MAKALAH KELOMPOK 6
Disusun Oleh :
Dosen Pengampu:
HIJRIYANA SAFITHRI., SH., MH
Alhamdulillah. Segala puji hanya bagi Allah. Shalawat dan salam semoga
selalu dilimpahkan kepada Rasulallah saw. Beserta keluarga, sahabat, dan orang-
orang yang mengikuti beliau hingga akhir.
Penyusun
i
DAFTAR ISI
Kata Pengantar i
Daftar Isi ii
BAB I : PENDAHULUAN 1
A. Latar Belakang Masalah................................................................1
B. Rumusan Masalah..........................................................................1
C. Tujuan............................................................................................1
BAB II : PEMBAHASAN 2
A. Pengertian Dan Tujuan Penyitaan..................................................2
1. Pengertian Penyitaan................................................................2
2. Tujuan Penyitaan.....................................................................4
B. Beberapa Prinsip Pokok Sita..........................................................5
C. Jenis-Jenis Sita Jaminan dan Tata Cara Penyitaan........................8
1. Sita Jaminan.............................................................................8
2. Sita Revindikasi.......................................................................8
3. Sita Marital..............................................................................9
BAB III : PENUTUP 12
A. Kesimpulan......................................................................................12
Daftar Pustaka 13
ii
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Penyitaan ialah upaya paksa yang dilakukan oleh penyidik untuk
mengambil atau merampas suatu barang tertentu dari seorang tergugat maupun
penggugat sendiri. Pengertian lain dari Penyitaan ialah tindakan penempatan
harta kekayaan tergugat secara paksa berada dalam keadaan penjagaan. Pada
pasal 199 HIR dan Pasal 231 KUHPER, terjamin perlindungan yang kuat bagi
penggugat atas terpenuhnya pelaksanaan putusan pengadilan pada saat
eksekusi dijalankan. Tujuan dari dilakukannya penyitaan untuk kepentingan
pembuktian, terutama ditunjukkan sebagai barang bukti dimuka sedang
pengadilan. Benda-benda yang diperoleh melalui tindakan penyitaan disebut
benda sitaan negara (berdasarkan pasal 1 butir 4 peraturan Pemerintah No. 27
Tahun 1983 Tentang Pelaksanaan KUHAP). Tanggung Jawab terhadap benda
sitaan atas hal segala yang berkaitan dengan status yuridis benda sitaan
tersebut.
B. Rumusan Masalah
1. Apa yang dimaksud dengan sita jaminan beserta tujuannya ?
2. Prinsip pokok sita apa yang terdapat di dalamnya?
3. Apa sajakah Jenis-Jenis Sita jaminan dan tata cara penyitaan?
C. Tujuan Penelitian
1. Untuk mengetahui pengertian dari penyitaan dan tujuannya.
2. Untuk memahami beberapa prinsip pokok dalam yang ada dalam sita.
3. Untuk mengetahui jenis-jenis sita jaminan dan tata cara penyitaan.
1
BAB II
PEMBAHASAN
1
Yahya Harahap, Hukum Acara Perdata tentang Gugatan, Persidangan, Penyitaan,
Pembuktian, dan Putusan Pengadilan, (Jakarta: Sinar Grafika, 2016), cet.ke-16, hal.282
2
Bambang Sugeng, Pengantar Hukum Acara Perdata dan Contoh Dokumen Litigasi,
(Jakarta: Kencana, 2013), cet.ke-2, hal. 75-76
2
hadir. Dalam melakukan pekerjaannya itu panitera dibantu oleh dua orang
saksi yang ikut serta menandatangani berita acara.
Pertama kali tentang Juru sita dan penyitaan diatur dalam Undang-Undang
Nomor 13 Tahun 1965 Bab IV pasal 65 tentang Juru Sita berbunyi:
1. Jurusita dan jurusita pengganti adalah pejabat umum.
2. Jurusita diangkat dan diberhentikan oleh Menteri Kehakiman dan
Jurusita pengganti diberhentikan oleh Kepala Pengadilan yang
bersangkutan.
Pasal 66 berbunyi :
1. Jurusita mempunya tugas dalam pengadilan dan melaksanakan semua
tugas yang diberika oleh ketua siding.
2. Ia mempunyai tugas dalam daerah hukum pengadilan dimana ia
diangkat.
3. Selain tugas tersebut dalam ayat (1) ia melakukan pemberitahuan-
pemberitahuan pengadilan, memberikan pengumuman-pengumuman,
protesprotes yang berhubungan tau tidak berhubungan dengan perkara
yang sedang dipersidangkan dari semua perkara pidana maupun
perkara perdata dalam hal-hal menurut cara-cara yang diatur dengan
Undang-undang.
4. Atas perintah Kepala Pengadilan Negeri atau Panitera, Jurusita
melakukan Pensitaan.
5. Ia membuat berita acara yang salinnya diserahkan kepada orang yang
tersangkut dalam sitaan.
