Anda di halaman 1dari 19

I.

JUDUL PENELITIAN

“STUDI PENGARUH MUKA AIR TANAH TERHADAP KESTABILAN LERENG PT


AMMAN MINERAL NUSA TENGGARA”

II. LATAR BELAKANG

Pada sistem penambangan surface mining kondisi lereng yang stabil akan
menjamin kemenerusan kegiatan penambangan. Adanya kegiatan penggalian pada
suatu lereng dapat menyebabkan perubahan gaya-gaya pada lereng yang
mengakibatkan terganggunya kestabilan sehingga dapat terjadi longsor. Kestabilan
lereng pada batuan lebih ditentukan oleh adanya bidang-bidang lemah yang disebut
dengan bidang diskontinuitas , geometri lereng dan sifat fisik maupun mekanis batuan .
Beberapa metode didapat digunakan untuk analisis kestabilan lereng diantaranya
dengan menggunakan klasifikasi Slope Mass Rating (SMR) dan analisis kinematik.
Klasifikasi Slope Mass Rating (SMR) merupakan modifikasi dari klasifikasi Rock
Mass Rating (RMR) bieniawski 1979, yang penerapannya dikhususkan pada lereng.
Pada klasifikasi Slope Mass Rating (SMR) Romana 1985, dapat diketahui kondisi massa
batuan, tingkat kestabilan lereng, kemungkinan terjadi longsoran, dan rekomendasi
metode penanganan pada lereng. Selain klasifikasi SMR salah satu analisis kestabilan
lereng yang menekan pada pengaruh orientasi bidang diskontinuitas yaitu analisis
kinematik. Analisis kinematik bertujuan untuk mengetahui jenis, arah longsoran.
PT. WXYZ merupakan salah satu perusahaan tambang logam terbesar di
Indonesia dengan menggunakan metode penambangan open pit mining. Beberapa
kasus longsoran yang terjadi pada PT. Amman Mineral Nusa Tenggara lebih dikontrol
oleh pengaruh orientasi bidang diskontinuitas. Berdasarkan hal tersebut, maka
dilakukan penelitian analisis tingkat kestabilan lereng menggunakan metode Slope
Mass Rating (SMR) dan kinematik, karena kedua metode tersebut lebih menekan pada
pengaruh orientasi struktur terhadap tingkat kestabilan lereng . Sehingga dapat
dilakukan rekomendasi penanganan lereng di PT. WXYZ.

III. RUMUSAN MASALAH

Sistem penambangan terbuka (Open Pit Mining) umumnya bermasalah pada


jenjangnya. Keruntuhan pada jenjang dapat disebabkan oleh tidak sesuainya

1
parameter geometri lereng terhadap kekuatan batuan, sehingga perlu dilakukan
analisis lebih lanjut untuk mencegah terjadinya keruntuhan. Rumusan masalah pada
kerja praktek ini meliputi:
1. Bagaimana mengetahui nilai Slope Mass Rating (SMR)
berdasarkan klasifikasi Rock Mass Rating (RMR) ?
2. Bagaimana menentukan tingkat kestabilan lereng
berdasarkan klasifikasi Slope Mass Rating (SMR) menurut Romana, 1985 ?
3. Bagaimana modelling desain lereng untuk mendapatkan
desain lereng final yang representatif baik dari segi teknis maupun ekonomi ?

IV. TUJUAN PENELITIAN

Penelitian yang dilakukan memiliki tujuan sebagai berikut:


1. Menentukan nilai kestabilan lereng berdasarkan klasifikasi Slope Mass Rating
(SMR) menurut Romana, 1985.
2. Melakukan desain perkuatan lereng berdasarkan data Slope Mass Rating (SMR)
yang diperoleh.
3. Memberikan desain metode penanganan lereng daerah penelitian berdasarkan
klasifikasi Slope Mass Rating (SMR).

V. MANFAAT PENELITIAN

Penelitian ini pada akhirnya diharapkan dapat bergunabagi berbagai pihak,


antara lain:
1. Perusahaan dapat mengaplikasikan desain lereng final yang stabil baik dari segi
teknis maupun ekonomis, sehingga aktifitas penambangan berjalan maksimal.
2. Bidang akademik akan mendapatkan pustaka megenai kestabilan lereng
khususnya dengan menggunakan metode Slope Mass Rating (SMR).

