Anda di halaman 1dari 16

PERAN ZINC (Zn) PADA HIV/AIDS

Untuk Memenuhi Tugas Mata Kuliah Gizi dan HIV

Disusun oleh:
KELOMPOK 2-A
Evita Hasana Putri 101711233016
Anisa Jannatin Naim 101711233032
Julia Fakhrun Nisa’ 101711233035
Ade Lia Ramadhani 101711233039

UNIVERSITAS AIRLANGGA
FAKULTAS KESEHATAN MASYARAKAT
PROGRAM STUDI S1 GIZI
SURABAYA
2019
BAB I PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Gangguan penurunan sistem kekebalan tubuh atau imunodefisiensi dapat
menyebabkan kerusakan pada sistem imun. Kerusakan sebagian atau seluruh
sistem kekebalan tubuh mengakibatkan penderita imunodefisiensi tidak dapat
mengatasi infeksi maupun penyakit secara efektif (British Society for
Immunology, 2017). Penyebab penurunan sistem kekebalan tubuh dapat
disebabkan karena cacat bawaan yang mengakibatkan gangguan pada sistem
imun maupun penyebab lain dari suatu penyakit, misalnya infeksi, malnutrisi,
penuaan, autoimun, maupun kemoterapi (Kumar et al, 2013).
Salah satu penyebab gangguan imunodefisiensi adalah infeksi HIV
(Human Immunodeficiency Virus). Salah satu jenis retrovirus ini secara spesifik
menyerang sel imun pada tubuh manusia terutama sel CD4+ dan makrofag
(Savira, 2017). Infeksi yang disebabkan oleh HIV membuat sistem kekebalan
melemah secara progresif, hingga pada akhirnya akan membuat sel imunitas
gagal memerangi infeksi serta penyakit-penyakit lain yang masuk ke dalam
tubuh (Stolley et al., 2009)
Zinc atau zat seng adalah micronutrien yang sangat diperlukan tubuh. Zinc
merupakan suatu elemen esensial untuk lebih dari 100 jenis enzim dalam tubuh.
Hampir semua sel dalam tubuh manusia mengandung zinc, tetapi konsentrasi
terbanyak menurut Whitney & Rolfes terdapat dalam otot dan tulang. Fungsi dan
peranan zinc dalam tubuh sangat luas antara lain: menstabilkan membran sel,
membantu pertahanan tubuh dalam melawan serangan radikal bebas, berperan
dalam sistem imunitas tubuh, serta proses pertumbuhan dan perkembangan.
(Whitney dan Rolfes,2011)
1.2 Tujuan
1.2.1 Mengetahui karakteristik sistem imun pada penderita HIV/AIDS.
1.2.2 Mengetahui fungsi zinc dalam sistem imun.
1.2.3 Mengetahui hubungan suplementasi zinc dengan sistem imun pada
kekebalan tubuh terhadap infeksi oportunistik pada penderita HIV/AIDS.
1.3 Manfaat

