Anda di halaman 1dari 43

PENDAHULUAN

Latar Belakang

Setiap orang Islam yang menyadari arti penting keberadaan Peradilan


Agama di Indonesia, niscaya mensyukuri eksistensi dan kedudukan
Peradilan Agama dewasa ini yang sudah setara dengan peradilan-
peradilan lainnya setelah sebelumnya mengalami pasang surut dan
perjalanan yang berliku-liku yang dimulai diakui secara resmi sejak zaman
kolonial dalam kondisi yang masih sangat sederhana dan kewewenangan
yang sangat terbatas kemudian mendapat momentum kebangkitannya
dengan peristiwa disahkan serta diundangkannya UndangUndang Nomor
7 tahun 1989 tentang Peradilan Agama pada tanggal 29 Desember 1989
pada era pemerintahan orde baru selanjutnya pada era reformasi
eksistensi dan kedudukan Peradilan Agama mencapai puncak
kekokohannya dengan lahirnya Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2004
tentang Kekuasaan Kehakiman sebagai perubahan atas Undang-Undang
Nomor 35 Tahun 1999. Dan terakhir kedudukan dan kewenangan yang
dimiliki Peradilan Agama semakin diperkokoh lagi dengan lahirnya
UndangUndang Nomor 3 Tahun 2006 yang diubah lagi dengan Undang-
Undang Nomor 50 Tahun 2009. Lahirnya sebuah undang-undang selain
merupakan peristiwa hukum sekaligus merupakan peristiwa politik, juga
sangat erat kaitannya dengan keyakinan umat Islam karena Peradilan
Agama didasarkan kepada hukum Islam, sedangkan hukum Islam bagi
umat Islam Indonesia dalam perkembangannya sebagai hukum yang
berdiri sendiri telah lama dianut oleh pemeluk agama Islam.1 Pasang-
surut dan pasang naiknya perkembangan Peradilan Agama merupakan
cerminan dari politik hukum yang dilatarbelakangi oleh beberapa fakta,
antara lain kesadaran hukum masyarakat dan kehendak politik yang
terjadi pada zamannya masing-masing.

Pengadilan Agama sebagai salah satu lembaga pelaksana


kekuasaan Kehakiman di Negara Republik Indonesia sebagaimana di
tentukan dalam Bab III Pasal 18 yang berbunyi “Kekuasaan Kehakiman
dilakukan oleh sebuah Mahkamah Agung dan Badan Peradilan yang
berada dibawahnya dalam Lingkungan Peradilan Umum, Lingkungan
Peradilan Agama, Lingkungan Peradilan Militer, Lingkungan Peradilan
Tata Usaha Negara dan oleh sebuah Mahkamah Konstitusi. Pengadilan
Agama sebagaimana di jelaskan dalam Pasa 4 Undang-undang Nomor 7
Tahun 1989 adalah berkedudukan di Kodia atau di ibu Kota Kabupaten
yang Daerah Hukumnya meliputi Wilayah Kodia atau Kabupaten.

Tugas Pokok Pengadilan Agama sebagai Peradilan Tingkat


pertama adalah menerima, memeriksa dan mengadili serta
menyelesaikan perkara-perkara yang diajukan kepadanya dan tugas-
tugas lain berdasarkan peraturan perundang-undangan termasuk
didalamnya pengelolaan Administrasi Kepaniteraan dan kesekretariatan
serta kegiatan-kegiatan lainnya. Bahwa untuk mewujudkan tugas pokok
dan fungsi Pengadilan Agama Lebong yang dibentuk berdasarkan Surat
Keputusan Presiden RI Nomor : 3 tahun 2011 tanggal 24 Februari 2011
adalah mewujudkan tata kehidupan Dasar Hukum dan Kedudukan
Pengadilan Agama dalam upaya menegakkan keadilan, Kebenaran,
Ketertiban dan kepastian hukum kepada masyarakat yang pada waktunya
nanti akan dapat memberikan dan mewujudkan rasa aman dan
perlindungan kepada masyarakat itu sendiri.

Rumusan Masalah

1. Bagaimana Dasar Hukum dalam Organisasi Peradilan Agama?


2. Apa Tugas Pokok dan Fungsi dalam Peradilan Agama?
3. Bagaimana tugas dalam setiap jabatan struktur organisasi dalam
Peradilan Agama?
PEMBAHASAN

Dasar Filosofis Keberadaan Peradilan Agama di Indonesia

Politik hukum Negara Indonesia yang didasari Pancasila


menghendaki agar berkembang kehidupan beragama dan hukum agama
dalam kehidupan bangsa dan negara Indonesia. Teori “Lingkaran
Konsentris’ menunjukkan betapa eratnya hubungan antara agama, hukum
dan negara. Negara berdasar atas hukum yang berfalsafah Pancasila
melindungi agama dan penganut agama, bahkan berusaha memasukkan
ajaran dan hukum agama dalam kehidupan berbangsa dan bernegara.
Muhammad Hatta menyatakan bahwa dalam pengaturan negara hukum
Republik Indonesia, Syariah Islam berdasarkan al-Qur’an dan Hadits
dapat dijadikan peraturan perundang-undangan Indonesia.3 Pancasila
sebagai falsafah negara, dasar negara dan hukum dasar mendudukkan
agama dan hukum agama pada kedudukan fundamental. Dalam hukum
nasional hukum agama sebagai wujud pengamalan sila Ketuhanan Yang
Maha Esa adalah unsur hukum dan bahan hukum, bahkan merupakan
jiwa dan ruh hukum nasional.4 Dalam pembinaan hukum nasional,
termasuklah di dalamnya membina hukum nasional yang dalam hal ini
adalah hukum Islam. Undang-Undang Peradilan Agama merupakan
perwujudan dan pengembangan hukum Islam sekaligus menunjang
pembinaan hukum nasional

Dasar Sosiologis Keberadaan Peradilan Agama di Indonesia

Hukum Islam mencerminkan normanorma bangsa Indonesia yang


mayoritas beragama Islam. Seperti diakui oleh Daniel Lev, sebelum
nusantara dipersatukan oleh sebuah pemerintah Kolonial Belanda, Hukum
Islam terlebih dahulu telah menyatukan mayoritas rakyat Indonesia. Ini
merupakan sebuah kenyataan bahwa hukum Islam telah menjadi bagian
hukum positif Indonesia. 5 Seminar tentang masuk dan berkembangnya
Islam di Indonesia yang diselenggarakan di Medan pada tahun 1963
menyatakan bahwa agama ini telah masuk ke Indonesia sejak abad
pertama Hijriah atau ketujuh/kedelapan Masehi. Beberapa abad
kemudian, Islam telah dianut oleh berbagai suku bangsa di Indonesia dan
sejak masa itu hukum Islam sudah menjadi bagian yang tidak terpisah dari
perjalanan hidup sebagian besar bangsa Indonesia.6 Sehingga
kerajaankerajaan Islam masa lampau telah memberlakukan hukum Islam
sebagai hukum positif di dalamnya. Snouck Hurgronje pun mengakui
bahwa pada abad ke-16 sudah muncul kerajaankerajaan Islam, seperti:
Mataram, Banten, Cirebon yang berangsur-angsur mengislamkan warga
masyarakatnya. Sedangkan untuk kelengkapan pelaksanaan hukum
Islam, telah didirikan Peradilan Surambi dan Majelis Syara’.7 Pada masa
pemerintahan kolonial Belanda pun hukum Islam pernah dipraktekkan di
Indonesia secara murni karena penguasa pemerintahan menghendakinya.
Oleh karena itu, dalam masa pemerintahan Hindia Belanda sampai
menjelang merdeka, embrio Peradilan Agama seperti yang terdapat dalam
kerajaan-kerajaan Islam tidak dapat dinafikan dan diabaikan. Selain
secara kronologis sulit dikubur, karena telah menyatu dalam masyarakat
Islam, juga secara politis Hindia Belanda mempunyai kepentingan.