VI. TINJAUAN PUSTAKA

Dalam penambangan terbuka (Open Pit Mining), desain lereng final adalah
salah satu faktor terpenting. Beberapa cara yang dilakukan untuk membuat suatu
desain final diantaranya dengan analisis geomekanika dan analisis kestabilan lereng.

2
Untuk menentukan kondisi lereng secara cepat dapat digunakan pembobotan massa
lereng (Slope Mass Rating) yang berdasarkan klasifikasi Rock Mass Rating (RMR) pada
lokasi yang longsor maupun rawan longsor.

6.1 Jenis-jenis Longsoran

Berdasarkan proses dan jenis longsornya, longsoran batuan dapat dibedakan

menjadi empat macam (Hoek and Bray, 1981) yaitu:

1. Longsoran Bidang (Plane Failure)

Longsoran bidang merupakan suatu longsoran batuan yang terjadi sepanjang

bidang luncur yang dianggap rata. Bidang luncur dapat berupa sesar/patahan,

kekar (joint) maupun bidang perlapisan batuan. Longsoran bidang dapat terjadi

apabila orientasi bidang diskontinuitas searah lereng atau perbadaan sudut

antara arah lereng dengan arah bidang lemah maksimal 30 0 dengan kemiringan

bidang gelincir harus lebih besar dari sudut geser dalam batuan.

Gambar 1 Longsoran Bidang (Hoek and Bray, 1981)

2. Longsoran Baji (Wedge Failure)

Longsoran baji dapat terjadi pada suatu batuan jika terdapat lebih dari satu

bidang lemah yang bebas dan saling berpotongan dengan arah orientasi bidang

3
lemah searah lereng atau berada pada zona daylight. Sudut perpotongan

antara bidang lemah tersebut harus lebih besar dari sudut geser dalam batuan.

Gambar 2 Longsoran Baji (Hoek and Bray, 1981)

3. Longsoran Busur (Circular Failure)

Longsoran busur hanya terjadi pada tanah atau material yang bersifat seperti

tanah. Longsoran busur juga dapat terjadi pada batuan yang sangat lapuk serta

banyak mengandung bidang lemah (lose material).

Gambar 3 Longsoran Busur (Hoek and Bray, 1981)

4. Longsoran Guling (Toppling Failure)

Longsoran guling dapat terjadi apabila orientasi bidang lemah yang dominan

berlawanan terhadap kemiringan lereng. Keadaan tersebut dapat digambarkan

dengan balok-balok yang diletakkan diatas sebuah bidang miring.

4
Gambar 4 Longsoran Guling (Hoek and Bray, 1981)

6.2 Klasifikasi Rock Mass Rating (RMR)

Bieniawski (1979) mempublikasikan suatu metode klasifikasi massa batuan


yang dikenal dengan Geomechanics Classification atau Rock Mass Rating (RMR).
Metode ini telah dikenal luas dan banyak diaplikasikan pada keadaan dan lokasi yang
berbeda-beda seperti tambang pada batuan kuat, terowongan, tambang batubara,
kestabilan lereng, dan kestabilan pondasi. Klasifikasi RMR telah dimodifikasi beberapa
kali sesuai dengan adanya data baru agar dapat digunakan untuk berbagai
kepentingan dan sesuai dengan standar internasional. Sistem klasifikasi massa batuan
RMR 79 menggunakan lima parameter berikut ini dimana rating setiap parameter
dijumlahkan untuk memperoleh nilai total dari RMR:
(1) Kuat tekan batuan utuh (Strength of intact rock material)
(2) Rock Quality Designation (RQD).
(3) Jarak antar (spasi) kekar (Spacing of discontinuities)
(4) Kondisi kekar (Condition of discontinuities)
(5) Kondisi air tanah (Groundwater conditions)

1. Kuat Tekan Uniaksial Batuan (Strength of intact rock material)

Kuat tekan uniaksial batuan dapat diperoleh dari uji laboratorium yakni dengan
pengujian Uniaksial Compressive strength (UCS). Pengujian ini menggunakan mesin
tekan (compressin machine) untuk memecahkan batuan yang berbentuk silinder, balok
atau prisma dari satu arah (uniaksial). Pada pengujian ini gaya (kN), perpindahan
(mm) aksial dan lateral direkam hingga batuan pecah. Dengan perolehan data sifat
mekanik batuan seperti kuat tekan batuan (c), modulus elastistas (E) dan Poisson

