TUMOR SINONASAL
Oleh:
Pembimbing
UNIVERSITAS JAMBI
2020
BAB I
PENDAHULUAN
PEMBAHASAN
2.1 Defenisi
Tumor sinonasal adalah penyakit di mana terjadinya pertumbuhan
sel pada sinus paranasal dan rongga hidung. Lokasi hidung dan sinus
paranasal (sinonasal) merupakan rongga yang dibatasi oleh tulang-tulang
wajah yang merupakan daerah yang terlindung sehingga tumor yang
timbul di daerah ini sulit diketahui secara dini. Gejala berupa rasa penuh
atau hidung tersumbat, epistaksis, rinorea, nyeri, parastesia,
pembengkakan pada hidung, pipi atau palatum, luka yang tidak kunjung
sembuh atau ulkus, adanya massa pada kavum nasi, pada kasus lanjut
dapat terjadi proptosis, diplopia atau lakrimasi.1,2,3
2.2 Anatomi dan Fisiologi
A. Hidung
Hidung terdiri atas nasus externus dan cavum nasi. Nasus
externus mempunyai ujung yang bebas yang dilekatkan ke dahi melalui
radix nasi. Lubang luar hidung disebut nares. Kedua nares dibatasi oleh
ala nasi dibagian lateral dan oleh septum nasi dibagian medial. Rangka
nasus externus dibagian atas dibatasi oleh os nasale, processus frontalis
ossis maxillaris pars nasalis ossis frontalis. Dibagian bawah
dibentuk oleh lempeng tulang rawan yaitu cartilago nasi superior dan
inferior, dan cartilago septi nasi.5,6
2.5 Klasifikasi
e. Adenokarsinoma Sinonasal
Adenokarsinoma dikenal sebagai tumor glandular maligna dan
tidak menunjukkan gambaran spesifik. Adenokarsinoma dijumpai 10
hingga 14% dari keseluruhan tumor ganas nasal dan sinus paranasal.
Secara klinis merupakan neoplasma agresif lokal, sering ditemukan
pada laki-laki dengan usia antara 40 hingga 70 tahun. Tumor ini timbul
di dalam kelenjar salivari minor dari traktus aerodigestivus bagian atas.
Sering ditemukan pada sinus maksilaris dan etmoid. Gejala utama
berupa hidung tersumbat, nyeri, massa pada wajah dengan deformasi
dan atau proptosis dan epistaksis, bergantung pada lokasinya.9,10,11
Gambaran histologi yang dapat ditemukan adalah tipe cribriform,
tubular, dan solid. Tipe cribriform paling sering ditemukan dengan
gambaran khas penampakan “swiss cheese”. Adenokarsinoma
menyebar dengan menginvasi dan merusak jaringan lunak dan tulang di
sekitarnya dan jarang bermetastasis. Terapi pembedahan dan adjuvant
radioterapi adalah pengobatan pilihan yang umum digunakan untuk
terapi pada adenokarsinoma. Prognosisnya jelek dan biasanya penderita
meninggal dunia disebabkan penyebaran lokal tanpa adanya
metastasis.9,10
4. Gejala fasial
Perluasan tumor akan menyebabkan penonjolan pipi,
disertai nyeri, anesthesia atau parestesia muka jika sudah mengenai
nervus trigeminus.
5. Gejala intracranial
Perluasan tumor ke intrakranial dapat menyebabkan sakit
kepala hebat, oftalmoplegia dan gangguan visus. Dapat disertai
likuorea, yaitu cairan otak yang keluar melalui hidung ini terjadi
apabila tumor sudah menginvasi atau menembus basis cranii. Jika
perluasan sampai ke fossa kranii media maka saraf otak lainnya
bisa terkena. Jika tumor meluas ke belakang, terjadi trismus akibat
terkenanya muskulus pterigoideus disertai anestesia dan parestesia
daerah yang dipersarafi nervus maksilaris dan mandibularis.
