Anda di halaman 1dari 29

ASPEK PERKEMBANGAN KOGNITIF DAN

PROBLEMATIKANYA

MAKALAH
Untuk Memenuhi Tugas Mata Kuliah Perkembangan Peserta Didik
Yang dibina oleh Ibu Neni Wahyuningtyas, M.Pd.

Disusun Oleh:
Diana Nur Saputri (180351619071)
Paulus Bayu Mario Ega (180351619079)
Qonita Zakiyah (190331622892)
Kelompok 4 / Offering C5

UNIVERSITAS NEGERI MALANG


FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM
Maret 2020
KATA PENGANTAR

Puji syukur atas kehadirat Tuhan Yang Maha Esa, berkat rahmat-Nya
kami dapat menyelesaikan makalah dengan judul “Aspek Perkembangan Kognitif
dan Problematikanya” ini dengan baik. Segenap Tim Penyusun mengucapkan terima
kasih sebesar-besarnya kepada semua pihak yang telah membantu dalam proses penyusunan
makalah ini. Khususnya kepada Ibu Neni Wahyuningtyas, M.Pd. selaku dosen pengampu
mata kuliah Perkembangan Peserta Didik yang telah memberikan arahan dan bimbingan
sehingga makalah ini dapat diselesaikan.
Kami tentu menyadari bahwa dalam proses penyusunan makalah ini
masih jauh dari kata sempurna dan masih banyak terdapat kesalahan serta
kekurangan di dalamnya. Untuk itu, kami mengharapkan kritik serta saran dari
pembaca untuk makalah ini, supaya makalah ini nantinya dapat menjadi makalah
yang lebih baik lagi. Oleh karena itu, kritik dan saran dari beberapa pihak sangat
diharapkan demi perbaikan makalah ini.

Malang, 21 Maret 2020

Tim Penyusun

i
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR...................................................i
DAFTAR ISI......................................................ii
BAB I PENDAHULUAN................................................1
1.1 Latar Belakang...........................................1
1.2 Rumusan Masalah..........................................1
1.3 Tujuan...................................................2
BAB II PEMBAHASAN................................................3
2.1 Pengertian Aspek Perkembangan Kognitif Peserta Didik.......3
2.2 Aspek Perkembangan Kognitif Peserta Didik..................6
2.3 Faktor – Faktor Yang Mempengaruhi Perkembangan Kognitif
Peserta Didik............................................8
2.4 Problematika dalam Aspek Perkembangan Kognitif Peserta Didik
dan Cara Untuk Mengatasinya...............................10
BAB III PENUTUP.................................................20
3.1 Kesimpulan................................................20
3.2 Saran.....................................................21
DAFTAR PUSTAKA..................................................22

ii
BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Dalan proses pembelajaran, erat kaitannya dengan
pemantauan perkembangan pada peserta didik. Salah satu asperk
perkembangannya yaitu aspek perkembangan kognitif. Kemampuan
kognitif ialah kemampuan anak untuk berfikir lebih kompleks serta
melakukan penalaran dan pemecahan masalah, berkembangnya kemampuan
kognitif ini akan mempermudah anak menguasai pengetahuan umum yang
lebih luas, sehingga ia dapat berfungsi secara wajar dalam
kehidupan masyarakat sehari-hari.
Namun dalam perkembangannya tidak semua anak dapat
berkembang sesuai tahapannya. Sehingga perlu dilakukan analisa apa
yang menjadi penghambat perkembangannya dan juga solusi untuk
mengatasinya. Sehingga guru sebagai pendidik dapat melakukan
stimulasi tertentu yang sesuai dengan keadaan peserta didik.
Stimulasi yang tepat penting untuk mencapai keberhasilan atau
tujuan dari suatu proses pembelajaran.
Sehingga, mengetahui aspek perkembangan kognitif peserta
didik dengan segala problematikanya sangat penting. Hal itu
dilakukan untuk mengembangkan kemampuan peserta didik dalam
mengeksplorasi lingkungan, karena berkaitan dengan pikiran
sadarnya. Semakin bertambah besarnya koordinasi dan pengendalian
motorik, maka dunia kognitif peserta didik dapat berkembang pesat,
makin kreatif, bebas dan imajinatif.

1.2 Rumusan Masalah


Berdasarkan uraian latar belakang yang telah disebutkan,
maka tim penyusun menggunakan rumusan masalah sebagai berikut.

a. Apa pengertian aspek perkembangan peserta didik?


b. Apa saja jenis aspek perkembangan kognitif pada perserta didik?

1
c. Apa saja faktor yang mempengaruhi perkembangan kognitif peserta
didik?
d. Problematika apa saja yang timbul dalam aspek perkembangan
kognitif peserta didik dan bagaimana cara untuk mengatasinya?

2
2

1.3 Tujuan
Tujuan penyusunan makalah ini diantaranya sebagai berikut.

a. Mengetahui pengertian aspek perkembangan kognitif peserta


didik.
b. Mengetahui aspek perkembangan kognitif pada perserta didik.
c. Mengetahui faktor-faktor yang mempengaruhi perkembangan
kognitif peserta didik.
d. Mengetahui problematika dalam aspek perkembangan kognitif
peserta didik dan cara untuk mengatasinya.
BAB II
PEMBAHASAN

