Hipertensi adalah salah satu penyebab utama mortalitas dan morbiditas di Indonesia,
sehingga tatalaksana penyakit ini merupakan intervensi yang sangat umum dilakukan diberbagai
tingkat fasilitas kesehatan. Pedoman Praktis klinis ini disusun untuk memudahkan para tenaga
kesehatan di Indonesia dalam menangani hipertensi terutama yang berkaitan dengan kelainan
jantung dan pembuluh darah.
2.1 Definisi
Hipertensi atau tekanan darah tinggi adalah peningkatan tekanan darah sistolik lebih dari
140 mmHg dan tekanan darah diastolik lebih dari 90 mmHg pada dua kali pengukuran dengan
selang waktu lima menit dalam keadaan cukup istirahat/tenang. Peningkatan tekanan darah yang
berlangsung dalam jangka waktu lama (persisten) dapat menimbulkan kerusakan pada ginjal
(gagal ginjal), jantung (penyakit jantung koroner) dan otak (menyebabkan stroke) bila tidak
dideteksi secara dini dan mendapat pengobatan yang memadai. Banyak pasien hipertensi dengan
tekanan darah tidak terkontrol dan jumlahnya terus meningkat. Oleh karena itu, partisipasi semua
pihak, baik dokter dari berbagai bidang peminatan hipertensi, pemerintah, swasta maupun
masyarakat diperlukan agar hipertensi dapat dikendalikan.
2.2 Etiologi
2.3 Klasifikasi
Menurut WHO (2013), batas normal tekanan darah adalah tekanan darah sistolik kurang
dari 120 mmHg dan tekanan darah diastolik kurang dari 80 mmHg. Seseorang yang dikatakan
hipertensi bila tekanan darah sistolik lebih dari 140 mmHg dan tekanan diastolik lebih dari 90
mmHg. Berdasarkan The Joint National Commite VIII (2014) tekanan darah dapat
diklasifikasikan berdasarkan usia dan penyakit tertentu. Diantaranya adalah:
2.5 Patofisiologi
Penyebab terjadinya hipertensi disebabkan oleh berabagai faktor dan tidak bisa diterangkan
hanya dengan satu faktor penyebab. Pada akhirnya kesemuaanya itu akan menyangkut
kendali natrium di ginjal sehingga tekanan darah meningkat. Ada empat faktor yang
mendominasi terjadinya hipertensi :
Peran volume intravaskular
Menurut Kaplan tekanan darah tinggi adalah hasil interaksi antara cardiac
output (CO) atau curah jantung (CJ) dan total peripheral resisten (TPR) yang
masing-masing dipengaruhi oleh beberapa faktor. Volume intravaskular
merupakan komponen utama dalam menjaga kestabilan tekanan darah dari waktu
ke waktu. Tergantung keadaan TPR dalam posisi vasodilatasi atau vasokonstriksi.
Bila asupan NaCl meningkat, maka ginjal akan merespons agar ekskresi garam
keluar bersama urine ini juga akan meningkat. Tetapi bila upaya mengekskresi
NaCl ini melebihi ambang kemampuan ginjal, maka ginjal akan meretensi H2O
sehingga volume intravaskular meningkat.
Pada gilirannya CO akan meningkat. Akibatnya terjadi ekspansi volume
intravaskular, sehingga tekanan darah akan meningkat. Seiring dengan perjalanan
waktu TPR juga akan meningkat, lalu secara berangsur CO akan turun menjadi
normal lagi akibat autoregulasi. Bila TPR vasodilatasi tekanan darah akan
menururn, sebaliknya bila TPR vasokonstriksi tekanan darah akan meningkat.
Terdapat beberapa data hasil percobaan klinik yang membuktikan bahwa semua kelas obat
antihipertensi, seperti angiotensin converting enzim ihibitor (ACEI), angiotensin reseptor
blocker (ARB), beta-blocker (BB), calsium channel blocker (CCB), dan diuretik jenis
tiazide dapat menurunkan komplikasi hipertensi yang berupa kerusakan organ target.
