Anda di halaman 1dari 16

SITA JAMINAN

MAKALAH KELOMPOK 6

Disusun Oleh :

RACHMA DWI SARITA 1810103052


RIZKY MUHAMMAD FALA 1810103058

Dosen Pengampu:
HIJRIYANA SAFITHRI., SH., MH

PROGRAM STUDI HUKUM PIDANA ISLAM


FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI RADEN FATAH PALEMBANG
2020
KATA PENGANTAR

Assalamu’alaikum warahmatullahi wabarakatuh

Alhamdulillah. Segala puji hanya bagi Allah. Shalawat dan salam semoga
selalu dilimpahkan kepada Rasulallah saw. Beserta keluarga, sahabat, dan orang-
orang yang mengikuti beliau hingga akhir.

Kami bersyukur kepada Allah yang berkat kemudahan dari-Nya kami


dapat menyelesaikan makalah ini. Dalam makalah ini kami akan membahas
mengenai “Sita Jaminan” dan juga kami berterima kasih pada Ibu Hijriyana
Safithri., SH., MH. Selaku dosen mata kuliah Hukum Acara Perdata yang telah
memberikan tugas ini pada kami sebagai tugas kelompok.
kami sangat berharap makalah ini dapat berguna dalam rangka menambah
wawasan serta pengetahuan tentang “Sita Jaminan”. kami juga menyadari
sepenuhnya didalam makalah ini terdapat kekurangan dan jauh dari kata
sempurna. Oleh sebab itu, kami berharap adanya kritik, saran dan usulan demi
perbaikan makalah yang telah kami buat dimasa yang akan datang, mengingat
tidak ada sesuatu yang sempurna tanpa saran yang membangun.

Wa’alaikumsalam warahmatullahi wabarakatuh

Palembang, Maret 2020

Penyusun

i
DAFTAR ISI

Kata Pengantar i
Daftar Isi ii
BAB I : PENDAHULUAN 1
A. Latar Belakang Masalah................................................................1
B. Rumusan Masalah..........................................................................1
C. Tujuan............................................................................................1
BAB II : PEMBAHASAN 2
A. Pengertian Dan Tujuan Penyitaan..................................................2
1. Pengertian Penyitaan................................................................2
2. Tujuan Penyitaan.....................................................................4
B. Beberapa Prinsip Pokok Sita..........................................................5
C. Jenis-Jenis Sita Jaminan dan Tata Cara Penyitaan........................8
1. Sita Jaminan.............................................................................8
2. Sita Revindikasi.......................................................................8
3. Sita Marital..............................................................................9
BAB III : PENUTUP 12
A. Kesimpulan......................................................................................12
Daftar Pustaka 13

ii
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Penyitaan ialah upaya paksa yang dilakukan oleh penyidik untuk
mengambil atau merampas suatu barang tertentu dari seorang tergugat maupun
penggugat sendiri. Pengertian lain dari Penyitaan ialah tindakan penempatan
harta kekayaan tergugat secara paksa berada dalam keadaan penjagaan. Pada
pasal 199 HIR dan Pasal 231 KUHPER, terjamin perlindungan yang kuat bagi
penggugat atas terpenuhnya pelaksanaan putusan pengadilan pada saat
eksekusi dijalankan. Tujuan dari dilakukannya penyitaan untuk kepentingan
pembuktian, terutama ditunjukkan sebagai barang bukti dimuka sedang
pengadilan. Benda-benda yang diperoleh melalui tindakan penyitaan disebut
benda sitaan negara (berdasarkan pasal 1 butir 4 peraturan Pemerintah No. 27
Tahun 1983 Tentang Pelaksanaan KUHAP). Tanggung Jawab terhadap benda
sitaan atas hal segala yang berkaitan dengan status yuridis benda sitaan
tersebut.

B. Rumusan Masalah
1. Apa yang dimaksud dengan sita jaminan beserta tujuannya ?
2. Prinsip pokok sita apa yang terdapat di dalamnya?
3. Apa sajakah Jenis-Jenis Sita jaminan dan tata cara penyitaan?

