Kulit merupakan organ tipis yang luas, tebal kulit bervariasi antara 0,5 – 1,5 mm
tergantung pada letak, umur, gizi, jenis kelamin, dan suku. Luas permukaan kulit pada
orang dewasa sekitar 1,5 – 2 m². Fungsi kulit antralain; pengontrol suhu tubuh, pelindung
atau proteksi, penerima rangsang, untuk ekskresi, untuk penyimpanan, dan penunjang
penampilan. Kulit dibagi menjadi lapisan epidermis, dermis, dan hipodermis atau
subkutis.
a) Lapisan Epidermis
Epidermis adalah lapisan luar kulit yang tipis dan avaskuler. Tebal epidermis
berbeda-beda pada berbagai tempat di tubuh, paling tebal pada telapak tangan dan
kaki. Ketebalan epidermis hanya sekitar 5 % dari seluruh ketebalan kulit. Pada
epidermis terjadi regenerasi setiap 4-6 minggu. Fungsi Epidermis antara lain proteksi
barier, organisasi sel, sintesis vitamin D dan sitokin, pembelahan dan mobilisasi sel,
pigmentasi (melanosit) dan pengenalan alergen (sel Langerhans). Epidermis terdiri
atas lima lapisan : Stratum Korneum, Stratum Lusidum, Stratum Granulosum,
Stratum Spinosum, dan Stratum Basale (Stratum Germinativum).
b) Dermis
Dermis terdiri atas jaringan ikat yang menyokong epidermis dan menghubungkannya
dengan jaringan subkutis. Tebalnya bervariasi, yang paling tebal terdapat pada telapak
kaki sekitar 3 mm. Dermis terdiri dari dua lapisan : Lapisan papiler, dan Lapisan
retikuler. Dermis mempunyai banyak jaringan pembuluh darah. Dermis juga
mengandung beberapa derivat epidermis yaitu folikel rambut, kelenjar sebasea dan
kelenjar keringat. Fungsi Dermis antara lain sebagai struktur penunjang, mechanical
strength, suplai nutrisi, menahan shearing forces dan respon inflamasi.
Hipodermis terdiri dari lapisan lemak. Fungsi Subkutis / hipodermis antara lain untuk
melekatkan kulit ke struktur dasar, isolasi panas, cadangan kalori, kontrol bentuk
tubuh dan mechanical shock absorber.
3. Fase Maturasi
Pada fase ini terjadi proses pematangan luka. Yang terdiri atas penyerapan
kembali jaringan yang berlebihan, pengerutan yang sesuai dengan gaya gravitasi dan
akhirnya perupaan ulang jaringan yang baru.1,2
D. Dehisensi luka
Dehisensi luka adalah keadaan dimana terbukanya kembali sebagian atau seluruhnya
luka operasi. Keadaan ini sebagai akibat kegagalan proses penyembuhan luka operasi.
1. Klasifikasi
a) Dehisensi luka operasi dini; terjadi kurang dari 3 hari paska operasi yang biasanya
disebabkan oleh teknik atau cara penutupan dinding perut yang tidak baik.
b) Dehisensi luka operasi lambat : terjadi kurang lebih antara 7 hari sampai 12 hari
paska operasi. Pada keadaan ini biasanya dihubungkan dengan usia, adanya
infeksi, status gizi dan faktor lainnya.
2. Manifestasi Klinik
Dehisensi luka seringkali terjadi tanpa gejala khas, biasanya penderita sering
merasa ada jaringan dari dalam rongga abdomen yang bergerak keluar disertai
keluarnya cairan serous berwarna merah muda dari luka operasi (85% kasus). Pada
pemeriksaan didapatkan luka operasi yang terbuka. Terdapat pula tanda-tanda infeksi
umum seperti adanya rasa nyeri, edema dan hiperemis pada daerah sekitar luka operasi,
dapat pula terjadi pus atau nanah yang keluar dari luka operasi.
3. Etiologi
a) Faktor mekanik : Adanya tekanan dapat menyebabkan jahitan jaringan semakin
meregang dan mempengaruhi penyembuhan luka operasi. Faktor mekanik tersebut
antara lain batuk-batuk yang berlebihan, ileus obstruktif dan hematom serta teknik
operasi yang kurang.
c) Faktor infeksi : Secara klinis biasanya terjadi pada hari ke 6 - 9 paska operasi
dengan gejala suhu badan yang meningkat disertai tanda peradangan disekitar luka.
4. Faktor Resiko
Faktor resiko dapat terbagi menjadi, preoperasi, operasi, dan post operasi.