b. Pemeriksaan Fisis
Saat memeriksa pasien, pertama-tama perhatikan wajah pasien
apakah terdapat asimetri atau distorsi. Jika ada proptosis, perhatikan
arah pendorongan bola mata. Jika mata terdorong ke atas, berarti tumor
berasal dari sinus maxilla, jika ke bawah dan lateral berarti tumor
berasal dari sinus frontal atau etmoid. Selanjutnya periksa dengan
seksama kavum nasi dan nasofaring melalui rinoskopi anterior dan
posterior. Permukaan yang licin merupakan pertanda tumor jinak
sedangkan permukaan yang berbenjol-benjol, rapuh dan mudah
berdarah merupakan pertanda tumor ganas.1,4,9
Jika dinding lateral kavum nasi terdorong ke medial berarti tumor
berada di sinus maksila. Untuk memeriksa rongga oral, disamping
inspeksi lakukan juga palpasi gusi rahang atas dan palatum, apakah ada
nyeri tekan, penonjolan atau gigi goyang. Pemeriksaan nasoendoskopi
dan sinuskopi dapat membantu menemukan tumor padastadium dini.
Kita juga harus memeriksa telinga adakah tuli konduktif unilateral
tanpa kelainan telinga dan kelainan saraf cranial. Adanya pembesaran
kelenjar leher juga perlu dicari meskipun tumor ini jarang bermetastasis
ke kelenjar leher.1,4,10
c. Pemeriksaan Penunjang
1. Pemeriksaan Biopsi
Biopsi adalah pengangkatan sejumlah kecil jaringan untuk
pemeriksaan dibawah mikroskop. Apusan sampel di ambil untuk
mengevaluasisel, jaringan, dan organuntuk mendiagnosa penyakit.
Ini merupakan salah satu carauntuk mengkonfirmasidiagnosis
apakah tumor tersebut jinak atau ganas. Untuk yang ukuran kecil,
tumor dapat diangkat seluruhnya, sedangkan untuk ukuran besar
maka tumor hanya diambil sebagian untuk contoh pemeriksaan
tumor yang sudah diangkat.1,4,10
Hasil pemeriksaan patologi anatomi (PA) dengan cara
seperti inilah yang dijadikan gold standart atau diagnosis pasti
suatu tumor. Bila hasilnya jinak, maka selesailah pengobatan tumor
tersebut, namun bila ganas atau kanker, maka ada tindakan
pengobatan selanjutnya apakah berupa operasi kembali atau
diberikan kemoterapi atau radioterapi.1,4,10,13
2. Pemeriksaan X-ray
Pada pemeriksaan X-ray sinus paranasal ada 4 macam
posisi yang perlu untuk mendapat hasil yang baik. Pertama, posisi
waters paling baik untuk melihat sinus maxilla. Kedua, posisi
Caldwell untuk melihat sinus etmoid dan orbita. Ketiga, posisi
lateral untuk melihat sinus sphenoid dan dinding anterior dan
posterior sinus frontal dan maxilla. Keempat, posisi
submentovertex untuk melihat sinus sphenoid dan etmoid
posterior.Normal sinus x-ray dapat menunjukkan sinus dipenuhi
dengan gambaran seperti udara.. Tanda-tanda kanker pada
pemeriksaan x-ray sebaiknya dikonfirmasi dengan pemeriksaan CT
scan.1,13
Gambar 9.Foto polos kepala tampak kista didalam sinus
maksilaris13
3. CT – Scan
CT-Scan lebih akurat dari pada plain film untuk menilai
struktur tulang sinus paranasal. Pasien beresiko tinggi dengan
riwayat terpapar karsinogen, nyeri persisten yang berat, neuropati
kranial, eksoftalmus, kemosis, penyakit sinonasal dan dengan
gejala persisten setelah pengobatan medis yang adekuat seharusnya
dilakukan pemeriksaan dengan CT scan axial dan coronal dengan
kontras. CT scan merupakan pemeriksaan superior untuk menilai
batas tulang traktus sinonasal dan dasar tulang tengkorak.
