Anda di halaman 1dari 13

Nama :Dahlia arikha

NIM :17086050012
Program :Pasca Ekonomi Syariah
Mata Kuliah :Teori Ekonomi Mikro Islam
Dosen :Dr. H. Aan Jaelani, M.Ag

1.Nilai dasar Ekonomi Islam dalam empat Aksioma


a. Prinsip tauhid
Bertitik tolak pada tauhid, seorang muslim mengakui dengan keyakinannya bahwa salat,
ibadah, hidup, dan matinya adalah untuk Tuhan semesta alam. Termasuk dalam pengakuan
ini adalah semua aktivitasnya dalam kegiatan ekonomi. Seseorang yang beriman harus
mengakui Allah sebagai pemilik mutlak jagad raya ini dan segala isinya termasuk dirinya
sendiri. Firman Allah dalam surat al-Jâtsiyah [45]: 27:

Dan hanya kepunyaan Allah kerajaan langit dan bumi. Dan pada hari terjadinya
kebangkitan, akan rugilah pada hari itu orang-orang yang mengerjakan kebatilan.
Dalam surat al-Fath [48]: disebutkan bahwa milik Allah-lah kerajaan langit dan bumi;
Dia mengampuni sseorang yang dia kehendaki dan mengazab seseorang yang Dia kehendaki.
Selanjutnya dalam surat al-Hadîd/57: 2 dan 5 “bagi-Nya kerajaan langit dan bumi. Dia Yang
Menghidup dan Yang Mematikan. Berkuasa atas segala sesuatu”. “….dan kepada-Nya
dikembalikan perkara-perkara”.
Prinsip tauhid ini menghasilkan pandangan tentang kesatuan umat manusia
mengantarkan seorang penguasaha muslim untuk menghindari segala bentuk eksploitasi
terhadap sesama manusia. Dari sini dapat dimengerti mengapa Islam bukan saja melarang
praktik riba dan pencurian, tetapi juga penipuan walau terselubung, bahkan sampai kepada
larangan menawarkan barang pada saat konsumen menerima tawaran yang sama dari orang
lain.

b. Prinsip keseimbangan
Sebagai seorang muslim meyakini bahwa segala sesuatu yang diciptakan Allah dalam
keadaan seimbang dan serasi. Dalam surat al-Mulk: 67
“…. kamu sekali-kali tidak melihat pada ciptaan Tuhan Yang Maha Pemurah sesuatu
yang tidak seimbang”.
Dalam surat Ali „Imran [3]: 14 Manusia diberi kecenderungan kepada kekayaan dengan
berbagai macam bentuknya
“Dijadikan indah pada pandangan manusia kecintaan kepada apa-apa yang diingini,
yaitu: wanita-wanita, anak-anak, harta yang banyak dari jenis emas, perak, kuda pilihan,
binatang-binatang ternak dan sawah ladang. Itulah kesenangan hidup di dunia dan di
sisi Allah-lah tempat kembali yang baik (surga)”.
objek kecenderungan manusia ditambahkan pula dalam surat al-Tawbah [9]: 24
“Katakanlah “jika bapak-bapak, anak-anak, saudara-saudara, isteri-isteri kaum
keluargamu, harta kekayaan yang kamu usahakan, perniagaan yang kamu khawatiri
kerugiannya, dan rumah-rumah tempat tinggal yang kamu sukai adalah lebih kamu cintai
dari Allah dan Rasul-Nya dan dari berjihad di jalan-Nya, maka tunggulah sampai datang
keputusanNya. Dan Allah tidak memberi petunjuk kepada orang-orang fasik”.
Makna yang segera bisa dipaham dari kedua teks ayat tersebut:
 Manusia memiliki potensi dasar mengolah jasa dan mendistribusikannya. Kecintaan
kepada seluruh anggota keluarga merupakan modal utama untuk memberdayakan
mereka dan sekaligus dapat menjadi sarana kepada siapa barang jasa didistribusikan.
Masalah jasa dan sistem distribusi ini merupakan masalah pokok dalam kajian
ekonomi.
 Barang jasa yang ditunjuk Alquran secara psikologis setara antara antara sumber daya
manusia dan asset-asset lainnya seperti emas, perak, binatang ternak, perumahan, dan
tijârah (perdagangan).
 Supaya tidak terjadi goncangan -(inflasi, resesi, dan bahkan depresi)- dalam aktivitas
ekonomi masyarakat, kedua ayat di atas memberikan orientasi agar bisnis yang
dilakukan tidak semata-mata demi bisnis. Alquran menganjurkan kecintaan kepada
Allah dan Rasul-Nya, serta jihad di jalan Allah harus dalam skala perioritas
ketimbang kecintaan kepada harta benda.
Dalam kitab-kitab hadis kita temukan larangan-larangan Rasulullah terkait dengan aktivitas
ekonomi seperti;
 menimbun kebutuhan pokok (ihtikar) padahal masyarakat sedang membutuhkan.
Benda yang menjadi kebutuhan pokok bisa saja beragam atau berbedabeda antara satu
daerah,
 menyambang barang dagangan di hulu pasar (talaqqu al-rukbân) padahal konsumen
(pembeli) banyak menunggu di pasar,
 monopoli oleh spekulan (syimsâr, hâdirun libâd) padahal sedang terjadi penceklik ,
 jual beli buah-buah masih di pohon sebelum jelas kebaikannya (hatta yabduwa
Shalahuha) karena bisa mendatang penyesalan dan permusuhan, dan lain-lain.
Berbagai proteksi sistem pasar ini, bukan berarti Rasulullah mengharamkan ekonomi
pasar bebas sebagai lawan dari ekonomi pasar komando, tetapi semata-mata karena
keseimbangan pasar; agar distribusi jasa/barang berjalan normal tidak berada di bawah
kendali spekulan yang menyebabkan ketidakseimbangan pasar (unqual of wealth
distribution). Saya semula menduga larangan Rasulullah hanya pada pasar tradisional/mikro
dan bersifat temporal, namun permainan spekulan terhadap kebutuhan pokok masyarakat
seperti Jakarta (kota metropolitan, bahkan dirancang megapolitan) juga bisa. Kalau demikian
hadis-hadis Rasulullah tersebut masih aktual untuk masyarakat Islam sekarang. Prinsip
keseimbangan mengantarkan kepada pencegahan segala bentuk monopoli dan pemusatan
kekuatan ekonomi pada satu tangan atau satu kelompok. Ibn Taimiyah mengatakan termasuk
dari kemungkaran adalah menyambang barang dagangan kebutuhan pokok sebelum sampai
ke pasar dan ihtikâr (menimbun kebutuhan pokok). Bahkan sebagian ulama berpendapat
“siapa yang terpaksa karena untuk makan orang lain dia boleh mengambilnya walaupun
tanpa persetujuannya dengan membayar harga standar, walaupun penimbun melarangnya
…” Atas dasar ini juga banyak ayat-ayat Alquran menganjurkan zakat, infak, sedekah, wasiat,
dan ditemukan juga konsep kewarisan yang kebanyakan objeknya adalah keluarga dekat, para
fakir miskin, dlsb. Ini artinya sistem distribusi harta dalam Alquran bermaksud
menghilangkan kompleksitas akumulasi harta dan membuat garis batas antara kepemilikan
individu dan masyarakat.