C. Tujuan Penelitian
1. Untuk mengetahui pengertian dari penyitaan dan tujuannya.
2. Untuk memahami beberapa prinsip pokok dalam yang ada dalam sita.
3. Untuk mengetahui jenis-jenis sita jaminan dan tata cara penyitaan.

1
BAB II
PEMBAHASAN

A. Pengertian Dan Tujuan Penyitaan


1. Pengertian Penyitaan

Menurut Marrianne Termorshuizen , Kamus Hukum Belanda – Indonesia


halaman 49 penyitaan berasal dari terminology beslag (Belanda)1 dan istilah
Indonesia beslah tetapi istilah bakunya ialah sita atau penyitaan.
Pengertian yang terkandung di dalamnya ialah:
1. Tindakan menempatkan harta kekayaan tergugat secara paksa berada
kedalam keadaan penjagaan (to take into custody the property of a
defendant),
2. Tindakan paksa penjagaan itu dilakukan secara resmi (official)
berdasrkan perintah pengadilan atau hakim,
3. Barang yang ditempatkan dalam penjagaan tersebut, berupa barang
yang disengketakan, tetapi boleh juga barang yang dijadikan sebgai
alat pembayaran atas pelunasan utang debitur atau tergugat, dengan
jalan menjual lelang barang yang disita tersebut,
4. Penetapan dan penjagaan barang yang disita, berlangsung selama
proses pemerikasaan, sampai ada putusan pengadilan yang
berkekuatan hokum tetap, yang menyatakan sah atau tidak tindakan
penyitaan tersebut.

Sita jaminan mengandung arti2, bahwa untuk menjamin pelaksanaan suatu


putusan dikemudian hari, barang-barang milik tergugat baik yang bergerak
maupun tidak bergerak selama proses berlangsung, terlebih dahulu disita atau
dengan kata lain adalah barang-barang tersebut lalu tidak dapat dialihkan,
diperjualbelikan atau dengan jalan lain dipindahtangankan kepada orang lain.
Penyitaan dilakukan oleh panitera pengadilan negeri, yang wajib membuat
berita acara penyitaan dan memberitahukan isinya kepada tersita ketika ia

1
Yahya Harahap, Hukum Acara Perdata tentang Gugatan, Persidangan, Penyitaan,
Pembuktian, dan Putusan Pengadilan, (Jakarta: Sinar Grafika, 2016), cet.ke-16, hal.282
2
Bambang Sugeng, Pengantar Hukum Acara Perdata dan Contoh Dokumen Litigasi,
(Jakarta: Kencana, 2013), cet.ke-2, hal. 75-76

2
hadir. Dalam melakukan pekerjaannya itu panitera dibantu oleh dua orang
saksi yang ikut serta menandatangani berita acara.
Pertama kali tentang Juru sita dan penyitaan diatur dalam Undang-Undang
Nomor 13 Tahun 1965 Bab IV pasal 65 tentang Juru Sita berbunyi:
1. Jurusita dan jurusita pengganti adalah pejabat umum.
2. Jurusita diangkat dan diberhentikan oleh Menteri Kehakiman dan
Jurusita pengganti diberhentikan oleh Kepala Pengadilan yang
bersangkutan.
Pasal 66 berbunyi :
1. Jurusita mempunya tugas dalam pengadilan dan melaksanakan semua
tugas yang diberika oleh ketua siding.
2. Ia mempunyai tugas dalam daerah hukum pengadilan dimana ia
diangkat.
3. Selain tugas tersebut dalam ayat (1) ia melakukan pemberitahuan-
pemberitahuan pengadilan, memberikan pengumuman-pengumuman,
protesprotes yang berhubungan tau tidak berhubungan dengan perkara
yang sedang dipersidangkan dari semua perkara pidana maupun
perkara perdata dalam hal-hal menurut cara-cara yang diatur dengan
Undang-undang.
4. Atas perintah Kepala Pengadilan Negeri atau Panitera, Jurusita
melakukan Pensitaan.
5. Ia membuat berita acara yang salinnya diserahkan kepada orang yang
tersangkut dalam sitaan.
Kemudian di pertegas lagi tentang tugas dan fungsi dalam Undang-
Undang Nomor 14 Tahun 1970 tentang ketentuan-ketentuan Pokok
Kekuasaan Kehakiman. Setelah lahirnya Undang-Undang Nomor 7 Tahun
1989 Tentang Peradilan Agama, Sita dan penyitaan yang selama ini hanya
berlaku dilingkungan Peradilan Umum , sekarang diberlakukan juga di
lingkungan Peradilan Agama.
Dalam pasal 38 – pasal 42 Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang
Peradian Agama3 dikemukakan bahwa pada setiap Pengadilan Agama
3
Basiq Djalil, Peradilan Agama Di Indonesia, (Jakarta: Kencana, 2019). Cet.ke-4,
hal.177-178