5
Ratio (). Jika data kuat tekan hasil uji UCS tidak diperoleh, maka dapat menggunakan
kuat tekan batuan dengan uji “Point Load Strenght Index”, dan jika kedua pengujian
tersebut tidak ada maka dapat dilakukan pendekatan “ Standard Index Manual” sebagai
dasar uji di lapangan (Tabel 1)

Tabel 1. Manual Indeks Uniaxial Compressive Strenght (UCS)


UCS Index Point Load
Kode Diskripsi Uji Lapangan
(MPa) (MPa)
Sangat
0 Bisa ditekan dengan paku 0,25 – 1,0 -
lemah
Hancur bila dipukul dengan
1 Lemah Palu/dapat digores dengan 5 – 25 -
Pisau
Tidak dapat digores dengan
2 Sedang 25 – 50 <1
Pisau
Dapat hancur dengan
3 Kuat 50 – 100 2–4
Memukul lebih dari satu kali
Dapat hancur dengan
5 Sangat kuat 100 – 250 4 – 10
Memukul berkali-kali
Sangat kuat Sulit pecah dipukul dengan
6 >250 >10
Sekali Palu

Deere (1970) membuat klasifikasi teknis batuan utuh untuk beberapa macam
batuan dalam menilai kuat tekan batuan, seperti yang terlihat pada (Tabel 2).

Tabel 2. Klasifikasi Teknis Batuan Utuh, Deere (1968).

Kekuatan Pemeraian UCS (MPa) Batuan


Sangat Lemah 1 – 25 Kalk, Batugaram
Lemah 25 - 50 Batubara, Batulanau, Sekis
Sedang 50 - 100 Batupasir, Sabak, Serpih
Kuat 100 - 200 Marmer, Granit, Genis
Sangat kuat >200 Kwarsit, Dolerit, Gabro, Basalt

2. Rock Quality Designation (RQD)

Pada perhitungan nilai RMR, parameter Rock Quality Designation (RQD) diberi
bobot berdasarkan nilai RQD-nya seperti tertera pada Tabel dibawah ini.

Tabel 3. Hubungan Indeks RQD dengan Kualitas Batuan


RQD (%) Kualitas Batuan
< 25 Sangat jelek (very poor)
25 – 50 Jelek (poor)
51 – 75 Sedang (fair)
76 – 90 Baik (good)

6
91 – 100 Sangat baik (excellent)

3. Jarak Bidang Diskontinuitas

Spasi dipetakan dari permukaan batuan dan core bor, dan spasi sebenarnya
dihitung dari spasi semu untuk diskontinuitas yang miring terhadap permukaan
(Gambar 5). Pengukuran spasi set kekar memberikan ukuran dan bentuk blok.
Hasilnya berupa model stabilitas dan kekuatan massa batuan.

S = Sapp x Sin θ
Panjang Scanline
S=
Jumlah Diskontinuitas
Dimana:
S = Jarak antar diskontinuitas
Sapp = Spasi semu diskontinuitas

Gambar 5. Hubungan antara spasi semu (S apparent) dan spasi sebenarnya (S)
(Wyllie dan Mah, 2004)

4. Kondisi Bidang Diskontnuitas

Kondisi bidang diskontinuitas dipengaruhi oleh kekasaran ( roughness),


regangan (separation), pelapukan batuan samping dan material pengisi.
a. Kekasaran (Roughness)
Kekasaran merupakan komponen penting dalam kuat geser terutama untuk
kekar yang mengalami pergeseran atau yang terisi oleh material lain.
Kekasaran yang saling mengunci dan menempel akan mempengaruhi kuat
geser. Di lapangan penentuan kekasaran dapat dilakukan dengan meraba