2.1 Pengertian Aspek Perkembangan Kognitif Peserta Didik


Aspek perkembangan kedua yakni, aspek kognitif atau
intelektual, perkembangan kognitif berkaitan dengan potensi
intelektual yang dimiliki individu, yakni kemampuan untuk berfikir
dan memecahkan masalah. Aspek kognitif juga dipengaruhi oleh
perkembangan sel-sel syaraf pusat di otak. Penelitian mengenai
fungsi otak dapat dibedakan berdasarkan ke-dua belahan otak, yakni
otak kiri dan otak kanan. Otak kiri berkaitan erat dengan
kemampuan berfikir rasional, ilmiah, logis, kritis, analitis, dan
konvergen (memusat). Dengan demikian kegiatan yang banyak
melibatkan fungsi otak kiri adalah membaca, berhitung, belajar
bahasa dan melakukan penelitian ilmiah. Sedangkan otak kanan
berkaitan erat dengan kemampuan berfikir intuitif, imajinatif,
holistik dan divergen (menyebar). Kegiatan yang dominan
menggunakan otak kanan diantaranya adalah melukis, bermain
musik,kerajinan tangan. (Woolfolk, 1995)
Ahli psikologi yang memberikan kontribusi teori penting
mengenai perkembangan kognitif adalah Jean Piaget (1952).
Menurutnya, tahap perkembangan kognitif menurut periode usia
adalah adalah sebagai berikut:
a. Sensorik Motorik (usia 0-2 tahun)
Pada tahap ini anak mulai belajar dan mengendalikan lingkungannya melalui
kemampuan panca indera dan gerakannya. Perilaku anak pada tahap ini
semata-mata berdasarkan stimulus yang diterimanya. Dalam jangka waktu
dua tahun tersebut, anak dapat memahami sedikit lingkungannya dengan cara
melihat, meraba, memegang, mengecap, mencium dan menggerakkan
anggota badannya meskipun belum sempurna. Tapi yang terpenting mereka
dapat mengandalkan kemampuan sensorik dan motoriknya.
Beberapa kemampuan kognitif dasar muncul pada tahap ini. Anak tersebut
mengetahui bahwa sebuah perilaku tertentu akan dapat menimbulkan akibat

3
tertentu padanya. Misalkan dengan menendang-nendang selimut, seorang
anak tahu bahwa selimut itu akan bergeser darinya.
b. Pra Operasional (usia 2-7 tahun)
Dalam tahap ini sangat menonjol sekali kecenderungan anak-anak untuk
selalu mengandalakn diri pada persepsinya mengenai realitas. Dengan adanya
perkembangan bahasa, ingatan anak pun mampu merekam banyak hal tentang
lingkungannya. Namun, intelek anak akan dibatasi oleh egosentrisnya yaitu ia
tidak menyadari bahwa orang lain terkadang mempunyai pandangan yang
berbeda dengannya.
Ciri-ciri anak pada tahap Pra Operasional:
1) Sudah mampu berpikir sebelum bertindak, meskipun kemampuan
berpikirnya belum secara logis.
2) Anak lebih bersikap egosentris.
3) Anak lebih cenderung berpikir subjektif dan tidak mampu melihat
objektivitas pandangan orang lain.
4) Sukar menerima pandangan orang lain
5) Tidak mampu membedakan bahwa 2 objek yang sama memiliki masa,
jumlah, atau volume yang tetap meskipun bentuknya berupbah-ubah.
6) Belum mampu berpikir abstrak.
7) Anak lebih mudah belajar jika guru menggunakan alat peraga berupa
benda yang konkrit daripada hanya menggunakan kata-kata.
c. Operasional Konkrit (usia 7-12 tahun)
Dalam usia 7 hingga 11 tahun anak-anak suadah mengembangkan pikiran
secara logis. Dalam upaya mengerti tentang alam sekitarnya, mereka tiad
terlalu menggantungkan diri pada informasi yang datang dari panca indra.
Anak-anak sudah mampu berpikir secara konkrit dan bisa menguasai sebuah
pelajaran yang penting.
Anak-anak sering kali mengikuti logika atau penalaran, tetapi jarang
menyadari bahwa logikanya tersebut dapat berbuah kesalahan. Pada
umumnya, pada tahap ini anak-anak sudah memahami konsep konservasi
(concept of conservacy) yaitu meskipun benda beruabh bentuknya, namun
masa, jumlah, atau volumenya adalah tetap. Anak juga mampu melakukan

4
observasi, menilai dan mengevaluasi sehingga mereka tidak se-egosentris
sebelumnya.
Kemampuan berpikir anak pada tahap ini masih berupa konkrit, mereka belum
mampu berpikir abstrak, sehingga mereka juga hanya mampu menyelesaikan
soal-soal pelajaran yang bersifat konkrit. Aktivitas pembelajaran yang
melibatkan siswa dalam pengalaman secara langsung sangat efektif
dibandingkan penjelasan guru secara verbal (kata-kata).
d. Operasional Formal (usia diatas 12 tahun).
Pada tahap ini, kemampuan siswa sudah berada pada tahap berpikir abstrak,
yaitu berpikir tentang suatu ide atau gagasan. Mereka mampu mengajukan
hipotesis, menghitung konsekuensi yang mungkin terjadi serta menguji
hipotesis yang mereka buat. Bahkan anak sudah dapat memikirkan alternatif
pemecahan masalah. Mereka dapat mengembangkan hukum-hukum yang
berlaku umum dengan menggunakan pertimbangan ilmiah. (Jamaris, 2012)
Dan juga teori Vygotsky yang membagi tahap perkembangan
kognitif berdasarkan zona of proximal development (ZPD) yang
terdiri atas empat tahap, yaitu:
a. Tahap Pertama: More Dependence to Others Stage
Tahapan dimana kinerja anak mendapat banyak bantuan dari pihak
lain, seperti teman-teman sebayanya, orang tua, guru,
masyarakat, ahli, dan lain-lain. Dari sinilah muncul model
pembelajaran kooperatif atau kolaboratif dalam mengembangkan
kognisi anak secara konstruktif.
b. Tahap Kedua: Less Dependence External Assistence Stage
Tahap dimana kinerja anak tidak lagi terlalu banyak
mengharapkan bantuan dari pihak lain, tetapi lebih kepada self
assistance, lebih banyak anak membantu dirinya sendiri.
c. Tahap Ketiga: Internalization and Automatization Stage
Tahap dimana kinerja anak sudah lebih terinternalisasi secara
otomatis. Kasadaran akan pentingnya pengembangan diri dapat
muncul dengan sendirinya tanpa paksaan dan arahan yang lebih
besar dari pihak lain.