c. Prinsip kehendak bebas


Setiap individu memiliiki kebebasan untuk melakukan sesuatu atau mengambil sesuatu
profesi atau memanfaatkan kekayaannya dalam beberapa ketentuan yang dia inginkan. Islam
memperkenankan seseorang pribadi memiliki kekayaan sebanyak-banyaknya yang
didapatnya melalui pengetahuan, skill, dan tenaga kerjanya selama ia tidak meninggalkan
nilai-nilai sosial dan moral, serta teori ilmu pengetahuan yang ada. Alquran mengakui
ketidaksamaan ekonomi. “Dia mengangkat kamu menjadi khalifah di muka bumi dan
meninggikan sebagian kamu atas sebagian yang lain beberapa derajat untuk mengujimu
tentang apa yang diberikanNya kepadamu. Sesungguhnya Tuhan kamu amat cepat
siksaannya, dan sesungguhnya Dia Maha Pengampun lagi Maha Penyayang” (alAn‟âm/6:
160).
Di dalam surat al-Zukhrûf/43: 32 “Dan Kami tinggikan sebagian mereka di atas yang
lain, supaya sebagian mereka lainnya menjadi pembantu”. Kedua ayat ini paling tidak
menggariskan:
 Manusia adalah khalifah di muka bumi yang dipercayakan dalam beberapa hal untuk
memanfaatkan dan mengekspoloitasi alam dalam batas-batas kelayakan. Maksudnya
perilaku ekonomi tetap memperhatikan pertanggungjawaban sosial dan berpijak pada
pengetahuan yang benar. Di dalam Alquran dicontohkan perilaku Fir‟aun dan bala
tentaranya yang banyak bertindak sewenang-wenanag dan berbuat kerusakan di bumi.
Wacananya dimuat dalam surat al-Fajr mulai ayat 9-20. Tuhan menimpakan berbagai
bentuk azab15 dan ketika mereka mulai sadar dan bahkan mengkritik Tuhan. Namun
dengan serta merta Tuhan berargumen dalam surat al-Fajr: Sekali-kali tidak
(demikian), sebenarnya kamu tidak memberi makan anak yatim (17), dan kamu tidak
saling mengajak memberi makan orang miskin (18), dan kamu memakan harta pusaka
dengan cara mencampur baurkan (yang halal dan yang batil) (19), dan kamu
mencintai harta benda dengan kecintaan yang berlebihan (20).
 Allah menentukan tingkatan-tingkatan yang tidak sama dalam merepresentasi
mengikuti amanat-amanatNya. Sebagian ditentukan dengan kekayaan yang melimpah
ruah dan kemampuan yang lebih besar dan sebagiannya lagi dengan kemampuan yang
kurang. Kedua pihak harus saling menyesuaikan diri dan tolong menolong. Islam
tidak menghendaki sistem kelas karena hanya akan menciptakan jurang pemisah dan
suatu saat akan melahirkan konflik sosial yang hebat. Dalam praktiknya hubungan
harmonis ini diwujudkan 13 dalam berbagai model bisnis seperti musyârakah,
murâbahah, dan muz±ra‟ah. Hal yang perlu diwaspadai dalam model-model bisnis ini
adalah masuknya unsur ribâ.
 Hidup ini adalah ujian; siapakah di antara manusia yang terbaik amalnya –ia berarti
menuju jalan kebaikan dan siapa yang jelek (buruk) amalnya ia akan mendapat siksa.
Pandangan yang mengatakan bahwa hidup ini seperti roda pedati adalah pandangan
pesimistis. Islam melarang orang untuk berputus asa, sebaliknya menganjurkan
umatnya untuk optimis. Perputaran roda kehidupan di antara manusia adalah sebuah
seni dan pemicu untuk menuju ke arah yang lebih baik asal saja dihadapi dengan
selalu meminta pertolongan dengan Allah lewat salat dan dengan penuh kesabaran
(Qs. al-Baqarah/2: 153).