Diuretik jenis tiazide telah menjadi dasar pengobatan antihipertensi pada hampir semua
hasil percobaan. Percobaan percobaan tersebut sesuai dengan percobaan yang telah
dipublikasikan baru-baru ini oleh Antihipertensive and Lipid Lowering Treatment to
Prevent Heart Attack Trial (ALLHAT) yang juga memperlihatkan bahwa diuretik tidak
dapat dibandingkan dengan kelas antihipertensi lainnya dalam pencegahan komplikasi
kardiovaskuler.
Betablocker
Betablocker merupakan obat pilihan pertama dalam tatalaksana hipertensi pada pasien
dengan penyakit jantung koroner terutama yang menyebabkan timbulnya gejala angina.
Obat ini akan bekerja mengurangi iskemia dan angina, karena efek utamanya sebagai
inotropik dan kronotropik negative. Dengan menurunnya frekuensi denyut jantung maka
waktu pengisian diastolik untuk perfusi koroner akan memanjang. Betablocker juga
menghambat pelepasan renin di ginjal yang akan menghambat terjadinya gagal jantung.
Betablocker cardioselective (β1) lebih banyak direkomendasikan karena tidak memiliki
aktifitas simpatomimetik intrinsik.
Diuretik
Diuretik golongan tiazid, akan mengurangi risiko kejadian kardiovaskular, seperti yang
telah dinyatakan beberapa penelitian terdahulu, sepertiVeterans Administrations Studies,
MRC dan SHEP.
Nitrat
Indikasi pemberian nitrat kerja panjang adalah untuk tatalaksana angina yang belum
terkontrol dengan dosis betablocker dan CCB yang adekuat pada pasien dengan penyakit
jantung koroner. Tetapi sampai saat ini tidak ada data yang mengatakan penggunaan nitrat
dalam tatalaksana hipertensi, selain dikombinasikan dengan hidralazin pada kasus-kasus
tertentu.
Menjalani pola hidup sehat telah banyak terbukti dapat menurunkan tekanan darah, dan
secara umum sangat menguntungkan dalam menurunkan risiko permasalahan
kardiovaskular. Pada pasien yang menderita hipertensi derajat 1, tanpa faktor risiko
kardiovaskular lain, maka strategi pola hidup sehat merupakan tatalaksana tahap awal,
yang harus dijalani setidaknya selama 4 – 6 bulan. Bila setelah jangka waktu tersebut, tidak
didapatkan penurunan tekanan darah yang diharapkan atau didapatkan faktor risiko
kardiovaskular yang lain, maka sangat dianjurkan untuk memulai terapi farmakologi.
Beberapa pola hidup sehat yang dianjurkan oleh banyak guidelines INA heart 2015 adalah
:
Penurunan berat badan.
Mengganti makanan tidak sehat dengan memperbanyak asupan sayuran dan buah-
buahan dapat memberikan manfaat yang lebih selain penurunan tekanan darah,
seperti menghindari diabetes dan dislipidemia.
Mengurangi asupan garam.
Di negara kita, makanan tinggi garam dan lemak merupakan makanan tradisional
pada kebanyakan daerah. Tidak jarang pula pasien tidak menyadari kandungan
garam pada makanan cepat saji, makanan kaleng, daging olahan dan sebagainya.
Tidak jarang, diet rendah garam ini juga bermanfaat untuk mengurangi dosis obat
antihipertensi pada pasien hipertensi derajat ≥ 2. Dianjurkan untuk asupan garam
tidak melebihi 2 gr/ hari
Olah raga.
Olah raga yang dilakukan secara teratur sebanyak 30 – 60 menit/ hari, minimal 3
hari/ minggu, dapat menolong penurunan tekanan darah. Terhadap pasien yang
tidak memiliki waktu untuk berolahraga secara khusus, sebaiknya harus tetap
dianjurkan untuk berjalan kaki, mengendarai sepeda atau menaiki tangga dalam
aktifitas rutin mereka di tempat kerjanya.