Pada waktu VOC datang ke Indonesia untuk berdagang dan


kemudian dilanjutkan dengan penguasaan wilayah, mereka tidak
memahami tentang hukum yang hidup dalam masyarakat Indonesia. Pada
mulanya mereka hanya menerapkan hukum Belanda di kapal-kapal dan
kolonikoloni mereka dan membiarkan anak negeri berjalan sesuai dengan
hukum mereka sendiri. Setelah Belanda mengikutsertakan kaum orientalis
dalam mempelajari agama dan budaya Indonesia, barulah mereka
mengetahui bahwa Hukum Islam adalah hukum yang hidup dalam
masyarakat. Pemahaman ini didahului dengan usaha kompilasi oleh
beberapa orang orientalis di beberapa daerah seperti kompendium
Muharrar, Kompendium Freijer dan lain-lain.9 Usaha Kompilasi kemudian
dihentikan tanpa alasan yang jelas setelah dalam penelitian ditemukan
bahwa hukum yang hidup pada umumnya berasal atau bersumber dari
hukum Islam. Puncak dari pengakuan Belanda ini adalah penerapan teori
receptio in complexu oleh van den Berg yang intinya adalah bahwa untuk
orang Islam berlaku hukum Islam sekalipun terdapat variasi dalam
pemahaman dan pengamalannya. Akhirnya keluarlah Koniclijk Besluit No.
24 (staatblad No. 152/1882) yang menjadi dasar pembentukan Pengadilan
Agama di Jawa Madura dengan sebutan Bepaling Betreffende de
Priesterraan op Java Madoera. Sekalipun keputusan ini lebih bersifat
administratif dan prosedural dan tidak didukung oleh pengembangan
hukum Islam secara sistematis, tetapi hal tersebut merupakan pengakuan
yang kuat atas keberlakuan Hukum Islam di Indonesia. Dengan cerdiknya
teori ini diubah kemudian oleh Snouck Hurgrnje yang melakukan
penelitian terhadap hukum Islam di Aceh. Selanjutnya van Vallenhoven
memasyhurkan teori resepsi yang mengatakan bahwa hukum Islam dapat
diberlakukan bila telah diterima oleh hukum adat.10 Padahal dalam
penelitian yang dilakukan di zaman kemerdekaan, ternyata sebaliknya
yang benar, bahwa hukum adat baru dapat diterima bila telah diserap oleh
Hukum Islam. Inilah yang disebut oleh Sayuti Thalib sebagai receptio a
contrario dengan pengertian “hukum adat baru berlaku kalau tidak
bertentangan dengan hukum Islam. Inilah yang terjadi di banyak daerah di
Indonesia seperti Aceh, Minangkabau, Jambi, Palembang, Bengkulu,
Lampung dan lain-lain.

Dasar Yuridis Keberadaan Peradilan Agama di Indonesia

Menurut Mahfud MD, ada tiga landasan konstitusional yang dapat


dipakai sebagai dasar pijak bagi Peradilan Agama di Indonesia, yaitu
Pancasila, Dekrit Presiden 5 Juli 1959, dan UUD 1945.12 1. Pancasila.
Sila Ketuhanan Yang Maha Esa dalam Pancasila dapat dijadikan dasar
bagi berlakunya hukum-hukum agama di Indonesia, sebab setiap agama
mendasarkan diri pada keimanannya pada Tuhan. Dengan Pancasila
sebagai dasar negara maka hukum agama yang diyakini para
penganutnya memperoleh legalitas konstitusi untuk diberlakukan
sekaligus untuk meruntuhkan teori receptie yang dulunya dipakai sebagai
dasar kebijakan pemerintah kolonial Belanda. Tentu saja berlakunya
hukum agama bagi penganutpenganutnya adalah terutama sejauh
menyangkut hukum privat. 2. Dekrit Presiden 5 Juli 1959 Tercantumnya
Piagam Jakarta di dalam dekrit presiden 5 Juli 1959 yang memberlakukan
kembali UUD 1945 menyebabkan rumusan sila pertama Pancasila
mendapat tambahan, yaitu “berkesesuaian dengan hakikat Tuhan Yang
Maha Esa dengan kewajiban menjalankan syari’at Islam bagi pemeluk-
pemeluknya menurut dasar kemanusiaan yang adil dan beradab”. Atas
dasar ini maka berlakunya hukum Islam bagi pemeluknya mendapat
landasan kokoh. Tetapi seperti diketahui bahwa setiap upaya penafsiran
yang berbau Piagam Jakarta senantiasa menimbulkan sebuah
kontroversi. Kontroversi pendapat ini akhirnya terjawab dengan keluarnya
inpres No. 12 Tahun 1968 yang memberi penegasan bahwa Pancasila
yang resmi dipakai adalah Pancasila yang terdapat di dalam Pembukaan
UUD 1945 yang disahkan pada tangga 18 Agustus 1945 oleh PPKI. Oleh
sebab itu, meskipun jawaban tersebut sekedar berbentuk Inpres, maka
anak kalimat “dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluk-
pemeluknya” harus dianggap tidak ada. Dan oleh sebab itu pula maka
Piagam Jakarta tidak dapat dijadikan dasar hukum bagi pemberlakuan
pelembagaan sesuatu. Adanya Peradilan Agama tidak ada kaitannya
dengan Piagam Jakarta yang dibakukan di dalam konsideren Dekrit
Presiden 5 Juli 1959 itu. Artinya: ada atau tidak ada Piagam Jakarta
eksistensi Peradilan Agama tetap memiliki peluang konstitusional. Secara
yuridis, adanya peradilan agama diberi peluang oleh UUD 1945 yang
secara riil dikristalisasi di dalam aturan peralihan Pasal II yang kemudian
dikukuhkan di dalam berbagai peraturan perundangundangan yang lain. 3.
Pasal II Aturan Peralihan UUD 1945 Satu hal yang pasti bahwa eksistensi
Peradilan Agama di alam kemerdekaan didasarkan pada ketentuan Pasal
II aturan Peralihan UUD 1945 yang menyatakan bahwa semua “lembaga
dan peraturan yang ada (pada saat sebelum Indonesia merdeka) masih
terus berlaku selama belum dibuat lembaga dan peraturan baru menurut
UUD”. Pada saat Indonesia memproklamasikan kemerdekaan, lembaga
peradilan Agama sudah ada di Indonesia. Lembaga ini di bentuk sejak
tahun 1882 di tempat-tempat yang ada Landraad (pengadilan Negeri).
Bahkan sebelum secara formil diakui oleh pemerintah pada tahun 1882 itu
peradilan agama telah diterapkan secara riil. Dengan demikian
berdasarkan Pasal II Aturan Peralihan tersebut Lembaga Peradilan
Agama dapat terus hidup selama belum ada ketentuan baru
mengubahnya. Ternyata kemudian ada aturan-aturan baru yang
menguatkan eksistensinya. Pada tahun 1948 Peradilan Agama dijadikan
salah satu bagian Peradilan Umum, tetapi sebelum ketentuan tersebut
dapat berlaku sudah ada sebuah UU yang memberikan pengakuan bahwa
Peradilan Agama adalah lembaga yang mandiri yakni UU Darurat No. 1
Tahun 1951. di dalam Pasal 1 ayat (2) UU Darurat No, 1 Tahun 1951
diacantumkan penghapusan semua peradilan adat dan swapraja kecuali
Peradilan Agama jika merupakan bagian tersendiri dari Peradilan
Swapraja. Dengan demikian Peradilan agama terus berjalan dan
memperoleh legalitasnya. Selanjutnya setelah Dekrit Presiden 5 Juli 1959
pada tahun 1964 pemerintah mengundangkan UU No. 19 Tahun 1964
(tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman) yang secara
tegas menyebutkan adanya empat lingkungan peradilan di Indonesia yaitu
Peradilan Umum, Peradilan Agama, Peradilan Militer, dan Peradilan Tata
Usaha Negara. Kemudian pada zaman Orde Baru dikeluarkan lagi UU No.
14 Tahun 1970 (tentang Pokok-pokok Kekuasaan Kehakiman) yang di
dalam Pasal 10 tetap melembagakan empat lingkungan peradilan seperti
yang dianut di dalam UU No. 19 Tahun 1964.

