NIM :17086050012
Program :Pasca Ekonomi Syariah
Mata Kuliah :Teori Ekonomi Mikro Islam
Dosen :Dr. H. Aan Jaelani, M.Ag
Dan hanya kepunyaan Allah kerajaan langit dan bumi. Dan pada hari terjadinya
kebangkitan, akan rugilah pada hari itu orang-orang yang mengerjakan kebatilan.
Dalam surat al-Fath [48]: disebutkan bahwa milik Allah-lah kerajaan langit dan bumi;
Dia mengampuni sseorang yang dia kehendaki dan mengazab seseorang yang Dia kehendaki.
Selanjutnya dalam surat al-Hadîd/57: 2 dan 5 “bagi-Nya kerajaan langit dan bumi. Dia Yang
Menghidup dan Yang Mematikan. Berkuasa atas segala sesuatu”. “….dan kepada-Nya
dikembalikan perkara-perkara”.
Prinsip tauhid ini menghasilkan pandangan tentang kesatuan umat manusia
mengantarkan seorang penguasaha muslim untuk menghindari segala bentuk eksploitasi
terhadap sesama manusia. Dari sini dapat dimengerti mengapa Islam bukan saja melarang
praktik riba dan pencurian, tetapi juga penipuan walau terselubung, bahkan sampai kepada
larangan menawarkan barang pada saat konsumen menerima tawaran yang sama dari orang
lain.
b. Prinsip keseimbangan
Sebagai seorang muslim meyakini bahwa segala sesuatu yang diciptakan Allah dalam
keadaan seimbang dan serasi. Dalam surat al-Mulk: 67
“…. kamu sekali-kali tidak melihat pada ciptaan Tuhan Yang Maha Pemurah sesuatu
yang tidak seimbang”.
Dalam surat Ali „Imran [3]: 14 Manusia diberi kecenderungan kepada kekayaan dengan
berbagai macam bentuknya
“Dijadikan indah pada pandangan manusia kecintaan kepada apa-apa yang diingini,
yaitu: wanita-wanita, anak-anak, harta yang banyak dari jenis emas, perak, kuda pilihan,
binatang-binatang ternak dan sawah ladang. Itulah kesenangan hidup di dunia dan di
sisi Allah-lah tempat kembali yang baik (surga)”.
objek kecenderungan manusia ditambahkan pula dalam surat al-Tawbah [9]: 24
“Katakanlah “jika bapak-bapak, anak-anak, saudara-saudara, isteri-isteri kaum
keluargamu, harta kekayaan yang kamu usahakan, perniagaan yang kamu khawatiri
kerugiannya, dan rumah-rumah tempat tinggal yang kamu sukai adalah lebih kamu cintai
dari Allah dan Rasul-Nya dan dari berjihad di jalan-Nya, maka tunggulah sampai datang
keputusanNya. Dan Allah tidak memberi petunjuk kepada orang-orang fasik”.
Makna yang segera bisa dipaham dari kedua teks ayat tersebut:
Manusia memiliki potensi dasar mengolah jasa dan mendistribusikannya. Kecintaan
kepada seluruh anggota keluarga merupakan modal utama untuk memberdayakan
mereka dan sekaligus dapat menjadi sarana kepada siapa barang jasa didistribusikan.
Masalah jasa dan sistem distribusi ini merupakan masalah pokok dalam kajian
ekonomi.
Barang jasa yang ditunjuk Alquran secara psikologis setara antara antara sumber daya
manusia dan asset-asset lainnya seperti emas, perak, binatang ternak, perumahan, dan
tijârah (perdagangan).
Supaya tidak terjadi goncangan -(inflasi, resesi, dan bahkan depresi)- dalam aktivitas
ekonomi masyarakat, kedua ayat di atas memberikan orientasi agar bisnis yang
dilakukan tidak semata-mata demi bisnis. Alquran menganjurkan kecintaan kepada
Allah dan Rasul-Nya, serta jihad di jalan Allah harus dalam skala perioritas
ketimbang kecintaan kepada harta benda.
Dalam kitab-kitab hadis kita temukan larangan-larangan Rasulullah terkait dengan aktivitas
ekonomi seperti;
menimbun kebutuhan pokok (ihtikar) padahal masyarakat sedang membutuhkan.