1.3.1 Bagi Mahasiswa


1.3.1.1 Sebagai sarana pengembangan hardskill menulis pada mahasiswa.
1.3.1.2 Menjadi sumber informasi mahasiswa mengenai hubungan
suplementasi zinc dengan infeksi oportunistik pada penderita
HIV/AIDS.
1.3.2 Bagi Pembaca
Menjadi media pembelajaran mengenai HIV/AIDS dan hubungannya
dengan zinc sebagai suplemen mikronutrien.
BAB II PEMBAHASAN
2.1 HIV/AIDS
2.1.1 Patofisiologi HIV/AIDS
HIV (Human Immunodeficiency Virus) merupakan retrovirus bersifat
limfotropik khas yang menginfeksi sel-sel dari sistem kekebalan tubuh,
menghancurkan atau merusak sel darah putih spesifik yang disebut limfosit T-
helper atau limfosit pembawa faktor T4 (CD4). Virus ini diklasifikasikan
dalam famili Retroviridae, subfamili Lentiviridae, genus Lentivirus. Selama
infeksi berlangsung, sistem kekebalan tubuh menjadi lemah dan orang menjadi
lebih rentan terhadap infeksi. Tingkat HIV dalam tubuh dan timbulnya
berbagai infeksi tertentu merupakan indikator bahwa infeksi HIV telah
berkembang menjadi AIDS (Acquired Imunnodeficiency Syndrome) (Kumar
et al, 2013).
Human Immunodeficiency Virus (HIV) merupakan etiologi dari infeksi
HIV/AIDS. Penderita AIDS adalah individu yang terinfeksi HIV dengan
jumlah CD4 < 200µL meskipun tanpa ada gejala yang terlihat atau tanpa
infeksi oportunistik. HIV ditularkan melalui kontak seksual, paparan darah
yang terinfeksi atau sekret dari kulit yang terluka, dan oleh ibu yang terinfeksi
kepada janinnya atau melalui laktasi (Friis, 2002).

Gambar 1. Human Immunodeficiency Virus (HIV). Sumber : Kumar et al.


Robins Basic Pathology, Copyright 2013

Kumar et al (2013) menjelaskan bahwa pada awal tahapan infeksi,


molekul reseptor membran CD4 pada sel sasaran akan diikat oleh HIV.
Limfosit CD4 berikatan kuat dengan gp120 HIV sehingga gp41 dapat
memerantarai fusi membrane virus ke membran sel. Dua ko-reseptor
permukaan sel, CCR5 dan CXCR4 diperlukan, agar glikoprotein gp120 dan
gp41 dapat berikatan dengan reseptor CD4. Koreseptor menyebabkan
perubahan konformasi sehingga gp41 dapat masuk ke membran sel sasaran dan
menyebabkan fusi antara virus dan sel limfosit. Setelah terjadi fusi, genom
HIV akan masuk ke dalam sitoplasma sel.

Gambar 2. Gambaran terjadinya infeksi HIV pada sel limfosit. Sumber :


Kumar et al. Robins Basic Pathology, Copyright 2013

Setelah virus berfusi dengan limfosit CD4, maka berlangsung


serangkaian proses kompleks kemudian terbentuk partikel-partikel virus baru
dari sel yang terinfeksi. Limfosit CD4 yang terinfeksi mungkin tetap laten
dalam keadaan provirus atau mungkin mengalami siklus-siklus replikasi
sehingga menghasikan banyak virus. Infeksi pada limfosit CD4 juga dapat
menimbulkan sitopatogenitas melalui beragam mekanisme termasuk apoptosis
(kematian sel terprogram) energi (pencegahan fusi sel lebih lanjut), atau
pembentukan sinsitium (fusi sel) (Kumar et al, 2013).
Gambar 3. Mekanisme kehilangan sel limfosit CD4 pada infeksi HIV.
Sumber : Kumar et al. Robins Basic Pathology, Copyright 2013

Pada fase kronis selanjutnya, replikasi akan terjadi pada nodus limfa dan
kelenjar getah bening sehingga menyebabkan kerusakan sel yang lebih parah.
Jumlah sel limfosit akan terus berkurang sehingga sitem kekebalan tubuh
mengalami penurunan fungsi. Selain itu, infeksi berbagai sel dalam jaringan
limfoid dapat mengganggu arsitektur normal, yang menyebabkan gangguan
respon imun. Hilangnya sel CD4+ menyebabkan inversi rasio CD4+/CD8+
dalam darah perifer. Rasio CD4+/CD8+ normal adalah 1 banding 2, sedangkan
pasien dengan AIDS memiliki rasio 0,5 atau kurang (Kumar et al, 2013).
Gambar 4. Patogenesis terjadinya AIDS akibat infeksi HIV. Sumber :
Kumar et al. Robins Basic Pathology, Copyright 2013

Selain limfosit, monosit dan makrofag juga rentan terhadap infeksi HIV.
Monosit dan makrofag yang terinfeksi dapat berfungsi sebagai reservoir untuk
HIV tetapi tidak dihancurkan oleh virus. HIV bersifat politronik dan dapat
menginfeksi beragam sel manusia, seperti sel Natural Killer (NK), limfosit B,
sel endotel, sel epitel, sel langerhans, sel dendritik, sel mikroglia dan berbagai
jaringan tubuh (Pibram, 2011).