Mengurangi konsumsi alkohol.
Walaupun konsumsi alcohol belum menjadi pola hidup yang umum di negara kita,
namun konsumsi alkohol semakin hari semakin meningkat seiring dengan
perkembangan pergaulan dan gaya hidup, terutama di kota besar. Konsumsi
alcohol lebih dari 2 gelas per hari pada pria atau 1 gelas per hari pada wanita, dapat
meningkatkan tekanan darah. Dengan demikian membatasi atau menghentikan
konsumsi alcohol sangat membantu dalam penurunan tekanan darah.
Berhenti merokok.
Walaupun hal ini sampai saat ini belum terbukti berefek langsung dapat
menurunkan tekanan darah, tetapi merokok merupakan salah satu faktor risiko
utama penyakit kardiovaskular, dan pasien sebaiknya dianjurkan untuk berhenti
merokok.
2.8 Komplikasi
Kerusakan organ tubuh akibat hipertensi dapat diakibatkan secara langsung
maupun tidak langsung. Penyebab kerusakan organ-organ tersebut dapat akibat
langsung dari kenaikan tekanan darah pada organ, atau karena efek tidak langsung,
antara lain adanya autoantibodi terhadap reseptor angiotensin II, stress oksidatif,
down regulation, dan lain-lain. Penelitian lain juga membuktikan bahwa diet tinggi
garam dan sensitivitas terhadap garam berperan besar dalam timbulnya kerusakan
organ target, misalnya kerusakan pembuluh darah akibat meningkatnya ekspresi
Transforming Growth Factor-β (TGF-β).
Komplikasi hipertensi ringan dan sedang yang terjadi adalah pada mata,
ginjal, jantung, dan otak. Pada mata berupa pendarahan retina, gangguan
penglihatan sampai kebutaan. Gagal jantung merupakan kelainan yang sering
ditemukan pada hipertensi berat di samping kelainan koroner dan miokard. Pada
otak sering terjadi pendarahan yang disebabkan oleh pecahnya mikroaneurisma
yang dapat mengakibatkan kematian. Kelainan lain yang dapat terjadi adalah
proses tromboemboli dan serangan iskemia otak sementara (transiet ischemic
attack). Gagal ginjal sering dijumpai sebagai komplikasi hipertensi yang lama dan
pada proses akut seperti pada hipertensi maligna
Daftar pustaka:
Departemen Kesehatan Republik Indonesia.2008. Pedoman Surveilans Penyakit
Jantung dan Pembuluh Darah. Jakarta: Departemen Kesehatan Republik
Indonesia.
Departemen Kesehatan Republik Indonesia.2008. Pedoman Teknis Penemuan dan
Tatalaksana Penyakit Hipertensi. Jakarta: Departemen Kesehatan Republik
Indonesia
Kaplan NM.2010. Primary Hipertension: pathogenesis. Kaplan’s clinical
Hypertension. 10th edition. Philadelphia: Lippincot Williams & Wilkins. .
Kemenkes RI.2104 Hipertensi. Infodatin Pusat Data dan Informasi Kementrian
kesehatan RI.
National Institutes of Health.2004. The Seventh Report of the Joint National
Committee on Prevention, Detection Evaluation, and Treatment of High Blood
Pressure. Atlanta: U. S. Department of Health and Human Services.
Perhimpunan Dokter Spesialis Kardiovaskular Indonesia (PERKI). (2015).
Pedoman Tatalaksana Hipertensi Pada Penyakit Kardiovaskular (Edisi Pertama).
[internet] diakses pada November 19, 2019.
http://www.inaheart.org/upload/file/Pedoman_TataLaksna_hipertensi_pada_peny
akit_Kardiovaskular_2015.pdf
Price, S. A., & Wilson, L. M. (2006). Patofisiologi: Konsep Klinis ProsesProses
Penyakit. (6th Edition). Jakarta: EGC
Yogiantoro, M.2006. Hipertensi Esensial. Jakarta: Departemen Ilmu Penyakit
Dalam FKUI.