Benda yang menjadi kebutuhan pokok bisa saja beragam atau berbedabeda antara satu
daerah,
menyambang barang dagangan di hulu pasar (talaqqu al-rukbân) padahal konsumen
(pembeli) banyak menunggu di pasar,
monopoli oleh spekulan (syimsâr, hâdirun libâd) padahal sedang terjadi penceklik ,
jual beli buah-buah masih di pohon sebelum jelas kebaikannya (hatta yabduwa
Shalahuha) karena bisa mendatang penyesalan dan permusuhan, dan lain-lain.
Berbagai proteksi sistem pasar ini, bukan berarti Rasulullah mengharamkan ekonomi
pasar bebas sebagai lawan dari ekonomi pasar komando, tetapi semata-mata karena
keseimbangan pasar; agar distribusi jasa/barang berjalan normal tidak berada di bawah
kendali spekulan yang menyebabkan ketidakseimbangan pasar (unqual of wealth
distribution). Saya semula menduga larangan Rasulullah hanya pada pasar tradisional/mikro
dan bersifat temporal, namun permainan spekulan terhadap kebutuhan pokok masyarakat
seperti Jakarta (kota metropolitan, bahkan dirancang megapolitan) juga bisa. Kalau demikian
hadis-hadis Rasulullah tersebut masih aktual untuk masyarakat Islam sekarang. Prinsip
keseimbangan mengantarkan kepada pencegahan segala bentuk monopoli dan pemusatan
kekuatan ekonomi pada satu tangan atau satu kelompok. Ibn Taimiyah mengatakan termasuk
dari kemungkaran adalah menyambang barang dagangan kebutuhan pokok sebelum sampai
ke pasar dan ihtikâr (menimbun kebutuhan pokok). Bahkan sebagian ulama berpendapat
“siapa yang terpaksa karena untuk makan orang lain dia boleh mengambilnya walaupun
tanpa persetujuannya dengan membayar harga standar, walaupun penimbun melarangnya
…” Atas dasar ini juga banyak ayat-ayat Alquran menganjurkan zakat, infak, sedekah, wasiat,
dan ditemukan juga konsep kewarisan yang kebanyakan objeknya adalah keluarga dekat, para
fakir miskin, dlsb. Ini artinya sistem distribusi harta dalam Alquran bermaksud
menghilangkan kompleksitas akumulasi harta dan membuat garis batas antara kepemilikan
individu dan masyarakat.
Melihat kenyataan krisis ekonomi yang terjadi di berbagai negara, termasuk Indonesia
yaang belum kunjung usai telah memporak porandakan sendi-sendi kehidupan sosial. Hal ini
menunjukkan beluam mampunya “ekonomi pasar” atau kapitalisme yang di ilhami oleh teori
invisible hand Adam Smith, untuk mengatasi masalah-masalah ekonomi (pengangguran,
inflasi, distribusi pendapatan tidak merata, kemiskinan). Berbagai cara telah ditempuh, baik
dengan kebijakan moneter maupun fiskal, namun persolan ekonomi tetap saja muncul dan
menghantui banyak negara dimana-mana. Dimana letak kesalahan ekonomi pasar atau
kapitalis yang sebagian besar dianut oleh banyak negara termasuk Indonesia, bukankah resep
pembangunan ekonomi Adam Smith telah dilaksanakan. Dunia sedang memerlukan ekonomi
Ilahiah, ekonomi yang konsepnya dilandasi oleh Al-Qur‟an dan Hadits, ekonomi yang
dikembangkan dengan akhlak yang mulia.
Dalam ilmu ekonomi Islam tidak hanya mempelajari individu dan sosial melainkan
juga manusia dengan bakat religius manusia. Hal ini disebabkan banyaknya kebutuhan dan
kurangnya sarana, dari sini muncullah masalah ekonomi. Masalah ini pada dasarnya sama
dalam semua sistem ekonomi baik ekonomi Islam maupun ekonomi yang lainnya. Namun
kemudian muncul perbedaan dalam pemilihan sistem pelaksanaan apakah dikendalikan oleh
nilai Islam atau dikuasai oleh kepentingan diri sendiri. Islam dalam memandang masalah
ekonomi berbeda dari sudut pandang kapitalis. Islam memberikan kebebasan serta hak miliki
kepada individu dan mengelola usaha secara peribadi, akan tetapi tanpa merusak ekonomi
masyarakat. Pemilikan pribadi dalam pandangan Islam tidaklah bersifat mutlak/absolut
(bebas tanpa kendali dan batas). Sebab di dalam berbagai ketentuan hukum dijumpai
beberapa batasan dan kendali yang tidak boleh dikesampingkan oleh seorang muslim dalam
pengelolaan dan pemanfaatan harta miliknya.
