Anda di halaman 1dari 4

ADOPSI BUDAYA SIRI’ NA PACCE SEBAGAI UPAYA PENCEGAHAN

KORUPSI

Oleh :

Aman Darmawan

Mahasiswa Hukum Universitas Muhammadiyah Kalimantan Timur

Indonesia memang merupakan negara yang memiliki beraneka ragam keunikan,


bukan hanya dari sisi budayanya, bahkan dari sisi kejahatan pun kita memiliki
keunikan tersendiri. Sebut saja korupsi misalnya, sementara di negara-negara maju
sudah memandang kasus korupsi sebagai sebuah kejahatan yang luar biasa dan perlu
diperangi, di Indonesia yang merupakan negara berkembang, korupsi malah di
gunakan sebagai senjata ampuh untuk menyuap musuh atau siapapun yang
menghalangi (termasuk pemerintah), mempererat dan menjamin pertemanan,
membangun kejayaan, dan menyeimbangkan aspek politik. Inilah yang disebut ironi
di negara berkembang.

Korupsi memang sejak lama telah menjadi penyakit yang menjangkit birokrasi
kita, mulai dari yang teratas sampai birokrasi yang paling bawah. Bahkan ada yang
tidak segan-segan mengatakan bahwa korupsi merupakan kanker di negara ini yang
menjadi tubuhnya, oleh karenanya selama masih ada korupsi, maka selama itu pula
negara kita sebenarnya sedang sakit.

Berbagai upaya pun telah dilakukan sebagai upaya pemberantasan korupsi ini,
namun sepertinya belum ada yang benar-benar membuahkan hasil yang memuaskan,
buktinya masih banyak pejabat-pejabat yang tertangkap tangan oleh KPK (Komisi
Pemberantasan Korupsi). Belum lagi masyarakat tambah dibuat pesimis dengan
diberlakukannya revisi UU KPK yang dinilai melemahkan KPK dalam melakukan
tugas dan kewenangannya.

Upaya-upaya yang dilakukan mulai dari upaya pencegahan, pendidikan, hingga


penindakan belum juga berhasil untuk menuntaskan korupsi di negeri ini. Namun, jika
kita berkaca pada negara-negara maju lainnya yang berhasil menekan kasus korupsi
mereka sampai pada angka yang rendah. Sebut saja misalnya China yang berhasil
dengan pemberlakuan hukuman mati terhadap terpidana korupsi. Di Skandinavia,
peran masyarakat sangat sentral dalam mengawasi harta kekayaan para pejabat
mereka melalui website yang di sediakan. Di Jepang, dimana para pejabatnya akan
segera mengundurkan diri saat mereka terlibat kasus korupsi. Serupa dengan yang ada
di Jepang, Islandia pun menerapkan hal yang sama, dimana pada saat itu Perdana
Menteri Islandia mengundurkan diri pada saat namanya tercantum dalam sebuah
kasus Panama Papers. Kesimpulan menarik dapat kita ambil, yaitu ternyata di
negara-negara maju mereka memiliki tingkat kesadaran akan bahaya korupsi yang
tinggi, bahkan mereka malu ketika ketahuan melakukan atau terkait kasus korupsi.

Lalu apa yang terjadi di negara kita? Sepertinya pertanyaan tersebut sudah
mampu dijawab oleh masing-masing dari pembaca, dengan melihat fenomena yang
terjadi di negara ini. Tidak ada rasa malu yang terlihat pada pejabat-pejabat yang
terlibat kasus korupsi, lihat saja saat mereka mengenakan rompi kuning dengan
pengawalan yang spesial dari aparat, mereka masih dengan bangganya menebar
senyum kepada publik seakan-akan mereka tidak sedang melakukan perbuatan yang
memalukan. Ketika dipenjara mereka mendapatkan fasilitas khusus yang bisa mereka
beli dengan kuasa dan kekayaan mereka. Belum lagi, saat mereka bebas, mereka
dengan bebas pula untuk kembali mengikuti kontestasi politik, tanpa ada rasa malu
menampakkan wajah mantan nara pidananya kepada publik.

Di Indonesia sendiri, korupsi sudah seakan-akan menjadi budaya yang


dilestarikan oleh para pejabat-pejabat yang haus kekayaan. Oleh karenanya, akan
sangat sulit ketika hanya upaya penindakan-penindakan yang kita maksimalkan,
upaya preventif juga perlu ditingkatkan.

