Anda di halaman 1dari 3

3. Bagaimana Patofisiologi dari reaksi hipersensitivitas ?

Jawaban :
Hipersensitivitas Tipe I (Hipersensitivitas Tipe Cepat Atau Anafilataksis)
Reaksi hipersensitivitas tipe I merupakan reaksi alergi yang terjadi karena terpapar
antigen spesifik yang dikenal sebagai alergen. Dapat terpapar dengan cara ditelan,
dihirup, disuntik ataupun kontak langsung. Perbedaan antara respon imun
normal dan hipersensitivitas tipe I adalah adanya sekresi IgE yang dihasilkan oleh
sel plasma. Antibodi ini akan berikatan dengan respetor Fc pada permukaan jaringan
sel mast dan basofil. Sel mast dan basofil yang dilapisi oleh IgE akan
tersensitisasi (fase sensitisasi). Karena sel B memerlukan waktu untuk
menghasilkan IgE, maka pada kontak pertama, tidak terjadi apa-apa. Waktu yang
diperlukan bervariasi dari 15-30 menit hingga 10-20 jam. Adanya alergen pada
kontak pertama menstimulasi sel B untuk memproduksi antibodi, yaitu IgE.
IgE kemudian masuk ke aliran darah dan berikatan dengan reseptor di sel mast dan
basofil sehingga sel mast atau basofil menjadi tersensitisasi. Pada saat kontak ulang
dengan alergen, maka alergen akan berikatan dengan IgE yang berikatandengan
antibodi di sel mast atau basofil serta menyebabkan terjadinya degranulasi.
Degranulasi menyebakan pelepasan mediator inflamasi primer dan sekunder.
Mediator primer menyebabkan eosinofil dan neutrofil serta menstimulasi
terjadinya urtikaria, vasodilatasi, meningkatnya permiabilitas vaskular,
Sedangkan mediator sekunder menyebakan menyebakan peningkatan pelepasan
metabolit asam arakidonat (prostaglandin dan leukotrien) and protein (sitokin and
enzim). Mediator kimiawi yang dilepaskan juga menimbulkan hipersekresi sekret dan
menyebakan bunyi stridor. Secara garis besar Hipersensitivitas dibagi menjadi tiga
fase yaitu :
1. Fase sensitisasi: waktu yang dibutuhkan untuk pembentukan IgE sampai
diikat oleh reseptor spesifik (Fce-R) pada permukaan sel mast & basofil
2. Fase aktivasi: waktu yg diperlukan antara pajanan ulang dengan antigen
spesifik & sel mast melepas isinya yang berisi granul yang menimbulkan
reaksi
3. Fase efektor: waktu terjadi respons kompleks (anafilaksis) sebagai efek
mediator yang dilepas sel mast dengan aktivitas farmakologik.
Hipersensitivitas Tipe II (Reaksi Sitotoksik Yang Memerlukan Bantuan
Antibodi)

Penggolongan reaksi hipersensitivitas semula didasarkan atas perbedaan mekanisme


kerusakan jaringan yang diakibatkannya. Baik reaksi tipe II maupun reaksi tipe III
melibatkan IgG dan IgM. Perbedaannya adalah bahwa pada reaksi tipe II antibodi
ditujukan kepada antigen yang terdapat pada permukaan sel atau jaringan tertentu,
sedangkan pada reaksi tipe III antibodi ditujukan kepada antigen yang terlarut dalam
serum. Jadi pada reaksi tipe II, antibodi dalam serum bereaksi dengan antigen yang
berada pada permukaan suatu sel atau yang merupakan komponen membran sel
tertentu yang menampilkan antigen bersangkutan. Prinsip dari reaksi hipersensitivitas
tipe II adalah adanya mediasi dari antibodi untuk menyebabkan sitolitik pada sel
terinfeksi melalui opsonisasi antigen yang menempel pada permukaan membran sel.
Kasus pada pemicu akibat adanya pengaruh obat bisa menjadi reaksi hipersensitivitas
tipe II melalui adanya pembentukan kompleks antigen-antibodi.
Berikut adalah beberapa jenis mekanisme hipersensitivitas tipe II:

1. Opsonisasi dan Fagositosis yang diperantarai Komplemen dan Fc Receptor


Sel-sel yang menjadi target antibodi  diopsonisasi oleh molekul-molekul  yang
mampu menarik fagosit, sehingga sel-sel tersebut mengalami deplesi. Saat antibodi
(IgG/IgM) terikat pada permukaan sel, terjadi pengaktifan sistem komplemen.
Aktivasi komplemen terutama menghasilkan C3b dan C4b, yang akan terikat pada
permukaan sel. C3b dan C4b ini akan dikenali oleh fagosit yang mengekspresikan
reseptor C3b dan C4b. Sebagai tambahan, sel-sel yang di-opsonisasi oleh antibodi
IgG dikenali oleh fagosit reseptor Fc.  Hasil akhirnya yaitu fagositosis dari sel yang
di-opsonisasi, kemudian sel tersebut dihancurkan. Aktivasi komplemen juga
menyebabkan terbentuknya membrane attack complex, yang mengganggu integritas
membran dengan membuat ‘lubang-lubang’ menembus lipid bilayer, sehingga terjadi
lisis osmotik sel.
2. Inflamasi yang diperantarai Komplemen dan Fc Receptor
Saat antibodi terikat pada jaringan ekstraselular (membran basal dan matriks),
kerusakan yang dihasilkan merupakan akibat dari inflamasi, bukan fagositosis/lisis
sel. Antibodi yang terikat tersebut akan mengaktifkan komplemen, yang selanjutnya
menghasilkan terutama C5a (yang menarik neutrofil dan monosit). Sel yang sama
juga berikatan dengan antibodi melalui reseptor Fc. Leukosit aktif, melepaskan
bahan-bahan perusak (enzim dan intermediate oksigen reaktif), sehingga
menghasilkan kerusakan jaringan. Reaksi ini berperan pada glomerulonefritis
dan vascular rejection dalam organ grafts.

3.       Disfungsi sel yang diperantarai oleh antibody

Pada beberapa kasus, antibodi yang diarahkan untuk melawan reseptor permukaan sel
merusak atau mengacaukan fungsi tanpa menyebabkan jejas sel atau inflamasi. Oleh
karena itu, pada miastenia gravis, antibodi terhadap reseptor asetilkolin dalam motor
end-plate otot-otot rangka mengganggu transmisi neuromuskular disertai kelemahan
otot.

Anda mungkin juga menyukai