d. Prinsip tanggungjawab (menjaga amanat)


Akhlak mulia seseorang dalam interaksi ekonomi berbentuk penunaian tanggungjawab
(amanat). Tanggungjawab itu sendiri tergantung objek-objeknya. Tujuannya agar semua
bentuk interaksi ekonomi tersebut berjalan sesuai aturan. Contoh-contoh interaksi ekonomi di
mana ada tanggungjawab seseorang di dalamnya: Ijârah: pekerja bertanggungjawab
melaksanakan tugasnya dengan sebaik-baiknya, Wadî‟ah: penerima wadi‟ah
bertanggungjawab memelihara barang yang dititipkan kepadanya, 16 Syirkah: kedua belah
pihak bertanggungjawab sesuai dengan perjanjian syirkah, Murâbahah: Âmil (pekerja)
bertanggungjawab atas harta Shâhibul mâl (pemilik harta/pemodal) dengan beberapa
ketentuan, dst. Tanggungjawab-tanggungjawab ini harus dilaksanakan karena merupa-kan
amanah yang dibebankan kepada seseorang. Firman Allah dalam surat al-Nisâ‟/4: 58:
Sesungguhnya Allah menyuruh kamu menyampaikan amanat kepada yang berhak
menerimanya, dan (menyuruh kamu) apabila menetapkan hukum di antara manusia supaya
kamu menetapkan dengan adil. Sesungguhnya Allah memberi pengajaran yang sebaik-
baiknya kepadamu. Sesungguhnya Allah adalah Maha Mendengar lagi Maha Melihat.
Baik hukum Islam atau hukum positif pelaksanaan tanggungjawab tersebut tidak bersifat
mutlak melainkan tergantung dengan “batas-batas kemampuannya”. Seseorang tidak
bertanggungjawab atas faktor-faktor X (baca: sesuatu yang diluar kemampuan ikhtiarnya
seperti karena bencana alam, pencurian, atau penipuan seperti yang dituturkan oleh Imam
Malik). Misalnya Si A memberi modal 20 ekor ayam petelor kepada si B untuk dipelihara
dan telornya dijual dengan perjanjian “setiap 10 biji telor, 2 biji telor untuk si B”. Setelah tiga
bulan si B memelihara ayam si A dan segalanya berjalan normal sesuai perjanjian; datanglah
pandemi Flu Burung. Ayam-ayam si A semuanya mati karena diserang virus H5N1 dan
ayam-ayam tetangga juga pada mati. Maka si B tidak bertanggungjawab mengganti karena
kematian ayam-ayam bukan akibat kelalaiannya dan di luar batas kemampuannya. Kalau si A
kehilangan asset, si B juga kehilangan pekerjaan, tenaga, dan pikiran. Wallahu „alam bi
shawwab.
2. Konsep invisible hands Adam Smith dalam tinjauan mekanisme pasar islam