3
ditetapkan adanya Jurusita dan Jurusita Pengganti ini ditetapkan dalam
kedudukannya baik sebagai struktural maupun sebagai teknis fungsonal.
Syarat-syarat sebagai Jurusita maupun Jursita pengganti adalah warga negara
Republik Indonesia, beragama Islam, dan Bertaqwa Kepada Tuhan yang
Maha Esa, setia kepada Pancasila dan Undang-undang Dasar 1945, dan
berijasah serendah-rendahnya SLTA, dan untuk juru sita pengganti harus
berpengalaman sekurang-kurangnya selama 5 tahun.

2. Tujuan Penyitaan
a. Agar Gugagatan Tidak Illusoir
Tujuan utama penyitaan, agar barang harta kekayaan tergugat itu tidak
dipindahkan kepada orang lain melalui jual-beli atau penghibahan, dan
sebagainya, serta tidak dibebani dengan sewa-menyewa atau diangunkan
kepada pihak ketiga.4
Jadi, beslag merupakan upaya hukum bagi penggugat untuk menjamin
dan melindungi kepentingannya atas keutuhan dan keberadaan harta
kekayaan tergugat sampai putusan memperoleh kekuatan hukum tetap.
Upaya tersebut bermaksud untuk menghindari tindakan iktikad buruk
tergugat dengan berusaha melepaskan diri memenuhi tanggung jawab
perdata yang mesti dipukulnya atas PMH atau wanprestasi yang
dilakukannya.
Dengan adanya penyitaan melalui perintah pengadilan, secara hukum
harta kekayaan tergugat berada dibawah penjagaan dan pengawasan
pengadilan, sampai ada perintah pengangkatan atau pencabutan sita. Selama
dalam penyitaan. Larangan pasal 199 HIR dan Pasal 215 RBG, yaitu
melarang tergugat menjual,menghibahkan, atau memindahkan barang itu
dalam bentuk apapun dan kepada siapapun.5

b. Objek Eksekusi Sudah Pasti

4
Yahya Harahap, Hukum Acara Perdata tentang Gugatan, Persidangan, Penyitaan,
Pembuktian, dan Putusan Pengadilan, (Jakarta: Sinar Grafika, 2016), cet.ke-16, hal.285
5
Yahya Harahap, Hukum Acara Perdata tentang Gugatan, Persidangan, Penyitaan,
Pembuktian, dan Putusan Pengadilan, (Jakarta: Sinar Grafika, 2016), cet.ke-16, hal. 286

4
Pada saat permohonan sita diajukan, penggugat harus menunjukkan
identitas barang yang hendak disita. Menjelaskan letak,jenis,ukuran, dan
batas-batasnya. Kemudian juru sita akan memeriksa kebenarannya. Karena
objek barang yang disita sudah pasti sejak semula, maka hal ini langsung
memberi kepastian atas objek barang eksekusi, apabila putusan telah
berkekuatan hukum tetap.
Kepastian objek eksekusi atas barang sitaan semakin sempurna sesuai
dengan penegasan MA yang menyatakan, Barang yang disita dapat langsung
diserahan kepada pihak penggugat, jika perkara yang terjadi mengenai
sengketa milik, atau barang yang disita dapat langsung dieksekusi melalui
penjualan lelang, apabila perkara yang terjadi sengketa utang-piutang atau
tuntutan ganti rugi berdasarkan Wanprestasi atau PMH.6