Untuk itu dapat disebutkan prinsip dasarnya yaitu: (1) pada hakikatnya individu
adalah wakil masyarakat dan (2) harta benda tidak boleh hanya berada ditangan pribadi
(sekelompok) anggota masyarakat. Prinsip tersebut menggambarkan Sistem ekonomi Islam
merupakan sistem yang adil dan seksama serta berupaya menjamin kekayaan tidak terkumpul
hanya pada satu kelompok saja, tetapi tersebar keseluruh masyarakat. Hal ini sebagaimana
diungkapkan dalam al-Qur‟an: “Supaya harta itu jangan hanya beredar di antara golongan
kaya saja dikalangan kamu” (al-Hasyar: 7). Prinsip ini dimaksudkan untuk menjaga
keseimbangan dan kestabilan dalam masyarakat. Seandainya harta itu hanya berada ditangan
pribadi (monopili kelompok) tentu, anugerah Allah tersebut hanya berada di tangan segelintir
orang. Dalam konteks kekinian, hal tersebut dapat diambil ilustrasi bahwa sikap mental
ologopoli, monopoli, kartel dan yang sejenis dengannya merupakan sikap mental
pengingkaran nurani kemanusiaan dan jelas-jelas menyimpang dari aturan Islam.
Pembahasan mengenai distribusi tidak akan lepas dari pembahasan mengenai konsep moral
Ekonomi yang dianut dan juga tidak lepas dari model instrumen yang diterapkan individu
maupun negara dalam menentukan sumber-sumber maupun cara- cara pendistribusian
pendapatannya. Konsep moral tersebut harus dipahami untuk tujuan menjaga persamaan
ataupun mengikis kesenjagangan antara si kaya dan si miskin. Idealisme prinsip- prinsip
ekonomi harus disepakati dalam koridor pencapaian standar hidup secara umum. Islam
dengan tegas menggariskan kepada pemerintah untuk meminimalkan kesenjangan dan
ketidakseimbangan distribusi. Pajak ditetapkan atas kekayaan seseorang untuk membantu
yang miskin dan membentuk dari sistem perpajakan ini berkaitan dengan zakat, dengan
demikian tidak akan ada ruang bagi muslim untuk melakukan tindakan berlebihan dalam
upaya melancarkan proses distribusi pendapatan.
Dengan demikian, sistem distribusi dalam pandangan Ekonomi Islam harus didasarkan pada
prinsip-prinsip dasar Ekonomi Islam, diantaranya adalah kebebasan individu, adanya
jaminan sosial, larangan menumpuk harta dan distribusi kekayaan yang adil. Pemerintah
berperan secara aktif dalam sistem distribusi ekonomi di dalam mekanisme pasar Islami
yang bukan hanya bersifat temporer dan minor, tetapi pemerintah mengambil peran yang
besar dan penting. Pemerintah bukan hanya bertindak sebagai 'wasit' atas permainan pasar
tetapi berperan aktif bersama-sama pelaku-pelaku pasar yang lain. Pemerintah akan bertindak
sebagai perencana, pengawas, produsen sekaligus konsumen bagi aktivitas pasar (P3EI UII
dan BI, 2008:83).