Melihat kenyataan krisis ekonomi yang terjadi di berbagai negara, termasuk Indonesia
yaang belum kunjung usai telah memporak porandakan sendi-sendi kehidupan sosial. Hal ini
menunjukkan beluam mampunya “ekonomi pasar” atau kapitalisme yang di ilhami oleh teori
invisible hand Adam Smith, untuk mengatasi masalah-masalah ekonomi (pengangguran,
inflasi, distribusi pendapatan tidak merata, kemiskinan). Berbagai cara telah ditempuh, baik
dengan kebijakan moneter maupun fiskal, namun persolan ekonomi tetap saja muncul dan
menghantui banyak negara dimana-mana. Dimana letak kesalahan ekonomi pasar atau
kapitalis yang sebagian besar dianut oleh banyak negara termasuk Indonesia, bukankah resep
pembangunan ekonomi Adam Smith telah dilaksanakan. Dunia sedang memerlukan ekonomi
Ilahiah, ekonomi yang konsepnya dilandasi oleh Al-Qur‟an dan Hadits, ekonomi yang
dikembangkan dengan akhlak yang mulia.
Dalam ilmu ekonomi Islam tidak hanya mempelajari individu dan sosial melainkan
juga manusia dengan bakat religius manusia. Hal ini disebabkan banyaknya kebutuhan dan
kurangnya sarana, dari sini muncullah masalah ekonomi. Masalah ini pada dasarnya sama
dalam semua sistem ekonomi baik ekonomi Islam maupun ekonomi yang lainnya. Namun
kemudian muncul perbedaan dalam pemilihan sistem pelaksanaan apakah dikendalikan oleh
nilai Islam atau dikuasai oleh kepentingan diri sendiri. Islam dalam memandang masalah
ekonomi berbeda dari sudut pandang kapitalis. Islam memberikan kebebasan serta hak miliki
kepada individu dan mengelola usaha secara peribadi, akan tetapi tanpa merusak ekonomi
masyarakat. Pemilikan pribadi dalam pandangan Islam tidaklah bersifat mutlak/absolut
(bebas tanpa kendali dan batas). Sebab di dalam berbagai ketentuan hukum dijumpai
beberapa batasan dan kendali yang tidak boleh dikesampingkan oleh seorang muslim dalam
pengelolaan dan pemanfaatan harta miliknya.
Untuk itu dapat disebutkan prinsip dasarnya yaitu: (1) pada hakikatnya individu
adalah wakil masyarakat dan (2) harta benda tidak boleh hanya berada ditangan pribadi
(sekelompok) anggota masyarakat. Prinsip tersebut menggambarkan Sistem ekonomi Islam
merupakan sistem yang adil dan seksama serta berupaya menjamin kekayaan tidak terkumpul
hanya pada satu kelompok saja, tetapi tersebar keseluruh masyarakat. Hal ini sebagaimana
diungkapkan dalam al-Qur‟an: “Supaya harta itu jangan hanya beredar di antara golongan
kaya saja dikalangan kamu” (al-Hasyar: 7). Prinsip ini dimaksudkan untuk menjaga
keseimbangan dan kestabilan dalam masyarakat. Seandainya harta itu hanya berada ditangan
pribadi (monopili kelompok) tentu, anugerah Allah tersebut hanya berada di tangan segelintir
orang. Dalam konteks kekinian, hal tersebut dapat diambil ilustrasi bahwa sikap mental
ologopoli, monopoli, kartel dan yang sejenis dengannya merupakan sikap mental
pengingkaran nurani kemanusiaan dan jelas-jelas menyimpang dari aturan Islam.

