Anda di halaman 1dari 31

Referat

TUMOR SINONASAL

Oleh:

Khoirunnisa Sarabayan Pazka G1A218036

Dhea Ersa Lestari G1A219074

Fatma Aperta Daswat G1A219086

Pembimbing

dr.Angga Pramuja, Sp.THT – KL

KEPANITRAAN KLINIK SENIOR BAGIAN ILMU THT-KL

FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU KESEHATAN

UNIVERSITAS JAMBI

RSUD RADEN MATTAHER PROVINSI JAMBI

2020
BAB I

PENDAHULUAN

Tumor sinonasal adalah penyakit di mana terjadinya pertumbuhan sel pada


sinus paranasal dan rongga hidung. Lokasi hidung dan sinus paranasal (sinonasal)
merupakan rongga yang dibatasi oleh tulang-tulang wajah yang merupakan daerah
yang terlindung sehingga tumor yang timbul di daerah ini sulit diketahui secara
dini. Tumor jinak pada hidung dan sinus paranasal sering ditemukan, tetapi tumor
yang ganas termasuk jarang, hanya 3% dari tumor kepala dan leher atau kurang
dari 1% dari seluruh tumor ganas. Gejala-gejala dan tanda klinis semua tumor
hidung dan sinus paranasal hampir mirip sehingga seringkali hanya pemeriksaan
histopatologi saja yang dapat menentukan jenisnya.1,2,3

Karsinoma sinonasal banyak terjadi di negara berkembang. Di bagian Asia,


keganasan sinonasal adalah peringkat kedua yang paling umum setelah karsinoma
nasofaring. Insiden tertinggi di keganasan sinonasal ditemukan di Jepang yaitu 2
sampai 3,6 per 100.000 penduduk pertahun. Di Departemen THT FK UI RS Cipto
Mangunkusumo, keganasan ini ditemukan pada 10-15% dari seluruh tumor ganas
THT. Pria yang terkena 1,5 kali lebih sering dibandingkan wanita,dan 80% dari
tumor ini terjadi pada orang berusia 45-85 tahun. Sekitar 60-70% dari keganasan
sinonasal terjadi pada sinus maksilaris dan 20-30% terjadi pada rongga hidung
sendiri. Diperkirakan 10-15% terjadi pada sel-sel udara ethmoid (sinus), dan 1%
ditemukan di sinus frontal dan sphenoid. Karsinoma sel skuamosa adalah jenis
yang paling banyak terjadi (70%), disusul oleh karsinoma tanpa differensiasi dan
tumor asal kelenjar.1,2,4
Lokasi rongga hidung dan sinus paranasal membuat tumor sangat dekat
dengan struktur vital. Masalah ini diperburuk oleh fakta bahwa manifestasi awal
yang terjadi (misalnya epistaksis unilateral, obstruksi nasi) mirip dengan kondisi
awal yang umum dikeluhkan tanpa adanya keluhan spesifik lainnya. Oleh karena
itu, pasien dan dokter sering mengabaikan atau meminimalkan presentasi awal
dari tumor dan meng obati tahap awal tumor ganas sebagai gangguan sinonasal
jinak. Tumor ganas hidung dan sinus paranasal termasuk tumor yang sukar diobati
secara tuntas dan angka kesembuhan masih sangat rendah. Pasien dengan tumor
ganas sinonasal ditangani oleh tim spesialis menggunakan pendekatan holistik
multidisiplin ilmu. Pengobatan dapat berupa pembedahan, kemoterapi dan
radioterapi.1,3
BAB II

PEMBAHASAN

2.1 Defenisi
Tumor sinonasal adalah penyakit di mana terjadinya pertumbuhan
sel pada sinus paranasal dan rongga hidung. Lokasi hidung dan sinus
paranasal (sinonasal) merupakan rongga yang dibatasi oleh tulang-tulang
wajah yang merupakan daerah yang terlindung sehingga tumor yang
timbul di daerah ini sulit diketahui secara dini. Gejala berupa rasa penuh
atau hidung tersumbat, epistaksis, rinorea, nyeri, parastesia,
pembengkakan pada hidung, pipi atau palatum, luka yang tidak kunjung
sembuh atau ulkus, adanya massa pada kavum nasi, pada kasus lanjut
dapat terjadi proptosis, diplopia atau lakrimasi.1,2,3
2.2 Anatomi dan Fisiologi
A. Hidung
Hidung terdiri atas nasus externus dan cavum nasi. Nasus
externus mempunyai ujung yang bebas yang dilekatkan ke dahi melalui
radix nasi. Lubang luar hidung disebut nares. Kedua nares dibatasi oleh
ala nasi dibagian lateral dan oleh septum nasi dibagian medial. Rangka
nasus externus dibagian atas dibatasi oleh os nasale, processus frontalis
ossis maxillaris pars nasalis ossis frontalis. Dibagian bawah
dibentuk oleh lempeng tulang rawan yaitu cartilago nasi superior dan
inferior, dan cartilago septi nasi.5,6