2.1.2 Infeksi Oportunistik pada HIV/AIDS


Infeksi sekunder atau infeksi oportunistik merupakan komplikasi infeksi
HIV yang timbul pada stadium lanjut, biasanya terjadi pada pasien dengan
jumlah sel T CD4 <200µL. Infeksi sekunder merupakan penyebab utama
mortalitas dan morbiditas pada pasien HIV/AIDS. Sekitar 90% pasien
HIV/AIDS meninggal karena infeksi oportunistik sebagai penyebab utamanya.
Penyebab infeksi oportunistik pada HIV/AIDS bisa berupa infeksi protozoa,
bakteri, virus, maupun jamur. Infeksi bakteri yang tersering antara lain
tuberkulosis, toxoplasmosis dan cytomegalovirus. Spektrum klinis infeksi
oportunistik berubah seiring dengan bertambahnya usia pasien dan
ditemukannya terapi profilaksis yang semakin baik (Onyanca, 2005 dalam
Putri et al, 2015).
Infeksi HIV

Deplesi Limfosit T
CD4+

Penurunan Fungsi Sistem


Imun

Infeksi Oportunistik

Gambar 5. Bagan terjadinya infeksi oportunistik pada penderita AIDS

2.2 Zinc (Zn)


Zinc (Zn2+) adalah asam Lewis yang lebih kuat daripada zat besi (Fe 3+)
namun lebih lemah dari copper (Cu2+) (Ross et al, 2014). Zinc bnayak terdapat
pada bahan makanan seperti tiram, susu, yoghurt rendah lemak, kacang-
kacangan, kepiting, udang, lobster, hati, telur, keju, sayuran, buah, dan
lainnya. Zinc berperan sebagai kofaktor untuk lebih dari 200 enzim yang
memiliki peran dalam metabolisme karbohidrat dan lemak, degradasi maupun
pembentukan protein, pembentukan asam nukleat, sintesis heme, serta fungsi
spesifik dalam sistem imun (Roohani et al., 2013). Peran zinc dalam
mempertahankan sistem kekebalan tubuh, terutama pada penderita HIV,
adalah mendukung peningkatan kadar set Limfosit T dalam darah (Rahfiludin,
2011).