3. Konsep sistem distribusi berkeadilan dari dimensi mikro ekonomi islam

Pembahasan mengenai distribusi tidak akan lepas dari pembahasan mengenai konsep moral
Ekonomi yang dianut dan juga tidak lepas dari model instrumen yang diterapkan individu
maupun negara dalam menentukan sumber-sumber maupun cara- cara pendistribusian
pendapatannya. Konsep moral tersebut harus dipahami untuk tujuan menjaga persamaan
ataupun mengikis kesenjagangan antara si kaya dan si miskin. Idealisme prinsip- prinsip
ekonomi harus disepakati dalam koridor pencapaian standar hidup secara umum. Islam
dengan tegas menggariskan kepada pemerintah untuk meminimalkan kesenjangan dan
ketidakseimbangan distribusi. Pajak ditetapkan atas kekayaan seseorang untuk membantu
yang miskin dan membentuk dari sistem perpajakan ini berkaitan dengan zakat, dengan
demikian tidak akan ada ruang bagi muslim untuk melakukan tindakan berlebihan dalam
upaya melancarkan proses distribusi pendapatan.
Dengan demikian, sistem distribusi dalam pandangan Ekonomi Islam harus didasarkan pada
prinsip-prinsip dasar Ekonomi Islam, diantaranya adalah kebebasan individu, adanya
jaminan sosial, larangan menumpuk harta dan distribusi kekayaan yang adil. Pemerintah
berperan secara aktif dalam sistem distribusi ekonomi di dalam mekanisme pasar Islami
yang bukan hanya bersifat temporer dan minor, tetapi pemerintah mengambil peran yang
besar dan penting. Pemerintah bukan hanya bertindak sebagai 'wasit' atas permainan pasar
tetapi berperan aktif bersama-sama pelaku-pelaku pasar yang lain. Pemerintah akan bertindak
sebagai perencana, pengawas, produsen sekaligus konsumen bagi aktivitas pasar (P3EI UII
dan BI, 2008:83).
Berkaitan dengan hal tersebut maka Islam menawarkan instrumen yang sangat beragam
untuk optimalisasi proses distribusi pendapatan. Dari konsep yang ditawarkan ada yang
menuntut bantuan otoritas dari pemerintah ada pula yang memang sangat bergantung pada
personal (rumah tangga) maupun masyarakat. Pemerintah berperan dalam mekanisme
ekonomi, yang secara garis besar dapat diklasifikasikan menjadi tiga bagian, yaitu pertama,
peran yang berkaitan dengan implementasi nilai dan moral Islam; kedua, peran yang
berkaitan dengan teknis operasional mekanisme pasar; dan ketiga, peran yang berkaitan
dengan kegagalan pasar (P3EI UII dan BI, 2008:84). Dalam pengelolaan sumber daya alam
yang tersedia pemerintah harus mampu mendistribusikan secara baik atas pemanfaatan lahan
dan industri artinya kesempatan tidak hanya diberikan kepada sekelompok orang untuk
menjalankan proses produksi. Kebijakan distribusi menganut kesamaan dalam kesempatan
kerja, pemanfaatan lahan-lahan yang menjadi sektor publik, pembelaan kepentingan ekonomi
untuk kelompok miskin, menjaga keseimbangan sosial dan investasi yang adil dan merata
berdsasarkan geografis, area, sektor dan perkotaan dan pedesaan serta lapangan pekerjaan
(Mohzer Kahf, 1991 dalam Nasution 2007:148).
Ajaran Islam memberikan otoritas kepada pemerintah dalam menentukan kebijakan
penggunaan lahan untuk kepentingan negara dan publik, distribusi tanah kepada sektor
swasta, penarikan pajak dan subsidi yang dikembalikan kepada aturan syariah untuk
memenuhi kepentingan publik dan pembebasan ketimpangan. Penguasaan pengelolahan
publik oleh pihak swasta diarahkan untuk tidak merusak kepentingan banyak pihak karena
barang publik (barang kebutuhan Umum dan barang tambang) harus sepenuhnya di kuasai
oleh Negara untuk kepentingan seluruh masyarakat. Kalaupun untuk kepentingan maslahat
tertentu seperti adanya peran tekhnologi sehingga lahan tidak dapat sepenuhnya digarap oleh
sektor publik maka kebijakan pemerintah harus menetapkan tarif zakat yang tinggi sebesar 20
persen karena menghindari penguasaan lahan oleh sekelompok atau individu. Dalam sebuah
hadits Rasulullah SAW bersabda:
“Kaum muslimin berserikat dalam tiga hal: air, padang rumput, dan api, dan
harganya haram”(HR. Imam Ibnu Majah)
Rasulullah sudah sangat jelas mengatakan bahwa seluruh barang yang termasuk dalam ketiga
jenis tersebut (barang-barang publik) dan juga yang menjadi turunannya jika ada harganya,
maka haram hukumnya. Pada mekanisme pasar dalam Ekonomi Islam, mekanisme pasar
menekan seminimal mungkin peranan pemerintah dan hanya boleh masuk sebagai pelaku
pasar (intervensi) jika pasar tidak dalam keadaan sempurna, yang berarti ada kondisi yang
menghalangi terjadinya kompetisi secara fair dan terjadi distribusi yang tidak normal dengan
kata lain pemerintah mengupayakan agar tidak terjadi market failure. Kepentingan negara
dalam pendistribusian pendapatan di pasar adalah bagaimana pemerintah dapat menjamin
pendapatan (barang dan jasa) seluruh bangsanya (muslim secara khusus dan nonmuslim
secara umum) diatas kemampuan materi limit of pittance (Nisab) dengan indikator yang
mengacu kepada kepentingan (maslahat) dari maqashid syariah.
Distribusi pendapatan dalam konteks rumah tangga akan sangat terkait dengan mekanisme
non ekonomi yakni mekanisme yang tidak melalui aktivitas ekonomi produktif melainkan
melalui aktivitas non-produktif, seperti pemberian hibah, shodaqoh, zakat dan warisan.
Dalam konsep distribusi pendapatan ini yang menjadi tekanan adalah adanya hak Allah dan
RasulNya serta hak umat muslim yang lain dari pendapatan seorang muslim. Hal ini juga
diarahkan sebagai bentuk dari jaminan sosial seorang muslim dengan keluarga dan orang lain
sehingga menjamin adanya minimalisasi ketidak setaraan pendapatan dan keadilan sosial.
Berikut model distribusi pendapatan dengan memaksimalkan aktivitas non ekonomi.
Dengan adanya pendistribusian harta dengan mekanisme non-ekonomi melalui aktivitas
pemberian zakat, infaq, hibah, wakaf dan shadaqoh, maka diharapkan akan dapat
menjembatani kesenjangan distribusi pendapatan. Hal ini juga sangat dianjurkan oleh Allah
SWT dalam firmanNya dan Allah SWT juga sangat menyukai orang-orang yang
menafkahkan hartanya.

