Anda di halaman 1dari 4

Nama : Muhammad Bayu Anggreyanto

NIM : 1810210074
Kelompok :1
Judul :Hakekat Pendidikan Perspektif Alqur’an

1.

271

2. “Dan (ingatlah), ketika Tuhanmu mengeluarkan keturunan anak-anak Adam dari sulbi
mereka dan Allah mengambil kesaksian terhadap jiwa mereka (seraya berfirman) :
“Bukankah Aku ini Tuhanmu?” Mereka menjawab: “Betul (Engkau Tuhan Kami), kami
menjadi saksi”. (kami lakukan yang demikian itu) agar di hari kiamat kamu tidak
mengatakan: “Sesungguhnya kami (bani adam) adalah orang-orang yang lengah terhadap
ini (keesaan Tuhan)”. (QS. Al-A’raf 172)

Tasir Jalalayn : (Dan) ingatlah (ketika) sewaktu (Tuhanmu ketika mengeluarkan keturunan
anak-anak Adam dari sulbi mereka) menjadi badal isytimal dari lafal sebelumnya dengan
mengulangi huruf jar (yaitu anak cucu mereka) maksudnya dia mengeluarkan sebagian
mereka dari tulang sulbi sebagian lainnya yang berasal dari sulbi Nabi Adam secara turun-
menurun, sebagaimana sekarang mereka beranak-anak mirip dengan jagung di daerah
Nu’man sewaktu hari Arafah/musim jagung. Allah menetapkan pada mereka bukti-bukti yang
menunjukkan ketuhanan-Nya serta Dia memberinya akal (dan Allah mengambil kesaksian
jiwa mereka) seraya berfirman, (“Bukankah Aku Tuhanmu?” Mereka menjawab, “Betul”.)
Engkau adalah Tuhan Kami (kami menjadi saksi) yang demikian itu. Kesaksian itu supaya
jangan (kamu katakan) dengan memakai ya dan ta pada dua tempat, yakni orang-orang kafir
(di hari kiamat kelak, “Sesungguhnya terhadap hal-hal ini) yakni keesaan Tuhan (adalah
orang-orang yang lalai.”) kami tidak mengetahuinya.
Tafsir Quraish Shihab : pada ayat ini Allah menjelaskan kepada umat manusia mengenai
keesaan-Nya melalui bukti-bukti yang terdapat di alam raya, setelah sebelumnya di jelaskan
melalui perantaraan para rasul dan kitab-kitab suci-Nya. Allah berfirman, “ingatlah manusia,
wahai Nabi, saat Tuhanmu mengeluarkan dari sulbi-sulbi anak-anak Adam, keturunannya
yang melahirkan generasi-generasi selanjutnya. Kemudian mereka memberi bukti-bukti
ketuhanan melalui alam raya ciptaan-Nya, sehingga dengan adanya bukti-bukti itu secara
fitrah akal dan hati nurani mereka mengetahui dan mengakui kemahaesaan Tuhan. Karena
begitu banyak jelasnya bukti-bukti keesaan Tuhan di alam raya ini, seakan-akan mereka di
hadapi oleh satu pertanyaan yang tak di bantah, “Bukankah Aku Tuhan kalian?” Mereka
menjawab, “Betul” Engkau adalah Tuhan yang diri Kami sendiri mempersaksikan-Mu.
Dengan demikian, pengetahuan mereka akan bukti-bukti tersebut menjadi suatu bentuk
penegasan, dan dalam waktu yang sama, pengakuan akan kemahaesaan Tuhan. Hal itu kami
lakukan agar di hari kiamat nanti mereka tidak lagi beralasan dengan mengatakan,
“Sesungguhnya kami tak tahu apa-apa mengenai keesaan Tuhan ini.”
Asbabun nuzul : Imam Abu Ja'far ibnu Jarir rahimahullah mengatakan, telah men-ceritakan
kepada kami Yunus ibnu Abdul A'la, telah menceritakan kepada kami Ibnu Wahb, telah
menceritakan kepadaku As-Sirri ibnu Yahya, bahwa At-Hasan ibnu Abul Hasan pernah
menceritakan hadits berikut kepada mereka, dari Al-Aswad ibnu Sari’, dari kalangan Bani
Sa'd yang menceritakan bahwa ia ikut berperang bersama Rasulullah Shollallohu alaihi wa
sallam sebanyak empat kali. Ia melanjutkan kisahnya, "Lalu kaum (pasukan kaum muslim)