Faktor risiko preoperasi meliputi jenis kelamin (laki-laki lebih rentan dibandingkan
wanita), usia lanjut (>50 tahun), operasi emergensi, obesitas, diabetes mellitus, gagal
ginjal, anemia, malnutrisi, terapi radiasi dan kemoterapi, keganasan, sepsis, penyakit
paru obstruktif serta pemakaian preparat kortikosteroid jangka panjang (Afzal, 2008;
Spiloitis et al, 2009; Makela, 2005; Singh, 2009).
Faktor risiko operasi antara lain; jenis insisi , cara penjahitan, tehnik
penjahitan, dan jenis benang. Sedangkan faktor pascaoperasi antara lain; peningkatan
tekanan intra abdomen, perawatan pascaoperasi yang tidak optimal, nutrisi
pascaoperasi yang tidak adekuat, terapi radiasi dan penggunaan obat antikanker.
5. Penatalaksanaan
a) Penanganan Nonoperatif/ Konservatif
Penanganan non operatif diberikan kepada penderita yang sangat tidak stabil dan
tidak mengalami eviserasi. Hal ini dilakukan dengan penderita berbaring di tempat
tidur dan menutup luka operasi dengan kassa steril atau pakaian khusus steril.
Penggunaan jahitan penguat abdominal dapat dipertimbangkan untuk mengurangi
perburukan luka operasi terbuka. Selain perawatan luka yang baik, diberikan
nutrisi yang adekuat untuk mempercepat penutupan kembali luka operasi.
Diberikan pula antibiotik yang memadai untuk mencegah perburukan dehisensi
luka.
b) Penanganan Operatif
Penanganan operatif dilakukan pada sebagian besar penderita dehisensi. Ada
beberapa jenis operasi yang dilakukan pada dehisensi luka yang dilakukan antara
lain rehecting atau penjahitan ulang luka operasi yang terbuka, mesh repair,
vacuum pack, abdominal packing, dan Bogota bag repair.
E. Luka eviserasi
Lisa Y. Hasibuan, Hardisiswo Soedjana, Bisono, Buku Ajar Ilmu Bedah Edisi 3, Penerbit
Buku Kedokteran EGC, Jakarata, 2010; Luka, hal 95-98.
Daniel Sampepajung, Buku Ajar Ilmu Bedah Edisi 3, Penerbit Buku Kedokteran EGC,
Jakarata, 2010; Masa Pulih, hal 358-363.
Warko Karnadihardja, Buku Ajar Ilmu Bedah Edisi 3, Penerbit Buku Kedokteran EGC,
Jakarata, 2010; Penyulit Pascabedah, hal 364-373.
Bisono, David S., Perdanakusuma, E. Mujianto Halimun (alm), Theddeus O>H>
PrasetonoBuku Ajar Ilmu Bedah Edisi 3, Penerbit Buku Kedokteran EGC, Jakarata,
2010; Kulit, hal 395-396.
Syarif M. Wasitaatmadja, Anatomi & Faal Kulit. Dalam : Adhi Juanda, Mochtar Hamzah,
Siti Aisah, eds. Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin. 5th ed. Jakarta: FK-UI; 2007, hal 3-8.
Brannon, Heather. 2007. Skin Anatomy. Diakses Desember 2011 dari: http://dermatoloy.
about.com/cs/skinanatomy/a/anatomy.html
Sintia Dewi. 2011. Dehisensi Luka Pasca Operasi Laparotomi dan Penanganannya di
RSUD Margono Soekarjo PurwokertoPeriode Januari 2008 -November 2011. Diakses
Januari 2014 dari: http://www.scribd.com/doc/136456518/84467857-Referat-Dehisensi-
Sintia-Dewi
Makela J, Kiviniemi H, Juvonen T, et al. 2005. Factors influencing wound dehiscence after
midline laparotomy. American journal of surgery. 170 (4): 387-390
Anonim. 2009. Laparotomi. Diakses Desember 2011 dari:
http://www.scribd.com/doc/74673683/LP-Laparatomi
Spiloitis J, Tsiveriotis K, Datsis A, et al. 2009. Wound dehiscence: is still a problem in the
21th century: a retrospective study. World Journal of Emergency Surgery 4:12
Phan LT, Hwang TN, McCulley TJ. Evisceration in the modern age. Middle East African
Journal of Ophthalmology.2012;19(1):24-33
Migliori ME. Enucleation, evisceration, and exenteration. In: Albert DM, Miller JW (eds.)
Albert & Jakobiec's Principles and Practice of Ophthalmology Volume 1. 3 rd ed. North
America: W.B Saunders Company ; 2008. p225645
Mules PH. Evisceration of the globe, with artificial vitreous. Trans ophthalmol Soc U K.
1885;5:200-206
Georgescu D, Vagefi MR, Yang CC, McCann J, Anderson RL. Evisceration with equatorial
sclerotomy for phthisis bulbi and microphthalmos. Ophthal Plast Reconstr
Surg.2010;26(3):165-7