Dasar Hukum dan Kedudukan

Dasar hukum peradilan agama dalam Undang Undang Dasar 1945


adalah diatur oleh Pasal 24 yang pada ayat (1) menjelaskan bahwa
kekuasaan kehakiman merupakan kekuasaan yang merdeka untuk
menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan.
Dalam ayat (2) dijabarkan bahwa kekuasaan kehakiman dilakukan oleh
sebuah Mahkamah Agung dan badan peradilan yang berada dibawahnya
dalam lingkungan peradilan umum, lingkungan peradilan agama,
lingkungan peradilan militer dan lingkungan peradilan tata usaha negara,
dan oleh sebuah Mahkamah Konstitusi. Kemudian Ayat (3) menegaskan
bahwa badan badan lain yang fungsinya berkaitan dengan kekuasaan
kehakiman diatur dalam undang undang. Undang Undang Nomor 7 Tahun
1989 tentang Peradilan Agama sebagaimana diubah terakhir kalinya
dengan Undang Undang Nomor 50 Tahun 2009, yang dalam Pasal 2
menegaskan bahwa peradilan agama merupakan salah satu pelaksana
kekuasaan kehakiman bagi rakyat pencari keadilan yang beragama Islam
mengenai perkara perdata tertentu yang diatur dalam undang undang.
Selanjutnya dalam 2 Pasal 2 ayat (1) menerangkan bahwa kekuasaan
kehakiman di lingkungan peradilan agama dilaksanakan oleh pengadilan
agama dan pengadilan tinggi agama. Adapun pengertian peradilan dan
pengadilan, menurut Hartono, 1977, hal. 95 : 1. Peradilan adalah tugas
atau fungsi menegakkan hukum dan keadilan yang dibebankan kepada
pengadilan. 2. Pengadilan adalah organisasi atau badan yang
menjalankan tugas dan fungsi peradilan tersebut.

Peradilan Agama merupakan suatu pranata sosial Hukum Islam di


Indonesia. Istilah peradilan, secara etimologi berasal dari kata adil
mendapatkan awalan per- dan akhiran -an, yang berarti sesuatu yang ada
hubungannya dengan masalah urusan tentang adil.16 Dalam bahasa
arabnya dikenal dengan istilah al qadla. Istilah ini secara etimologis dalam
Al Quran mempunyai bermacam arti. Bisa berarti mengakhiri atau
menyelesaikan, menunaikan dan bisa juga berarti memerintahkan. Secara
terminologis istilah peradilan ini oleh salah seorang ahli hukum islam
dimaksudkannya sebagai fashlun filkhusmati hasman littadai wa waqt’an
linnizaa’i bil ahkaamisy syar’iyyati almutalaqqati minal kitaabiwas sunnati.
Maksudnya adalah suatu urusan atau tugas untuk menyelesaikan
Tujuannya adalah untuk menciptakan suatu tata kehidupan dalam
masyarakat dan negara yang tertib dan teratur, setiap orang dapat
dilindungi dari setiap gangguan. Sebaliknya, setiap orang melaksanakan
kewajibannya sebagai mana mestinya. persengketaan guna
menghentikan gugat menggugat dan guna memotong pertengkaran
dengan hukum – hukum syara’ yang diambil dari Al - Quran dan As –
Sunnah. Pada hakikatnya tidak lain sebagai tugas penyelesaian
persengketaan – persengketaan hukum dan pelanggaran – pelanggaran
hukum dan undang – undang guna menegakkan hukum dalam mencapai
keadilan, kebenaran, ketertiban dan kepastian hukum.

Dalam kekuasaan kehakiman Indonesia, posisi badan Peradilan


Agama diera reformasi sudah sejajar dengan badan – badan peradilan
lainnya di bawah Mahkamah Agung. Hal ini terjadi ketika tahun 1999 lahir
Undang – Undang No 35 tentang perubahan atas Undang – Undang No.
14 Tahun 1970 tentang Pokok – Pokok Kekuasaan Kehakiman.21 Pada
era reformasi ini telah terjadi beberapa perubahan dan upaya untuk
melakukan dan penataan Peradilan Agama. Penyatuatapan peradilan
Agama ke bawah Mahkamah Agung. Gerakan reformasi, selain berhasil
merespon hal – hal terkait dengan persoalan politik, juga telah berhasil
merespon tuntutan atas pembenahan hukum dan lembaga peradilan.
Pentingnya pembenahan hukum dan peradilan, mengingat pada masa
Orde Baru banyak terjadi penyimpangan yang dilakukan oleh pemegang
kekuasaan dan aparatur hukum, sehingga akibatnya hukum tidak bisa
tegak karena peradilannya korup (judicial corruption). Karena itu,
setengah gerakan reformasi berhasil, isu seputar independensi kekuasaan
kehakiman menggema.22 Penerapan peradilan satu atap di Indonesia,
dimaksudkan untuk menjadikan sistem hukum sebagai subjek reformasi
(varibel independent). Hal ini didasarkan pada hipotesis bahwa hukum
sebagai sarana yang didayagunakan sebagai alat untuk mempercepat
evolusi.23 Upaya yang dilakukan dalam rangka reformasi di bidang hukum
dan peradilan adalah keluarnya Undang – Undang No. 35 Tahun 1999
yang merubah beberapa pasal Undang – Undang No. 14 Tahun 1970.
Perubahan tersebut terutama menyangkut pengawasan dan pembinaan
hakim yang diatur dalam Undang – Undang No. 14 Tahun 1970.24
Undang – Undang No. 14 Tahun 1970 menentukan bahwa badan-badan
peradilan yang ada di Indonesia, secara teknis peradilan di bawah
kekuasaan dan pengawasan serta pembinaan oleh Mahkamah Agung dan
secara oraganisatoris, administratif, dan finansial berada di bawah
Departemen masing – masing. Selanjutnya, dalam undang –
undangkhusus yang mengatur masing – masing lingkungan peradilan
ditegaskan Departemen masing-masing yang dimaksud Undang –
UndangNo. 14 Tahun 1970 ini. Peradilan Umum dan Peradilan Tata
Usaha Negara berada di bawah Departemen Kehakiman.

Peradilan Agama berada di bawah Departemen Agama dan


Peradilan militer berada di bawah Departemen Pertahanan dan
Keamanan. Ketentuan tersebut di atas dirubah oleh Undang – UndangNo.
35 Tahun 1999. Menurut Undang – Undangini seluruh urusan peradilan
(teknis peradilan, organisator, administratif dan finansial) semuanya
berada di bawah kekuasaan, pengawasan dan pembinaan Mahkamah
Agung. Dengan adanya ketentuan baru ini diharapkan hakim/lembaga
peradilan dapat melaksanakan tugasnya menegakkan hukum dan
keadilan lebih mandiri, bebas dari campur pihak – pihak di luar
pengadilan, terutama oleh pihak eksekutif. Dengan adanya pemindahan
kewenangan bidang, empat hal yang disebutkan di atas berdasarkan
Undang – UndangNo. 4 Tahun 2004, maka pembinaan bidang teknis
yustisial dan nonyustisial lembaga peradilan, telah berada satu atap di
bawah kekuasaan Mahkamah Agung. Pemindahan kewenangan dibidang
organisasi meliputi kedudukan, tugas, fungsi, kewenangan dan struktur
organisasi pada semua badan peradilan. Adapun yang dimaksud dengan
pemindahan kewenangan dibidang administrasi meliputi kepegawaian,
kekayaan Negara, keuangan, arsip, dan dokumen termasuk dari finansial
masing – masing instansi /departemen, beralih satu atap di bawah
kekuasaan Mahkamah Agung.