Gambar 1. Anatami Nasal Externus7


Cavum nasi terletak dari nares sampai choana. Dasar dari cavum
nasi dibentuk oleh processus palatinus maxillae dan lamina horizontalis
ossis palatini yaitu permukaan atas palatum durum. Bagian atap
dibentuk oleh corpus os sphenoidalis, lamina cribrosa, os ethmoidalis,
os frontale, os nasale dan cartilago nasi. Dinding lateral dari cavum
nasi terdapat tiga tonjolan yaitu concha nasalis superior, media dan
inferior. Area dibawah stiap concha disebut meatus. Recessus
sphenoethmoidalis adalah daerah kecil yang terletak diatas concha
nasalis superior dan di depan corpus os sphenoidalis. Daerah ini
terdapat muara dari sinus sphenoidalis.5,6
Meatus nasi superior terletak dibawah dan lateral dari concha
nasalis superior dan terdapat muara dari sinus ethmoidalis posterior.
Metaus nasi media terletak di bawah dan lateral concha media. Pada
dinding lateralnya terdapat bulla ethmoidalis. Sebuah celah yang
melengkung disebut hiatus semilunaris yang terletak tepat di bawah
bulla. Ujung anterior hiatus masuk ke dalam saluran yang berbentuk
corong disebut infundibulum. Sinus maxillaris bermuara pada meatus
nasi media melalui hiatus semilunaris. Sinus frontalis dan sinus
ethmoidales anterior bermuara pada infundibulum.5,6
Meatus nasi inferior terletak di bawah dan lateral concha inferior
dan terdapat muara dari ductus nasolacrimalis. Dinding medial atau
septum nasi merupakan osteocartilago yang ditutupi membrana
mukosa. Membrana mukosa melapisi cavum nasi kecuali vestibulum.
Terdapat dua jenis membrana mukosa yaitu mukosa olfactorius dan
respiratorius. Membrana mukosa olfactorius melapisi permukaan atas
concha nasalis superior dan recessus sphenoethmoidalis; juga melapisi
daerah septum nasi septum nasi yang berdekatan dengan atap.
Fungsinya adalah menerima rangsangan penghidu dan untuk fungsi ini
mukosa memiliki sel-sel penghidu khusus.permukaan membrana
mukosa tetap basah oleh sekret kelenjar serosa yang berjumlah
banyak.5,6
Gambar 2. Anatomi Cavum Nasi7
Membrana mukosa respiratorius melapisi bagian bawah cavum
nasi. Fungsinya adalah menghangatkan, melembabkan, dan
membersihkan udara inspirasi. Proses menghangatkan terjadi oleh
adanya plexus venosus di dalam jaringan submukosa. Proses
melembabkan berasal dari banyaknya mukus yang diproduksi oleh
kelenjar-kelenjar dan sel goblet.Partikel debu yang terinspirasi akan
menempel pada permukaan mukosa yang basah dan lengket. Persarafan
cavum nasi berasal dari N. Olfactorius yang mempersarafi membrana
mukosa olfactorius. Saraf ini naik ke atas melalui lamina cribrosa dan
mencapai bulbus olfactorius.5,7
Saraf-saraf sensasi umum berasal dari nervus trigeminus cabang
ophtalmica dan maxillaris. Persarafan bagian anterior cavum nasi
berasal dari n. Ethmoidalis anterior. Persarafan bagian posterior cavum
nasi berasal dari ramus nasalis, ramus nasopalatinus, dan ramus palatina
ganglion pterygopalatinum. Suplai arteri untuk cavum nasi berasal dari
cabang-cabang a. maxillaris. Cabang yang terpenting yaitu a.
sphenopalatina yang beranastomosis dengan cabang septalis a.labialis
superior yang merupakan cabang dari arteri facialis di daerah
vestibulum. Vena-vena membentuk plexus yang luas di dalam mukosa.
Plexus ini dialirkan oleh vena-vena yang menyertai arteri. Pembuluh
limfe mengalirkan limfe dari vestibulum ke nodi submandibulares.
Bagian lain dari cavum nasi mengalirkan limfenya ke nodi cervicales
profundi superior.5,6
B. Sinus Paranasal
Sinus paranasalis adalah rongga-rongga yang terdapat di dalam
os maxilla, os frontal, os ethmoidalis, dan os sphenoidalis. Sinus
dilapisi oleh mucoperiosterum dan berisi udara, berhubungan dengan
cavum nasi melalui apertura yang relatif kecil. Sinus maxillaris dan
sphenoidalis pada waktu lahir terdapat dalam bentuk yang rudimenter,
setelah usianya delapan tahun menjadi cukup besar dan pada masa
remaja sudah terbentuk sempurna. Sinus berfungsi sebagai resonator
suara dan mengurangi berat tengkorak. Bila muara sinus tersumbat atau
sinus terisi cairan kualitas suara jelas berubah.5,7
Sinus maxillaris terletak di dalam corpus maxillaris. Sinus ini
berbentuk piramid dengan basis membentuk dinding lateral hidung dan
apex di dalam processus zygomaticus maxillae. Atap dibentuk oleh
dasar orbita sedangkan dasar dibentuk oleh processus alveolaris. Akar
premolar pertama dan kedua serta molar ketiga dan kadang-kadang akar
dari caninus menonjol ke dalam sinus sehingga jika dilakukan ekstraksi
gigi tersebut dapat menyebabkan terbentuk fistula bahkan terjadi
sinusitis. Sinus maxillaris bermuara ke dalam meatus nasi medius
melalui hiatus semilunaris. Karena sinus ethmoidalis anterior dan sinus
frontalis bermuara ke dalam infundibulum, kemudian ke hiatus
semilunaris, kemungkinan penyebaran infeksi dari sinus-sinus tersebut
ke sinus maxillaris sangat besar. Membrana mukosa sinus maxillaris
dipersarafi oleh n.alveolaris dan n.infraorbitalis. 5,7
Sinus frontalis ada dua buah dan terdapat dalam os frontale dan
dipisahkan oleh septum tulang yang sering menyimpang dari bidang
median. Setiap sinus berbentuk segitiga, meluas ke atas, di atas ujung
medial alis mata dan ke belakang ke bagian medial atap orbita.
Membrana mukosa dipersarafi oleh n.supraorbitalis. Sinus sphenoidalis
ada dua buah dan terletak di dalam corpus os sphenoidalis. Setiap sinus
akan bermuara ke dalam recessus sphenoethmoidalis di atas concha
nasalis superior. Membrana mukosa dipersarafi oleh n.ethmoidalis
superior. 5,7
Sinus ethmoidalis terdapat dalam os ethmoidale di antara hidung
dan orbita. Sinus ini terpisah dari orbita oleh selapis tipis tulang,
sehinggga infeksi dengan mudah menjalar dari sinus ke dalam orbita.
Sinus ini terbagi menjadi tiga yaitu anterior, media dan posterior.
Kelompok anterior bermuara ke dalam infundibulum, kelompok media
bermuara ke dalam meatus nasi medius, dan kelompok posterior
bermuara ke dalam meatus nasi superior. Membrana mukosa dipersarafi
oleh n.ethmoidalis anterior dan posterior.Sinus paranasal hampir tidak
mempunyai aliran limfe, sehingga metastasis ke kelenjar limfe sangat
jarang terjadi dan bila ada, hal itu mungkin terjadi pada waktu
tumornya sudah meluas keluar dari sinus paranasal seperti nasofaring,
mukosa pipi atau kulit.5,6

Gambar 3. Sinus Paranasal7


Ohngren pada tahun 1933 membuat teori tentang adanya suatu
bidang imaginer yang melalui kantus medius dan angulus mandibula.
Bidang itu membagi rahang atas menjadi struktur superoposterior
(suprastruktur) dan struktur inferoanterior (infrastruktur). Yang
dimaksud suprastruktur adalah dinding tulang sinus maxilla bagian
posterior dan separuh bagian posterior dinding atas. Sisanya termasuk
infrastruktur. Tumor di daerah infrastruktur mempunyai prognosis yang
jauh lebih baik daripada tumor di daerah suprastruktur.6,7,8