7
permukaan kekar. Panduan untuk menentukan profil kekasaran dan
diskripsinya diberikan oleh ISRM (1981). Panduan ini untuk panjang profil
dalam 1-10m dengan skala vertikal dan horizontal (Gambar 6) sebagai
berikut:
1) Sangat kasar (very rough surfaces); terdapat banyak gelombang yang
sangat berdekatan pada permukaan kekar.
2) Kasar (rough surfaces); terdapat beberapa gelombang, kekasaran jelas
terlihat dan permukaan kekar terasa sangat abrasif.
3) Sedikit kasar (slightly rough surface); permukaan kekar dapat dibedakan
dan dirasakan antara yang relatif kasar dengan yang relatif halus.
4) Halus (smooth surfaces); permukaan kekar terasa halus ketika disentuh.
5) Polesan (slickensided surfaces); terlihat seperti dipoles (digosok).

Gambar 6. Profil Kekasaran dan Diskripsinya (ISRM,


1981)

b. Rengangan (Separation)
Wyllie dan Mah (2004) menjelaskan besarnya rongga diskontinuitas
diperoleh dari pengukuran jarak tegak lurus antara dinding batuan
berdekatan dari bidang diskontinuitas yang di dalamnya terisi udara atau air.
Rongga pada diskontinuitas akan mempengaruhi nilai kuat massa batuan
dan besarnya hidraulic conductivity air tanah, sehingga berguna untuk
memprediksi sifat massa batuan.

8
Tertutup Separasi

Gambar 7. Ilustrasi Pengertian Separasi

Menurut Wyllie dan Mah (2004) rongga dengan bukaan (> 1 m) sebagai
kategori yang besar dan jika (< 0,1 mm) dikategorikan sangat rapat. Secara
lengkap pembangian kategori rongga dilakukan oleh Barton 1973 (tabel 4).

Table 4. Deskripsi Keadaan Rongga pada Permukaan Diskontinuitas (Barton, 1973)

Deskripsi Lebar Rongga


Sangat Rapat < 0,1 mm
Tertutup Rapat 0,1 – 0,25 mm
Sedikit Terbuka 0,25 – 0,5 mm
Terbuka 0,5 – 2,5 mm
Celah (Gap)
Lebar Menengah 2,5 – 10 mm
Lebar > 10 mm
Sangat Lebar 10 – 100 mm
Terbuka Lebar Sekali 100 – 1000 mm
Besar >1m

c. Pelapukan Batuan Samping


Pelapukan batuan adalah proses yang menyebabkan alterasi batuan,
disebabkan oleh air, karbon dioksida dan oksigen atau proses eksternal yang
menyebabkan hilang dan berubahnya sifat asal mula menjadi kondisi yang
baru. Pelapukan terjadi akibat proses fisika, kimia, biologi atau melalui
proses mekanika dan dipengaruhi oleh keadaan iklim. Wyllie dan Mah (2004)
pelapukan berbentuk desintegrasi dan dekomposisi. Desintegrasi adalah hasil
perubahan lingkungan, seperti kelembaban, pembekuan dan pemanasan.
Sedangkan dekomposisi menunjukkan perubahan batuan oleh kimia seperti
proses oksidasi pada batuan mengandung besi, hidrasi seperti perubahan
feldspar menjadi kaolinit, dan karbonisasi seperti pelarutan batugamping.
Tingkat pelapukan batuan samping dapat ditentukan sebagai berikut.
1) Tidak lapuk (unweathered/fresh), tidak ada tanda-tanda pelapukan,
batuannya segar dan kristalnya tampak jelas.

9
2) Sedikit lapuk (slightly weathered), pelapukan terdapat pada kekar-kekar
terbuka, tetapi pada batuan utuh pelapukan terjadi hanya sedikit saja,
dan perubahan warna pada kekar dapat mencapai jarak 10 mm.
3) Terlapukkan sedang (moderately weathered), perubahan warna mencapai
bagian yang lebih luas, batuan tidak mudah lepas
4) Sangat terlapukkan (highly weathered), pelapukan mencapai semua
bagian massa batuan dan mudah pecah, tidak mengkilap, semua material
lain kecuali kuarsa sudah berubah warna, batuan mudah pecah
5) Terlapukkan sempurna (completely weathered), massa batuan secara
keseluruhan sudah berubah warna dan mengalami dekomposisi serta
dalam keadaan rapuh, kenampakan luar sudah seperti tanah ( soil).

d. Material Pengisi
Wyllie dan Mah (2004) mendefinisikan pengisi sebagai material yang
memisahkan dinding batuan yang berdekatan pada suatu diskontinuitas.
materia pengisi biasanya lebih lemah kekuatannya dari batuan induk. Tipe
pengisi bisa berupa pasir, lanau, lempung, breksi, gauge dan mylonit.
Adapun untuk mineral pengisi seperti kalsit, kuarsa dan pirit memiliki
kekuatan yang tinggi. Sehingga secara mekanika material pengisi akan
mempengaruhi kuat geser diskontinuitas.