Penggunaan kontras dilakukan untuk menilai tumor, vaskularisasi
dan hubungannya dengan arteri karotis.1,13
0 Tis N0 M0
I T1 N0 M0
II T2 N0 M0
III T3 N0 M0
T1 N1 M0
T2 N1 M0
T3 N1 M0
Iva T4a N0 M0
T4a N1 M0
T1 N2 M0
T2 N2 M0
T3 N2 M0
T4a N2 M0
Semua T N3 M0
2.7 Penatalaksanaan
Pasien dengan kanker sinus paranasal biasanya dirawat oleh tim spesialis
menggunakan pendekatan holistik multidisiplin ilmu. Setiap pasien menerima
rencana pengobatan yang disesuaikan untuk memenuhi kebutuhannya. Pilihan
pengobatan utama untuk tumor sinus paranasal meliputi:1,4,9,13
1. Pembedahan
Terapi bedah yang dilakukan biasanya adalah terapi kuratif dengan
reseksi bedah. Pengobatan terapi bedah ini umumnya berdasarkan
staging dari masing-masing tumor. Secara umum, terapi bedah
dilakukan pada lesi jinak atau lesi dini (T1-T2). Terkadang,
pembedahan dengan margin/batas yang luas tidak dapat dilakukan
karena dekatnya lokasi tumor dengan struktur-struktur penting pada
daerah kepala, serta batas tumor yang tidakjelas. Radiasi post operatif
sangat dianjurkan untuk mengurangi insiden kekambuhan lokal. Pada
beberapa kasus eksisi paliatif ataupun debulking perlu dilakukan untuk
mengurangi nyeri yang hebat, ataupun untuk membebaskan dekompresi
saraf optik dan rongga orbita, serta untuk drainase sinus paranasalis
yang mengalami obstruksi. 1,8,13
Tumor yang berlokasi di kavum nasi dapat dilakukan berbagai
pendekatan bedah seperti reseksi endoskopi nasal, transnasal, sublabial,
sinus paranasalis, lateral rhinotomy atau kombinasi dari bedah
endoskopi dan bedah terbuka (open surgery). Dalam memilih terapi
bedah yang optimal, seorang ahli harus mempertimbangkan dengan
seksama dalam memilih pendekatan endonasal daripada prosedur klasik
yaitu melalui pendekatan rhinostomi lateral, rhinostomi medial,
transfasial, transoral, dan midfacial degloving. Jenis reseksi pada tumor
rongga hidung dan sinus paranasal ditentukan oleh lokasi lesi dan
perluasannya. Tumor yang berasal dari dalam sinus maxilaris diangkat
dengan cara maxilektomi.8,10
Menurut MSKCC, maksilektomi dibagi menjadi IV yaitu defek
tipe 1 ( maksilektomi terbatas) terdiri dari reseksi pada satu atau dua
dinding maksila kecuali palatal. Pada kebanyakan pasien, dinding
anterior sebagian dibuang beserta dengan salah satu dinding tengah atau
dasar orbita. Defek tipe II (maksilektomi subtotal) meliputi reseksi pada
lengkung maksila, palatal, dinding anterior dan lateral (lima dinding
dasar), dengan tetap menjaga dasar orbita. Defek tipe III (maksilektomi
total) meliputi reseksi keenam dinding maksila. Defek tipe ini dibagi
menjadi 2 tipe yaitu tipe IIIa, dimana isi orbita tetap dijaga dan tipe
IIIb, dimana isi orbita diikutsertakan. Defek tipe IV
(orbitomaksilektomi) meliputi reseksi pada isi orbita dan kelima
dinding atas maksila dengan tetap menjaga bagian palatal.1,8,13
3. Kemoterapi
Kemoterapi biasanya diperuntukkan untuk terapi tumor stadium
lanjut. Selain terapi lokal, upaya terbaik untuk mengendalikan sel-sel
kanker beredar dalam tubuh adalah dengan menggunakan terapi
sistemik (terapi yang mempengaruhi seluruh tubuh) dalam bentuk
suntikan atau obat oral. Bentuk pengobatan ini disebut kemoterapi dan
diberikan dalam siklus (setiap obat atau kombinasi obat-obatan
biasanya diberikan setiap tiga sampai empat minggu). Tujuan
kemoterapi untuk terapi tumor sinonasal adalah sebagai terapi tambahan
(baik sebagai adjuvant maupun neoadjuvant), kombinasi dengan
radioterapi (concomitant), ataupun sebagai terapi paliatif. 8,10,13
Kemoterapi dapat mengurangi rasa nyeri akibat tumor, mengurangi
obstruksi, ataupun untuk debulking pada lesi-lesi masif eksternal.