B. Beberapa Prinsip Pokok Sita


Terdapat beberapa prinsip pokok penyitaan yang mesti ditaati. Prinsip
yang dikemukakan dalam uraian ini merupakan ketentuan yang bersifat umum
terdapat segala bentuk sita tanpa mengurangi adanya perbedaan yang bersifat
khusus pada masing masing jenis sita. Dari segi bentuk, Undang-undang
memperkenalkan sita revendiksi (revendicatoir beslag), sita jaminan
(conservatoir beslag) dan sita marital (maritaal beslag). Sedangkan dari segi
jenis atau objek, pada garis besarnya dikenal sita barang bergerak, sita barang
tidak bergerak, sita atas kapal laut dan sita atas kapal terbang. Namun
demikian terdapat persamaan prinsip pokok tanpa mengurangi adanya
perbedaan. Persamaan prinsip pokok itu yang akan dijelaskan pada bagian ini.

1. Sita Berdasarkan Permohonan


Menurut Pasal 226 dan 227 HIR atau Pasal 720 Rv maupun berdasarkan
SEMA No.5 Tahun 197, pengabulan dan perintah pelaksanaan sita, bertitik
tolak dari permintaan atau permohonan penggugat, perintah penyitan tidak
dibenarkan berdasarkan ex-officio hakim.

6
Ibid., hal.287

5
Bertitik tolak dari prinsip pemeriksaan persidangan yang dianut HIR-Rbg
acara proses beracara secara lisan dihubungkan dengan ketentuan Pasal 226
dan Pasal 227 HIR, bentuk permohonan sita:
a. Bentuk Lisan (Oral)
b. Bentuk Tertulis
Bentuk ini dianggap paling tepat karena memenuhi administrasi yustisial
yang lebih baik. Itu sebabnya Pasal 227 Ayat (1) HIR mengehendaki agar sita
diajukan dalam bentuk tertulis berupa surat permintaan :
1) Permintaaan disatukan dengan surat gugatan
2) Diajukan dalam surat tersendiri

2. Permohonan Berdasarkan Alasan


Penyitaan sebagai tindakan yang bersifat eksepsional, jadi harus benar-
benar dilakukan secara cermat berdasarkan alasan yang kuat Pasal 227 HIR
atau Pasal 270 Rv memperingatkan hal itu , agar penggugat dalam pengajuan
sita menunjukkan kepada hakim sejauh mana isi dan dasar gugatan
dihubungkan dengan relevansi dan urgensi penyitaan dalam perkara yang
bersangkutan.

3. Penggungat Wajib Menunjukkan Barang Sita


Hukum membebankan kewajiban kepada penggungat untuk menyebut
secara jelas dan satu persatu barang obyek yang hendak disita.

4. Permintaan dapat diajukan Sepanjang pemeriksaan Sidang


Undangan-undang membolehkan pengajuan sita jaminan dilakukan
sepanjang proses persidangan berlangsung. Oleh kerena itu, pengabulan sita
dalam kasus yang seperti itu tidak bertentangan dengan ultra petitum atrium
yang digariskan pada pasal 178 ayat (3) HIR. Memperhatikan putusan di atas
dihubungkan dengan ketentuan Pasal 227 Ayat (1) HIR, dapat dikemukan
acuan pengajuan permintaan sita.

5. Larangan Menyita Milik Pihak KeTiga


Proses penyelesaian perkara, tidak boleh merugikan pihak ketiga
yang tidak ikut menjadi pihak dalam perkara. Digariskan pada Pasal 1340

6
KUHP yang menegaskan hanya mengkat pada para pihak yang
membuatnya, berlaku juga dalam proses penyelesaian perkara. Hanya
mengikat pada pihak yang menggugat dan tergugat.