Tabel 5. Klasifikasi Kondisi Diskontinuitas, Bieniawski (1979)

Panduan Klasifikasi Untuk Kondisi Diskontinuitas


Panjang
< 1m 1-3m 3 - 10 m 10 - 20 m > 20 m
Diskontinuitas
Bobot 6 4 2 1 0
Lebar Bukaan Tidak Ada < 0.1 mm 0.1 – 1 mm 1 - 5 mm > 5 mm
Bobot 6 5 4 1 0
Sangat
Kekasaran Sangat Kasar Kasar Halus Gores Garis
Halus
Bobot 6 5 3 1 0
Material Isian Keras < Isian Keras Isian Lunak Isian Lunak
Tidak Ada
Pengisi 5 mm > 5 mm < 5 mm > 5 mm
Bobot 6 4 2 2 0
Lapuk Sangat Telah
Pelapukan Tidak Lapuk Sedikit Lapuk
Sedang lapuk Berubah
Bobot 6 5 3 1 0

10
5. Kondisi Air tanah

Dalam pembuatan terowongan, sebaiknya diukur kecepatan aliran air tanah


dalam liter/menit per panjang 10 m penggalian. Tetapi di lapangan dipakai cara yang
relatif mudah yaitu dengan melihat dan meraba permukaan batuan lalu kondisi
airtanahnya dinyatakan dengan kondisi ; kering ( dry), lembab (dam), basah (wet),
menetes (dripping) dan mengalir (flowing).

Tabel 6. Parameter Klasifikasi dan Pembobotan, Bieniawski (1979)


Parameter Nilai
1 Kuat PLI (MPa) > 10 4 - 10 2–4 1-2 Untuk nilai yang
Tekan kecil di pakai hasil
Batuan UCS
Utuh UCS > 250 100 – 200 50 – 100 25 – 50 5-25 1-5 <1
(MPa)

Pembobotan 15 12 7 4 2 1 0
2 RQD (%) 90 – 100 75 – 90 50 – 75 25 - 50 25

Pembobotan 20 17 13 8 3
3 Jarak Diskontinuitas > 2m 0,6m – 2m 200mm - 60mm– 200mm < 60mm
600mm
Pembobotan 20 15 10 8 5
4 Kondisi Permukaan Agak Agak kasar, Slikensided/gouge Gouge lunak > 5
Diskontinuitas sangat kasar, separasi < < 5 mm, atau mm, atau
kasar, tidak separasi < 1 mm, separasi 1 – 5 separasi > 5 mm,
menerus, 1 mm, sangat lapuk mm, menerus menerus
tidak agak lapuk
renggang,
tidak lapuk

Pembobotan 30 25 20 10 0
5. Tekanan 0 < 0,1 0,1 – 0,2 0,2 – 0,5 > 0,5
pori dibagi
tegangan
Airtanah

utama

Keadaan Kering Lembab Basah Menetes Mengalir


Umum

Pembobotan 15 10 7 4 0

6.3 Slope Mass Rating (SMR)

Romana (1985) memperkenalkan suatu penyesuaian pada konsep Rock Mass


Rating (RMR) khusus untuk lereng yang dikenal dengan Slope Mass Rating (SMR).
Slope Mass Rating (SMR) diperoleh dari nilai RMR yang dikoreksi oleh faktor-faktor
penyesuai tergantung kepada arah relatif bidang diskontinuitas, geometri lereng, dan
metode penggalian. Parameter yang dibutuhkan untuk klasifikasi Slope Mass Rating
(SMR) antara lain arah kemiringan (Dip Direction) dari permukaan lereng (αs), arah