5
d. Tahap Keempat: De-automatization Stage
Tahap dimana kinerja anak mampu mengeluarkan perasaan dari
kalbu, jiwa, dan emosinya yang dilakukan secara berulang-ulang,
bolak-balik. Pada tahap ini, keluarlah apa yang disebut dengan
de automatization sebagai puncak dari kinerja sesungguhnya.
Selain berhubungan erat dengan aspek perkembangan fisik
dan motorik, perkembangan kognitif juga dipengaruhi dan
memengaruhi aspek perkembangan lainnya, seperti moral, dan
penghayatan agama, aspek bahasa, sosial, emosional. Sebagai
contoh, peserta didik yang memiliki perkembangan kognitif yang
baik, diharapkan mampu memahami nilai dan aturan sosial,memiliki
penalaran moral yang baik dan mampu menggunakan bahasa secara
tepat dan efisien (Retno, 2013).
Menurut Bruner, dalam proses belajar peserta didik menempuh tiga
tahap yaitu:
a) Tahap informasi (tahap penerimaan materi)
Pada tahap ini seorang peserta didik yang sedang belajar memperoleh
sejumlah keterangan mengenai materi yang sedang dipelajari baik secara
langsung dari gurunya maupun membaca dari sumber yang ada seperti buku,
modul, internet, dan sebagainya.
b) Tahap transformasi (tahap pengolahan materi)
Selanjutnya pada tahap informasi, informasi yang telah diperoleh itu
dianalisisis, diubah, atau ditransformasikan menjati bentuk lebih abstrak atau
konseptual
c) Tahap evaluasi
Dalam tahap evaluasi, seorang peserta didik menilai sendiri sampai sejauh
mana informasi yang telah ditransformasikan tadi dapat dimanfaatkan untuk
memahami gejala atau masalah yang dihadapi (Driscoll, 2005)

2.2 Aspek Perkembangan Kognitif Peserta Didik


Menurut Departemen Pendidikan Nasional pengembangan
kognitif merupakan perwujudan dari kemampuan primer yaitu:
a. Kemampuan berbahasa (verbal comprehension)

6
b. Kemampuan mengingat (memory)
c. Kemampuan nalar atau berpikir logis (reasoning)
d. Kemampuan tilikan ruang (spatial factor)
e. Kemampuan bilangan (numerical ability)
f. Kemampuan menggunakan kata-kata (word fluency)
g. Kemampuan mengamati dengan cepat dan cermat (perceptual speed)
Menurut Jamaris (2006) aspek-aspek perkembangan kognitif
ada 3 meliputi:
a. Berfikir Simbolis
Aspek berfikir simbolis yaitu kemampuan untuk berfikir tentang
objek dan peristiwa walapun objek dan peristiwa tersebut tidak
hadir secara fisik (nyata) dihadapan anak.
b. Berfikir Egosentris
Aspek berfikir secara egosentris yaitu cara berfikir tentang
benar atau tidak benar, setuju atau tidak setuju, berdasarkan
sudut pandang sendiri. Oleh sebab itu, dapat meletakkan cara
pandangannya disudut pandangan orang lain.
c. Berfikir Intuitif
Fase berfikir intuitif, yaitu kemampuan untuk menciptakan
sesuatu, seperti menggambar atau menyusun balok, akan tetapi
tidak mengetahui dengan pasti alasan untuk melakukannya.
Dalam komponen assesment ada beberapa aspek yang di
kembangkan salah satunya adalah aspek perkembangan kognitif anak,
aspek kognitif ini terdiri dari empat macam yaitu:
a. Informasi/pengetahuan figuratif, yaitu kemampuan anak dalam
mengenal dirinya dan lingkunganya, misalnya mengenal bentuk
geometri dan bagian tubunya.
b. Pengetahuan prosedural / operatif, yaitu kemampuan anak untuk
mengambil keputusan untuk memecahkan masalah yang ada di
sekitarnya, misalnya membandingkan dua objek atau lebih yang
tidak sama, dan menghitung, menata, mengurutkan, serta
mengklasifikasikan.

7
c. Pengetahuan temporal dan spasial, yaitu kemanpuan anak dalam
mengenal dan mengetahui keadaan yang ada saat itu, misalnya
mengetahui nama hari, waktu, dan kecepatan.
d. Pengetahuan dan pengingatan memori, yaitu proses anak dalam
mengolah informasi yang sudah diterima dan mengaitkanya dengan
informasi ataupun pengetahuan yang sudah ada, misalnya
mengingat nama teman-temanya.
Selain itu, dalam proses assessment juga didasarkan pada
prinsip-prinsip perkembangan kognitif anak, yang meliputi:
a. Asimilasi (Assimilation)
Asimilasi berkaitan dengan proses penyerapan informasi baru
kedalam informasi yang telah ada di dalam skemasta (struktur
kognitif) anak.
b. Akomodasi (Accommodation)
Akomodasi adalah proses menyatukan informasi baru dengan
informasi yang telah ada di dalam skemata, sehingga perpaduan
antara informasi tersebut memperluas skemata anak.
c. Ekuilibrium (Equilibrium)
Ekuilibrium berkaitan dengan usaha anak untuk mengatasi konflik
yang terjadi dalam dirinya pada waktu dia menghadapi suatu
masala (Soemarti & Patmonodewo, 2003).

2.3 Faktor – Faktor Yang Mempengaruhi Perkembangan


Kognitif Peserta Didik
Perkembangan kognitif anak menunjukkan perkembangan dari
cara berpikir anak. Ada faktor yang mempengaruhi perkembangan
tersebut. Faktor yang mempengaruhi perkembangan kognitif menurut
Piaget yang dikutip oleh Budiningsih (2005) bahwa “Pengalaman
yang berasal dari lingkungan dan kematangan, keduanya mempengaruhi
perkembangan kognitif anak. Makin bertambahnya umur seseorang maka
makin komplekslah susunan sel sarafnya dan makin meningkat pada
kemampuannya. Ketika individu berkembang menuju kedewasaan akan
mengalami adaptasi biologis dengan lingkungannya yang akan