Gambar 4. Garis Ohngren8

2.3 Etiologi dan Faktor Resiko


Perubahan dari sel normal menjadi sel kanker dipengaruhi oleh banyak
faktor (multifaktor) dan bersifat individual atau tidak sama pada setiap orang.
Faktor-faktor yang dapat meningkatkan resiko terjadinya tumor sinonasal antara
lain : 5,6,7,8
1. Penggunaan tembakau
Penggunaan tembakau (termasuk di dalamnya adalah rokok,
cerutu, rokok pipa, mengunyah tembakau, menghirup tembakau)
adalah faktor resiko terbesar penyebab kanker pada kepala dan leher.
2. Alkohol
Peminum alkohol berat dengan frekuensi rutin
3. Inhalan spesifik
Menghirup substansi tertentu, terutama pada lingkungan kerja, dapat
meningkatkan resiko terjadinya kanker kavum nasi dan sinus paranasal,
termasuk diantaranya adalah :
a. Debu yang berasal dari industri kayu, tekstil, pengolahan kulit/kulit
sintetis, dan tepung.
b. Debu logam berat : kromium, asbes
c. Uap isoprofil alkohol, pembuatan lem, formaldehyde, radium
d. Uap pelarut (gas “mustard” dan isopropanolol) yang digunakan
dalam memproduksi furniture dan sepatu.
4. Sinar ionisasi : Sinar radiasi; Sinar UV
5. Virus : Virus HPV, Virus Epstein-barr
6. Usia
Penyakit keganasan ini lebih sering didapatkan pada usia antara 45
tahun hingga 85 tahun.
7. Jenis Kelamin
Keganasan pada kavum nasi dan sinus paranasalis ditemukan dua kali
lebih sering pada pria dibandingkan pada wanita.
8. Paparan terhadap thorotrast yang merupakan zat kontras untuk
pemeriksaan radiologi sinus maxilla karena mengandung thorium
radioaktif.
2.4 Patofisiologi
Perubahan dari sel normal menjadi sel kanker dipengaruhi oleh multifaktor
seperti yang sudah dipaparkan diatas dan bersifat individual. Faktor resiko
terjadinya tumor sinonasal semisal bahan karsinogen seperti bahan kimia inhalan,
debu industri, sinar ionisasi dan lainnya dapat menimbulkan kerusakan ataupun
mutasi pada gen yang mengatur pertumbuhan tubuh yaitu gen proliferasi dan
diferensiasi. Dalam proses diferensiasi ada dua kelompok gen yang memegang
peranan penting, yaitu gen yang memacu diferensiasi (proto-onkogen) dan yang
menghambat diferensiasi (anti-onkogen). Untuk terjadinya transformasi dari satu
sel normal menjadi sel kanker oleh karsinogen harus melalui beberapa fase yaitu
fase inisiasi dan fase promosi serta progresi. 9,10
Pada fase inisiasi terjadi perubahan dalam bahan genetik sel yang
memancing sel menjadi ganas akibat suatu onkogen, sedangkan pada fase promosi
sel yang telah mengalami inisiasi akan berubah menjadi ganas akibat terjadinya
kerusakan gen. Sel yang tidak melewati tahap inisiasi tidak akan terpengaruh
promosi sehingga tidak berubah menjadi sel kanker. Inisiasi dan promosi dapat
dilakukan oleh karsinogen yang sama atau diperlukan karsinogen yang
berbeda.Sejak terjadinya kontak dengan karsinogen hingga timbulnya sel kanker
memerlukan waktu induksi yang cukup lama yaitu sekitar 15-30 tahun. Pada fase
induksi ini belum timbul kanker namun telah terdapat perubahan pada sel seperti
displasia. Fase selanjutnya adalah fase in situ dimana pada fase ini kanker mulai
timbul namun pertumbuhannya masih terbatas jaringan tempat asalnya tumbuh
dan belum menembus membran basalis. Fase in situ ini berlangsung sekitar 5-10
tahun. 9,10
Sel kanker yang bertumbuh ini nantinya akan menembus membrane basalis
dan masuk ke jaringan atau organ sekitarnya yang berdekatan atau disebut juga
dengan fase invasif yang berlangsung sekitar 1-5 tahun. Pada fase diseminasi
(penyebaran) sel-sel kanker menyebar ke organ lain seperti kelenjar limfe regional
dan atau ke organ-organ jauh dalam kurun waktu 1-5 tahun.Sel-sel kanker ini
akan tumbuh terus tanpa batas sehingga menimbulkan kelainan dan gangguan. Sel
kanker ini akan mendesak (ekspansi) ke sel-sel normal sekitarnya, mengadakan
infiltrasi, invasi, serta metastasis bila tidak didiagnosis sejak dini dan di berikan
terapi.9,10

2.5 Klasifikasi

Berikut ini merupakan klasifikasi dari karsinoma traktus sinonasal :3

Epitel Non epitel


Karsinoma sel squamous Chondrosarcoma
Differensiasi Osteogenic sarkoma
Squamous basaloid Soft tissue sarcoma
Adenosquamous Fibrosarcoma
Karsinoma sel nonsquamous Malignant fibrous
Adenoid cystic carcinoma histiocytoma
Mucoepidermoid carsinoma Hemangiopericytoma
Adenocarcinoma Angiosarcoma
Neuroendocrine carcinoma Kaposi’s sarcoma
Hyalinizing clear cell Rhabdomyosarcoma
carcinoma Lymphoploroferative
Melanoma maligna Lymphoma
Olfactory neuroblastoma Polymorphic reticulosis
Sinonasal undifferentiated carcinoma Plasmacytoma
Metastatic