2.3 Peran Zinc dalam Sistem Imun


Zinc berperan penting dalam perkembangan dan fungsi sel yang
dipengaruhi oleh imunitas nonspesifik dengan cara menginduksi adhesi sel
mielomonosit pada endotel, sehingga zinc berperan penting pada respons awal
sistem imun (Friis, 2002).
Sel NK penting sebagai imunitas terhadap infeksi dan tumor. Zinc
dibutuhkan untuk menjaga fungsi normal sel NK. Defisiensi zinc
menyebabkan penurunan killing activity non spesific dan fungsi sel NK. Pada
anak sehat yang menunjukkan penurunan kadar zinc dalam serum, terlihat
jumlah sel NK yang meningkat dan kiling activity yang menurun. Keadaan ini
merupakan kompensasi sistem imun dalam mengatasi fungsi sel NK yang
menurun, dengan meningkatkan jumlah sel NK . Kekurangan Zinc dapat
menyebabkan penurunan aktivitas sel natural killer, CD4+ dan CD8+,
menurunkan aktivitas proliferasi limfosit, serta menghambat pembentukan
antibodi oleh sel B. Hal ini dapat mempengaruhi kecepatan replikasi HIV di
dalam sel (Baum et al., 2010).
Rahfiludin (2011) menyampaikan bahwa zinc memegang peranan penting
terhadap fungsi timus. Timus merupakan organ tempat pematangan sel T.
Mineral ini berperan sebagai kofaktor esensial terhadap hormon timulin
(ZnFTS) yang dihasilkan timus melalui sel epitel timus. Zat ini berperan tidak
hanya pada proses diferensiasi sel T yang belum matang, tetapi juga mengatur
pelepasan sitokin oleh sel mononuklear perifer dalam darah, merangsang
pembentukan sel T CD8, bersama dengan interleukin 2 (IL-2), serta menjaga
aktifitas reseptor untuk IL-2 pada sel T yang matang.
Rahfiludin (2011) juga menyampaikan bahwa pengaruh zinc terhadap
proliferasi sel B kurang begitu penting, bila dibandingkan dengan peranan
zinc terhadap sel T. Jumlah limfosit B dan prekursornya (khususnya pre-B
dan sel B imatur) akan menurun secara absolut pada keadaan defisiensi zinc.
Hal ini mungkin berhubungan dengan terjadinya apoptosis pada sel-sel
prekursor tersebut. Zinc diperlukan pada proses mitogenesis sel limfosit B dan
respon sitokin terhadap lipopolisakarida. Defisiensi zinc menginduksi kadar
glukokortikoid menjadi lebih tinggi yang mengakibatkan terjadinya apoptosis
sel limfosit. Pada suatu percobaan yang dilakukan dengan memberikan
dexamethason selama 4 minggu, terjadi kematian limfosit serta penurunan
kadar zinc didalam plasma.
Hal tersebut dibuktikan oleh penelitian yang bertujuan untuk menunjukan
pengaruh suplementasi zinc terhadap peningkatan kadar CD4 dan CD8 dalam
serum darah. Diantaranya hasil penelitian Baum, et al (2010) dalam bentuk
pemberian intervensi suplementasi zinc pada penderita HIV dewasa dengan
defisiensi zinc (level plasma zinc <0,75 μ g/mL) menunjukkan adanya
peningkatan jumlah CD4+ dan penurunan viral load secara signifi kan dengan
p<0,02, pada kelompok yang diberikan zinc sebesar 12 mg per hari selama 18
bulan, disertai dengan pemberian ARV. Adanya efek positif suplementasi
zinc juga ditemukan dalam penelitian Martinez et al (2017) yang
menunjukkan kenaikan signifikan kadar CD4+ mencapai lebih dari 20%
setelah kelompok subjek penderita HIV dewasa diberikan 20 mg Zinc per hari
selama 12 minggu. Sedangkan pada kelompok plasebo yang hanya menerima
ARV mengalami penurunan kadar CD4+ meskipun tidak signifikan.
Pada pemberian suplementasi berupa multivitamin dan mineral kompleks
termasuk zinc kepada penderita HIV, ditemukan pengaruh terhadap CD4+
yang cukup beragam. Pemberian suplementasi tunggal zinc dapat dinilai
efektif memberikan dampak positif pada peningkatan respon imun apabila
jumlah dan durasi pemberiannya tepat. Pada penelitian Jiamton et al (2003),
tidak ditemukan pengaruh signifikan pemberian multivitamin, berupa 3,000
μg vitamin A, 6 mg β-karoten, 20 μg vitamin D3, 80 mg vitamin E, 180 μg
vitamin K, 400 mg vitamin C, 24 mg B1, 15 mg B2, 40 mg B6, 30 μg vitamin
B12, 100 μg B9, 40 mg B5, 10 mg Zat Besi, 200 mg Magnesium, 8 mg
Mangan, 300 μg Iodium, 3 mg Cu, 400 μg Selenium, 150 μg Krom, 66 mg
Sistein, dan 30 mg Zinc pada status CD4+ dibandingkan dengan plasebo
setelah pemberian selama 48 minggu. Suplementasi multivitamin dan mineral
dapat lebih memberikan dampak positif yang signifikan pada kelompok
subjek dengan status CD4+ 200 x 106sel/l dibandingkan dengan status CD4+
<100 x 106sel/l. Peneliti berasumsi bahwa kombinasi dari zat gizi utamanya
vitamin dan mineral antioksidan yang bekerja sinergis mungkin dapat
memperkuat fungsi imunitas secara optimal.
Peranan zinc sebagai antioksidan yaitu sebagai perlindungan sel terhadap
radikal oksigen reaktif dan nitrogen reaktif yang dihasilkan pada aktifasi
imun. Zinc merupakan antagonis zat katalitik seperti bahan aktif redoksi yaitu
besi dan tembaga yang dapat menghasilkan radikal hidroksi dari H2O2 dan
superoksidasi, serta menghambat proses destruksi (Friis, 2002).
Menurut artikel yang disusun oleh Read et al (2019), zinc memiliki peran
dalam menghambat aktivitas viral yang menginfeksi tubuh. Zinc berperan
menghambat berbagai tahap infeksi virus seperti inhibisi fusi, translasi,
replikasi, hingga lisis sel sehingga virus gagal bereproduksi.