8
menyebabkan adanya perubahan-perubahan kualitatif di dalam sruktur
kognitifnya”.
Susanto (2011) menyatakan pendapat lain ] bahwa banyak
faktor yang dapat mempengaruhi perkembangan kognitif. Faktor-
faktor yang dapat mempengaruhi perkembangan kognitif antara lain
sebagai berikut.
a. Faktor Hereditas/Keturunan
Teori hereditas atau nativisme yang dipelopori oleh seorang
ahli filsafat Schopenhauer, mengemukakan bahwa manusia yang
lahir sudah membawa potensi tertentu yang tidak dapat
dipengaruhi oleh lingkungan. Taraf intelegensi sudah ditentukan
sejak lahir.
b. Faktor Lingkungan
John Locke berpendapat bahwa, manusia dilahirkan dalam keadaan
suci seperti kertas putih yang belum ternoda, dikenal dengan
teori tabula rasa. Taraf intelegensi ditentukan oleh pengalaman
dan pengetahuan yang diperolehnya dari lingkungan hidupnya.
c. Faktor Kematangan
Tiap organ (fisik maupaun psikis) dikatakan matang jika telah
mencapai kesanggupan menjalankan fungsinya masing-masing. Hal
ini berhubungan dengan usia kronologis.
d. Faktor Pembentukan
Pembentukan adalah segala keadaan di luar diri seseorang yang
mempengaruhi perkembangan intelegensi. Ada dua pembentukan
yaitu pembentukan sengaja (sekolah formal) dan pembentukan
tidak sengaja (pengaruh alam sekitar).
e. Faktor Minat dan Bakat
Minat mengarahkan perbuatan kepada tujuan dan merupakan
dorongan untuk berbuat lebih giat dan lebih baik. Bakat
seseorang akan mempengaruhi tingkat kecerdasannya. Seseorang
yang memiliki bakat tertentu akan semakin mudah dan cepat
mempelajarinya.
f. Faktor Kebebasan

9
Keleluasaan manusia untuk berpikir divergen (menyebar) yang
berarti manusia dapat memilih metode tertentu dalam memecahkan
masalah dan bebas memilih masalah sesuai kebutuhan.
Berdasarkan beberapa pendapat di atas dapat disimpulkan
bahwa faktor utama yang mempengaruhi perkembangan kognitif anak
adalah faktor kematangan dan pengalaman yang berasal dari
interaksi anak dengan lingkungan. Dari interaksi dengan
lingkungan, anak akanmemperoleh pengalaman dengan menggunakan
asimilasi, akomodasi, dan dikendalikan oleh prinsip keseimbangan.

2.4 Problematika dalam Aspek Perkembangan Kognitif Peserta


Didik dan Cara Untuk Mengatasinya
1. Kesulitan Belajar
Masalah gangguan belajar kerapkali dijumpai pada anak-
anak. Masalah ini bisa timbul di sekolah maupun di luar
sekolah. Anak yang mengalami gangguan belajar biasanya akan
mengalami gangguan pemusatan perhatian (konsentrasi), gangguan
daya ingat, gangguan membaca, menulis, berhitung dan lain-lain.
Yang perlu kita ingat, bahwa anak-anak yang mengalami gangguan
belajar bukanlah mengidap suatu penyakit, tetapi mereka hanya
mengalami masalah pada proses pembelajarannya.
Dampak yang dialami oleh anak yang mengalami gangguan
belajar bukan hanya pada proses tumbuh kembangnya, tetapi juga
berdampak pada proses interaksi anak tersebut dengan
lingkungannya. Terkadang bahkan keharmonisan keluarga juga
dapat terganggu. Diantara kedua orang tua saling menyalahkan,
merasa frustasi, marah, kecewa, putus asa, merasa bersalah atau
menolak kejadian yang menimpa mereka.
Terdapat 3 jenis gangguan belajar yang dapat terjadi pada
anak , yaitu :
a. Gangguan Membaca (Disleksia)
Menurut wikipedia, gangguan membaca (disleksia) adalah
sebuah kondisi ketidakmampuan belajar pada anak yang

10
disebabkan oleh kesulitan dalam melakukan aktivitas membaca
dan menulis. Akan tetapi anak tersebut tidak mengalami masalah
dalam perkembangan kemampuan standar yang lain, seperti
kecerdasan dan kemampuan menganalisa. Disleksia dapat terjadi
karena adanya kondisi dari biokimia otak yang tidak stabil.
Dalam beberapa kasus juga disebabkan karena faktor turunan
dari orang tua.
Penderita disleksia secara fisik tidak akan terlihat
sebagai penderita. Disleksia tidak hanya terbatas pada
ketidakmampuan seseorang untuk menyusun atau membaca kalimat
dalam urutan terbalik tetapi juga dalam berbagai macam urutan,
termasuk dari atas ke bawah, kiri dan kanan, dan sulit
menerima perintah yang seharusnya dilanjutkan ke memori pada
otak. Hal ini yang sering menyebabkan penderita disleksia
dianggap tidak konsentrasi dalam beberapa hal. Dalam kasus
lain, ditemukan pula bahwa penderita tidak dapat menjawab
pertanyaan uraian panjang lebar.
Adapun ciri-ciri anak yang mangalami disleksia adalah:
1) Tidak dapat mengucapkan irama kata-kata secara benar dan
proporsional.
2) Kesulitan dalam mengurutkan huruf-huruf dalam kata.
3) Sulit menyuarakan fonem (satuan bunyi) dan memadukannya
menjadi sebuah kata.
4) Sulit mengeja secara benar. Bahkan mungkin anak akan
mengeja satu kata dengan bermacam ucapan.
5) Anak bingung menghadapi huruf yang mempunyai kemiripan
bentuk seperti b – d, u – n, m – n.
6) Membaca satu kata dengan benar di satu halaman, tapi salah
di halaman lainnya.
7) Bingung menentukan tangan mana yang dipakai untuk menulis.
8) Menulis huruf dan angka dengan hasil yang kurang baik.
Ada pun faktor penyebab dari disleksia adalah:

11
1) Faktor keturunan : Disleksia cenderung terdapat pada
keluarga yang mempunyai anggota kidal. Namun, orang tua
yang disleksia tidak secara otomatis menurunkan gangguan
ini pada anak-anaknya, atau anak kidal pasti disleksia.
2) Problem pendengaran sejak usia dini : Jika kesulitan
pendengaran terjadi sejak dini dan tidak terdeteksi, maka
otak yang sedang berkembang akan sulit menghubungkan bunyi
datau suara yang didengarnya dengan huruf atau kata yang
dilihatnya.
3) Faktor kombinasi : Yakni kombinasi dari dua hal diatas.
Faktor kombinasi ini menyebabkan anak yang disleksia
menjadi kian serius atau parah, hingga perlu penanganan
menyeluruh dan kontinyu.
b. Gangguan Menulis (Disgrafia)
Menurut National Joint Committee for Learning Disabilities
(NJCLD), yang dimaksud dengan disgrafia adalah gangguan
belajar yang terjadi karena anak kesulitan dalam mendengar,
berbicara, menulis, menganalisis, dan memecahkan persoalan.
Jadi anak tidak bisa menuliskan dan mengekspresikan pikirannya
ke dalam bentuk tulisan.
Gangguan menulis (disgrafia) disebabkan oleh faktor
neurologis, adanya gangguan pada otak bagian kiri depan yang
berhubungan dengan kemampuan membaca dan menulis. Anak
mengalami kesulitan dalam harmonisasi secara otomatis antara
kemampuan mengingat dan menguasai gerakan otot menulis huruf
dan angka.
Anak disgrafia tidak bisa menyusun huruf dan kata dengan
baik. Mereka sulit mengkoordinasikan motorik halusnya (tangan)
untuk menulis. Gejala ini mulai tampak ketika anak mulai
belajar menulis. Anak disgrafia memiliki intelegensia normal,
bahkan ada yang diatas rata-rata. Ia tidak mengalami gangguan
motorik maupun visual, ia hanya mengalami kesulitan untuk
menulis.

12
Adapun ciri-ciri anak yang mangalami disgrafia adalah:
1) Ada ketidakkonsistenan bentuk huruf dalam tulisannya.
2) Saat menulis, penggunaan huruf besar dan huruf kecil masih
tercampur.
3) Ukuran dan bentuk huruf dalam tulisannya tidak proporsional.
4) Sulit memegang alat tulis seperti pinsil.
5) Cara menulis tidak konsisten.
6) Tetap mengalami kesulitan meski pun hanya diminta
menyalin contoh tulisan yang sudah ada.
Berikut adalah cara mengatasi anak disgrafia, yaitu :
1) Pahami keadaan anak : Sebaiknya tidak membandingkan anak
tersebut dengan anak-anak lain. Sikap seperti itu akan
membuat orang tua / guru dan anak merasa stres.
2) Menulis dengan memakai media lain : Beri kesempatan untuk
menulis dengan menggunakan komputer atau mesin ketik. Dengan
menggunakan komputer anak bisa mengetahui kesalahannya dalam
mengeja dengan menggunakan fasilitas korektor ejaan.
3) Membangun rasa percaya diri anak : Berikan pujian yang wajar
bagi anak atas usahanya. Hindari untuk menyepelekan atau
melecehkannya karena hal itu akan membuatnya rendah diri dan
frustrasi.
4) Latih anak untuk terus menulis : Pilih strategi yang sesuai
dengan tingkat kesulitannya untuk mengerjakan tugas menulis.
Berikan tugas yang menarik dan memang diminatinya.
c. Gangguan berhitung (Diskalkulia)
Diskalkulia adalah gangguan belajar yang berkaitan dengan
kemampuan berhitung atau aritmatik. Anak-anak diskalkulia
kesulitan untuk menyelesaikan soal-soal matematika dan sulit
menangkap konsep dasar aritmatik. Soal-soal yang diberikan
sesuai dengan kemampuan usianya, namun sulit untuk dipecahkan
oleh anak diskalkulia. Diskalkulia dikenal juga dengan istilah
“math difficulty”.
Adapun ciri-ciri anak yang mangalami diskalkulia adalah:

13
1) Sulit menentukan arah ke kiri atau ke kanan
2) Sulit membaca jam, menghitung uang kembalian atau uang yang
harus dibayarkan saat belanja. Dampaknya anak tersebut jadi
takut melakukan kegiatan apapun yang harus melibatkan uang
3) Sulit melakukan proses-proses matematis, seperti menjumlah,
mengurangi, membagi, mengali, dan sulit memahami konsep
hitungan angka atau urutan
4) Sulit membedakan tanda-tanda: +, -, x, :, >, <, =
5) Sering salah membedakan angka 9 dengan 6, 17 dengan 71, 2
dengan 5, 3 dengan 8, dan sebagainya
6) Sulit membedakan bangun-bangun geometri (bangun ruang)
Faktor-faktor yang menyebabkan Diskalkulia ini adalah:
1) Kelemahan pada proses penglihatan atau visual.
2) Kesulitan dalam proses mengurut informasi : Matematika
sangat membutuhkan prosedur penyelesaian yang berurut dan
mengikuti pola-pola tertentu, sehingga bila ada kesulitan
dalam mengurut informasi, dan hal ini sangat berkaitan
dengan proses mengingat, maka anak akan kesulitan untuk
prosedur untuk menyelesaikan persoalan matematis.
3) Fobia matematika : Adanya keyakinan dalam diri anak yang
bersangkutan bahwa dia tidak bisa matematika akan membuat
dia punya sikap yang negatif tentang matematika.
Untuk membantu anak dengan diskalkulia belajar, orang tua/guru
bisa melakukan:

1) Usahakan untuk menggunakan gambar, kata-kata atau grafik


untuk membantu pemahaman.
2) Hubungkan konsep-konsep matematika dalam aktivitas sehari-
hari anak.
3) Lakukan pendekatan yang menarik terhadap matematika, misalnya
permainan matematika dalam komputer atau buku-buku.
4) Tuliskan konsep matematis atau angka-angka di atas kertas
agar anak melihatnya dan tidak sekedar abstrak.