Peradilan Islam di Indonesia yang selanjutnya disebut sebagai


dengan Peradilan Agama telah ada diberbagai tempat di Nusantara, jauh
sejak jaman penjajahan Belanda. Bahkan, sudah ada sejak abad ke 16
(enam belas). Dalam sejarahnya tanggal 19 Januari 1882 ditetapkan
sebagai hari jadinya, yaitu bersamaan dengan diundangkannya
ordonantie Stbl. 1882-152 tentang Peradilan Agama di Pulau Jawa dan
Madura.Kekuasaan kehakiman dalam ruang lingkup Pengadilan Agama
berdasarkan Undang – Undang No. 50 Tahun 2009 dilaksanakan oleh
“Peradilan Agama / Mahkamah Syari’ah dan Peradilan Tinggi Agama /
Mahkamah Tinggi Syari’ah berpuncak di Mahkamah Agung yang
merupakan pengadilan negara tertinggi dari semua lingkungan peradilan
di Indonesia, sekaligus melakukan fungsi pengawasan atas perbuatan
pengadilan dalamlingkungan peradilan yang berada di bawahnya
berdasarkan undang – undang.29 Dalam hal ini suatu kekuasaan
kehakiman secara fungsi kelembagaan telah diatur sedemikian rupa agar
ada pembeda antara beracara pada tingkat I di Peradilan Agama, upaya
banding di Peradilan Tinggi Agama, dan upaya kasasi pada Mahkamah
Agung.

Adapun mengenai strata Peradilan Agama / Mahkamah Syari’ah


adalah terdiri dari :

a. Pengadilan Agama / Mahkamah Syari’ah sebagai pegadilan


tingkat pertama yang berkedudukan di kotamadya atau ibu kota
kabupatendengan wilayah hukum meliputi kotamadya dan
kabupaten.
b. Pengadilan Tinggi Agama / Mahkamah Tinggi Syari’ah sebagai
pengadilan tinggi tingkat banding yang berkedudukan di provinsi
dan daerah hukumnya meliputi wilayah provinsi.

Dalam suatu kelembagaan apapun tentunya ada kesatuan


organisasi yang berdiri terstruktur sebagai pemandu atau pelaksana atas
suatu kebijakan. Pengadilan Agama / Mahkamah Syariah memiliki bagian
– bagian pengurus dalam pelaksanaan tugas dan fungsi Peradilan Agama
yang telah ditetapkan di dalam undang – undang.

Adapun susunan organisasi Pengadilan Agama / Mahkamah


Syari’ah terdiri dari :
a. Pimpinan (terdiri dari ketua dan wakil ketua)
b. Hakim anggota
c. Panitera
d. Sekretaris dan
e. Juru Sita

Di dalam penjelasan Pasal 9,10, dan 11 Undang – UndangNo. 50 Tahun


2009 dijelaskan bahwa:

Pasal 9

1. Susunan Pengadilan Agama terdiri dari Pimpinan, Hakim Anggota,


Panitera, Sekretaris, dan Juru Sita.
2. Susunan Pengadilan Tinggi Agama terdiri dari Pimpinan, Hakim
Anggota, Panitera, dan Sekretaris.

Pasal 10

1. Pimpinan Pengadilan Agama terdiri dari seorang Ketua dan


seorang Wakil Ketua.
2. Pimpinan Pengadilan Tinggi Agama terdiri dari seorang Ketua dan
seorang Wakil Ketua.
3. Hakim Anggota Pengadilan Tinggi Agama adalah Hakim Tinggi

Pasal 11

1. Hakim adalah pejabat yang melaksanakan tugas kekuasaan


kehakiman.
2. Syarat dan tata cara pengangkatan, pemberhentian serta
pelaksanaan tugas Hakim ditetapkan dalam Undang-undang ini.

Pada kantor Pengadilan Agama / Mahkamah Syari’ah terdapat pejabat


yang melayani penyelesaian perkara dan pejabat yang mengurusi
kesekretariatan. Pejabat tersebut adalah sebagai berikut :

a. Ketua adalah pejabat negara yang diangkat dan diberhentikan oleh


Ketua Mahkamah Agung.
b. Wakil Ketua adalah pejabat negara yang diangkat dan
diberhentikan oleh Ketua Mahkamah Agung.
c. Hakim adalah pejabat negara yang melaksanakan tugas
kekuasaan kehakiman. (Pasal 11 Undang - UndangNo. 50 Tahun
2009)
d. Hakim Pengadilan Agama diangkat dan diberhentikan oleh
Presiden atas usul Ketua Mahkamah Agung. (Pasal 15 Undang –
Undang No. 50 Tahun 2009)
e. Panitera adalah seorang pejabat pengadilan yang memimpin
kepaniteraan. Dalam melaksanakan tugasnya, panitera dibantu
oleh seorang wakil panitera, beberapa panitera muda, beberapa
panitera pengganti pengadilan dan diangkat serta diberhentikan
dari jabatannya oleh Mahkamah Agung.
f. Sekretaris adalah seorang pejabat Pengadilan yang memimpin
kesekretariatan. Dalam melaksanakan tugasnya,sekretaris dibantu
oleh seorang wakil sekretaris yang membawahi kepegawaiaan,
umum, dan keuangan. Sampai saat ini, jabatan panitera dan
sekretaris masih dijabat oleh satu orang pejabat.
g. Juru sita adalah setiap Pengadilan telahh\ ditetapkan adanya juru
sita dan juru sita pengganti, yaitu pejabat yang melaksanakan
tugas – tugas kejurusitaan. Juru sita Pengadilan Agama diangkat
dan diberhentikan oleh Mahkamah Agung atas usul Ketua
Pengadilan Agama yang bersangkutan. Juru sita pengganti
diangkat dan diberhentikan oleh Ketua Pengadilan Agama yang
bersangkutan.

Tugas Pokok Dan Fungsi (Tupoksi)

Tugas pokok Pengadilan Agama adalah menerima, memeriksa,


memutus dan menyelesaikan setiap perkara yang diajukan kepadanya
antara orang-orang yang beragama Islam sesuai dengan ketentuan pasal
49 Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2006. Untuk melaksanakan tugas
pokok dimaksud, Pengadilan Agama mempunyai fungsi antara lain;
1. Fungsi Menyelidiki, yakni memeriksa dan mengadili perkara-perkara
yang menjadi kewenangan Pengadilan Agama (vide pasal 49
UndangUndang Nomor 3 Tahun 2006),

2. Fungsi Pembinaan, yakni memberikan pengarahan, bimbingan dan


petunjuk kepada segenap jajarannya baik menyangkut tekhnis yustisial
administrasi peradilan, maupun administrasi umum, keuangan,
kepegawaian dan pembangunan (vide pasal 53 ayat (3) Undang-Undang
Nomor 7 Tahun 1989 jo KMA Nomor 303 Tahun 1990),

3. Fungsi Pengawasan, yakni mengadakan pengawasan atas


pelaksanaan tugas dan tingkah laku hakim, panitera, sekretaris, Panitera
Pengganti dan Jurusita Pengganti (vide pasal 53 ayat (1) dan (2) Undang-
Undang Nomor 7 Tahun 1989),

4. Fungsi Nasehat, yakni memberikan pertimbangan-pertimbangan dan


nasehat tentang hukum Islam kepada instansi pemerintah di daerah
hukumnya apabila diminta (vide pasal 52 ayat (1) Undang-Undang Nomor
7 Tahun 1989),

5. Fungsi Administratif, yakni menyelenggarakan administrasi umum,


keuangan, kepegawaian, dan lainnya untuk mendukung pelaksanaan
Tugas Pokok Tekhnis Peradilan dan Administrasi Peradilan (vide KMA
Nomor 303 Tahun 1990).