Pemberian kemoterapi dengan radiasi diberikan pada pasien-pasien
dengan resiko tinggi untuk rekurensi seperti pasien dengan hasil PA
margin tumor positif setelah dilakukan reseksi, penyebaran perineural,
ataupun penyebaran ekstrakapsular pada metastasis regional.8,13
2.8 Komplikasi
Komplikasi keganasan sinus terkait dengan pembedahan dan rekonstruksi.
Beberapa komplikasi yang dapat terjadi yaitu : 1,2,8,13
1. Perdarahan : untuk menghindari perdarahan arteri etmoid anterior
dan posterior dan arteri sfenopalatina dapat dikauter atau diligasi.
2. Kebocoran cairan otak : cairan otak dapat bocor dekat dengan basis
cranii.Tanda dan gejala yang terjadi termasuk rinorhea yang jernih, rasa
asin dimulut, dan tanda halo. Perawatan konservatif dengan tirah baring
dandrainase lumbal dapat dilakukan selama 5 hari bersama antibiotik.
Jika gagal, harus dilakukan intervensi pembedahan.
3. Epifora : hal ini sering terjadi saat pembedahan disebabkan oleh
obstruksi pada aliran traktus lakrimalis. Endoskopik lanjutan dan
tindakan dakriosisto rhinostomi mungkin perlu dilakukan.
4. Diplopia : perbaikan dasar orbita yang tepat adalah kunci
untuk menghindari komplikasi ini. Jika terjadi diplopia, penggunaan
kacamata prisma merupakan terapi yang paling sederhana.
2.9 Prognosis
Pada umumnya prognosis kurang baik. Banyak sekali faktor yang
mempengaruhi prognosis keganasan pada sinonasal. Faktor-faktor tersebut seperti
perbedaan diagnosis histologi, asal tumor primer, perluasan tumor, pengobatan
yang diberikan sebelumnya, status batas sayatan, terapi adjuvan yang diberikan,
status imunologis, lamanya follow up dan banyak lagi faktor lain yang dapat
berpengaruh terhadap agresifitas penyakit dan hasil pengobatan yang tentunya
berpengaruh juga terhadap prognosis penyakit ini. Pengobatan multimodalitas
akan memberikan hasil yang terbaik dalam mengontrol tumor primer dan akan
meningkatkan angka ketahanan hidup 5 tahun sebesar 75% untuk seluruh stadium
tumor.1,8,13,14
BAB III
KESIMPULAN
Karsinoma sinonasal adalah penyakit di mana sel-sel kanker ditemukan
dalam jaringan sinus paranasal dan jaringan sekitar hidung. Pria terkena 1,5 kali
lebih sering dibandingkan wanita, dan 80% dari tumor ini terjadi pada orang
berusia 45-85 tahun. Sekitar 60-70% dari keganasan sinonasal terjadi pada sinus
maksilaris dan 20-30% terjadi pada rongga hidung sendiri. Diperkirakan 10-15%
terjadi pada sinus ethmoidal dengan minoritas sisa neoplasma ditemukan di sinus
frontal dan sphenoid.