11
kemiringan (Dip Direction) bidang diskontinuitas (αj), sudut kemiringan lereng (βs) dan
sudut kemiringan bidang diskontinuitas (βj). Secara matematis persamaan Slope Mass
Rating (SMR) dapat ditulis sebagai berikut:

SMR = RMRBasic + (F1xF2xF3) + F4


Keterangan:
F1 = Pengaruh orientasi (dip/dip direction) joint terhadap slope
F2 = Sudut kemiringan bidang diskontinuitas
F3 = Pengaruh kemiringan bidang diskontinuitas terhadap kemiringan lereng
F4 = Metode Penggalian yang digunakan dalam pembentukan lereng (tabel 8)

Tabel 7. Nilai pembobotan untuk kekar (Romana, 1985)


The Calculated Very Very
Case Favourable Fair Unfavourable
value Favourable unfavourable
P ǀ αj – αs ǀ
> 300 300 - 200 200 - 100 100 - 50 <50
T ǀ αj - αs - 1800 ǀ
P/T F1 0.15 0.4 0.7 0.85 1
P ǀ βj ǀ < 200 200 - 300 300 - 350 350 - 450 >450
P 0.15 0.4 0.7 0.85 1
F2 = βj
T 1 1 1 1 1
P βj – βs > 100 10 - 00
0
00 0 - (-100)
0
< -100
T βj + βs < 1100 1100 - 1200 > 1200 - -
T/P F3 0 -6 -25 -50 -60
P = Plane failure αj = Joint dip direction βj = Joint dip

T= Topling Failure αs = Slope dip direction βs = Slope dip

Tabel 8. Nilai pembobotan untuk metode ekskavasi lereng (Romana, 1985)


Smoth Blasting or Defficient
Method Natural Presplitting
Blasting Mechanical Blasting
F4 15 10 8 0 -8

6.4 Desain Perkuatan Lereng

Banyak tindakan perbaikan yang dapat dilakukan untuk mendukung kemiringan


yang tidak stabil, atau untuk mencegah potensi ketidakstabilan. Hanya beberapa
literatur membahas tentang efek dari perkuatan pada suatu lereng, terutama bila
ukuran yang berbeda pada saat yang bersamaan. Selain itu, banyak peneliti yang
mendokumentasikan secara analitis koreksi tanah longsor di dalam tanah dengan
menggunakan drainase dalam dan / atau inklusi tahan pada lereng.

12
Tabel 9. Klasifikasi longsoran berdasarkan nilai SMR

SMR Plane/failures Wedge


> 75 None None
60-75 None Some
40-55 Big Many
15-40 Major No
SMR Toppling failures SMR Soil-like failures
> 65 None 30 None
50-65 Minor 10-30 Possible
30-35 Major

Studi tentang lereng yang berpotensi tidak stabil adalah hal yang sulit karena
membutuhkan kerja lapangan yang cermat, analisis terperinci dan pemahaman yang
baik terhadap kepentingan relatif terhadap beberapa faktor ketidakstabilan pada
lereng. Tidak ada sistem klasifikasi yang bisa menggantikan hal tersebut. Namun,
sistem tersebut digunakan untuk menunjukkan batas normal penggunaan setiap jenis
perkuatan lereng. Diantara pemilihannya berada di luar ruang lingkup sistem
klasifikasi.
Jenis perkuatan/penyanggaan dapat diklasifikasikan menjadi 6 kelas
1. No support None
Scaling
2. Protection Toe ditches
Fences (at toe or in the slope)
Nets (over the slope face)
3. Reinforcemen Bolts
t Anchors
Shotcrete
4. Concreting Dental concrete
Ribs and/or beams
Toe walls
Surface
5. Drainage Deep