Hakim dalam jabatannya tentunya memiliki suatu tugas dan fungsi jabatan
dalam ruang lingkup pengadilan. Secara eksplisit hakim memiliki tugas
mulia yakni menjaga dan mempertahankan tatanan hukum yang telah
ada. Hakim Pengadilan Agama demikian memiliki tanggungjawab
menjaga, mempertahankan, dan menjunjung tinggi tatanan hukum –
hukum Islam yang telah diatur dalam undang – undang tertentu. Pada
Pasal 28 Undang – Undang No. 4 Tahun 2004 tentang kekuasaan
kehakiman dijelaskan bahwa :

1. Hakim wajib menggali. Mengikuti, dan memahami nilai – nilai


hukum dan rasa keadilan dalam masyarakat.
2. Dalam mempertimbangkan berat ringannya pidana,hakim wajib
mempertahankan pula sifat yang baik dan jahat dari terdakwa.46
Dengan demikian dalam tugas pokoknya hakim wajib untuk
menerima, memeriksa, dan mengadili serta menyelesaikan seluruh
perkara yang diajukan melalui lembaga Peradilan. Dari perkara –
perkara yang masuk pada Peradilan Agama khususnya, tentunya
banyak hal – hal baru yang tidak diatur dalam perundang –
undangan. Dalam hal demikian tentunya akan terjadi kekosongan
hukum atas suatu perkara baru. Tidak dapat dipungkiri dengan
berkembangnya era tentunya problematika hukum akan semakin
dinamis. Sehingga dalam hal ini sifat aktif dari hakim harus
terwujud agar tidak terjadi kekosongan hukum tersebut. Pada Pasal
16 ayat (1) dan ayat (2) Undang – Undang No. 4 Tahun 2006
tentang Kekuasaan Kehakiman di jelaskan :
1. Pengadilan tidak boleh menolak untuk memeriksa, mengadili,
dan memutus suatu perkara yang diajukan dengan dalih bahwa
hukum tidak ada atau kurang jelas, melainkan wajib untuk
memeriksa dan mengadilinya.
2. Ketentuan sebagaimana dimaksud ayat (1) tidak menutup
usaha penyelesaian perkara perdata secara perdamaian.

Kekuasaan kehakiman dalam hak ini diatur dalam Undang – Undang No.
48 Tahun 2009 Tentang Kekuasan Kehakiman, Undang – Undang No. 8
Tahun 2004 Tentang Peradilan Umum dan Undang – Undang No. 5
Tahun 2004 Tentang Mahkamah Agung. Dalam hal ini suatu bentuk
kekuasan hakim dalam peradilan yaitu :

a. Bebas dari campur tangan pihak – pihak di luar kekuasaan


kehakiman Kekuasaan kehakiman merupakan kekuasaan yang
independent berdiri sendiri dan terbebas dari kekuasaan
kehakiman untuk menyelenggarakn peradilan demi
terselenggaranya negara hukum. Hal ini diatur dalam Pasal 3 ayat
(2) Undang – Undang No. 48 Tahun 2009 dan Pasal 11 ayat (1)
TAP VI/MPR/1973. Kebebasan dalam melaksanakan kewenangan
judicial menurut Undang – Undang No. 48 Tahun 2009 itupun tidak
bersifat mutlak karena tugas hakim adalah untuk menegakkan
hukum dan keadilan berdasarkan Pancasila dengan jalan
menafsirkan hukum dan mencari apa yang menjadi dasar hukum
seta asas – asas yang jadi landasannya, melalui perkara – perkara
yang dihadapkan kepadanya, sehingga keputusan mencerminkan
perasaan keadilan bangsa dan rakyat Indonesia.
b. Sebagai badan peradilan negara Pasal 3 Undang – Undang No. 4
Tahun 2004 menyebutkan : “Penyelenggaraan kekuasaan
kehakiman diserahkan kepada badan – badan peradilan negara
yang telah ditetapkan dalam undang – undang.”48Ada penegasan
bahwa tidak diperkenankan lagi adanya peradilan – peradilan yang
dilakukan oleh bukan badan peradilan negara seperti peradilan
swapraja dan adat.
c. Menganut asas objektivitas Dalam hal mengambil keputusan
seorang hakim harus objektif dengan tidak ada unsur keterpihakan.
Hal ini telah diatur dalam Pasal 5 ayat (1) Undang – Undang No.4
Tahun 2004. Untuk menjamin asas ini bagi pihak yang diadili dapat
mengajukan keberatan yang disertai dengan alasan – alasan
terhadap hakim yang akan mengadili perkaranya, yang disebut hak
ingkar.
d. Lingkungan Peradilan Pada umumnya peradilan dibagi menjadi
peradilan umum dan khusus. Peradilan umum adalah peradilan
bagi rakyat pada umumnya, baik yang menyangkut perkara perdata
maupun pidana, sedangkan peradilan khusus mengadili perkara
atau golongan rakyat tertentu. Pasal 10 Undang – Undang No. 4
Tahun 2004 menentukan bahwa kekuasaan kehakiman dilakukan
dalam lingkup peradilan umum dan peradilan khusus yang terdiri
dari lingkungan peradilan agama, militer, dan tata usaha negara,
dan tidak menutup kemungkinan adanya spesialisasi dalam masing
– masing lingkungan peradilan.49
e. Asas Ius Curia Novit Maksudnya ialah hakim dianggap secara
mutlak tahu hukum, sebab seorang hakim adalah sarjana hukum
dan secara khusus dididik dalam bidang tersebut, sehingga
diharapkan untuk dapat menangani dan menyelesaikan menurut
hukum terhadap perkara yang dipersidangkan dimuka pengadilan.
f. Asas integritas hakim Hakim harus memiliki integritas dan
kepribadian yang tidak tercela, jujur, adil, profesional, dan
berpengalaman dibidang hukum. Hal ini dicantumkan dalam Pasal
5 ayat (2) Undang – Undang No. 48 Tahun 2009 tentang
Kekuasaan Kehakiman.
g. Pengawasan internal dan eksternal Pengawasan internal dan
eksternal diatur dalam Pasal 39 ayat (1) dan Pasal 40 Undang –
Undang No. 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman dalam
rangka menjaga kehormatan, keluhuran martabat serta perilaku
hakim pada semua badan peradilan yang berada di bawah
Mahkamah Agung. Sementara pengawasan eksternal terhadap
hakim agung dilakukan oleh Komisi Yudisial yang diatur dalam
undang – undang.
h. Asas Local Wisdom Hakim wajib menggali, mengikuti, dan
memahami nilai – nilai hukum dan rasa keadilan yang hidup dalam
masyarakat.
i. Asas Afemo Yudex Indoneus in Propia Causa (Pengunduran diri
bagi hakim dalam persidangan) Disebut sebagai asas Afemo
Yudex Indoneus in Propia Causa adalah seorang hakim wajib
mengundurkan diri dari persidangan apabila terikat hubungan
keluarga sedarah atau semenda sampai derajat ketiga, atau
hubungan suami atau isteri, meskipun telah bercerai dengan ketua,
salah seorang hakim anggota dengan pihak yang diadili atau
advokat. Dalam hal ini diatur dalam Pasal 5 ayat (1) Undang –
Undang No. 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman, Pasal
17 ayat (3) dan (4) Undang – Undang No. 48 Tahun 2009 tentang
Kekuasaan Kehakiman jo. Pasal 374 ayat (1) HIR jo. Pasal 702
ayat (2) RBG.50

