengan kaidah, maka hadis tadi menjadi kaidah
di kalangan fuqaha. Kedua,kaidah yang dirujukkan kepada pemahaman nash-nash (Al-
Qur'an dan Al-Hadis), maka substansi pemahaman itulah yang jadi kaidah.

Seperti telah disinggung di muka, setelah menjadi kaidah yang mapan, para ulama
mengelompokkan kembali materi-materi fikih yang masuk dalam kaidah tersebut dan
apa-apa yang keluar (kekecualian) sebagai contoh-contoh penerapan kaidah. Misalnya,
dalam kitab al-Asybâh wa al Nazhâir, Imam al-Suyuthi menjelaskan kaidah:

"Setiap perkara tergantung kepada niatnya"

Al-Suyuthi, membahas tentang niat dalam rincian bahasan: (1) Kaidah-kaidah


yang menurut penulis adalah melegitimasi kaidah-kaidah dengan menggunakan hadis
nabi; (2) Masalah fikih yang di kelompokkan dan kembali kepada kaidah tersebut, seperti
masalah-masalah ibadah mahdhah, munakahat, dan jinayah; (3) Tentang diperlukannya
niat untuk membedakan antara ibadah dan adat kebiasaan dan masalah fikih yang tidak
diperlukan niat; (4) Takyin niyat/menentukan niat dalam hal perbuatan-perbuatan yang
serupa; (5) Tempatnya adalah di dalam hati, hubungan antara talafuzh (melafazkan niat)
dengan apa ada dalam hati, maka yang dianggap sah adalah apa yang ada di dalam hati;
(6) Syarat-syarat niat: tahu ilmunya, tidak mendatangkan yang bertentangan dengan niat;
(7) Perbedaan pendapat di dalam penerapan niat. Dalam hal ini, dengan mengambil
pendapat al-Rafi'i, al-Suyuthi memunculkan dhabith, yaitu:

“Niat di dalam sumpah mengkhususkan (yang diucapkan) dengan kata-kata yang umum
dan tidak bisa mengumumkan kata-kata yang khusus"

Bersumpah dengan tidak menyebut seseorang, maka harus dijelaskan, yang


diniatkan itu siapa. Tidak sebaliknya yang diniatkan kepada seseorang, maka tidak bisa
digeneralisir; (8) Bahasan tentang kasus-kasus tertentu secara khusus yang tersebar dalam
kitab-kitab fikih mazhab Syafi'i.8

Dalam kitab al-Qawâ'id fi al-Fiqh, karangan Ibnu Rajab al-Hanbali, ada kaidah
yang berbunyi:

"Barangsiapa yang mempercepat haknya atau yang membolehkannya sebelum waktunya


dengan cara yang haram, dihukum dengan keharaman (dilarang) menerima hak
tersebut"

Dikelompokkan kepada kaidah tersebut seperti ahli waris yang membunuh


pewaris, maka dilarang mendapat warisan, menikahi wanita sebelum habis masa iddah-
nya, memburu binatang dalam keadaan ihram.

Kaidah ini setelah dikritisi kemudian menjadi kaidah yang dianggap mapan
dengan ungkapan:

"Barangsiapa yang mempercepat sesuatu sebelum waktunya, diberi sanksi dengan


haramnya hal tersebut"

C. PERBEDAAN KAIDAH USHUL DAN KAIDAH FIKIH

Di antara para peneliti di bidang kaidah ushul figh dan kaidah fikih menyatakan
bahwa yang pertama kali membedakan antara kaidah ushul dan kaidah fikih adalah al-
Qurafi (w. 684 H), yang menyatakan bahwa "syariah itu ada dua hal, yaitu ushul dan
furu', sedangkan ushul terbagi dua, yaitu ushul figh dan kaidah-kaidah kuliyah fighiyah"

8
Al-Sayuthi, Op. cit., hlm. 9-56.
Lebih jauh lagi Ali Ahmad al-Nadwi memerinci perbedaan antara kaidah ushul dan
kaidah-kaidah fikih.

1. Kaidah-kaidah ushul adalah timbangan dan patokan untukmelakukan istinbâth al-


ahkâm secara benar. Dengan ushul figh digali hukum-hukum dari dalil-dalilnya,
seperti hukum asal dari kata perintah (al-amr) adalah wajib, kata-kata larangan
menunjukkan haram.
2. Kaidah ushul figh meliputi semua bagian, sedang kaidah fikih hanya bersifat aglabiyah
(pada umumnya), sehingga banyak sekali pengecualiannya. Dalam hal ini komentar
Jaih Mubarok, penulis kira ada benarnya, yang menyatakan bahwa dalam kaidah ushul
pun ada kekecualiannya.9
3. Kaidah ushul figh adalah cara untuk menggali hukum syara’ yang praktis, sedangkan
kaidah fikih adalah kumpulan hukum-hukum yang serupa yang kembali kepada satu
hukum yang sama. Menurut hemat penulis, kaidah-kaidah fikih pun bisa menjadi cara
untukmenetapkan hukum syara' yang praktis. Sehingga sering terjadi, di samping
menggunakan kaidah-kaidah ushul fiqh juga menggunakan kaidah-kaidah fikih dalam
menentukan hukum terutama dalam penerapan hukum (tathbîq al-ahkâm).
4. Kaidah-kaidah ushul muncul sebelum furu'. Sedangkan kaidah fikih muncul setelah
furu'. Hal inilah yang penulis coba gambarkan di dalam proses pembentukan kaidah-
kaidah fikih.
5. Kaidah-kaidah ushul menjelaskan masalah-masalah yang terkandung di dalam
berbagai macam dalil yang rinci yang memungkinkan dikeluarkan hukum dari dalil-
dalil tersebut. Sedangkan kaidah fikih menjelaskan masalah fikih yang terhimpun di
dalam kaidah tadi.10

DAFTAR PUSTAKA/SUMBER MATERI


1. A. Djazuli. 2006. Kaidah-Kaidah Fikih. (Jakarta: Prenadamedia group).
2. Asymuni A. Rahman. 1976. Qaidah-Qaidah Fiqh, (Jakarta: Bulan Bintang), cet 2.
3. A. Djazuli. 2005. Ilmu Fiqh: Penggalian, Perkembangan dan Penerapan Hukum
Islam,(Jakarta: Prenada Media), cet. v, hlm. 17.
9
Jaih Mubarok, Kaidah Fiqh: Sejarah dan Kaidah Asasi, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2002), cet. I, hlm. 19.
10
Ali al-Nadwi, Op. cit., hlm. 68-69.
4. Djazuli. 2002. Signifikansi Kaidah Fikih, dalam Jaih Mubarok, Sejarah dan
Kaidah Asasi, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2002), cet. I, hlm. vii-xiii.
5. Jaih Mubarok,. 2002. Kaidah Fiqh: Sejarah dan Kaidah Asasi, (Jakarta: Raja
Grafindo Persada,), cet. I, hlm. 19.

Anda mungkin juga menyukai