14
5) Dorong anak untuk untuk melatih ingatan secara kreatif,
misalnya menyanyikan angka-angka atau cara lain untuk
mempermudah penampilan ingatannya akan angka.
6) Puji secara wajar untuk keberhasilan dan usaha anak.
7) Lakukan proses asosiasi untuk konsep yang sedang
dipelajarinya dengan kehidupan sehari-hari (Seefeltd, 2008).
2. Autisme
Autisme merupakan gangguan perkembangan yang kompleks yang
umumnya muncul sebelum usia tiga tahun sebagai hasil dari gangguan
neurologis yang mempengaruhi fungsi normal otak. Gangguan ini
memengaruhi perkembangan dalam area interaksi sosial dan
keterampilan komunikasi. Anak penyandang autis umumnya menunjukkan
kesulitan dalam komunikasi verbal dan nonverbal, interaksi sosial,
dan kegiatan bermain, serta waktu luang. Mereka juga menunjukkan
pola-pola tingkah laku yang terbatas, berupa pengulangan, dan
stereotip.
Adapun ciri-ciri anak yang mangalami Autisme adalah:
a. Gangguan berbicara
Ciri dari anak autis yang pertama adalah gangguan saat
berbicara. Hingga saat ini, tercatat ada 40% anak-anak yang
menderita autis mengalami gangguan pada kemampuan berbicara
atau hanya dapat mengucapkan satu hingga dua kata saja.
b. Gangguan pada kemampuan sosial
Seseorang yang mengalami autis pada tingkat ringan, biasanya
ciri yang sering muncul adalah ia merasa seperti orang asing
saat berkumpul bersama dan canggung atau enggan berbicara
terhadap orang lain. Akan tetapi jika seseorang sudah
mengalami autis pada tingkat hiperaktif biasanya ia tidak akan
mau berinteraksi dengan orang lain, menghindari kontak mata
dan sangat sulit berbagai mainan, meskipun mainan tersebut
hanya dapat dilakukan jika bersama-sama.
c. Perkembangan dan pertumbuhan tidak seimbang

15
Anak autis cenderung memiliki kemampuan yang tidak seimbang.
Sebagai contoh adalah anak autis akan mengalami perkembangan
yang sangat pesat dalam seni, akan tetapi mereka pun akan
mengalami perkembangan yang sangat lambat terhadap kemampuan
berbicara.
d. Tidak suka kontak fisik
Ciri-ciri anak autis selanjutnya adalah anak autis tidak
suka kontak fisik, seperti sentuhan ataupun pelukan. Akan
tetapi tidak semua anak autis menunjukkan gejala yang sama.
Sebagian besar anak autis lebih senang melakukan kontak fisik
dengan seseorang yang dekat dengannya.
e. Menyukai tindakan berulang
Anak autis juga sangat menyukai hal-hal yang sudah pasti,
sehingga mereka sering dan senang melakukan rutinitas yang
sama dalam setiap harinya. Perubahan aktivitas bagi anak autis
sangatlah mengganggu dan terasa berat.
Berikut adalah penyebab anak Autis, yaitu :
a. Permasalahan pada perkembangan awal seorang anak
Anak penyandang autis mengalami masalah kesehatan yang lebih
banyak selama masa kehamilan, pada saat dilahirkan, dan segera
telah dilahirkan, daripada anak yang bukan penyandang autisme.
b. Pengaruh genetik
Adanya gangguan gen dan kromosom yang ditemukan pada studi
terhadap keluarga dengan anak kembar menunjukkan peran yang
besar dari faktor genetik sebagai penyebab dari autis.
c. Abnormalitas Otak
Meskipun tidak diketahui tanda-tanda biologis untuk autisme,
penelitian yang dilakukan oleh sejumlah ahli menunjukkan
adanya dasar biologis dari autis. Salah satu penelitian yang
dilakukan menunjukkan bahwa gambar otak anak penyandang
autisme berbeda dengan gambar otak anak normal.
Berikut adalah cara mengatasi anak Autis, yaitu :

16
a. Modifikasi perilaku dengan bantuan tenaga profesional. Misalnya
dalam pendekatan ABA (Applied Behavioral Analysis) untuk menguasai
keterampilan yang diperlukan yang berfungsi dalam lingkungan,
terapi integrasi sensori untuk menghadapi stimulasi sensoris, dan
floortime untuk meningkatkan perkembangan emosi anak.
b. Terapi wicara.
c. Sarana pendukung dan kegiatan-kegiatan yang dapat dilakukan
orang tua/pengasuh anak di luar waktu-waktu terapi, seperti:
1) Pendukung visual agar anak lebih mudah berkomunikasi,
mengutarakan keinginan, dan membantu anak memahami
kehidupan dengan lebih baik juga membantu anak
mengembangkan pemahaman tentang waktu dan pentingnya
menghargai lingkungan.
2) Hiking, berenang, berkuda, naik sepeda, sepatu roda, atau
naik-turun tangga. Kegiatan-kegiatan tersebut sejalan
dengan prinsip terapi integrasi sensoric. Berinteraksi
dengan anak dalam situasi bermain yang melibatkan sentuhan
dan kontak matayang memadai (Nurani, 2005)
3. Kesulitan Berkonsentrasi
Gangguan sulit berkonsentrasi atau gangguan pemusatan
perhatian (GPP) adalah suatu gangguan pada otak yang
mengakibatkan kesulitan konsentrasi dan pemusatan perhatian.
Delapan puluh persen anak yang mengalami GPP memperlihatkan
kesulitan belajar dan kelainan perilaku.
Ada tiga (3) tipe gangguan pemusatan perhatian, yaitu :
a. Tipe kombinasi : Ini mudah dilihat, sehubungan
mereka kurang mampu memperhatikan aktivitas permainan
atau tugas, perhatiannya mudah pecah dan cenderung mudah
kehilangan. mudah berubah pendirian, impulsif dan
selalu aktif, mereka juga tidak mampu asyik dalam
kegiatan yang menghabiskan waktu, seperti membaca dan
bermain puzzle.