4. Konsep konsumsi seorang muslim dan contohnya


Imam Shatibi menggunakan istilah 'maslahah', yang maknanya lebih luas dari sekadar utility
atau kepuasan dalam terminologi ekonomi konvensional. Maslahah merupakan tujuan hukum
syara' yang paling utama. Menurut Imam Shatibi, maslahah adalah sifat atau kemampuan
barang dan jasa yang mendukung elemen-elemen dan tujuan dasar dari kehidupan manusia di
muka bumi ini. Ada lima elemen dasar menurut beliau, yakni: kehidupan atau jiwa (al-nafs),
properti atau harta benda (al mal), keyakinan (al-din), intelektual (al-aql), dan keluarga atau
keturunan (al-nasl). Semua barang dan jasa yang mendukung tercapainya dan terpeliharanya
kelima elemen tersebut di atas pada setiap individu, itulah yang disebut maslahah.
Adapun sifat-sifat maslahah sebagai berikut:
 Maslahah bersifat subyektif dalam arti bahwa setiap individu menjadi hakim bagi
masing masing dalam menentukan apakah suatu perbuatan merupakan suatu maslahah
atau bukan bagi dirinya. Namun, berbeda dengan konsep utility, kriteria maslahah
telah ditetapkan oleh syariah dan sifatnya mengikat bagi semua individu. Misalnya,
bila seseorang mempertimbangkan bunga bank memberi maslahah bagi diri dan
usahanya, namun syariah telah menetapkan keharaman bunga bank, maka penilaian
individu tersebut menjadi gugur.
 Maslahah orang per seorang akan konsisten dengan maslahah orang banyak. Konsep
ini sangat berbeda dengan konsep Pareto Optimum, yaitu keadaan optimal di mana
seseorang tidak dapat meningkatkan tingkat kepuasan atau kesejahteraannya tanpa
menyebabkan penurunan kepuasan atau kesejahteraan orang lain.
 Konsep maslahah mendasari semua aktivitas ekonomi dalam masyarakat, baik itu
produksi, konsumsi, maupun dalam pertukaran dan distribusi. Dengan demikian
seorang individu Islam akan memiliki dua jenis pilihan:
 Berapa bagian pendapatannya yang akan dialokasikan untuk maslahah jenis pertama
dan berapa untuk maslahah jenis kedua.
 Bagaimana memilih di dalam maslahah jenis pertama: berapa bagian pendapatannya
yang akan dialokasikan untuk memenuhi kebutuhan kehidupan dunia (dalam rangka
mencapai 'kepuasan' di akhirat) dan berapa bagian untuk kebutuhan akhirat. Pada
tingkat pendapatan tertentu, konsumen Islam, karena memiliki alokasi untuk hal-hal
yang menyangkut akhirat, akan mengkonsumsi barang lebih sedikit daripada non-
muslim. Hal yang membatasinya adalah konsep maslahah tersebut di atas. Tidak
semua barang/jasa yang memberikan kepuasan/utility mengandung maslahah di
dalamnya, sehingga tidak semua barang/jasa dapat dan layak dikonsumsi oleh umat
Islam. Dalam membandingkan konsep 'kepuasan' dengan 'pemenuhan kebutuhan'
(yang terkandung di dalamnya maslahah), kita perlu membandingkan tingkatan-
tingkatan tujuan hukum syara' yakni antara daruriyyah, tahsiniyyah dan hajiyyah.