6. Mendahukukan Penyitaan Barang Bergerak


Permintaan sita jaminan mesti tunduk kepada prinsip yang diatur dalam
Pasal 227 ayat (1) HIR dan 720 Rv. Berdasarkan ketentuan pasal-pasal itu,
permintaan dan pengabulan maupun pelaksanaan sita jaminan atas tuntutan
pembayaran utang atau ganti rugi , tunduk kepada prinsip:
a. Yang pertama-tama disita ialah barang bergerak
b. Apabila perkiraan barang bergerak belum mencukupi maka dilakukan
penyitan barang tidak bergerak.

7. Dilarang Menyita Barang Tertentu


Diatur dalam Pasal 197 ayat (8) HIR atau Pasal 211 RBG. Ketentuan ini
merupakan pengecualian pasal yang diatur dalam Pasal 1131 KUH Perdata.

8. Penjagaan Sita Tidak Boleh Diberikan Kepada Penggugat


9. Dilarang Memindahkan Atau Membebani Barang Sitaan
Kekuatan sita jaminan yang telah diumumkan secara sah oleh juru sita
dijelaskan dalam Pasal 199 ayat (1) , Pasal 214 ayat (1) dan Pasal 215 RBG.
Berdasarkan ketentuan tersebut kekuatan mengikat sita jaminan meliputi:
a. Para pihak yan berperkara
b. Menjangkau pihak lain yang tidak ikut sebgaipihak yang berperkara.7
c.

C. Jenis-Jenis Sita Jaminan dan Tata Cara Penyitaan


1. Sita Jaminan (Conservatoir Beslag)
Penyitaan ini merupakan tindakan persiapan tergugat dalam bentuk
permohonan kepada Pengadilan untuk menjamin dapat dilaksanakannya
putusan perdata. Dengan adanya penyitaan tersebut, maka tergugat

Yahya Harahap, Hukum Acara Perdata tentang Gugatan, Persidangan, Penyitaan,


7

Pembuktian, dan Putusan Pengadilan, (Jakarta: Sinar Grafika, 2016), cet.ke-16, hal. 287-326

7
kehilangan wewenangnya untuk menguasai barangnya, sehingga tindakan-
tindakan tergugat untuk mengalikan barang-barang yang disita adalah
perbuatan pidana dan melawan hukum.
Permohonan Conservatoir Beslaag dengan ketentuan-ketentuan berikut :
a. Adanya sangkaan atau dugaan yang beralasan bahwa tergugat akan
menggelapkan atau mengalihkan atau memindahkan barang-barang
sebelum putusan dijatuhkan.
b. Barang yang disita adalah barang yang bergerak atau tidak bergerak milik
tergugat.
c. Permohonan diajukan kepada pengadilan atau kepada majelis hakim yang
memeriksa perkara.

Pengajuan permohonan dapat dilakukan melalui surat gugatan dan dalam


petitum juga dimohonkan tentang sita jaminan dapat dijadikan satu dengan
surat permohonan gugatan yang dibbuat oleh penggugat, tetapi bilamana
permohonan sita jaminan dibuat setelah surat permohonan gugatan masuk atau
telah didaftarkan di pengadilan negeri maupun setelah sidang dimulai, maka
permohonan tersebut dibuat dengan surat biasa yang diajukan kepada ketua
Pengadilan. Surat permohonan sita jaminan juga dapat dilakukan secara lisan
di dalam persidangan.8

2. Sita Revindikasi (Revindicatoir Beslag)


Revindicatoir beslaag adalah penyitaan yang diajukan oleh penggugat
kepada pengadilan terhadap benda bergerak milik penggugat yang berada
dalam kekuasaan tergugat.9
Dalam pasal 226 ayat (1) HIR dan pasal 260 ayat (1) R.Bg 10.
dinyatakan bahwa apabila seseorang memiliki barang bergerak dan barang
tersebut berada ditangan orang lain, maka orang tersebut dapat meminta
dengan surat atau secara lisan kepada ketua pengadilan dalam daerah hukum
si pemegang barang bergerak tersebut dan pada saat nantinya setelah putusan
8
Sarwono, Hukum Acara Perdata Teori dan Praktik, (Jakarta: Sinar Grafika, 2011),
Cet.ke-2, hal. 154
9
Abdullah Tri Wahyudi, Hukum Acara Peradilan Agama, (Bandung: CV Mandar Maju,
2018) hlm, 112.
10
Sarwono, Hukum Acara Perdata Teori dan Praktik, (Jakarta: Sinar Grafika, 2011),
Cet.ke-2, hal.143