Gambar 6. Peran zinc dalam imunitas antiviral. Sumber: Read et al. The
Role of zinc as Antiviral Immunity. 2019

2.4 Hubungan Suplementasi Zinc dengan Infeksi Oportunistik


Suplementasi zinc memengaruhi sistem kekebalan tubuh untuk
mempertahankan diri dari infeksi oportunistik melalui berbagai jalur.
Asupan zinc yang cukup akan menambah responsibilitas sel endotel
terhadap patogen sebagaimana yang telah disampaikan oleh Friis (2002)
pada bagian sebelumnya. Endotel sebagai pertahanan pertama tubuh
terhadap patogen, sehingga ketika endotel responsiF terhadap patogen maka
dapat mencegah terjadinya infeksi berkelanjutan.
Zinc juga berpengaruh terhadap killing activity yang difasilitasi oleh
sel NK. Hal ini telah disampaikan oleh Baum (2010) bahwa asupan zinc
yang cukup akan memengaruhi aktifitas sel NK untuk membunuh sel-sel
tumor sehingga tidak timbul penyakit sekunder akibat menurunnya aktivitas
sel NK.
Sel timus juga dipengaruhi oleh jumlah asupan zinc. Sel timus adalah
tempat Produksi sel limfosit T dan B, asupan zinc yang cukup akan
melancarkan proses produksi sel T dan sel B sehingga imunitas tubuh
terhadap infeksi oportunistik dapat ditingkatkan.
Fungsi zinc dalam menghambat aktivitas viral sebagaimana
diutarakan oleh Read et al (2019) memiliki pengaruh terhadap pertumbuhan
virion dalam tubuh. Asupan zinc yang cukup akan menekan pertumbuhan
virus sehingga HIV tidak dapat menimbulkan kerusakan yang lebih besar
terhadap sistem kekebalan tubuh.
BAB III PENUTUP
3.1 Kesimpulan
Orang yang terinfeksi HIV akan cenderung menurun kondisi kekebalan
tubuhnya. Suplementasi Zinc berhubungan dengan kekebalan tubuh terhadap
infeksi oportunistik pada penderita HIV/AIDS dengan berbagai cara seperti:
(1) meningkatkan aktivitas endotel, (2) meningkatkan aktivitas sel NK, (3)
meningkatkan proliferasi sel limfosit dalam kelenjar timus sehingga kadar
CD4 dalam serum dapat ditingkatkan, dan (4) mengendalikan aktivitas viral
sehingga pertumbuhan virion dapat ditekan.
3.2 Saran
Perlu diadakan kajian lebih lanjut terkait jumlah atau dosis yang sesuai
agar fungsi Zinc dalam mempertahankan kekebalan tubuh penderita
HIV/AIDS dapat berjalan dengan baik.
DAFTAR PUSTAKA
Baum, M., Lai, S., Sales, S., Page, B., &Campa, A. 2010. Randomized, controlled
clinical trial of Zinc supplementation to prevent immunological failure in
HIV- Infected adults. Clin Infect Dis, 50(12), 1653–1660.
doi:10.1086/652864
British Society for Immunology . 2017. Immunodeficiency. Tersedia di:
https://www.immunology.org/policy-and-public-affairs/briefings-and-