Tugas dalam Struktur Peradilan Agama

Ketua

Ketua Pengadilan Agama yang memiliki uraian tugas sebagai berikut ;

a. Memimpin dan bertanggung jawab atas terselenggaranya tugas


peradilan secara baik dan benar;
b. Menetapkan dan menentukan susunan Majelis Hakim dalam waktu
waktu tertentu;
c. Membuat court callender dan mengawasi serta meneliti
pelaksanaannya;
d. Menetapkan panjar biaya perkara, biaya jurusita dan biaya
eksekusi;
e. Menerima dan meneliti berkas perkara sebelum diserahkan kepada
Majelis Hakim dan mencatat dalam buku perkara;
f. Membagi perkara gugatan/permohonan kepada Majelis Hakim
untuk disidangkan;
g. Menunjuk Hakim untuk membuat / mencatat dan menandatangani
gugatan dan permohonan yang masuk di Pengadilan Agama;
h. Membuat dan menandatangani Penetapan Majelis Hakim (PMH);
i. Membuat dan menandatangani PHS dalam melaksanakan
persidangan sebagai Ketua Majelis;
j. Memerintahkan dan memimpin serta mengawasi pelaksanaan
eksekusi putusan sesuai dengan ketentuan yang berlaku;
k. Menyiapkan buku catatan khusus Majelis-majelis yang menyatakan
berbeda pendapat dengan Ketua Majelis, dengan Anggota-anggota
Majelis atau dengan sesama Anggota Majelis dalam memutus
perkara serta merahasiakannya;
l. Melaksanakan pengawasan secara menyeluruh dan memberikan
petunjuk, teguran, peringatan dan sanksi atas pelaksanaan tugas
dan tingkah laku Hakim, Panitera, Panitera Pengganti, Jurusita dan
Jurusita Pengganti, serta seluruh pegawai;
m. Meneliti kebenaran laporan Bulanan, Triwulan, Semester dan
Tahunan serta menandatanganinya;
n. Mengevaluasi laporan kegiatan Hakim, Panitera dan Panitera
Pengganti dalam menangani perkara, selanjutnya mengirimkan
laporan dan hasil evaluasi tersebut ke Pengadilan Tinggi Agama
Palembang;
o. Melakukan eksaminasi terhadap berkas perkara yang telah
berkekuatan hukum tetap dari Majelis Hakim dan melaporkannya
kepada Ketua Pengadilan Tinggi Agama minimal 2 (dua) kali dalam
satu tahun;
p. Membuat dan menandatangani DP.3 Wakil Ketua, Hakim dan
Panitera/Sekretaris pada akhir tahun;
q. Mendelegasikan sebagian tugas kepada Wakil Ketua;
r. Melaksanakan tugas-tugas lainnya yang berhubungan dengan
tugas dan tanggung jawab peradilan secara umum baik yang
bersifat internal maupun eksternal;

Wakil Ketua

Wakil Ketua Wakil Ketua Pengadilan Agama yang memiliki uraian tugas
sebagai berikut;

a. Bersama Ketua turut bertanggung jawab atas terselenggaranya


tugas peradilan secara baik dan benar;
b. Melaksanakan tugas yang didelegasikan oleh Ketua;
c. Melaksanakan tugas Ketua apabila Ketua berhalangan;
d. Melaksanakan pengawasan intern untuk mengawasi pelaksanaan
tugas-tugas adan program kerja serta melaporkannya kepada
Ketua;
e. Menerima dan meneliti berkas perkara yang diterima dan
mencatatnya dalam buku penerimaan perkara;
f. Membuat dan menandatangani Penetapan Hari Sidang (PHS);
g. Menyidangkan perkara yang diserahkan kepadanya sebagai Ketua
Majelis;
h. Mengonsep putusan/penetapan dan memarapnya serta wajib
menandatangani asli putusan/penetapan;
i. Bertanggung jawab atas perkara yang diserahkan kepadanya dan
memonitoring perkara tersebut baik proses dan penyelesaiannya
maupun minutasi perkara Majelis;
j. Melaporkan perkara yang diterima dan diputus setiap akhir bulan
kepada Ketua dalam bentuk Laporan Kegiatan Hakim (LKH);
k. Menerima dan mencatat gugatan/permohonan lisan yang ditunjuk
oleh Ketua;
l. Bertanggung jawab atas kebenaran berita acara sidang dan
menandatangani berita acara sidang sebelum sidang berikutnya;
m. Melaksanakan tugas-tugas lain yang diperintahkan oleh Ketua;

Tugas dan Fungsi Pengadilan di Lingkungan Badan Peradilan Agama

Tugas dan fungsi Pengadilan pada Badan Peradilan Agama, yakni


Pengadilan Agama dan Pengadilan Tinggi Agama, dapat dibagi menjadi
dua macam, yakni:

a. Tugas yustisial yang merupakan tugas pokok


b. Tugas non yustisial yang merupakan tugas tambahan, tetapi tidak
mengurangi nilai penting dalam kehidupan bermasyarakat dan
bernegara.

Tugas Yustisial Inti dari tugas jenis ini adalah menegakkan hukum dan
keadilan. Realisasi pelaksanaan tugasnya dalam bentuk mengadili
apabila terjadi sengketa, pelanggaran hukum atau perbedaan
kepentingan antara sesama warga masyarakat (perseroangan atau
badan hukum). Rumusan jelasnya diatur oleh peraturan perundang –
undangan sebagai berikut Pasal 1 dan 2 ayat (1) Undang – Undang
No.14 Tahun 1970 yang telah di tambah dan diubah dengan Undang –
Undang No. 35 Tahun 1999. Dalam ketentuan lain, yakni pasal 49 ayat
(1) Undang – Undang No.3 Tahun 2006 perubahan atas pasal 49 ayat
(1) Undang – Undang No.7 Tahun 1989 tentang peradilan Agama
merumuskan bahwa: “Pengadilan Agama bertugas dan berwenang
memeriksa dan memutus, dan menyelesaikan perkara-perkara
ditingkat pertama antara orang-orang yang beragama islam di bidang:

1. Perkawinan
2. Warta
3. Wasiat
4. Hibah
5. Wakaf
6. Zakat
7. Infaq
8. Shadaqah
9. Ekonomi syariah

Untuk Pengadilan Tinggi Agama, selain bertugas seperti halnya tugas


Pengadilan Agama Tinggi Banding, seperti ketentuan Pasal 51 ayat (1)
undang-undang tersebut, juga oleh pasal (2) nya diberi tugas untuk 26
mengadili ditingkat pertama dan terakhir sengketa kewenangan
Pengadilan Agama di daerah hukumnya. 2. Tugas Non Yustisial Tugas
seperti ini hanya dapat dilakukan atas dasar ketentuan undang –
undang.

Tugas non-yustisial yang diberikan oleh peraturan perundang –


undangan kepada pengadilan di lingkungan badan Peradilan Agama di
atur dalam pasal 25 Undang – Undang No. 14 Tahun 1970,yang telah
ditambah dan diubah dengan Undang – UndangNo. 35 Tahun 1999,
bunyinya: Semua pengadilan dapat memberi keterangan pertimbangan
dan nasehatnasehat tentang soal-soal hukum kepada lembaga negara
lainnya apabila diminta. Lembaga negara yang dimaksud termasuk
lembaga kenegaraan lain (selain lembaga kekuasaan kehakiman)
dipusat maupun didaerah. Ketentuan senada tertuang dalam pasal 52
ayat 1 Undang – UndangNo. 7 tahun 1989, yang berbunyi : Pengadilan
dapat memberikan keterangan, pertimbangan dan nasehat tentang
Hukum Islam kepada instansi pemerintah di daerah hukumnya, apabila
diminta.34 . Contoh dari tugas non-yustisial Pengadilan Agama yang
rutin dilakukan adalah pemberian pelayanan rohaniawan, pendamping
sumpah pegawai negeri sipil atau pejabat pada suatu instansi yang
membutuhkan