Contoh Larangan wanita memakai perhiasan diluar rumah termasuk memelihara


kesempurnaan ashl nasl (pokok keturunan). Selain itu larangan tersebut sebagai wujud dari
kehormatan, kemuliaan, dan dapat menggangkat harkat wanita yang pada dewasa ini
diletakkan pada tempat yang rendah.
Contoh memelihara agama diantaranya adalah larangan terhadap dakwah yang menyimpang,
yang tidak menyentuh pokok keimanan (ashlul itiqad), dimana semakin genjarnya gerakan
dakwah semacam ini malah menimbulkan keraguan terhadap ajaran islam. Demikian pula
larangan mempelajari kitab-kitab yang sumber-sumber ajaran agama lain bagi orang yang
tidak mampu melakukan studi perbandingan secara rasional dan mendalam diantara
kebenaran-kebenaran agama.
Contoh memelihara akal, seperti melarang kafir dzimmy meminum dan menjual khamar
ditengah masyarakat muslim, walaupun minuman keras tersbut dijual khusus untuk kalangan
kafir dzimmi sendiri.
Contoh yang berkaitan dengan memelihara harta adalah diharamkan menipu atau
memalsukan barang. Perbuatan ini tidak menyentuh secara langsung harta itu sendiri
(eksistensinya), tetapi menyangkut kesempurnaannya. Sebab hal ini berlawanan kepentingan
dengan keingginan membelanjakan harta secara terang dan jelas, serta keinginan memperoleh
gambaran yang tepat tentang untung rugi. Jelaslah kiranya hal ini tidak membuat cacat
terhadap harta pokok (ashul mal), akan tetapi berbenturan dengan kepentingan orang lain
yang membelanjakan hartanya.
Contoh konkrit saat ini:
Konsumen muslim hendaknya membiasakan diri untuk memilih produk dan jasa yang sudah
jelas terverifikasi/ yang dirasa mencakup unsur maslahahnya. Misal dalam memilih produk
pilihlah halal food, farmasi dsb. Dan dalam konteks jasa misal, dihadapkan pilihan untuk
memilih asuransi syariah atau konvensional, diharapkan konsumen muslim paham betul
perbedaannya. Karena kalau dalam asuransi syariah, terdapat konsep derma, bahwa uang
yang kita setorkan secara kolektif adalah juga terdapat tanggung jawab untuk membantu atau
subsidi terhadap yang lain, dan keuntungan dibagikan untuk anggota, bukan hanya pemilik
perusahaan asuransi.

5. Ayat/ Hadist yang digunakan dalam konsep harga dan pasar, dan bagaimana
perspektif al-Ghazali, Ibn Khaldun dan Ibn Taymiyah tentang teiru harga dan pasar
tersebut
Ulama fiqh sepakat menyatakan bahwa ketentuan penetapan harga ini tidak dijumpai
di dalam al-Qur„an. Adapun dalam hadits Rasulullah saw, dijumpai beberapa riwayat yang
menurut logikanya dapat diinduksikan bahwa penetapan harga itu dibolehkan dalam kondisi
tertentu. Faktor dominan yang menjadi landasan hukum at-tas„ir al-jabbari, menurut
kesepakatan para ulama fiqh adalah al-maslahah al-mursalah (kemaslahatan).
Artinya: Dari Anas bin Malik, ia berkata: Orang-orang berkata, ‚Wahai Rosulullah,
harga telah naik, maka tetapkanlah harga untuk kami.‛ Lalu Rosulullah SAW
bersabda, ‚ sesungguhnya Allah yang menetapkan harga, yang mempersempit, dan
yang memperluas, dan aku berharap bertemu dengan Allah sedangkan salah seorang
dari kalian tidak menuntutku karena kezhaliman dalam darah atau harta‛. (HR. Abu
Dawud).
Ulama fiqih menyatakan bahwa kenaikan harga yang terjadi di zaman Rasulullah saw
tersebut bukanlah karena tindakan sewenang-wenang dari para pedagang, tetapi karena
memang komoditas yang ada terbatas. Sesuai dengan hukum ekonomi apabila stok terbatas,
maka wajar barang tersebut naik. Oleh sebab itu, dalam keadaan demikian Rasulullah saw
tidak mau campur tangan membatasi harga komoditas tersebut.
Pendapat Rasulullah tentang harga dan pasar ini menunjukkan bahwa ketentuan harga itu
diserahkan kepada mekanisme pasar yang alamiah dan mengandung pengertian bahwa harga
pasar itu sesuai dengan kehendak Allah yang sunnatullah atau hukum supply and demand.
Kenaikan penawaran atau penurunan permintaan menyebabkan kenaikan harga, demikian
pula sebaliknya penurunan penawaran atau kenaikan permintaan akan menyebabkan
penurunan harga. Penurunan harga yang sangat drastis akan merugikan pengrajin dan
pedagang serta mendorong mereka keluar dari pasar, sedangkan kenaikan harga yang drastis
akan menyusahkan konsumen. Harga "damai" dalam kasus seperti ini sangat diharapkan oleh
kedua belah pihak, karena ia tidak saja memungkinkan para pedagang mendapatkan tingkat
pengembalian yang ditolerir oleh pasar dan juga mampu menciptakan kegairahan pasar
dengan meningktakan penjualan untuk memperoleh tingkat keuntungan dan kemakmuran
tertentu. Akan tetapi, harga yang rendah dibutuhkan pula, karena memberikan kelapangan
bagi kaum miskin yang menjadi mayoritas dalam sebuah populasi.