position-statements/immunodeficiency. Diakses pada 8 September 2019.
Friis, Henrik. 2002. CRC Series in Modern Nutrition : Micronutrients and HIV
Infection. New York. CRC Press
Jiamton, S., Pepin, J., Suttent, R., Filteau, S., Mahakkanukrauh, B.,
Hanshaoworakul, W., Jaffar, S. 2003. A randomized trial of the impact of
multiple micronutrient supplementation on mortality among HIV-infected
individuals living in Bangkok. AIDS., 17(17), 2461–2469. doi:
10.1097/01.aids.0000088227.55968.0f Retrieved fromOvid Wolters Kluwer
Database.
Kumar, Vinay., Abbas, Abul K., Ester, John C. 2013. Robins Basic Pathology 9th
Edition. Canada. Elsevier
Martínez, C., Heidy & Duque-Molina, e. 2017. Effect of Zinc on immune
recovery in HIV patients. CES Medicinapp. Retrieved from
http://www.scielo.org.co/scielo.php?script=sci_ arttext&pid=S0120-
87052017000100003
Nall, Rachel. 2019. The Top Foods High in Zinc. Medical News Today. Tersedia
di https://www.medicalnewstoday.com/articles/325916.php. Diakses pada
19 November 2019
Pibram, Vivian. 2011. HIV and Nutrition. Oxford. Willey-Blackwell Publishers
Putri, Aghnia J., Darwin, Eryanti., Efrida. 2015. Pola Infeksi Oportunistik yang
Menyebabkan Kematian pada Pengandang AIDS di Rumah Sakit dr. M.
Djamil Padang Tahun 2010-2012. Jurnal Kesehatan Andalas Vol. 4 No.1
Rahfiludin, Z., Wirjatmadi, B., Agusni, I., & Dahlan, P. 2011. Zinc
supplementation could modulate t cell to maintain interleukin-2 level in
seropositive contact of leprosy patients. Med J Indonesia, 20(3), 201–204.
Retrieved from Medical Journal of Indonesia Database.
Read, Scott A., Obeid, Stephanie., Ahlenstiel, Chanthiel., Ahlenstiel, Golo. 2019.
The Role of Zinc in Antiviral Immunity. American Society of Nutrition;
AdvNutr2019;0:1–15
Ross, A. Catharine, Caballero, Benjamin., Cousin, Robert J., Tucker, Katherine
L., Ziegler, Thomas R. 2014. Modern Nutrition in Health and Disease 11th
Edition. Philladelphia. Wolter Kluwers
Roohani, N., Hurrell, R., Kelishadi, R., & Schulin, R. 2013. Zinc and its
importance for human health: An integrative review. J Res Med Sci., 18(2),
144–157. Retrieved from Journal of Research in Medical Sciences
Database.
Savira, M. 2017. Imunologi Human Immunodeficiency Virus (HIV) dalam
Kehamilan. Jurnal Ilmu Kedokteran, 1(1), 1–7. Retrieved from Journal of
Medical Science Database.
Stolley, K. S. (2009). HIV/AIDS. California: Greenwood Press
Whitney, Ellen dan Rolfes, Sharon Rady. 2011. Understanding Nutrition 12th
Edition. Wadsworth. Cengage Learning

Anda mungkin juga menyukai