Paparan asap hasil sisa industri, terutama debu kayu, merupakan faktor
resiko utama yang telah diketahui untuk tumor ganas sinonasal. Efek paparan ini
mulai timbul setelah 40 tahun atau lebih sejak pertama kali terpapar dan menetap
setelah penghentian paparan. Pasien dengan tumor sinus paranasal biasanya
dirawat oleh tim spesialis menggunakan pendekatan holistik multidisiplin
ilmu.Tingkat rata-rata ketahanan hidup bagi pasien dengan tumor sinus maksilaris
sekitar 40% selama 5 tahun. Tumor yang berada pada tahap awal memiliki angka
kesembuhan hingga 80%. Pasien dengan tumor yang dioperasi dan dilakukan
terapi radiasi memiliki tingkat kelangsungan hidup kurang dari 20%.
DAFTAR PUSTAKA
1. Roezin A, Armiyanto. Tumor Hidung dan Sinonasal. dalam : Buku Ajar Ilmu
Kesehatan Telinga Hidung Tenggorokan Kepala & Leher: edisi 6. Soepardi
EA, Iskandar N, Bashiruddin J, Restuti RD, editor. 2007. Jakarta : Fakultas
Kedokteran Universitas Indonesia. hal : 178-81.
2. Hilger PA, Adam GL. Penyakit Hidung dan Tumor-Tumor Ganas Kepala
Leher. dalam : BOEIS Buku Ajar Penyakit THT : edisi 6. Effendi H, Santoso
RAK, editor. Jakarta :Penerbit Buku Kedokteran EGC. hal : 235-7, 429-44.
3. Agussalim, dr. Tumor Sinonasal. 2006. Universitas Sumatera Utara.[cited on
27 maret 2020]. Available from:
http://repository.usu.ac.id/bitstream/123456789/24571/.../Chapter%20II.pdf
4. Rosen, ST. Head and Neck Cancer. 2004. USA : Kluwer Academic
Publishers. hal : 161-169.
5. Snell, R. S. Kepala dan Leher. dalam: Anatomi Klinik Untuk Mahasiswa
Kedokteran. Edisi 6.2006. Jakarta : EGC. hal 252-256
6. Faller, A, Schuenke,M. The Respiratory System. dalam : The Human Body.
New York. Georg Thieme Verlag; 2004;hal 335-338
7. Dhingra P. Anatomy of Nose. in : Disease of Ear, Nose, and Throat 4 th
edition. 2010. India : Elsevier. hal 130-5,141,165.
8. Budiman, B., Yurni. Maksilektomi Total Dengan Eksenterasi Orbita Pada
Karsinoma Mukoepidermoid Sinonasal. 2012. Padang : Fakultas Departemen
Telinga Hidung Tenggorok-Bedah Kepala Leher Kedokteran Universitas
Andalas/ RS. Dr. M.Djamil Padang. hal 1-15.
9. Carrau RL, MD. Malignant Tumor of the Nasal Cavity and Sinuses.[cited on
27 Maret 2020]. Available from : http://emedicine.medscape.com/article
/846995-overview#showall
10. Surakardja, IDG. Tumor Hidung dan Sinus Paranasal. dalam : Onkologi
Klinik. 2000. Fakultas kedokteran Universitas Airlangga/RSUD Dr. Soetomo
Surabaya. hal : 85-103.
11. Salam KS, Choudhury AA, Hossain MD, et al. Clinicopathological Study of
Sinonasal Malignancy. Bangladesh J Otorhinolaryngology 2009; 15(2):55-9.
12. American Society of Clinical Oncology. Nasal Cavity and Paranasal Sinus
Cancers. 2011. USA.[cited on 27 Maret 2020]. Available from :
http://www.cancer.net/cancer-types/nasal-cavity-and-paranasal-sinus-cancer
13. Probst,R., Grever, G., Iro, H. Disease of the Nose, Paranasal Sinuses, and
Face. dalam : Basic Otorhinolaryngology. 2006. New York : Thieme. hal 64-
67.
14. Weedon, D. 2010. Weedon’s Skin Pathology
15. Rosai, J. 2011. Respiratory Tract’, in Rosai & Ackerman’s Surgical
Pathology. 9th edn. Toronto: Mosby, pp. 294–303.
16. Sadeghi, N. and Al-Sebeih, K. 2011. Sinonasal Papillomas’, medscape
refference. Available at: http://emedicine.medscape.com/article/862 677-
overview