a. Penetapan Harga Al-Ghazali


Al-Ghazali pernah berbicara mengenai ‚harga yang berlaku‛, seperti yang ditentukan oleh
praktik-praktik pasar, sebuah konsep yang kemudian hari dikenal sebagai at-tsaman al
„adil (harga yang adil) dikalangan ilmuwan muslim atau equilibrium price (harga
keseimbangan) di kalangan ilmuwan kontemporer.
Al Ghazali juga memperkenalkan teori permintaan dan penawaran; jika petani tidak
mendapatkan pembeli, ia akan menjualnya pada harga yang lebih murah, dan harga dapat
diturunkan dengan menambah jumlah barang di pasar. Ghazali juga memperkenalkan
elastisitas permintaan, ia mengidentifikasi permintaan produk makanan adalah inelastic,
karena makanan adalah kebutuhan pokok, berkaitan dengan ini, ia menyatakan bahwa
laba seharusnya berkisar antara 5 sampai 10 persen dari harga barang.

b. Penetapan Harga Ibnu Taimiyah


Ibnu Taimiyah mengatakan, ‚Kompensasi yang setara akan diukur dan ditaksir oleh hal-
hal yang setara, dan itulah esensi keadilan (nafs aladl). Dimanapun ia membedakan antara
dua jenis harga yang adil dan disukai. Dia mempertimbangkan harga yang setara sebagai
harga yang adil. Dalam Majwu fatawa-nya Ibnu Taimiyah mendefinisikan equivalen price
sebagai harga baku dimana penduduk menjual barang-barang mereka dan secara umum
diterima sebagai sesuatu yang setara dengan itu dan untuk barang yang sama pada waktu
dan tempat yang khusus.
Sementara dalam al-Hisbah, ia menjelaskan bahwa equivalen price ini sesuai dengan
keinginan atau persisnya harga yang ditetapkan oleh kekuatan pasar yang berjalan secara
bebas-kompetitif dan tidak terdistorsi antara penawaran dan permintaan.
Jika permintaan terhadap barang meningkat sementara penawaran menurut harga akan
naik. Begitu sebaliknya, kelangkaan dan melimpahnya barang mungkin disebabkan oleh
tindakan yang adil, atau mungkin tindakan yang tidak adil.
Ia mengatakan, ‚jika penduduk menjual barangnya dengan cara yang normal (al-wajh al-
ma„ruf) tanpa menggunakan cara-cara yang tidak adil, kemudian harga itu meningkat
karena pengaruh kekurangan persediaan barang itu atau meningkatnya jumlah penduduk
(meningkatnya permintaan).
Dalam kasus seperti itu, memaksa penjual untuk menjual barangnya pada harga khusus
merupakan paksaan yang salah (ikrah bi ghairi haq), karena bisa merugikan salah satu
pihak. Secara umum, harga yang adil ini adalah harga yang tidak menimbulkan
eksploitasi atau penindasan (kezaliman) sehingga merugikan salah satu pihak dan
menguntungkan pihak yang lain. Harga yaitu penjual memperoleh keuntungan yang
normal dan pembeli memperoleh manfaat yang setara dengan harga yang dibayarkannya.
Ada dua terma yang seringkali ditemukan dalam pembahasan Ibnu Taimiyah tentang
masalah harga, yakni kompensasi yang setara/adil („Iwad al-Mitsl) dan harga yang
setara/adil (Tsaman al-Mitsl). Dia berkata: ‚Kompensasi yang setara akan diukur dan
ditaksir oleh hal-hal yang setara, dan itulah esensi dari keadilan (Nafs al-„Adl).

c. Ibnu khaldun
Ibnu Khaldun membagi jenis barang menjadi dua jenis, yaitu barang kebutuhan pokok
dan barang pelengkap. Menurutnya, bila suatu kota berkembang dan selanjutnya
populasinya bertambah banyak (kota besar), maka pengadaan barang-barang kebutuhan
pokok akan mendapat prioritas pengadaan. Akibatnya, penawaran meningkat dan ini
berarti turunnya harga. Ibnu Khaldun juga menjelaskan tentang mekanisme penawaran
dan permintaan dalam menentukan harga keseimbangan. Secara lebih rinci, ia
menjabarkan pengaruh persaingan diantara konsumen untuk mendapatkan barang pada
sisi permintaan. Bagi Ibnu Khaldun, harga adalah hasil dari hukum permintaan dan
penawaran. Pengecualian satu-satunya dari hukum ini adalah harga emas dan perak, yang
merupakan standar moneter. Semua barang-barang lain terkena fluktuasi harga yang
tergantung pada pasar. Bila suatu barang langka dan banyak diminta, maka harganya
tinggi. Jika suatu barang berlimpah maka harganya akan rendah.

Anda mungkin juga menyukai