17
b. Tipe predominan kurang mampu memperhatikan : Di kelas
mereka tidak memperhatikan pendidik tetapi melihat
langit-langit kelas atau bila di lapangan sepak bola
atau tempat bermain diluar kelas, mereka justru
mengamati rerumputan bukan bola atau terlihat terlibat
bermain dengan berbagai arena permainan dan sering
tampak melamun.
c. Tipe predominan hiperaktif – impulsive : cenderung
terlalu energik, lari kesana kemari, tidak bisa diam
dan melompat seenaknya.
Adapun ciri-ciri anak yang mangalami Sulit Konsentrasi adalah:
a. Gangguan perhatian : Anak tidak mampu memusatkan
perhatiannya kepada sesuatu hal atau obyek tertentu
untuk jangka waktu yang cukup lama.
b. Distraktibilitas : Akibat kekurangan perhatian, anak GPP
mempunyai kecenderungan untuk memperhatikan rangsang yang
kurang menonjol, yang dapat berupa distraktiblitas visual
(penglihatan), auditoris (pendengaran) dan internal.
c. Hiperaktivitas : Hiperaktivitas merupakan aktivitas motorik
yang tinggi dengan ciri-ciri aktivitas selalu berganti,
tidak mempunyai tujuan tertentu, ritmis dan tidak
bermanfaat.
d. Impulsif : Mereka cenderung ingin "cepat selesai" dalam
mengerjakan sesuatu dan tidak mengutamakan ketelitian.
e. Tidak pernah puas : Biasanya anak GPP akan selalu
meminta pada orangtuanya dan bila keinginannya telah
terpenuhi anak GPP tidak akan puas begitu saja tetapi
akan meminta hal lain.
f. Adanya gangguan belajar : Delapan puluh persen anak GPP akan
mengalami kesulitan belajar. Hal itu disebabkan karena
gangguan pemusatan perhatian biasanya terdapat bersama-sama
dengan gangguan spesifik lainnya seperti kesulitan
membaca, dan kesulitan berhitung.

18
Berikut adalah penyebab anak Sulit Konsentrasi, yaitu :
Permasalahan gangguan atau pemusatan perhatian yang juga biasa
dikenal dengan konsentrasi, diperkirakan berasal dari berbagai
faktor antara lain:
a. Faktor genetik terutama pada anak laki-laki
b. Gangguan pada masa prenatal atau pada masa di dalam
kandungan dan pada masa perinatal atau pada saat proses
kelahiran
c. Ibu hamil yang kecanduan alkohol
d. Akibat trauma kepala, misalnya karena proses persalinan yang
menggunakan alat bantu, atau benturan keras di kepalanya
e. Keracunan timbal, zat pewarna dosis tinggi dalam makanan
f. Tekanan Psikososial seperti tidak mendapat perhatian dan
kasih sayang dari orangtuanya, sehingga kebutuhan dasar anak
tidak terpenuhi.
Berikut adalah cara mengatasi anak yang sulit untuk konsentrasi,
yaitu :
a. Mencermati aktivitas atau kegiatan yang disukainya, dengan
ciri anak akan memiliki perhatian yang lebih pada
aktivitas tersebut dibandingkan dengan yang lain.
Misalnya, anak suka sekali memperhatikan gambar-gambar
hewan. Hal ini dapat dijadikan dasar pendekatan kepada anak
melalui hal yang disukainya.
b. Mengajarkan dan menguatkan perhatian yang terfokus dan
mendetail. Anak dibimbing bersama untuk memperhatikan
sesuatu dengan seksama. Misalnya dengan memperhatikan
stimulus yang berupa gambar-gambar untuk mencari persamaaan
dan perbedaan. Selain itu bagi anak-anak yang suka
bermain balok dan puzzle, dapat bersama-sama mengerjakan.
Jenis-jenis mainan edukatif seperti ini dapat melatih daya
konsentrasi anak.
c. Dalam menata ruangan kelas, haruslah rapi sehingga anak
tidak cepat beralih perhatiannya.

19
d. Memberi pujian atau ganjaran kepada anak, bila anak
dapat berhasil menyelesaikan tugas dengan baik. Perlu
diperhatikan bahwa tugas yang diberikan jangan terlalu sulit
atau terlalu mudah dan dalam proses menyelesaikan tugas.
(Nurani dkk, 2005)
4. Giftedness (Keberbakatan)
Dari beberapa literatur asing, keberbakatan ini menjadi
permasalahan sendiri bagi anak maupun bagi pendidik. Istilah
ini juga untuk di beberapa tempat di Indonesia belumlah
populer, walaupun permasalahan perilaku pada anak-anak
seringkali disebabkan oleh adanya faktor keberbakatan ini.
Gifted adalah sebutan bagi anak yang memiliki
bakat, memiliki kemampuan yang luar biasa pada hampir
semua bidang maupun bidang-bidang tertentu, kreativitas
tinggi dan bertanggungjawab pada tugas.
Berikut adalah permasalahan yang sering terjadi pada anak
berbakat, yaitu :
a. Mudah Bosan
b. Mencari metode atau sistemnya sendiri dalam melakukan
sesuatu, yang bertentangan dengan cara yang seharusnya
sesuatu itu dikerjakan.
c. Mudah tertipu, mudah diperolok dan selalu berubah-ubah
(pendirian)
d. Perfectionist, berkecil hati, kritis tentang dirinya dan
orang lain.
e. Menjadi tak sabar atau marah dengan interupsi.
f. Membenci aktivitas atau permainan yang berulang-ulang
g. Mengabaikan detail dan melewati rutinitas; tidak sabar
dengan sesuatu yang tidak penting baginya.

Berikut adalah cara mengatasi anak berbakat, yaitu :


a. Menghindari kritik terhadap apa yang dilakukannya.

20
b. Memberikan kesempatan kepada anak dalam bereksplorasi
sehingga tidak menghambat potensinya.
c. Ketika merencanakan aktivitas pendidik, carilah
cara-cara yang membuatnya lebih menantang bagi
anak berbakat.
d. Mintalah anak berbakat untuk memberikan saran tentang
perubahan aspek dari aktivitas dan ikuti gagasan yang pantas
atau masuk akal. Hal ini akan memperluas kecakapan
berpikir mereka dan memberikan feedback atau masukan
yang bernilai mengenai pemikiran dan kebutuhan
mereka.
e. Berilah anak berbakat dengan banyak kesempatan untuk
membuat pilihan riil dan menjadi pemimpin.
f. Ijinkan anak berbakat untuk mengikuti minatnya sendiri
sejauh yang mereka bisa.
g. Karena kebanyakan anak berbakat sangat aktif dan memiliki
minat luas, berikan ragam pilihan luas termasuk
permainan yang menantang, teka-teki, situasi bermain
drama dan mainan meja. (Saomah, 2004)