a. Karsinoma Sel Skuamosa


Karsinoma selskuamosaadalahkeganasan epitel yang berasal dari
epitel mukosa dari cavum nasi atau sinus paranasal yang meliputi
keratinisasi dan non keratinisasi. Jenis yang paling umum dan sering
ditemukan pada karsinomasinonasalsekitar70% dari semuakasus, jarang
terjadi pada anak-anak dan lebih sering pada pria dibandingkan wanita,
terjadi pada rentang umur 55-65 tahun.Penyebab definif dari SCC
sinonasa tidak bisa ditentukan secara pasti. Faktor resiko meliputi
terexpose nikel, chloropenol, debu textil dan memiliki riwayat
menderita papiloma sinonasal(Schneiderian). Human papiloma virus
menjadi penyebab dari beberapa kasus yang ditemukan.2,4,9
Kebanyakankarsinoma selskuamosasinonasalyang timbuldalam
sinusmaxilla(60-70%),diikuti oleh cavum nasi (12-25%), sinus
ethmoidalis (10-15%) dan sinus frontalis dan sphenoidalis (1%). tapi
ketikapertama kali dilihattumor biasanyasudahmelibatkanhidung, sel
ethmoidal danantrum/maksila.Gejala berupa rasa penuh atau hidung
tersumbat, epistaksis, rinorea, nyeri, parastesia, pembengkakan pada
hidung, pipi atau palatum, luka yang tidak kunjung sembuh atau ulkus,
adanya massa pada kavum nasi, pada kasus lanjut dapat terjadi
proptosis, diplopia atau lakrimasi.2,4,8,9
Varian dari karsinoma sel squamosa yaitu karsinoma verukosa,
papillary cell squamous carcinoma, basaloid squamous cell carcinoma,
spindle cell carcinoma, adenosqamous carcinoma. Pemeriksaan
radiologis, CT scan atau MRI didapatkan perluasan lesi, invasi tulang
dan perluasan pada struktur-struktur yang bersebelahan seperti pada
mata, pterygopalatine atau ruang infratemporal. Secara makroskopik,
karsinoma sel skuamosa kemungkinan berupa exophytic, fungating atau
papiler. Biasanya rapuh, berdarah, terutama berupa nekrotik, atau
indurated, demarcatedatau infiltratif.9,10,11
b. Mikroskopik Keratinizing Squamous Cell Carcinoma
Secara histologi, tumor ini identik dengan karsinoma sel skuamosa dari
lokasi mukosa lain pada daerah kepala dan leher. Ditemukan
diferensiasi skuamosa, di dalam bentuk keratin ekstraseluler atau
keratin intraseluler (sitoplasma merah muda, sel-sel diskeratotik)
dan/atau intercellular bridges. Tumor tersusun di dalam sarang-sarang,
massa atau sebagai kelompok kecil sel-sel atau sel-sel individual. Invasi
ditemukan tidak beraturan. Sering terlihat reaksi stromal desmoplastik.
Karsinoma ini dinilai dengan diferensiansi baik, sedang atau
buruk.10,11,12

Gambar 5. Mikroskopik Keratinizing Squamous Cell Carcinoma12

c. Mikroskopik Non-Keratinizing Karsinoma (Cylindrical Cell,


transitional)
Tumor ini merupakan tumor yang berbeda dari traktus sinonasal
yang dikarakteristikkan dengan pola plexiform atau ribbon-like growth
pattern. Dapat menginvasi ke dalam jaringan dibawahnya dengan batas
yang jelas. Tumor ini dinilai dengan diferensiasi sedang ataupun buruk.
Diferensiasi buruk sulit dikenal sebagai skuamosa, dan harus dibedakan
dari olfactory neuroblastoma atau karsinoma neuroendokrin.9,12

Gambar 6. Mikroskopik Non-Keratinizing Karsinoma12

Secara umum, lesi dini (T1-T2) dapat dilakukan terapi bedah


maupun radioterapi, sedangkan pada tahap lanjut (T3-T4) dilakukan
multimodal terapi seperti terapi bedah diikuti dengan radioterapi atau
kemoterapi post operatif. Pasien dengan karsinoma sel squamosa nasal
umumnya terlihat lebih awal dibandingkan pasien dengan kanker
maxilla. Karsinoma sel squamosa nasal jarang bermetastasis ke nodus
limfe dan rekuren. Ketika jenis ini terjadi, perkembangannya
berlangsung sangat cepat. Adanya gangguan lokal yang terjadi selain
kanker, akan memperburuk prognosis. Angka survival 5 tahun sebesar
60% sedangkan untuk karsinoma sel squamosa maxilla 42%.9,10
d. Undifferentiated Carcinoma
Merupakan karsinoma yang jarang ditemukan, sangatagresif dan
histogenesisnya tidak pasti. Undifferentiated carcinoma berupa massa
yang cepat memperbesar sering melibatkan beberapa tempat (saluran
sinonasal) dan melampaui batas-batas anatomi dari saluran sinonasal.
Lokasi yang sering terjadi yaitu cavum nasi, antrum maxilla, dan sinus
ethmoidalis.Karsinoma jenis ini banyak terjadi pada dekade 3-9 dan
pertengahan pada dekade 6 dan juga laki-laki lebih banyak dibanding
wanita. Beberapa kasus terjadi setelah terapi radiasi karsinoma
nasofaring.9,10
Gambaran klinis untuk tipe ini yaitu gejala berlangsung singkat,
obstruksi nasal, epistaksis, proptosis, bengkak periorbital, diplopia,
nyeri wajah, dan termasuk gejala kelainan nervus kranial. Gambaran
mikroskopik berupa proliferasi hiperselular dengan pola pertumbuhan
yang bervariasi, termasuk trabekular, pola seperti lembaran, pita,
lobular, dan organoid. Sel-sel tumor berukuran sedang hingga besar dan
bentuk bulat hingga oval dan memiliki inti sel pleomorfik dan
hiperkromatik,anak inti menonjol, sitoplasma eosinofilik, rasio inti dan
sitoplasma tinggi, aktivitas mitosis meningkat dengan gambaran mitosis
atipikal.9,10

Gambar 7. Mikroskopis Undifferentiated carcinoma12

Prognosis dariUndifferentiated Carcinomaburuk dengan median


angka bertahan hidup 18 bulan dan survival 5 tahun kurang dari 20%.
Pengobatan dapat dilakukan kombinasi kemoradiasi dan radikal
reseksi.9,10,11

e. Adenokarsinoma Sinonasal
Adenokarsinoma dikenal sebagai tumor glandular maligna dan
tidak menunjukkan gambaran spesifik. Adenokarsinoma dijumpai 10
hingga 14% dari keseluruhan tumor ganas nasal dan sinus paranasal.
Secara klinis merupakan neoplasma agresif lokal, sering ditemukan
pada laki-laki dengan usia antara 40 hingga 70 tahun. Tumor ini timbul
di dalam kelenjar salivari minor dari traktus aerodigestivus bagian atas.
Sering ditemukan pada sinus maksilaris dan etmoid. Gejala utama
berupa hidung tersumbat, nyeri, massa pada wajah dengan deformasi
dan atau proptosis dan epistaksis, bergantung pada lokasinya.9,10,11
Gambaran histologi yang dapat ditemukan adalah tipe cribriform,
tubular, dan solid. Tipe cribriform paling sering ditemukan dengan
gambaran khas penampakan “swiss cheese”. Adenokarsinoma
menyebar dengan menginvasi dan merusak jaringan lunak dan tulang di
sekitarnya dan jarang bermetastasis. Terapi pembedahan dan adjuvant
radioterapi adalah pengobatan pilihan yang umum digunakan untuk
terapi pada adenokarsinoma. Prognosisnya jelek dan biasanya penderita
meninggal dunia disebabkan penyebaran lokal tanpa adanya
metastasis.9,10