Kemudian di pertegas lagi tentang tugas dan fungsi dalam Undang-
Undang Nomor 14 Tahun 1970 tentang ketentuan-ketentuan Pokok
Kekuasaan Kehakiman. Setelah lahirnya Undang-Undang Nomor 7 Tahun
1989 Tentang Peradilan Agama, Sita dan penyitaan yang selama ini hanya
berlaku dilingkungan Peradilan Umum , sekarang diberlakukan juga di
lingkungan Peradilan Agama.
Dalam pasal 38 – pasal 42 Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang
Peradian Agama3 dikemukakan bahwa pada setiap Pengadilan Agama
3
Basiq Djalil, Peradilan Agama Di Indonesia, (Jakarta: Kencana, 2019). Cet.ke-4,
hal.177-178
3
ditetapkan adanya Jurusita dan Jurusita Pengganti ini ditetapkan dalam
kedudukannya baik sebagai struktural maupun sebagai teknis fungsonal.
Syarat-syarat sebagai Jurusita maupun Jursita pengganti adalah warga negara
Republik Indonesia, beragama Islam, dan Bertaqwa Kepada Tuhan yang
Maha Esa, setia kepada Pancasila dan Undang-undang Dasar 1945, dan
berijasah serendah-rendahnya SLTA, dan untuk juru sita pengganti harus
berpengalaman sekurang-kurangnya selama 5 tahun.
2. Tujuan Penyitaan
a. Agar Gugagatan Tidak Illusoir
Tujuan utama penyitaan, agar barang harta kekayaan tergugat itu tidak
dipindahkan kepada orang lain melalui jual-beli atau penghibahan, dan
sebagainya, serta tidak dibebani dengan sewa-menyewa atau diangunkan
kepada pihak ketiga.4
Jadi, beslag merupakan upaya hukum bagi penggugat untuk menjamin
dan melindungi kepentingannya atas keutuhan dan keberadaan harta
kekayaan tergugat sampai putusan memperoleh kekuatan hukum tetap.
Upaya tersebut bermaksud untuk menghindari tindakan iktikad buruk
tergugat dengan berusaha melepaskan diri memenuhi tanggung jawab
perdata yang mesti dipukulnya atas PMH atau wanprestasi yang
dilakukannya.
Dengan adanya penyitaan melalui perintah pengadilan, secara hukum
harta kekayaan tergugat berada dibawah penjagaan dan pengawasan
pengadilan, sampai ada perintah pengangkatan atau pencabutan sita. Selama
dalam penyitaan. Larangan pasal 199 HIR dan Pasal 215 RBG, yaitu
melarang tergugat menjual,menghibahkan, atau memindahkan barang itu
dalam bentuk apapun dan kepada siapapun.5
4
Yahya Harahap, Hukum Acara Perdata tentang Gugatan, Persidangan, Penyitaan,
Pembuktian, dan Putusan Pengadilan, (Jakarta: Sinar Grafika, 2016), cet.ke-16, hal.285
5
Yahya Harahap, Hukum Acara Perdata tentang Gugatan, Persidangan, Penyitaan,
Pembuktian, dan Putusan Pengadilan, (Jakarta: Sinar Grafika, 2016), cet.ke-16, hal. 286
4
Pada saat permohonan sita diajukan, penggugat harus menunjukkan
identitas barang yang hendak disita. Menjelaskan letak,jenis,ukuran, dan
batas-batasnya. Kemudian juru sita akan memeriksa kebenarannya. Karena
objek barang yang disita sudah pasti sejak semula, maka hal ini langsung
memberi kepastian atas objek barang eksekusi, apabila putusan telah
berkekuatan hukum tetap.
Kepastian objek eksekusi atas barang sitaan semakin sempurna sesuai
dengan penegasan MA yang menyatakan, Barang yang disita dapat langsung
diserahan kepada pihak penggugat, jika perkara yang terjadi mengenai
sengketa milik, atau barang yang disita dapat langsung dieksekusi melalui
penjualan lelang, apabila perkara yang terjadi sengketa utang-piutang atau
tuntutan ganti rugi berdasarkan Wanprestasi atau PMH.6
6
Ibid., hal.287
5
Bertitik tolak dari prinsip pemeriksaan persidangan yang dianut HIR-Rbg
acara proses beracara secara lisan dihubungkan dengan ketentuan Pasal 226
dan Pasal 227 HIR, bentuk permohonan sita:
a. Bentuk Lisan (Oral)
b. Bentuk Tertulis
Bentuk ini dianggap paling tepat karena memenuhi administrasi yustisial
yang lebih baik. Itu sebabnya Pasal 227 Ayat (1) HIR mengehendaki agar sita
diajukan dalam bentuk tertulis berupa surat permintaan :
1) Permintaaan disatukan dengan surat gugatan
2) Diajukan dalam surat tersendiri
6
KUHP yang menegaskan hanya mengkat pada para pihak yang
membuatnya, berlaku juga dalam proses penyelesaian perkara. Hanya
mengikat pada pihak yang menggugat dan tergugat.
Pembuktian, dan Putusan Pengadilan, (Jakarta: Sinar Grafika, 2016), cet.ke-16, hal. 287-326
7
kehilangan wewenangnya untuk menguasai barangnya, sehingga tindakan-
tindakan tergugat untuk mengalikan barang-barang yang disita adalah
perbuatan pidana dan melawan hukum.