8
Pengadilan mempunyai kekuatan hukum yang tetap, atas permohonan
penggugat barang-barang bergerak tersebut dapat diperintahkan agar
diserahkan kepada pemilik sebenarnya. Tindakan penyitaan barang bergerak
dari tangan yang memegangnya merupakan tindakan hukum supaya tidak
dialihkan kepada orang lain oleh pemegangnya sampai putusan terhadap
perkara yang diajukan itu ditetapkan oleh hakim yang mengadilinya.
Permohonan sita ini dengan ketentuan-ketentuan sebagai berikut :
a. Berupa barang bergerak milik penggugat yang berada di tangan
penggugat
b. Diajukan kepada ketua pengadilan atau majelis hakim yang memeriksa
perkara
c. Permohonan diajukan secara lisan atau tertulis.
d. Barang tersebut diterangkan secara seksama dan terperinci.

3. Sita Marital (Maritaal Beslag)


Sita marital adalah penyitaan yang diajukan istri atas barang-barang
bergerak atau tidak bergerak yang merupakan harta bersama karena adanya
gugatan perceraian agar selama proses berlangsung suami tidak dapat
memindahkan, mengalihkan menghikangkan harta bersama.11
Pada dasarnya sita marital sama dengan sita jaminan. Tetapi sita
marital merupakan pengkhususan yang hanya dapat berfungsi terhadap jenis
perkara perceraian. Hak mengajukan sita marital timbul apabila terjadi
perceraian antara suami dan istri, selama perkara perceraian masih diperiksa
di Pengadilan Agama maka para pihak di perkenankan mengajukan sita atas
harta perkawinan. Adapun terpelihara sampai perkara mendapat putusan yang
berkekuatan hukum tetap.
Tujuan dari Sita marital ini adalah untuk menjamin agar harta bersama
tersebut tidak dijual kepada orang lain atau disembunyikan oleh pihak
tergugat (suami ).12

11
Abdullah Tri Wahyudi, Hukum Acara Peradilan Agama, (Bandung: CV Mandar Maju,
2018) hlm, 112.
12
Sarwono, Hukum Acara Perdata Teori dan Praktik, (Jakarta: Sinar Grafika, 2011),
Cet.ke-2, hal.151

9
Dalam hukum acara di peradilan agama sita mantai diatur dalam
passal 78 huruf (c) UU No. 7 tahun1989 yang menyatakan “selama
berlangsungnya gugatan perceraian atas permohonan penggugat pengadilan
dapat menentukan hal-hal yang perlu untuk menjamin terpeliharanya barang-
baranmg yang menjadi hak bersama suami istri atau barang-barang yang
menjadi hak suami atau barang-barang yang menjadi hak istri.
Tata cara permohonan sita marital :
a. Dapat diajukan bersamaan dengan gugatan pokok dalam surat gugatan
b. Dirumuskan pada bagian setelah uraian posita.
c. Dalam petitum, harus diminta agar sita dinyatakan sah dan berharga.