Gambar 8. Mikroskopis Adenocasinoma Sinonasal12


2.6 Diagnosis
a. Anamnesis
Anamnesis yang lengkap dan menyeluruh sangat diperlukan dalam
penegakkan diagnosis keganasan di hidung dan sinus paranasal. Kurang
lebih 9-12 % keganasan di hidung dan sinus paranasalstadium awal
bersifat asimptomatis. Riwayat terpapar bahan-bahan kimia karsinogen
yang dihubungkan dengan pekerjaan atau lingkungan perlu diketahui
untuk mencari kemungkinan faktor resiko.1,2,3,4
Gejala yang dikeluhkan oleh pasien tergantung dari asal primer
tumor serta arah dan perluasannya. Tumor di dalam sinus maxilla
biasanya tanpa gejala. Gejala yang timbul setelah tumor besar
mendorong atau menembus dinding tulang meluas ke rongga hidung,
rongga mulut, pipi atau orbita. Gejala yang dikeluhkan dapat
dikategorikan sebagai berikut:1,4
1. Gejala nasal.
Gejala nasal berupa obstruksi hidung unilateral dan rinorea.
Jika ada Sekret, sering sekret yang timbul bercampur darah atau
terjadi epistaksis. Tumor yang besar dapat mendesak tulang hidung
sehingga terjadi deformitas hidung. Khas pada tumor ganas
ingusnya berbau karena mengandung jaringan nekrotik.
2. Gejala orbital.
Perluasan tumor kearah orbita menimbulkan gejala
diplopia, proptosis atau penonjolan bola mata, oftalmoplegia,
gangguan visus dan epifora.
3. Gejala oral.
Perluasan tumor ke rongga mulut menyebabkan penonjolan
atau ulkus di palatum atau di prosesus alveolaris. Pasien mengeluh
gigi palsunya tidak pas lagi atau gigi geligi goyah. Seringkali
pasien datang ke dokter gigi karena nyeri di gigi, tetapi tidak
sembuh meskipun gigi yang sakit telah dicabut.

4. Gejala fasial
Perluasan tumor akan menyebabkan penonjolan pipi,
disertai nyeri, anesthesia atau parestesia muka jika sudah mengenai
nervus trigeminus.
5. Gejala intracranial
Perluasan tumor ke intrakranial dapat menyebabkan sakit
kepala hebat, oftalmoplegia dan gangguan visus. Dapat disertai
likuorea, yaitu cairan otak yang keluar melalui hidung ini terjadi
apabila tumor sudah menginvasi atau menembus basis cranii. Jika
perluasan sampai ke fossa kranii media maka saraf otak lainnya
bisa terkena. Jika tumor meluas ke belakang, terjadi trismus akibat
terkenanya muskulus pterigoideus disertai anestesia dan parestesia
daerah yang dipersarafi nervus maksilaris dan mandibularis.
b. Pemeriksaan Fisis
Saat memeriksa pasien, pertama-tama perhatikan wajah pasien
apakah terdapat asimetri atau distorsi. Jika ada proptosis, perhatikan
arah pendorongan bola mata. Jika mata terdorong ke atas, berarti tumor
berasal dari sinus maxilla, jika ke bawah dan lateral berarti tumor
berasal dari sinus frontal atau etmoid. Selanjutnya periksa dengan
seksama kavum nasi dan nasofaring melalui rinoskopi anterior dan
posterior. Permukaan yang licin merupakan pertanda tumor jinak
sedangkan permukaan yang berbenjol-benjol, rapuh dan mudah
berdarah merupakan pertanda tumor ganas.1,4,9
Jika dinding lateral kavum nasi terdorong ke medial berarti tumor
berada di sinus maksila. Untuk memeriksa rongga oral, disamping
inspeksi lakukan juga palpasi gusi rahang atas dan palatum, apakah ada
nyeri tekan, penonjolan atau gigi goyang. Pemeriksaan nasoendoskopi
dan sinuskopi dapat membantu menemukan tumor padastadium dini.
Kita juga harus memeriksa telinga adakah tuli konduktif unilateral
tanpa kelainan telinga dan kelainan saraf cranial. Adanya pembesaran
kelenjar leher juga perlu dicari meskipun tumor ini jarang bermetastasis
ke kelenjar leher.1,4,10
c. Pemeriksaan Penunjang
1. Pemeriksaan Biopsi
Biopsi adalah pengangkatan sejumlah kecil jaringan untuk
pemeriksaan dibawah mikroskop. Apusan sampel di ambil untuk
mengevaluasisel, jaringan, dan organuntuk mendiagnosa penyakit.
Ini merupakan salah satu carauntuk mengkonfirmasidiagnosis
apakah tumor tersebut jinak atau ganas. Untuk yang ukuran kecil,
tumor dapat diangkat seluruhnya, sedangkan untuk ukuran besar
maka tumor hanya diambil sebagian untuk contoh pemeriksaan
tumor yang sudah diangkat.1,4,10
Hasil pemeriksaan patologi anatomi (PA) dengan cara
seperti inilah yang dijadikan gold standart atau diagnosis pasti
suatu tumor. Bila hasilnya jinak, maka selesailah pengobatan tumor
tersebut, namun bila ganas atau kanker, maka ada tindakan
pengobatan selanjutnya apakah berupa operasi kembali atau
diberikan kemoterapi atau radioterapi.1,4,10,13

2. Pemeriksaan X-ray
Pada pemeriksaan X-ray sinus paranasal ada 4 macam
posisi yang perlu untuk mendapat hasil yang baik. Pertama, posisi
waters paling baik untuk melihat sinus maxilla. Kedua, posisi
Caldwell untuk melihat sinus etmoid dan orbita. Ketiga, posisi
lateral untuk melihat sinus sphenoid dan dinding anterior dan
posterior sinus frontal dan maxilla. Keempat, posisi
submentovertex untuk melihat sinus sphenoid dan etmoid
posterior.Normal sinus x-ray dapat menunjukkan sinus dipenuhi
dengan gambaran seperti udara.. Tanda-tanda kanker pada
pemeriksaan x-ray sebaiknya dikonfirmasi dengan pemeriksaan CT
scan.1,13
Gambar 9.Foto polos kepala tampak kista didalam sinus
maksilaris13

3. CT – Scan
CT-Scan lebih akurat dari pada plain film untuk menilai
struktur tulang sinus paranasal. Pasien beresiko tinggi dengan
riwayat terpapar karsinogen, nyeri persisten yang berat, neuropati
kranial, eksoftalmus, kemosis, penyakit sinonasal dan dengan
gejala persisten setelah pengobatan medis yang adekuat seharusnya
dilakukan pemeriksaan dengan CT scan axial dan coronal dengan
kontras. CT scan merupakan pemeriksaan superior untuk menilai
batas tulang traktus sinonasal dan dasar tulang tengkorak.
Penggunaan kontras dilakukan untuk menilai tumor, vaskularisasi
dan hubungannya dengan arteri karotis.1,13