Berkaitan dengan hal tersebut maka Islam menawarkan instrumen yang sangat beragam
untuk optimalisasi proses distribusi pendapatan. Dari konsep yang ditawarkan ada yang
menuntut bantuan otoritas dari pemerintah ada pula yang memang sangat bergantung pada
personal (rumah tangga) maupun masyarakat. Pemerintah berperan dalam mekanisme
ekonomi, yang secara garis besar dapat diklasifikasikan menjadi tiga bagian, yaitu pertama,
peran yang berkaitan dengan implementasi nilai dan moral Islam; kedua, peran yang
berkaitan dengan teknis operasional mekanisme pasar; dan ketiga, peran yang berkaitan
dengan kegagalan pasar (P3EI UII dan BI, 2008:84). Dalam pengelolaan sumber daya alam
yang tersedia pemerintah harus mampu mendistribusikan secara baik atas pemanfaatan lahan
dan industri artinya kesempatan tidak hanya diberikan kepada sekelompok orang untuk
menjalankan proses produksi. Kebijakan distribusi menganut kesamaan dalam kesempatan
kerja, pemanfaatan lahan-lahan yang menjadi sektor publik, pembelaan kepentingan ekonomi
untuk kelompok miskin, menjaga keseimbangan sosial dan investasi yang adil dan merata
berdsasarkan geografis, area, sektor dan perkotaan dan pedesaan serta lapangan pekerjaan
(Mohzer Kahf, 1991 dalam Nasution 2007:148).
Ajaran Islam memberikan otoritas kepada pemerintah dalam menentukan kebijakan
penggunaan lahan untuk kepentingan negara dan publik, distribusi tanah kepada sektor
swasta, penarikan pajak dan subsidi yang dikembalikan kepada aturan syariah untuk
memenuhi kepentingan publik dan pembebasan ketimpangan. Penguasaan pengelolahan
publik oleh pihak swasta diarahkan untuk tidak merusak kepentingan banyak pihak karena
barang publik (barang kebutuhan Umum dan barang tambang) harus sepenuhnya di kuasai
oleh Negara untuk kepentingan seluruh masyarakat. Kalaupun untuk kepentingan maslahat
tertentu seperti adanya peran tekhnologi sehingga lahan tidak dapat sepenuhnya digarap oleh
sektor publik maka kebijakan pemerintah harus menetapkan tarif zakat yang tinggi sebesar 20
persen karena menghindari penguasaan lahan oleh sekelompok atau individu. Dalam sebuah
hadits Rasulullah SAW bersabda:
“Kaum muslimin berserikat dalam tiga hal: air, padang rumput, dan api, dan
harganya haram”(HR. Imam Ibnu Majah)
Rasulullah sudah sangat jelas mengatakan bahwa seluruh barang yang termasuk dalam ketiga
jenis tersebut (barang-barang publik) dan juga yang menjadi turunannya jika ada harganya,
maka haram hukumnya. Pada mekanisme pasar dalam Ekonomi Islam, mekanisme pasar
menekan seminimal mungkin peranan pemerintah dan hanya boleh masuk sebagai pelaku
pasar (intervensi) jika pasar tidak dalam keadaan sempurna, yang berarti ada kondisi yang
menghalangi terjadinya kompetisi secara fair dan terjadi distribusi yang tidak normal dengan
kata lain pemerintah mengupayakan agar tidak terjadi market failure. Kepentingan negara
dalam pendistribusian pendapatan di pasar adalah bagaimana pemerintah dapat menjamin
pendapatan (barang dan jasa) seluruh bangsanya (muslim secara khusus dan nonmuslim
secara umum) diatas kemampuan materi limit of pittance (Nisab) dengan indikator yang
mengacu kepada kepentingan (maslahat) dari maqashid syariah.
Distribusi pendapatan dalam konteks rumah tangga akan sangat terkait dengan mekanisme
non ekonomi yakni mekanisme yang tidak melalui aktivitas ekonomi produktif melainkan
melalui aktivitas non-produktif, seperti pemberian hibah, shodaqoh, zakat dan warisan.
Dalam konsep distribusi pendapatan ini yang menjadi tekanan adalah adanya hak Allah dan
RasulNya serta hak umat muslim yang lain dari pendapatan seorang muslim. Hal ini juga
diarahkan sebagai bentuk dari jaminan sosial seorang muslim dengan keluarga dan orang lain
sehingga menjamin adanya minimalisasi ketidak setaraan pendapatan dan keadilan sosial.
Berikut model distribusi pendapatan dengan memaksimalkan aktivitas non ekonomi.
Dengan adanya pendistribusian harta dengan mekanisme non-ekonomi melalui aktivitas
pemberian zakat, infaq, hibah, wakaf dan shadaqoh, maka diharapkan akan dapat
menjembatani kesenjangan distribusi pendapatan. Hal ini juga sangat dianjurkan oleh Allah
SWT dalam firmanNya dan Allah SWT juga sangat menyukai orang-orang yang
menafkahkan hartanya.