membunuh anak-anak sesudah mereka membunuh pasukannya. Ketika berita itu sampai
kepada Rasulullah Shollallohu alaihi wa sallam, maka hal itu terasa berat olehnya, kemudian
beliau bersabda, 'Apakah gerangan yang telah terjadi pada kaum sehingga mereka tega
membunuh anak-anak?' Maka ada seorang lelaki (dari pasukan kaum muslim) bertanya,
'Bukankah mereka adalah anak-anak orang-orang musyrik, wahai Rasulullah Shollallohu
alaihi wa sallam?' Rasulullah Shollallohu alaihi wa sallam menjawab melalui sabdanya:
Sesungguhnya orang-orang yang terpilih dari kalian pun adalah anak-anak orang-orang
musyrik. Ingatlah, sesungguhnya tidak ada seorang anak pun yang dilahirkan melainkan ia
dilahirkan dalam keadaan suci. Ia masih tetap dalam keadaan suci hingga lisannya dapat
berbicara, lalu kedua orang tuanyalah yang menjadikannya sebagai orang Yahudi atau orang
Nasrani'.” Al-Hasan mengatakan, "Demi Allah, sesungguhnya Allah Subhanahu wa ta’ala
telah berfirman di dalam Kitab-Nya: “Dan (ingatlah) ketika Tuhanmu mengeluarkan
keturunan anak-anak Adam dari sulbi mereka. (Al-A'raf: 172) hingga akhir ayat"
3. Kalangan ahli berpendidikan berpendapat, secara pedagogis manusia dapat di sebut sebagai
homo-educandum, yakni makhluk yang dapat di didik. Pendidikan seyogyanya berusaha
untuk mengembangkan potensi manusia secara baik dan benar, yaitu sesuai dengan fitrahnya. 1
Kata ( ) Akhadza yang artinya mengambil menurut Thabathaba’i mengisyaratkan adanya
pemisahan dari sesuatu sehingga yang diambil itu terpisah dari asalnya serta menunjukkan
adanya kemandirian yang diambil. Makna kata ini dapat berbeda masing-masing sesuai
dengan konteks pengambilan. Mengambil sesuap makanan, atan secangkir air, berbeda
dengan mengambil harta atau barang dari si A yang merampasnya, atau dari dermawan atau
penjual, demikian juga mengambil ilmu dari guru, dan lainlain.
Lanjutan ayat diatas yaitu kata Azh-Zhuhur: Jamak dari zhahr (punggung), yaitu bagian badan
yang terdapat padanya tulang belakang dari kerangka manusia, yang merupakan tiang dari
bangunan tubuhnya. Oleh karenanya, zahr bia dipakai untuk menyatakan seluruh tubuh. Kata
Adz-Dzurriyyah: keturunan manusia,baik lelaki maupun perempuan. Makna kata ini
menjelaskan jenis pengambilan itu yakni pengambilan Tuhan dari putraputri Adam dan itu
dari punggung-punggung mereka. Ini berarti ada sesuatu yang diambil dari putra-putri Adam,
tetapi itu tidak mengurangi bentuk kesempurnaan dan kemandirian yang diambil darinya.
Asy-Syahadah (kesaksian), Menurut Wahbah Zuhaili dalam tafsir al-Munir kata Asy-
syahadah mempunyai dua makna kesaksian.2 Pertama; kesaksian secara qauliyah
(perkataan), Kedua; kesaksian secara haliyah (tingkah laku)‫ز‬
Dan ingatlah, ketika Tuhanmu mengeluarkan dari putra-putri Adam masing-masing dari
punggung yakni sulbi orang tua mereka kemudian meletakkannya di rahim ibu-ibu mereka
sampai akhirnya menjadikannya keturunan mereka manusia sempurna, dan Dia yakni Allah
mempersaksikan mereka putra-putri Adam itu atas diri mereka sendiri yakni meminta
pengakuan mereka masing-masing melalui potensi yang dianugerahkan Allah kepada mereka
yakni akal mereka, juga melalui penghamparan bukti keesaan-Nya di alam raya dan
pengutusan para Nabi seraya berfirman: “‘bukankah Aku Tuhan pemilihara kamu dan yang