Asas-Asas Peradilan

Pengadilan Agama dan Pengadilan Tinggi Agama dalam melaksanakan


tugas – tugas peradilannya berpijak pada berbagai asas yang dimilikinya,
yaitu:

a. Asas Personalitas Ke-Islaman Pengadilan dilingkungan Badan


Peradilan Agama, hanya untuk melayani penyelesaian perkara
dibidang tertentu. Sebagaimana yang telah tercantum dalam
Pasal 2 dan Pasal 49 ayat 1 Undang – UndangNo.3 Tahun 2006
atas perubahan Undang – UndangNo.7 Tahun 1989 bunyinya:
Pasal 2: “Peradilan Agama merupakan salah satu pelaksana
kekuasan kehakiman bagi rakyat pencari keadilan yang beragama
Islam mengenai perkara perdata tertentu dalam undang-undang
ini.”
Pasal 49: “Pengadilan Agama bertugas dan berwenang memeriksa,
memutus dan menyelesaikan perkara-perkara ditingkat pertama
antara orangorang yang beragama islam di bidang:
1. Perkawinan
2. Warta
3. Wasiat
4. Hibah
5. Wakaf
6. Zakat
7. Infaq
8. Shadaqah
9. Ekonomi syariah #
Dalam kedua ketentuan di atas, nyata dan jelas sekali tentang ke
Islaman seseorang yang menjadi dasar kewenangan pengadilan di
lingkungan badan Peradilan Agama. Meskipun demikian, untuk
penentuan asas ini yang berakibat menjadi kewenangan mutlak
dari pengadilan di lingkungan Badan Peradilan Agama adalah:37 1.
Agama yang dianut oleh kedua belah pihak saat terjadinya
hubungan hukum adalah agama Islam 2. Hubungan ikatan yang
mereka lakukan berdasarkan Hukum Islam. Pada Undang –
Undang No. 50 Tahun 2009 dijelaskan juga tentang asas
personalitas keIslaman sebagai berikut :

1. Para pihak yang bersengketa harus sama – sama beragama


Islam.
2. Perkara Perdata yang dipersengketakan mengenai perkawinan,
waris, wasiat, hibah, wakaf, zakat, infaq, sedekah, dan ekonomi
syari’ah.
3. Hubungan hukum yang melandasi berdasarkan pada Hukum
Islam, oleh karena itu acara penyelesaiannya menggunakan
Hukum Islam.
b. Asas Kebebasan Asas ini dimiliki oleh setiap badan peradilan tidak
terkecuali Badan Peradilan Agama. Kebebasan disini maksudnya
tidak boleh ada pihak lain yang ikut campur tangan dalam
penanganan suatu perkara oleh pengadilan atau majelis hakim.
Namun kebebasannya bukan kebebasan tanpa batas, tetapi
kebebasan yang bersumber dari peraturan perundang – undangan.
c. Asas Tidak Boleh Menolak Perkara Dengan Alasan Hukum Tidak
Jelas Asas ini diatur dalam Pasal 14 ayat (1) Undang – Undang
No.14 Tahun 1970, bunyinya: Pengadilan tidak boleh menolak
untuk memeriksa dan mengadili sesuatu perkara yang di ajukan
dengan dalih bahwa hukum tidak atau kurang jelas, melainkan
wajib untuk memeriksa dan mengadilinya. Penerapan asas ini,
karena hakim sebagai organ pengadilan dianggap memahami
hukum. 38 Pencari keadilan dan yang datang kepadanya untuk
memohon keadilan.
d. Asas Wajib Mendamaikan Hukum Islam mementingkan
penyelesaian perselihan dengan cara perdamaian sebelum dengan
putusan pengadian, karena putusan pengadilan dapat
menimbulkan dendam yang mendalam bagi pihak yang dikalahkan.
Maka, hakim wajib mendamaikan sebelum di periksa.Upaya
perdamaian dalam sidang Pengadilan Agama bersifat imperatif
khususnya dalam perkara perceraian akibat syiqaq(selisih rumah
tangga). Sebab dalam perkara ini, usaha mendamaikan merupakan
beban yang diwajibkan oleh hukum kepada hakim dalam setiap
persengketaan perceraian, namunselama perkara belum diputus
usaha mendamaikan dapat dilakukan pada setiap sidang
pemeriksaan.39 Asas wajib mendamaikan yang dianut oleh
pengadilan badan Peradilan agama, tercantum dalam berbagai
peraturan perundangundangan, yaitu: 1. Pasal 39 Undang –
UndangNo.1 Tahun 1974 tentang perkawinan 2. Pasal 82 ayat (4)
Undang – UndangNo. 7 Tahun 1989 Dalam hal usaha perdamaian
berhasil, dibuatlah akta perdamaian, dan kedua belah pihak hukum
untuk mentaati perdamaian tersebut. Kekuatannya sama dengan
putusan, mengikat, dan dapat dieksekusi.
e. Asas Sederhana, Cepat dan Biaya Ringan Asas ini diatur oleh
Pasal 4 ayat (2) Undang – Undang No. 14 tahun 1970 yang telah
ditambah dan di ubah dengan Undang – Undang No. 35 tahun
1999, bunyinya : Peradilan dilakukan dengan sederhana, cepat dan
biaya ringan Ketentuan ini juga terdapat dalam Pasal 53 ayat (3)
Undang – Undang No. 7 Tahun 1989. Bagi mereka yang tidak
mampu membayar biaya perkara dapat mengajukan perkaranya
secara cuma – cuma (prodeo) dengan mendapatkan izin untuk
dibebaskan pembayaran biaya, dengan mengajukan surat
keterangan tidak mampu yang dibuat oleh kepala polisi.40
f. Asas Mengadili Menurut Hukum dan Persamaan Hak Pasal 5 ayat
(1) Undang – UndangNo. 14 Tahun 1970 yang telah ditambah dan
diubah oleh Undang – UndangNo. 35 Tahun 1999 dan Pasal 85
ayat (1) Undang – UndangNo. 7 Tahun 1989, merumuskan
pengadilan mengadili menurut hukum dengan tidak membeda –
bedakan orang. Asas ini disebut juga asas legalitas dan equality.
Asas legalitas artinya pengadilan mengadili menurut hukum. Ini
berarti hakim sebagai organ pengadilan dalam memeriksa dan
memutuskan perkara tidak boleh bertindak diluar hukum, dan
semua tindakannya yang dilakukan dalam rangka menjalankan
fungsi dan tugas peradilan mesti menurut hukum, sedangkan
equality berarti asas persamaan hak.
g. Asas Persidangan Terbuka Untuk Umum Asas ini di atur oleh Pasal
17 Undang – UndangNo. 14 Tahun 1970 yang telah ditambah dan
diubah dengan Undang – UndangNo. 53 Tahun 1999 dan pasal 59
Undang – UndangNo. 7 Tahun 1989. Oleh ketentuan tersebut
digariskan bahwa setiap persidangan harus dalam keadaan terbuka
untuk umum, kecuali apabila undang – undang menentukan lain
seperti dalam pemeriksaaan perkara perceraian. Tujuan dari asas
ini adalah untuk menghindari terjadinya penyimpangan proses
pemeriksaan, seperti bersikap berat sebelah, hakim bertindak
sewenang – wenang.
h. Asas Aktif Memberi Bantuan Pengadilan harus aktif kepada para
pencari keadilan dan berusaha secara sungguh – sungguh dan
sekeras – kerasnya mengatasi segala hambatan dan rintangan
agar tercapainya peradilan yang sederhana, cepat dan biaya
ringan. Hal ini diatur dalam Pasal 5 ayat (2)Undang – UndangNo.
14 Tahun 1970 yang telah ditambah dan di ubah dengan Undang –
Undang No. 35 Tahun 1999 dan Pasal 58 ayat (2) Undang –
Undang No. 7 Tahun 1989. i. Asas Peradilan Dilakukan Dengan
Cara Hakim Majelis Dalam proses pemeriksaan perkara harus
dilakukan oleh majelis hakim, dan majelis hakim sekurang –
kurangnya terdiri dari tiga orang. Apabila dalam keadaan mendesak
dapat dilakukan pemeriksaan oleh hakim tunggal, tetapi
mendapatkan izin dari Mahkamah Agung. Asas ini tercantum dalam
Pasal 15 ayat (1) sampai dengan ayat(3)Undang – UndangNo. 14
Tahun 1970 yang telah ditambah dan diubah dengan Undang –
UndangNo. 35 Tahun 1999 dan Pasal 62 ayat (2)Undang –
UndangNo. 7 Tahun 1989. Tujuan dari asas ini adalah untuk
menjamin pemeriksaan yang subjektif – obyektifnya, guna memberi
perlindungan hak – hak asasi manusia dalam bidang peradilan