Permohonan Conservatoir Beslaag dengan ketentuan-ketentuan berikut :
a. Adanya sangkaan atau dugaan yang beralasan bahwa tergugat akan
menggelapkan atau mengalihkan atau memindahkan barang-barang
sebelum putusan dijatuhkan.
b. Barang yang disita adalah barang yang bergerak atau tidak bergerak milik
tergugat.
c. Permohonan diajukan kepada pengadilan atau kepada majelis hakim yang
memeriksa perkara.
8
Pengadilan mempunyai kekuatan hukum yang tetap, atas permohonan
penggugat barang-barang bergerak tersebut dapat diperintahkan agar
diserahkan kepada pemilik sebenarnya. Tindakan penyitaan barang bergerak
dari tangan yang memegangnya merupakan tindakan hukum supaya tidak
dialihkan kepada orang lain oleh pemegangnya sampai putusan terhadap
perkara yang diajukan itu ditetapkan oleh hakim yang mengadilinya.
Permohonan sita ini dengan ketentuan-ketentuan sebagai berikut :
a. Berupa barang bergerak milik penggugat yang berada di tangan
penggugat
b. Diajukan kepada ketua pengadilan atau majelis hakim yang memeriksa
perkara
c. Permohonan diajukan secara lisan atau tertulis.
d. Barang tersebut diterangkan secara seksama dan terperinci.
11
Abdullah Tri Wahyudi, Hukum Acara Peradilan Agama, (Bandung: CV Mandar Maju,
2018) hlm, 112.
12
Sarwono, Hukum Acara Perdata Teori dan Praktik, (Jakarta: Sinar Grafika, 2011),
Cet.ke-2, hal.151
9
Dalam hukum acara di peradilan agama sita mantai diatur dalam
passal 78 huruf (c) UU No. 7 tahun1989 yang menyatakan “selama
berlangsungnya gugatan perceraian atas permohonan penggugat pengadilan
dapat menentukan hal-hal yang perlu untuk menjamin terpeliharanya barang-
baranmg yang menjadi hak bersama suami istri atau barang-barang yang
menjadi hak suami atau barang-barang yang menjadi hak istri.
Tata cara permohonan sita marital :
a. Dapat diajukan bersamaan dengan gugatan pokok dalam surat gugatan
b. Dirumuskan pada bagian setelah uraian posita.
c. Dalam petitum, harus diminta agar sita dinyatakan sah dan berharga.
10
Tanah di Kantor Pertanahan dan salinannya dimuat dalam buku khusus
yang disediakan untuk maskud itu di Kepaniteraan pengadilan dengan
menyebut jam, tanggal, hari, bulan, dan tahun dilakukannya penyitaan.
i. Pegawai yang melakukan penyitaan harus memberi perintah kepada
Kepala Desa adanya penyitaan barang tidak bergerak untuk diumumkan
kepada khalayak ramai.
j. Sejak adanya berita acara penyitaan maka orang yang disita barangnya
tidak dapat memindahkan, mengalihkan, menyewakan barang tidak tetap
miliknya kepada orang lain.13
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
1. Sita jaminan adalah sita terhadap barang bergerak maupun barang tidak
bergerak tergugat yang di sengketakan status kepemilikanya berupa,
atau dalam sengketa hutang piutang atau tuntutan ganti rugi. Dengan
13
Abdullah Tri Wahyudi, Peradilan Agama di Indonesia, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar,
2004) hlm, 146.
11
Tujuan agar terlindungi kepentingan penggugat dari iktikad buruk
tergugat, serta memberikan jaminan kepastian kepada penggugat.
2. Didalam penyitaan terdapat ketentuan yang bersifat umum yang harus
ditaati terhadap segala bentuk sita tanpa mengurangi adanya perbedaan
yang bersifat khusus pada jenis-jenis sita.
3. Jenis-Jenis Penyitaan itu terbagi menjadi 3, yaitu :Conservatoir Beslag,
Revindicatoir Beslag, dan Maritaal Beslag. Perbedaannya hanya pada
Objek dari Benda yang disita dan juga perkaranya.
Tata cara penyitaan diatur dalam pasal 197, pasal 198, dan pasal
199 HIR, diantaranya sebagian sebagai berikut :
a. Penyitaan dilakukan oleh Panitera Pengadilan.
b. Apabila panitera berhalangan, dapat diganti oleh orang lain yang
ditunjuk oleh Ketua Pengadilan.
c. Dalam melakukan penyitaan harus dibuat berita acara dan isi
berita acara tersebut diberitahukan kepada orang yang disita
barangnya apabila hadir.
DAFTAR PUSTAKA
12
Djalil, Basiq. 2019. Peradilan Agama Di Indonesia. Jakarta: Kencana. Cet.ke-4
Sarwono. 2011. Hukum Acara Perdata Teori dan Praktik. Jakarta: Sinar Grafika.
Cet.ke-2
Tri Wahyudi, Abdullah. 2018. Hukum Acara Peradilan Agama. Bandung: CV
Mandar Maju.
13