1
A Yunus. “Memahami Hakekat Pendidikan Islam”. UIN Bandung. Vol. XXXIV.2010
2
Drs. Anwar Rasyidi dkk. Semarang: Toha Putra, 1987, hlm. 188.
selalu berbuat baik kepada kamu?’ mereka menjawab : ‘betul !, kami menyaksikan bahwa
Engkau adalah Tuhan kami dan menyaksikan pula bahwa engkau maha Esa’”.

Selanjutnya, mengapa dalam perjanjian manusia bersaksi dihadapan Allah yang tertera
dalam firmannya menggunakan kata balaa bukan na’am. Menurut Ibn Abbas kalau manusia
menjawab na’am (ya), maka manusia itu kafir karena bila di jawab dengan kata na’am maka
maknanya menjadi “ ya, Kamu bukan Tuhan kami”. Berbeda dengan kata bala, karena kata
bala merupakan huruf jawab, jadi maknanya “ betul Kamu Tuhan kami”.3
Kemudian seakan-akan ada yang bertanya : “ mengapa Engkau lakukan demikian wahai
Tuhan? ” Allah menjawab” yang pertama, Kami lakukan yang demikian itu agar di hari kiamat
nanti kamu wahai yang menginkari keesaan-Ku tidak berkata : “ sesungguhnya kami adalah
orangorang yang lengah terhadap ini”. Yakni kalau kami tidak melakukan hal tersebut, maka
mereka akan berkata : “ kami tidak tahu, atau kami lengah karena tidak ada petunjuk yang
kami peroleh menyangkut wujud dan keesaan Allah. Tidaklah wajar orang yang tidak tahu
atau lengah dimintai pertanggungjawaban. Nah, supaya tidak ada dalih semacam ini, Allah
mengambil dari mereka kesaksian dalam arti memberikan kepada setiap insan potensi dan
kemampuan untuk menyaksikan keesaan Allah bahkan menciptakan mereka dalam keadaan
memiliki fitrah kesucian dan pengakuan akan keesaan Allah.
Dilihat dari sisi ini, ini berarti bahwa Allah sudah menjadikan fitrah manusia di tambah
dengan fenomena-fenomena alam menyampaikan mereka kepada kebenaran dan mengakui
bahwa Allah-lah yang menjadikan alam semesta ini. Dan setiap jiwa berkata dan bersaksi
dalam kandungan mereka masing-masing ketika ada pertanyaan, “ bukankah Aku ini adalah
benar Tuhan kalian?” “ benar, kami bersaksi bahwa Engkau adalah benar Tuhan kami yang
berhak untuk disembah.” Kami lakukan yang demikian itu agar di hari kiamat kalian tidak
mengatakan “ sesungguhnya tidak pernah datang kepada kami seorang pun yang
mengingatkan kami untuk bertauhid dan kami tidak tahu bahwa engkau adalah satu-satunya
Tuhan kami yang tidak ada sekutu-Nya.