6. Reexcavation

13
Dari studi kasus yang dikumpulkan, Tabel 10 menyajikan jenis perkuatan yang
lebih umum untuk setiap interval kelas . Biasanya tidak diperlukan perkuatan untuk
lereng dengan nilai SMR 75-100. Ada beberapa lereng yang stabil dengan nilai SMR 65.
Total penggalian lereng adalah ukuran drastis, normal pada lereng tanah,
namun kurang praktis pada lapisan batu, kecuali pada longsoran planar melalui
sambungan kontinu yang besar. Hal itu dapat diambil untuk mengurangi kadar, dan
berat badan di bagian atasnya dan/ tau menambahkan bobot stabil pada jari kaki.
Tidak ada kemiringan yang ditemukan dengan nilai SMR di atas 30. Tidak ada
kemiringan yang ditemukan dengan nilai SMR di bawah 10. Mungkin nilai yang rendah
seperti itu akan memberikan ketidakstabilan total dan instan, penggalian lereng
(bahkan dalam waktu yang sangat singkat) Tidak layak secara fisik.
Dalam pengertian yang luas, kisaran SMR untuk setiap kelas jenis perkuatan
tercantum dalam Tabel 11. Pemilihan tindakan yang memadai harus dilakukan dengan
mempertimbangkan mekanisme kegagalan umum dan juga frekuensi kekar. Dua
parameter dapat berguna untuk mengukur frekuensi kekar
1. Jarak kekar, S. Nilai modal distribusi jarak kekar dalam suatu bidang.
Seringkali nilai jarak kekar yang mengatur sesuai dengan jenis kekar dari
ketidakstabilan.
2. Jumlah volume kekar, Jv. Jumlah kekar per meter kubik, Jv, dapat dievaluasi
dengan rumus
Jv = ∑1/Si

Dimana S adalah rata-rata jarak untuk setiap kekar. Metode yang Disarankan
ISRM untuk Deskripsi Kuantitatif Diskontinuitas dalam Misa Batu '[13] adalah sebagai
berikut:

Tabel 10. Jenis perkuatan untuk setiap kelas kestabilan (Romana,1985)

Class SMR Support


Ia 91-100 None
Ib 81-90 None. Scaling
II a 71-80 (None. Toe ditch or fence)
Spot bolting
II b 61-70 Toe ditch or fence. Nets
Spot or systematic bolting
III a 51-60 Toe ditch and/or nets
Spot or systematic bolting

14
Spot shotcrete
(Toe ditch and/or nets)
III b 41-50
Systematic bolting. Anchors
Systematic shotcrete
Toe wall and/or dental concrete
Anchors
IV a 31-40
Systematic shotcrete
Toe wall and/or concrete
(Re-excavation) Drainage
Systematic reinforced shotcrete
IV b 21-30
Toe wall and/or concrete
Re-excavation. Deep drainage
Gravity or anchored wall
Va 11-20
Re-excavation

Tabel 11. Kisaran SMR untuk Kelas Ukur Dukungan (Romana,1985)


SMR Support Measure
65-100 None. Scaling
45-70 Protection
30-75 Reinforcing
20-60 Concreting
10-40 Drainage
10-30 Toe walls. Reexcavation

Tabel 12. Deskripsi ukuran blok menurut Jv (Romana,1985)


Descriptions of Blocks Jv (joints m-3)
Very large <1
Large 1-3
Medium 3-10
Small 10-30
Very small 30-60
Crushed rock > 60

VII. METODE PELAKSANAAN KEGIATAN

Tahapan penelitian yang dilakukan dalam melakukan analisis kestabilan lereng


meliputi tahap persiapan, pengambilan data, pengolahan dan analisis data dan tahap
kesimpulan dan saran dengan rincian sebagai berikut:
1. Tahap persiapan

15
Tahap Persiapan merupakan tahap awal yang meliputi:
a. Studi literatur mengenai geologi daerah penelitian dari hasil penelitian
terdahulu, untuk mengetahui gambaran secara umum kondisi geologi
daerah penelitian.
b. Studi pustaka tentang struktur geologi, klasifikasi massa batuan rock
mass rating (RMR), slope mass rating (SMR) menurut romana (1985) dan
analisis kinematik, sebagai acuan dalam melakukan penelitian.
c. Observasi lapangan untuk mengenali kondisi aktual daerah penelitian
sehingga memudahkan dalam pengambilan data.
2. Pengambilan data
Penelitian dilakukan pada lereng pada PT. WXYZ, metode pengambilan data
yang dilakukan meliputi:
a. Data Lapangan
Data lapangan merupakan data aktual kondisi lereng pada PT. WXYZ.
Pengambilan data yang dilakukan yaitu dengan melakukan pengukuran
struktur batuan dengan metode line mapping sepanjang dinding
tambang.
3. Tahap pengolahan dan analisis data
Pada tahap ini data yang dikumpulkan diolah dan selanjutnya dilakukan
analisis data. Analisis data yang dilakukan yaitu klasifikasi slope mass rating
(SMR) dan analisis kinematik, berdasarkan data RMR, dan Line Mapping.
a. Klasifikasi slope mass rating (SMR)
Slope Mass Rating (SMR) merupakan modifikasi dari sistem Rock Mass
Rating (RMR) yang dikembangkan oleh Bieniawski 1989. Parameter yang
dibutuhkan untuk klasifikasi Slope Mass Rating (SMR) antara lain Arah
kemiringan (Dip Direction) dari permukaan lereng (αs), arah kemiringan
(Dip Direction) bidang diskontinuitas (αj), dan sudut kemiringan bidang
diskontinuitas (βj). Nilai SMR dapat diperoleh dengan persamaan berikut
(Romana 1985):