Gambar 10. CT Scan Sinus Paranasal menunjukkan sebuah


tumor yang berbentuk lobus tajam sehingga terjadi
peningkatan di kedua rongga hidung yang dapat meluas ke
sinus etmoid, sinus sphenoid dan nasofaring. Lesimenonjolke
dalam orbitkiri dankeduasinus maksilaris13
4. Pemeriksaan MRI
MRI menggunakan medan magnet. Dipergunakan untuk
membedakan daerah sekitar tumor dengan jaringan lunak,
membedakan sekret di dalam nasal yang tersumbat yang
menempati rongga nasal, menunjukkan penyebaran perineural,
membuktikan temuan imaging pada sagital plane, dan tidak
melibatkan paparan terhadap radiasi ionisasi. Coronal MRI image
terdepan untuk mengevaluasi foramen rotundum, vidian canal,
foramen ovale dan kanalis optik. Sagital image berguna untuk
menunjukkan replacement signal berintensitas rendah yang normal
dari Meckel cave signal berintensitas tinggi dari lemak di dalam
fossa pterygopalatine oleh signal tumor yang mirip dengan otak.1,13

Gambar 12. a.CT-Scan terlihat karsinoma sinonasal ekstensif


dengan destruksi tulang anterior dan sekitar tulang orbita; b
Coronal MRI;c Sagittal MRI;d Axial MRI13

5. Pemeriksaan Positron Emission Tomography (PET)


PET scan adalah cara untuk membuat gambar organ dan
jaringan dalam tubuh. Sejumlah kecil zat radioaktif disuntikkan ke
tubuh pasien. Zat ini diserap terutama oleh organ dan jaringan yang
menggunakan lebih banyak energi. Karena kanker cenderung
menggunakan energi secara aktif, sehingga menyerap lebih banyak
zat radioaktif. Scanner kemudian mendeteksi zat ini untuk
menghasilkan gambar bagian dalam tubuh.Sering digunakan untuk
keganasan kepala dan leher untuk staging dan surveillance.13
d. Staging
Sistem TNM adalah suatu cara untuk melukiskan stadium kanker.
Sistem TNM didasarkan atas 3 kategori. Masing–masing kategori
dibagi lagi menjadi subkategori untuk melukiskan keadaan masing–
masing pada T(tumor, sampai dimana perluasannya), N (nodul, kelenjar
limfe regional yang terkena), dan M (metastasis). Pembuatan sistem
klasifikasi berguna untuk mrencanakan terapi, meramalkan prognosis,
mengevaluasi hasil pengobatan, keseragaman informasi antar sentra di
dunia dan membantu penelitian mengenai tumor ganas.10,12,13,14
Tiap-tiap indeks angka dan huruf mempunyai arti sendiri–sendiri
untuk tiap jenis atau tipe kanker, jadi arti indeks untuk kanker mamma
tidak sama dengan kulit, dsb. Penentuan stadium tumor ganas hidung
dan sinus paranasal menurut American Joint Committee on Cancer
(AJCC) 2010, yaitu:1,10
Sinus Maksillaris 1,3

Tx Tumor primer tidak dapat ditentukan


T0 Tidak terdapat tumor primer
Tis Karsinoma in situ
Tumor terbatas pada mukosa sinus maksilaris tanpa erosi dan
T1 destruksi tulang.
Tumor menyebabkan erosi dan destruksi tulang hingga
T2 palatum dan atau meatus media tanpa melibatkan dinding
posterior sinus maksilaris dan fossa pterigoid.
Tumor menginvasi dinding posterior tulang sinus
T3 maksilaris, jaringan subkutaneus, dinding dasar dan
medial orbita, fossa pterigoid, sinus etmoidalis.
Tumor menginvasi bagian anterior orbita, kulit pipi, fossa
T4a pterigoid, fossa infratemporal, fossa kribriformis, sinus
sfenoidalis atau frontal.
Tumor menginvasi salah satu dari apeks orbita, duramater,
T4b otak, fossa kranial medial, nervus kranialis selain dari divisi
maksilaris nervus trigeminal V2, nasofaring atau klivus.
Kavum Nasi dan Ethmoidal 1,3

Tx Tumor primer tidak dapat ditentukan


T0 Tidak terdapat tumor primer
Tis Karsinoma in situ
Tumor terbatas pada salah satu bagian dengan atau tanpa
T1 invasi tulang

Tumor berada di dua bagian dalam satu regio atau


tumor meluas dan melibatkan daerah nasoetmoidal
T2 kompleks, dengan atau tanpa invasi tulang
Tumor menginvasi dinding medial atau dasar orbita, sinus
T3 maksilaris, palatum atau fossa kribriformis.
Tumor menginvasi salah satu dari bagian anterior
orbita, kulit hidung atau pipi, meluas minimal ke fossa
T4a kranialis anterior, fossa pterigoid, sinus sfenoidalis
atau frontal.
Tumor menginvasi salah satu dari apeks orbita, dura,
otak, fossa kranial medial, nervus kranialis selain dari
T4b V2, nasofaring atau klivus.
Kelenjar Getah Bening Regional (N) 3,7

Nx Tidak dapat ditentukan pembesaran kelenjar

N0 Tidak ada pembesaran kelenjar

N1 Pembesaran kelenjar ipsilateral ≤3 cm

Pembesaran satu kelenjar ipsilateral 3-6 cm, atau multipel


kelenjar ipsilateral <6 cm atau metastasis bilateral atau
N2 kontralateral < 6 cm
N2a Metastasis satu kelenjar ipsilateral 3-6 cm
Metastasis multipel kelanjar ipsilateral, tidak lebih dari 6
N2b cm
Metastasis kelenjar bilateral atau kontralateral, tidak lebih
N2c dari 6 cm
N3 Metastasis kelenjar limfe lebih dari 6 cm
Metastasis Jauh (M)1,3