21
BAB III
PENUTUP

3.1 Kesimpulan
Aspek perkembangan kognitif peserta didik adalah salah satu
aspek yang sangat erat kaitannya dengan penentuan keberhasilan
peserta didik dalam dunia pendidikan. Secara sederhana,
kemampuan kognitif dapat dialami sebagai ajang berpikir lebih
kompleks secara kemampuan untuk menalar dan memecahkan masalah
bagi anak. Dengan berkembangnya kemampuan kognitif ini akan
memudahkan anak dalam menguasi pengetahuan umum yang luas,
sehingga anak mampu menjalankan fuungsinya dengan wajar dalam
interaksinya dengan masyrakat dan lingkungan sehari-hari.
Dengan demikian aspek perkembangan kognitif peserta didik
adalah salah satu aspek yang berkaitan dengan pengertian
pengetahuan yaitu, semua proses psikologis yang berkaitan
dengan perilaku individu mempelajari dan memikirkan
lingkungannya.
Aspek perkembangan kognitif peserta didik berdasarkan
perwujudan dari kemampuan primer yaitu kemampuan berbahasa,
kemampuan mengingat, kemampuan nalar atau berpikir logis,
kemampuan tilikan ruang, kemampuan bilangan, kemampuan
mennggunakan kata-kata, dan kemampuan mengamati dengan cepat
dan cermat. Aspek perkembangan kognitif berdasarkan cara
berpikir yaitu berpikir simbolis, berpikir egosentris dan
berpikir intuitif. Dalam komponen assesment terdapat 4 macam
aspek perkembangan kognitif yakni informasi/pengetahuan
figurative, pengetahuan prosedural/operatif, pengetahuan
temporal dan spasial, dan pengetahuan dan pengingatan memori.
Prinsip perkembangan kognitif anak dalam proses assesment
meliputi asimilasi, akomodasi dan ekuilibrium.
Terdapat beberapa faktor yang mempengaruhi perkembangan
kognitif antara lain factor hereditas/keturunan, faktor

22
lingkungan, faktor kematangan, faktor pembentukan, faktor bakat
minat dan faktor kebebasan.
Pada aspek perkembangan kognitif terdapat problematika
kesulitan belajar antar lain gangguan membaca, gangguan
menulis, dan gangguan berhitung. Gangguan membaca pada anak
dapat diatasi dengan mengajarkan membaca sejak kecil, membantu
dengan huruf balok, mengajarkan secara mendetail, menjadikan
kegiatan baca yang menyenangkan, membangun kepercayaan diri.
Untuk gangguan menulis dapat diatasi dengan cara memahami
keadaan anak dengan tak membandingkannya dengan anak lain,
memberik kesempatan menulis dengan media lain, membangun rasa
percaya diri, dan melatih anak agar terus menulis. Untuk anak
yang mengalami gangguan berhitung dapat diatasi dengan
melakukan banyak hal antara lain dengan menggunakan media
gambar, kata-kata dan grafik untuk memudahkan pemahaman,
menghubungkan konsep-konsep matematika dalam kehidupan,
melakukan pendeketan yang menarik pada matematika, menuliskan
konsep matematika di atas kertas agar anak tidak berpikir
abstrak, mendorong anak melatih ingatan secara kreatif, memuji
keberhasilan dan usaha anak secara wajar dan melakukan proses
asosiasi untuk konsep yang dipelajari sehari-hari.
Autisme dapat diatasi dengan melakukan pemodifikasian
perilakuan bantuan tenaga pro, melakukan terapi wicara,
menggunakan pendukung visual agar mempermudah dalam
berkomunikasi, dan melakukakan kegiatan integrasi sensorik.
Untuk problematika sulit berkonsentrasi dapat diatasi dengan
mencari aktivitas yang disukai, mengajarkan dan menguatkan
perhatian agar terfokus dan mendetail, menata ruang kelas
dengan rapi, dan memberikan pujian pada anak. Untuk masalah
keterbakatan dapat diatasi dengan menghindarkan kritikan,
memberikan kesempatan dalam berkesplorasi, mencari cara yang
membuat anak lebihh tertantang, meminta anak memberikan saran
tentang perubahan aktivitas, memberikan kesempatan anak untuk

23
membuat pilihan riil, mengijinkan untuk mengikuti mintaya
sendiri, dan memberikan ragam pilihan yang luas.
3.2 Saran
Berdasarkan pembahasan di atas dan kesimpulan yang telah di kemukakan
sebelumnya, pada bagian ini penulis mengemukakan beberapa saran. Penulis
berharap dari adanya tugas ini dapat memberikan banyak manfaat bagi
pembaca. Dan mohon dimaklumi, jika dalam makalah kami masih terdapat
banyak kekeliruan, baik bahasa maupun pemahaman. Kami berharap kritik
dan saran dari pembaca dapat membantu perbaikan dari makalah kami
menjadi yang lebih baik dari sebelumnya.

24
DAFTAR PUSTAKA

Budiningsih, Asri. 2005. Belajar dan Pembelajaran, Jakarta: Rineka


Cipta.
Departemen Pendidikan Nasional. 2007. Pedoman Pembelajaran Bidang
Pengembangan Kognitif di Taman Kanak-Kanak. Jakarta:
Direktorat Pembinaan Taman Kanak-Kanak dan Sekolah Dasar.
Driscoll, P. Marcy. 2005. Psychology of Learning for Instruction.
Boston: Pearson
Education, Inc.
Jamaris, Martini. 2006. Perkembangan dan Pengembangan Anak Usia
Taman Kanak-kanak. Jakarta: Gramedia.
Jamaris, Martini. 2012. Orientasi Baru dalam Psikologi Pendidikan
Kanak-kanak. Jakarta: Ghalia Indonesia.
Nurani, Yuliani, dkk. 2005. Metode Pengembangan Kognitif.
Jakarta : Universitas Terbuka.
Retno, Pangestuti. 2013. Psikologi Perkembangan Anak Pendekatan
Karakteristik Peserta Didik. Jogjakarta: BASOSBUD.
Saomah, Aas. 2004. Permasalahan-permasalahan Anak dan Upaya
Penyelesaiannya. Bandung : UPI
Seefeltd, Carol & Wasik, B.A . 2008. Pendidikan Anak Usia Dini.
Jakarta : PT Indeks
Soemiarti & Patmonodewo. 2003. Pendidikan Anak Pra Sekolah.
Jakarta: Rineka Cipta.
Susanto, Ahmad. 2011. Perkembangan Anak Usia Dini. Jakarta:
Kencana.

25

Anda mungkin juga menyukai