4. Al-Qur’an secara detail menjelaskan mengenai proses dan eksistensi manusia sebagai
makhluk hidup yang mempunyai potensi dan kecerdasan dibanding makhluk lainnya.
Secara garis besar teori pendidikan dilatarbelakangi oleh aliran Empirisme, Nativisme,
Konvergensi. Aliran Empirisme menjelaskan bahwa pembentukan dan perkembangan
manusia dalam menerima informasi dan pendidikan ditentukan oleh faktor lingkungan. Aliran
Nativisme berpendapat bahwa perkembangan kepribadian setiap individu hanya ditentukan
oleh bawaan (kemampuan dasar) bakat serta faktor dalam bersifat kodrati. Teori Konvergensi
merupakan teori perpaduan, dimana menjelaskan bahwa perkembangan manusia dipengaruhi
oleh faktor bakat/kemampuan dasar dan alam sekitar.4
Darwis Hude menjelaskan bahwa potensi fitrah yang terdapat dalam Al-qur‟an dan hadits
adalah potensi sejak lahir dan diaktualisasikan dalam kehidupan baik dengan kehidupan
personal, alam dan sosial. Dengan interaksi melalui lingkungan menjadikan peluang potensi
manusia menjadi berkembang karena adanya konektivitas dan intensitas antara potensi
bawaan dan potensi lingkungan.
Potensi (fitrah) yang dijelaskan Al-Qur‟an berbeda dengan teori Jhon Luck yaitu teori
Tabularasa. Dalam teori tersebut setiap anak yang terlahir bagaikan kertas kosong,
lingkungan yang akan mengisi potensi tersebut. Sedangkan Al-Qur‟an menjelaskan bahwa
setiap anak yang terlahir telah membawa potensi (fitrah) tauhid atau agama, kemudian

3
Ahmad Nur Fuad. “Penafsiran Ulama’ Tentang Surat Al-‘Araf Ayat 172”. UIN JEMBER
4
Aas Siti Solichah. “Teori-teori dalam Pendidikan”. Jurnal Pendidikan Islam, Vol VII/1, hal.30-31
lingkungan keluarga, sekolah dan masyarakat yang melengkapi dan membentuk lebih lanjut
potensi tersebut.
Menurut Mohamed pemahaman mengenai fitrah manusia dan bagaimana kemampuannya
untuk berkembang dapat dikelompokkan menjadi empat. Pertama, fatalis-pasif pelopornya
adalah Ibn Mubarok, Abdul Qadir Jailani, dan al-Azhari menjelaskan bahwa setiap individu
melalui ketetapan Allah adalah baik atau buruk secara asal, baik ketetapan ini terjadi sebagian
atau keseluruhan. Kedua netral-pasif tokoh aliran ini adalah ibnu Abd al-Baar menjelaskan
bahwa setiap individu lahir dalam keadaan suci, utuh dan sempurna suatu keadaan kosong
sebagaimana adanya, tanpa kesadaran akan iman atau kufur atau jahat. Teori ini sama dengan
teori tabularasa. Ketiga, Positif-aktif, tokoh aliran ini adalah Ibnu Taimiyah, Ibnu Qayyim al-
Jauziyah, aliran ini menjelaskan bahwa bawaan setiap individu adalah baik adapun kejahatan
adalah Aksidental. Keempat Dualis aktif tokoh aliran ini adalah Sayyid Qutb al-Jamaly dan
‘Ali Shari’ati aliran ini menjelaskan bahwa potensi setiap individu disatu sisi cenderung
kepada kejahatan dan cenderung kepada kebaikan. sifat dualis ini sama-sama aktif dalam
keadaan setara.
Teori Alqur’an tentang pendidikan menjelaskan bahwa hakekat pendidikan yang di miliki
manusia berasal dari fitrah, dalam firman Allah Q.S. Al-‘Araf di paparkan Bahwa Allah SWT
mengadakan perjanjian dengan Manusia mengenai keesaan Allah sebagai Tuhan-Nya. Bentuk
pendidikan langsung dari Allah SWT dengan roh dan jiwa manusia. Dalam teori pendidikan
barat, pendidikan berasal dari lingkungannnya, Kemampuan dasar (sejak lahir) yang telah di
berikan Allah SWT.

Anda mungkin juga menyukai