Mx Metastasis jauh tidak dapat dinilai


M0 Tidak terdapat metastasis jauh

M1 Terdapat metastasis jauh

Stadium Tumor Ganas dan Sinus Paranasal 1,3

0 Tis N0 M0

I T1 N0 M0

II T2 N0 M0

III T3 N0 M0

T1 N1 M0

T2 N1 M0

T3 N1 M0

Iva T4a N0 M0

T4a N1 M0

T1 N2 M0

T2 N2 M0

T3 N2 M0

T4a N2 M0

IVb T4b Semua N M0

Semua T N3 M0

IVc Semua T Semua N M1

2.7 Penatalaksanaan
Pasien dengan kanker sinus paranasal biasanya dirawat oleh tim spesialis
menggunakan pendekatan holistik multidisiplin ilmu. Setiap pasien menerima
rencana pengobatan yang disesuaikan untuk memenuhi kebutuhannya. Pilihan
pengobatan utama untuk tumor sinus paranasal meliputi:1,4,9,13
1. Pembedahan
Terapi bedah yang dilakukan biasanya adalah terapi kuratif dengan
reseksi bedah. Pengobatan terapi bedah ini umumnya berdasarkan
staging dari masing-masing tumor. Secara umum, terapi bedah
dilakukan pada lesi jinak atau lesi dini (T1-T2). Terkadang,
pembedahan dengan margin/batas yang luas tidak dapat dilakukan
karena dekatnya lokasi tumor dengan struktur-struktur penting pada
daerah kepala, serta batas tumor yang tidakjelas. Radiasi post operatif
sangat dianjurkan untuk mengurangi insiden kekambuhan lokal. Pada
beberapa kasus eksisi paliatif ataupun debulking perlu dilakukan untuk
mengurangi nyeri yang hebat, ataupun untuk membebaskan dekompresi
saraf optik dan rongga orbita, serta untuk drainase sinus paranasalis
yang mengalami obstruksi. 1,8,13
Tumor yang berlokasi di kavum nasi dapat dilakukan berbagai
pendekatan bedah seperti reseksi endoskopi nasal, transnasal, sublabial,
sinus paranasalis, lateral rhinotomy atau kombinasi dari bedah
endoskopi dan bedah terbuka (open surgery). Dalam memilih terapi
bedah yang optimal, seorang ahli harus mempertimbangkan dengan
seksama dalam memilih pendekatan endonasal daripada prosedur klasik
yaitu melalui pendekatan rhinostomi lateral, rhinostomi medial,
transfasial, transoral, dan midfacial degloving. Jenis reseksi pada tumor
rongga hidung dan sinus paranasal ditentukan oleh lokasi lesi dan
perluasannya. Tumor yang berasal dari dalam sinus maxilaris diangkat
dengan cara maxilektomi.8,10
Menurut MSKCC, maksilektomi dibagi menjadi IV yaitu defek
tipe 1 ( maksilektomi terbatas) terdiri dari reseksi pada satu atau dua
dinding maksila kecuali palatal. Pada kebanyakan pasien, dinding
anterior sebagian dibuang beserta dengan salah satu dinding tengah atau
dasar orbita. Defek tipe II (maksilektomi subtotal) meliputi reseksi pada
lengkung maksila, palatal, dinding anterior dan lateral (lima dinding
dasar), dengan tetap menjaga dasar orbita. Defek tipe III (maksilektomi
total) meliputi reseksi keenam dinding maksila. Defek tipe ini dibagi
menjadi 2 tipe yaitu tipe IIIa, dimana isi orbita tetap dijaga dan tipe
IIIb, dimana isi orbita diikutsertakan. Defek tipe IV
(orbitomaksilektomi) meliputi reseksi pada isi orbita dan kelima
dinding atas maksila dengan tetap menjaga bagian palatal.1,8,13

Gambar 13. Jenis Maksilektomi13

Kontraindikasi absolut untuk terapi pembedahan adalah pasien


dengan gangguan nutrsi, adanya metastasis jauh, invasi tumor ganas ke
fascia prevertebral, ke sinus kavernosus, dan keterlibatan arteri karotis
pada pasien-pasien dengan resiko tinggi, serta adanya invasi bilateral
tumor ke nervus optik dan chiasma optikum. Keuntungan dari
pendekatan bedah endoskopik adalah mencegah insisi pada daerah
wajah, angka morbiditas rendah, dan lamanya perawatan di rumah sakit
lebih singkat.1,8,13
Reseksi luas dari tumor kavum nasi dan sinus paranasalis dapat
menyebabkan kecacatan/kerusakan bentuk wajah, gangguan berbicara
dan kesulitan menelan. Tujuan utama dari rehabilitasi post pembedahan
adalah penyembuhan luka, penyelamatan/preservasi dan rekonstruksi
dari bentuk wajah, restorasi pemisahan oronasal, hingga memfasilitasi
kemampuan berbicara, menelan, dan pemisahan kavum nasi dan kavum
cranii.1,8,13,15,16
2. Radioterapi
Terapi radiasi juga disebut radioterapi kadang-kadang digunakan
sendiri pada stadium I dan II, atau dalam kombinasi dengan operasi
dalam setiap tahap penyakit sebagai adjuvant radioterapi (terapi radiasi
yang diberikan setelah dilakukannya terapi utama seperti
pembedahan).Pada tahap awal kanker sinus paranasal, radioterapi
dianggap sebagai terapilokal alternatif untuk operasi. Radioterapi
melibatkan penggunaan energi tinggi, penetrasi sinar untuk
menghancurkan sel-sel kanker di zona yang akan diobati. Terapi radiasi
jugadigunakan untuk terapi paliatif pada pasien dengan kanker
tingkatlanjut. Jenis terapi radiasi yang diberikan dapat berupa teleterapi
(radiasi eksternal) maupun brachyterapi (radiasi internal).Pemberian
radioterapi didasarkan pada jenis histopatologi karena ada yang bersifat
radiosensitif dan sebaliknya.8,10,13,15

3. Kemoterapi
Kemoterapi biasanya diperuntukkan untuk terapi tumor stadium
lanjut. Selain terapi lokal, upaya terbaik untuk mengendalikan sel-sel
kanker beredar dalam tubuh adalah dengan menggunakan terapi
sistemik (terapi yang mempengaruhi seluruh tubuh) dalam bentuk
suntikan atau obat oral. Bentuk pengobatan ini disebut kemoterapi dan
diberikan dalam siklus (setiap obat atau kombinasi obat-obatan
biasanya diberikan setiap tiga sampai empat minggu). Tujuan
kemoterapi untuk terapi tumor sinonasal adalah sebagai terapi tambahan
(baik sebagai adjuvant maupun neoadjuvant), kombinasi dengan
radioterapi (concomitant), ataupun sebagai terapi paliatif. 8,10,13
Kemoterapi dapat mengurangi rasa nyeri akibat tumor, mengurangi
obstruksi, ataupun untuk debulking pada lesi-lesi masif eksternal.
Pemberian kemoterapi dengan radiasi diberikan pada pasien-pasien
dengan resiko tinggi untuk rekurensi seperti pasien dengan hasil PA
margin tumor positif setelah dilakukan reseksi, penyebaran perineural,
ataupun penyebaran ekstrakapsular pada metastasis regional.8,13