Seperti permasalahan yang telah kita petakan diawal tadi, dimana yang menjadi
salah satu permasalahan mendasar dari perilaku korupsi ini adalah kurangnya
kesadaran terhadap bahaya korupsi serta yang lebih miris adalah kurangnya rasa malu
dari para pelaku-pelaku korupsi, yang memperlihatkan seakan-akan korupsi bukan
sesuatu yang memalukan. Oleh sebab itu penulis menawarkan gagasan untuk
mengadopsi budaya siri’ na pacce dari suku Bugis.

Dalam masyarakat suku Bugis, siri dapat diartikan sebagai rasa malu (harga diri),
sedangkan pacce dapat dimaknai sebagai sebuah kesadaran secara emosional untuk
merasakan kepedihan atau kesusahan orang lain dalam sebuah kelompok masyarakat,
atau dengan kata lain dapat diartikan sebagai solidaritas dan empati. Dengan
bergabungnya dua kata dasar ini, maka terbentuk sebuah sebuah kalimat yang menjadi
suatu budaya (karakter) yang dikenal dengan siri’ na pacce.

Budaya tersebut telah menjadi dasar falsafah masyarakat Bugis yang diajarkan
secara turun temurun dan harus dipegang teguh oleh masyarakatnya. Konsekuensi
apabila siri’ na pacce tidak di miliki oleh seseorang, maka orang tersebut tidak ada
bedanya dengan seekor binatang, sebab tidak memiliki rasa malu, harga diri,
kepedulian sosial serta rasa empati dan solidaritas dalam masyarakat. Mereka yang
tidak memiliki siri’ juga cenderung memiliki sifat tamak dan egois, selalu melakukan
berbagai cara untuk memenuhi hawa nafsunya.

Tidak heran jika kita melihat masyarkat Bugis selalu mampu bertahan dan
disegani di tanah perantauan, sebab mereka menjunjung tinggi rasa malu dan harga
diri, serta memiliki empati dan kepedulian sosial terhadap sesama tanpa
mementingkan diri sendir. Suatu konsep budaya yang diajarkan secara turun-temurun
dan akan terus dipegang teguh sampai generasi-generasi selanjutnya.

Gagasan pada budaya tersebut yang ingin penulis tawarkan sebagai sebuah solusi
preventif atau pencegahan suatu tindakan korupsi. Budaya siri’ tersebut dapat
ditanamkan kepada kader-kader politik melalui pendidikan politik yang dilakukan
pada partai politik misalnya. Atau jika ingin kita tarik lebih jauh, budaya tersebut
mulai dapat ditanamkan sejak dari dunia pendidikan, dengan pengenalan budaya yang
lebih mendalam. Sebab penulis yakin, dalam dunia pendidikan yang terlalu berkiblat
ke Barat pun kurang mengenalkan budaya-budaya seperti itu. Padahal Indonesia
merupakan negara yang kaya akan kearifan budaya lokalnya.

Konsep siri’ masyarakat Bugis penulis yakini apabila ditanamkan kepada setiap
pejabat kita, maka akan secara perlahan namun pasti, kasus korupsi di negara kita
akan semakin menurun. Hal tersebut disebabkan karena meningkatnya kesadaran dan
rasa empati untuk turut merasakan kepedihan dalam masyarakat kita, dan rasa malu
yang muncul, jika mereka melakukan korupsi mereka akan merasa harga diri mereka
terinjak-injak sebagai seorang penjabat.

Namun, menerapkan seuatu budaya tertentu untuk diadopsi pada skala yang lebih
besar, memang bukan perkara mudah. Belum lagi dengan maraknya budaya luar yang
masuk dan berkembang di kalangan masyarakat, menambah kesulitan dalam
mengenalkan budaya lokal yang terkesan ketinggalan zaman ini. Oleh karenanya,
dibutuhkan komitmen didalam penerapannya. Bukan hanya pejabat atau pemerintahan
saja, namun kita juga sebagai masyarakat perlu sama-sama membangun dan menjaga
komitmen bersama untuk memberantas korupsi itu. Masyarakat bisa melakukan
penanaman budaya siri’ dalam lingkup wilayah komunitasnya, agar korupsi-korupsi
yang skala nya kecil pun dapat kita cegah. Lebih dari itu, masyarakat juga harus turut
aktif dalam mengawasi pejabat-pejabat pemerintahan kita. Pada akhirnya, korupsi
memang sesuatu yang sulit untuk diberantas, namun bukan berarti tidak bisa, kita
hanya perlu berkomitmen.

Anda mungkin juga menyukai