4. Tata Cara Penyitaan


Tata cara penyitaan diatur dalam pasal 197, pasal 198, dan pasal 199 HIR
sebagai berikut :
a. Penyitaan dilakukan oleh Panitera Pengadilan.
b. Apabila panitera berhalangan, dapat diganti oleh orang lain yang ditunjuk
oleh Ketua Pengadilan.
c. Dalam melakukan penyitaan harus dibuat berita acara dan isi berita acara
tersebut diberitahukan kepada orang yang disita barangnya apabila hadir.
d. Penyitaan dilakukan dengan disaksikan oleh 2 orang saksi yang nama,
pekerjaan, tempat tinggal disebutkan dalam berita acara dan ikut
menandatangani berita acara tersebut
e. Penyitaan dapat dilakukan atas benda-benda bergerak yang berada di
tangan orang lain tetapi hewan dan perkakas yang digunakan untuk
menjalankan pencaharian tidak boleh disita.
f. Barang-barang tidak tetap yang disita itu seluruhnya atau sebagian dapat
dibiarkan berada di tangan orang yang disita atau barang-barang dibawa
untuk disimpan di pengadilan.
g. Barang-batang tetap dibiarkan berada ditangan orang yang disita dengan
pemberitahuan kepada aparat desa untuk ikut mengawasi.
h. Penyitaan terhadap benda bergerak maka berita acaranya harus
diumumkan dan dicatat dalam buku letter Cdesa, dicara dalam Buku

10
Tanah di Kantor Pertanahan dan salinannya dimuat dalam buku khusus
yang disediakan untuk maskud itu di Kepaniteraan pengadilan dengan
menyebut jam, tanggal, hari, bulan, dan tahun dilakukannya penyitaan.
i. Pegawai yang melakukan penyitaan harus memberi perintah kepada
Kepala Desa adanya penyitaan barang tidak bergerak untuk diumumkan
kepada khalayak ramai.
j. Sejak adanya berita acara penyitaan maka orang yang disita barangnya
tidak dapat memindahkan, mengalihkan, menyewakan barang tidak tetap
miliknya kepada orang lain.13

BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
1. Sita jaminan adalah sita terhadap barang bergerak maupun barang tidak
bergerak tergugat yang di sengketakan status kepemilikanya berupa,
atau dalam sengketa hutang piutang atau tuntutan ganti rugi. Dengan

13
Abdullah Tri Wahyudi, Peradilan Agama di Indonesia, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar,
2004) hlm, 146.

11
Tujuan agar terlindungi kepentingan penggugat dari iktikad buruk
tergugat, serta memberikan jaminan kepastian kepada penggugat.
2. Didalam penyitaan terdapat ketentuan yang bersifat umum yang harus
ditaati terhadap segala bentuk sita tanpa mengurangi adanya perbedaan
yang bersifat khusus pada jenis-jenis sita.
3. Jenis-Jenis Penyitaan itu terbagi menjadi 3, yaitu :Conservatoir Beslag,
Revindicatoir Beslag, dan Maritaal Beslag. Perbedaannya hanya pada
Objek dari Benda yang disita dan juga perkaranya.
Tata cara penyitaan diatur dalam pasal 197, pasal 198, dan pasal
199 HIR, diantaranya sebagian sebagai berikut :
a. Penyitaan dilakukan oleh Panitera Pengadilan.
b. Apabila panitera berhalangan, dapat diganti oleh orang lain yang
ditunjuk oleh Ketua Pengadilan.
c. Dalam melakukan penyitaan harus dibuat berita acara dan isi
berita acara tersebut diberitahukan kepada orang yang disita
barangnya apabila hadir.

DAFTAR PUSTAKA

Harahap, Yahya. 2016. Hukum Acara Perdata tentang Gugatan, Persidangan,


Penyitaan, Pembuktian, dan Putusan Pengadilan,. Jakarta: Sinar Grafika.
Cet.ke-16
Sugeng, Bambang. 2013. Pengantar Hukum Acara Perdata dan Contoh Dokumen
Litigasi. Jakarta: Kencana. Cet.ke-2

12
Djalil, Basiq. 2019. Peradilan Agama Di Indonesia. Jakarta: Kencana. Cet.ke-4

Sarwono. 2011. Hukum Acara Perdata Teori dan Praktik. Jakarta: Sinar Grafika.
Cet.ke-2
Tri Wahyudi, Abdullah. 2018. Hukum Acara Peradilan Agama. Bandung: CV
Mandar Maju.

13

Anda mungkin juga menyukai