2.8 Komplikasi
Komplikasi keganasan sinus terkait dengan pembedahan dan rekonstruksi.
Beberapa komplikasi yang dapat terjadi yaitu : 1,2,8,13
1. Perdarahan : untuk menghindari perdarahan arteri etmoid anterior
dan posterior dan arteri sfenopalatina dapat dikauter atau diligasi.
2. Kebocoran cairan otak : cairan otak dapat bocor dekat dengan basis
cranii.Tanda dan gejala yang terjadi termasuk rinorhea yang jernih, rasa
asin dimulut, dan tanda halo. Perawatan konservatif dengan tirah baring
dandrainase lumbal dapat dilakukan selama 5 hari bersama antibiotik.
Jika gagal, harus dilakukan intervensi pembedahan.
3. Epifora : hal ini sering terjadi saat pembedahan disebabkan oleh
obstruksi pada aliran traktus lakrimalis. Endoskopik lanjutan dan
tindakan dakriosisto rhinostomi mungkin perlu dilakukan.
4. Diplopia : perbaikan dasar orbita yang tepat adalah kunci
untuk menghindari komplikasi ini. Jika terjadi diplopia, penggunaan
kacamata prisma merupakan terapi yang paling sederhana.
2.9 Prognosis
Pada umumnya prognosis kurang baik. Banyak sekali faktor yang
mempengaruhi prognosis keganasan pada sinonasal. Faktor-faktor tersebut seperti
perbedaan diagnosis histologi, asal tumor primer, perluasan tumor, pengobatan
yang diberikan sebelumnya, status batas sayatan, terapi adjuvan yang diberikan,
status imunologis, lamanya follow up dan banyak lagi faktor lain yang dapat
berpengaruh terhadap agresifitas penyakit dan hasil pengobatan yang tentunya
berpengaruh juga terhadap prognosis penyakit ini. Pengobatan multimodalitas
akan memberikan hasil yang terbaik dalam mengontrol tumor primer dan akan
meningkatkan angka ketahanan hidup 5 tahun sebesar 75% untuk seluruh stadium
tumor.1,8,13,14

BAB III
KESIMPULAN
Karsinoma sinonasal adalah penyakit di mana sel-sel kanker ditemukan
dalam jaringan sinus paranasal dan jaringan sekitar hidung. Pria terkena 1,5 kali
lebih sering dibandingkan wanita, dan 80% dari tumor ini terjadi pada orang
berusia 45-85 tahun. Sekitar 60-70% dari keganasan sinonasal terjadi pada sinus
maksilaris dan 20-30% terjadi pada rongga hidung sendiri. Diperkirakan 10-15%
terjadi pada sinus ethmoidal dengan minoritas sisa neoplasma ditemukan di sinus
frontal dan sphenoid.
Paparan asap hasil sisa industri, terutama debu kayu, merupakan faktor
resiko utama yang telah diketahui untuk tumor ganas sinonasal. Efek paparan ini
mulai timbul setelah 40 tahun atau lebih sejak pertama kali terpapar dan menetap
setelah penghentian paparan. Pasien dengan tumor sinus paranasal biasanya
dirawat oleh tim spesialis menggunakan pendekatan holistik multidisiplin
ilmu.Tingkat rata-rata ketahanan hidup bagi pasien dengan tumor sinus maksilaris
sekitar 40% selama 5 tahun. Tumor yang berada pada tahap awal memiliki angka
kesembuhan hingga 80%. Pasien dengan tumor yang dioperasi dan dilakukan
terapi radiasi memiliki tingkat kelangsungan hidup kurang dari 20%.

DAFTAR PUSTAKA
1. Roezin A, Armiyanto. Tumor Hidung dan Sinonasal. dalam : Buku Ajar Ilmu
Kesehatan Telinga Hidung Tenggorokan Kepala & Leher: edisi 6. Soepardi
EA, Iskandar N, Bashiruddin J, Restuti RD, editor. 2007. Jakarta : Fakultas
Kedokteran Universitas Indonesia. hal : 178-81.
2. Hilger PA, Adam GL. Penyakit Hidung dan Tumor-Tumor Ganas Kepala
Leher. dalam : BOEIS Buku Ajar Penyakit THT : edisi 6. Effendi H, Santoso
RAK, editor. Jakarta :Penerbit Buku Kedokteran EGC. hal : 235-7, 429-44.
3. Agussalim, dr. Tumor Sinonasal. 2006. Universitas Sumatera Utara.[cited on
27 maret 2020]. Available from:
http://repository.usu.ac.id/bitstream/123456789/24571/.../Chapter%20II.pdf
4. Rosen, ST. Head and Neck Cancer. 2004. USA : Kluwer Academic
Publishers. hal : 161-169.
5. Snell, R. S. Kepala dan Leher. dalam: Anatomi Klinik Untuk Mahasiswa
Kedokteran. Edisi 6.2006. Jakarta : EGC. hal 252-256
6. Faller, A, Schuenke,M. The Respiratory System. dalam : The Human Body.
New York. Georg Thieme Verlag; 2004;hal 335-338
7. Dhingra P. Anatomy of Nose. in : Disease of Ear, Nose, and Throat 4 th
edition. 2010. India : Elsevier. hal 130-5,141,165.
8. Budiman, B., Yurni. Maksilektomi Total Dengan Eksenterasi Orbita Pada
Karsinoma Mukoepidermoid Sinonasal. 2012. Padang : Fakultas Departemen
Telinga Hidung Tenggorok-Bedah Kepala Leher Kedokteran Universitas
Andalas/ RS. Dr. M.Djamil Padang. hal 1-15.
9. Carrau RL, MD. Malignant Tumor of the Nasal Cavity and Sinuses.[cited on
27 Maret 2020]. Available from : http://emedicine.medscape.com/article
/846995-overview#showall
10. Surakardja, IDG. Tumor Hidung dan Sinus Paranasal. dalam : Onkologi
Klinik. 2000. Fakultas kedokteran Universitas Airlangga/RSUD Dr. Soetomo
Surabaya. hal : 85-103.
11. Salam KS, Choudhury AA, Hossain MD, et al. Clinicopathological Study of
Sinonasal Malignancy. Bangladesh J Otorhinolaryngology 2009; 15(2):55-9.
12. American Society of Clinical Oncology. Nasal Cavity and Paranasal Sinus
Cancers. 2011. USA.[cited on 27 Maret 2020]. Available from :
http://www.cancer.net/cancer-types/nasal-cavity-and-paranasal-sinus-cancer
13. Probst,R., Grever, G., Iro, H. Disease of the Nose, Paranasal Sinuses, and
Face. dalam : Basic Otorhinolaryngology. 2006. New York : Thieme. hal 64-
67.
14. Weedon, D. 2010. Weedon’s Skin Pathology
15. Rosai, J. 2011. Respiratory Tract’, in Rosai & Ackerman’s Surgical
Pathology. 9th edn. Toronto: Mosby, pp. 294–303.
16. Sadeghi, N. and Al-Sebeih, K. 2011. Sinonasal Papillomas’, medscape
refference. Available at: http://emedicine.medscape.com/article/862 677-
overview

Anda mungkin juga menyukai