5. Ayat/ Hadist yang digunakan dalam konsep harga dan pasar, dan bagaimana
perspektif al-Ghazali, Ibn Khaldun dan Ibn Taymiyah tentang teiru harga dan pasar
tersebut
Ulama fiqh sepakat menyatakan bahwa ketentuan penetapan harga ini tidak dijumpai
di dalam al-Qur„an. Adapun dalam hadits Rasulullah saw, dijumpai beberapa riwayat yang
menurut logikanya dapat diinduksikan bahwa penetapan harga itu dibolehkan dalam kondisi
tertentu. Faktor dominan yang menjadi landasan hukum at-tas„ir al-jabbari, menurut
kesepakatan para ulama fiqh adalah al-maslahah al-mursalah (kemaslahatan).
Artinya: Dari Anas bin Malik, ia berkata: Orang-orang berkata, ‚Wahai Rosulullah,
harga telah naik, maka tetapkanlah harga untuk kami.‛ Lalu Rosulullah SAW
bersabda, ‚ sesungguhnya Allah yang menetapkan harga, yang mempersempit, dan
yang memperluas, dan aku berharap bertemu dengan Allah sedangkan salah seorang
dari kalian tidak menuntutku karena kezhaliman dalam darah atau harta‛. (HR. Abu
Dawud).
Ulama fiqih menyatakan bahwa kenaikan harga yang terjadi di zaman Rasulullah saw
tersebut bukanlah karena tindakan sewenang-wenang dari para pedagang, tetapi karena
memang komoditas yang ada terbatas. Sesuai dengan hukum ekonomi apabila stok terbatas,
maka wajar barang tersebut naik. Oleh sebab itu, dalam keadaan demikian Rasulullah saw
tidak mau campur tangan membatasi harga komoditas tersebut.
Pendapat Rasulullah tentang harga dan pasar ini menunjukkan bahwa ketentuan harga itu
diserahkan kepada mekanisme pasar yang alamiah dan mengandung pengertian bahwa harga
pasar itu sesuai dengan kehendak Allah yang sunnatullah atau hukum supply and demand.
Kenaikan penawaran atau penurunan permintaan menyebabkan kenaikan harga, demikian
pula sebaliknya penurunan penawaran atau kenaikan permintaan akan menyebabkan
penurunan harga. Penurunan harga yang sangat drastis akan merugikan pengrajin dan
pedagang serta mendorong mereka keluar dari pasar, sedangkan kenaikan harga yang drastis
akan menyusahkan konsumen. Harga "damai" dalam kasus seperti ini sangat diharapkan oleh
kedua belah pihak, karena ia tidak saja memungkinkan para pedagang mendapatkan tingkat
pengembalian yang ditolerir oleh pasar dan juga mampu menciptakan kegairahan pasar
dengan meningktakan penjualan untuk memperoleh tingkat keuntungan dan kemakmuran
tertentu. Akan tetapi, harga yang rendah dibutuhkan pula, karena memberikan kelapangan
bagi kaum miskin yang menjadi mayoritas dalam sebuah populasi.
c. Ibnu khaldun
Ibnu Khaldun membagi jenis barang menjadi dua jenis, yaitu barang kebutuhan pokok
dan barang pelengkap. Menurutnya, bila suatu kota berkembang dan selanjutnya
populasinya bertambah banyak (kota besar), maka pengadaan barang-barang kebutuhan
pokok akan mendapat prioritas pengadaan. Akibatnya, penawaran meningkat dan ini
berarti turunnya harga. Ibnu Khaldun juga menjelaskan tentang mekanisme penawaran
dan permintaan dalam menentukan harga keseimbangan. Secara lebih rinci, ia
menjabarkan pengaruh persaingan diantara konsumen untuk mendapatkan barang pada
sisi permintaan. Bagi Ibnu Khaldun, harga adalah hasil dari hukum permintaan dan
penawaran. Pengecualian satu-satunya dari hukum ini adalah harga emas dan perak, yang
merupakan standar moneter. Semua barang-barang lain terkena fluktuasi harga yang
tergantung pada pasar. Bila suatu barang langka dan banyak diminta, maka harganya
tinggi. Jika suatu barang berlimpah maka harganya akan rendah.