SMR = RMRbasic + (F1 x F2 x F3) + F4

Faktor-faktor koreksi (F1, F2 dan F3) adalah faktor koreksi terhadap


orientasi kekar (joint) serta F4 adalah faktor koreksi terhadap metode
penggalian lereng.

16
b. Desain Perkuatan Lereng
Desain Perkuatan Lereng bertujuan untuk mengetahui jenis perkuatan
lereng yang sesuai untuk diterapkan. Parameter yang dibutuhkan dalam
desain perkuatan lereng yaitu orientasi discontinuitas, geometri lereng,
dan sifat fisik dan mekanik batuan.

KLASIFIKASI SMR
PERSIAPAN PENGOLAHAN DATA (SLOPE MASS
RATING)

DATA :
DESAIN
STUDI LITERATUR 1. Geometri Lereng
PERKUATAN
& STUDI PUSTAKA 2. Bidang
LERENG
Diskontinuitas

ORIENTASI PENGAMBILAN PEMBUATAN


LAPANGAN DATA LAPORAN

VIII. RENCANA PELAKSANAAN PENELITIAN

Pelaksanaan penelitian selama 2 bulan dengan pembagian kegiatan sebagai


berikut:

Bulan Oktober November Desember


Minggu ke- 3 4 1 2 3 4 1 2
Persiapan
Studi Literatur
Studi Pustaka
Orientasi Lapangan
Pengambilan Data
1. Geometri Lereng
2. Bidang Diskontinuitas
Pengolahan Data
Klasifikasi SMR (Slope Mass Rating)
Desain Perkuatan Lereng

17
Pembuatan Laporan

IX. DAFTAR PUSTAKA

Bieniawski, ZT. 1989. Engineering Rock Mass Classifications . Jhon Wiley and Sons, Inc:
Canada.

Gian, Paolo Giani. 1992. Rock Slope Stability Analysis, A.A Balkema: Rotterdam.

Hudson J.A. 1993. Comprehensive Rock Engineering: principles, practice, and project
1st edition. Universidad Politécnica: Valencia Spain.

Hoek, E. and Bray, J.W. 1981. Rock Slope Engineering 3rd Ed., The Institution Of
Mining and Metallurgy London.

Read, Jhon and Stacey Peter. 2009. Guidelines for Open Pit Slope Design. CSIRO:
Australia.

Sddique, Tariq. Masroor M.A.dkk. 2015. Slope mass rating and kinematic analysis of
slopes along the national highway-58 near Jonk, Rishikesh, India. Journal of
Rock Mechanics and Geotechnical Engineering.

Zhang, Yahua a dan Xiaohui Liangb. 2015. Application of SMR and Stereographic
Projection Method in the Highway Slope Stability. International Journal of
Science Vol.2 No.5. ISSN: 1813-4890.

18
“ANALISIS SISTEM PERKUATAN LERENG DENGAN
KLASIFIKASI SLOPE MASS RATING (SMR)”

PROPOSAL KERJA PRAKTEK

MISBAHUDDIN TRI SUSANTO


D621 16 305

DEPARTEMEN TEKNIK PERTAMBANGAN


FAKULTAS TEKNIK
UNIVERSITAS HASANUDDIN

GOWA
2019

Anda mungkin juga menyukai