Hakim-hakim

Dalam hal ini Ketua Pengadilan Agama untuk masing-masing hakim


pengawas bidang dengan sebagai Koordinator adalah Wakil Ketua dan
dibantu beberapa orang Hakim Pengawas Bidang dengan masingmasing
uraian tugas sebagai berikut;

a. Hakim Pengawas Bidang Administrasi Umum;


Hakim Pengawas Bidang Administrasi Umum Pengadilan Agama
yang memiliki uraian tugas sebagai berikut;
 Menerima dan meneliti berkas perkara yang diserahkan oleh
Ketua untuk disidangkan dan mencatatnya dalam buku
penerimaan perkara;
 Membuat dan menandatangani Penetapan Hari Sidang
(PHS);
 Mengikuti sidang-sidang baik sebagai Ketua Majelis maupun
sebagai Hakim Anggota;
 Sebagai Ketua Majelis bertanggung jawab atas kebenaran
berita acara sidang dan menandatanganinya sebelum
sidang berikutnya;
 Mengonsep putusan/penetapan dan memarapnya serta
wajib menandatangani asli putusan/penetapan yang
diucapkan dalam persidangan;
 Memonitoring perkara-perkara yang menjadi wewenangnya
baik dalam proses maupun penyelesaiaannya sampai
minutasi;
 Melaporkan perkara yang diterima dan diputus setiap akhir
bulan kepada Ketua dalam bentuk Laporan Kegiatan Hakim
(LKH);
 Menerima dan mencatat gugatan/permohonan lisan yang
ditunjuk oleh Ketua;
 Melakukan pengawasan yang ditugaskan Ketua dalam
bidang kepegawaian, keuangan, umum, perpustakaan, tertib
persuratan dan perkantoran;
 Membantu Ketua menyusun program kerja jangka pendek
dan jangka panjang;
 Maleksanakan tugas-tugas lain yang diperintahkan oleh
Ketua/Pimpinan;
b. Hakim Pengawas Bidang Administrasi Perkara;
Hakim Pengawas Bidang Administrasi Persidangan Pengadilan
Agama yang memiliki uraian tugas sebagai berikut;
 Mempelajari berkas perkara yang akan disidangkan;
 Membuat dan menandatangani Penetapan Hari Sidang
(PHS);
 Mengikuti sidang baik sebagai Ketua Majelis/Hakim
Anggota;
 Sebagai Ketua Majelis bertanggung jawab atas kebenaran
berita acara sidang dan menandatanganinya sebelum
sidang berikutnya;
 Mengonsep putusan/penetapan dan memarapnya serta
wajib menandatangani asli putusan/penetapan yang
diucapkan dalam persidangan;
 Membantu Ketua Majelis untuk memonitoring
perkaraperkara yang ikut disidangkan baik dalam proses
maupun penyelesaian sampai minutasi;
 Mengajukan atau mengemukakan pendapat dalam
musyawarah Majelis Hakim;
 Menerima dan mencatat gugatan/permohonan lisan yang
ditunjuk oleh Ketua;
 Melakukan pengawasan yang ditugaskan Ketua dalam
proses penerimaan perkara, proses penerimaan
permohanan banding, prosedur penerimaan permohonan
kasasi, prosedur penerimaan permohonan peninjauan
kembali, keuangan perkara serta pemberkasan perkara dan
kearsipan laporan;
 Membantu Ketua menyusun program kerja jangka pendek
dan jangka panjang;
 Malaksanakan tugas-tugas lain yang diperintahkan oleh
Ketua/Pimpinan.
c. Hakim Pengawas Bidang Administrasi Persidangan;
Hakim Pengawas Bidang Administrasi Persidangan dan
Pelaksanaan Putusan Pengadilan Agama yang memiliki uraian
tugas sebagai berikut;
 Menerima dan meneliti berkas perkara yang diserahkan oleh
Ketua Majelis untuk disidangkan dan mencatatnya dalam
buku penerimaan perkara;
 Membuat dan menandatangani Penetapan Hari Sidang
(PHS);
 Mengikuti sidang-sidang baik sebagai Ketua Majelis maupun
sebagai Hakim Anggota;
 Mengonsep putusan/penetapan dan memarapnya serta
wajib menandatangani asli putusan/penetapan yang
diucapkan dalam persidangan;
 Memonitoring perkara-perkara yang menjadi wewenangnya
baik dalam proses maupun penyelesaiaannya sampai
minutasi;
 Melaporkan perkara yang diterima dan diputus setiap akhir
bulan kepada Ketua dalam bentuk Laporan Kegiatan Hakim
(LKH);
 Menerima, mencatat dan menandatangani
gugatan/permohonan lisan yang ditunjuk oleh Ketua;
 Melakukan pengawasan yang ditugaskan Ketua dalam
sistem pembagian perkara dan Panitera Majelis Hakim,
ketepatan waktu pemeriksaaan dan penyelesaian perkara,
minutasi perkara serta pelaksaan putusan (eksekusi);
 Membantu Ketua menyusun program kerja jangka pendek
dan jangka panjang;
 Melaksanakan tugas-tugas lain yang diperintahkan oleh
Ketua/Pimpinan.
d. Hakim Pengawas Bidang Manajemen Peradilan;
Hakim Pengawas Bidang Administrasi Penyelesaian Perkara
Pengadilan Agama yang memiliki uraian tugas sebagai berikut;
 Menerima dan meneliti berkas perkara yang diserahkan oleh
Ketua untuk disidangkan dan mencatatnya dalam buku
penerimaan perkara;
 Membuat dan menandatangani Penetapan Hari Sidang
(PHS);
 Mengikuti sidang-sidang sebagai Hakim Anggota;
 Mengonsep putusan/penetapan dan memarapnya serta
wajib menandatangani asli putusan/penetapan yang
diucapkan dalam persidangan;
 Memonitoring perkara-perkara yang menjadi wewenangnya
baik dalam proses maupun penyelesaiaannya sampai
minutasi;
 Melaporkan perkara yang diterima dan diputus setiap akhir
bulan kepada Ketua dalam bentuk Laporan Kegiatan Hakim
(LKH);
 Menerima, mencatat dan menandatangani
gugatan/permohonan lisan yang ditunjuk oleh Ketua;
 Melakukan pengawasan yang ditugaskan Ketua dalam
bidang program kerja, pelaksanaan/pencapaian target,
pengawasan dan pembinaan, faktor-faktor yang mendukung,
kendala dan hambatan serta evaluasi kegiatan;
 Membantu Ketua menyusun program kerja jangka pendek
dan jangka panjang;
 Maleksanakan tugas-tugas lain yang diperintahkan oleh
Ketua/Pimpinan.
e. Hakim Pengawas Bidang Kinerja Pelayanan Publik;
Hakim Pengawas Bidang Manajemen Persidangan dan Putusan
Pengadilan Agama yang memiliki uraian tugas sebagai berikut;
 Menerima dan meneliti berkas perkara yang diserahkan oleh
Ketua untuk disidangkan dan mencatatnya dalam buku
penerimaan perkara;
 Membuat dan menandatangani Penetapan Hari Sidang
(PHS);
 Mengikuti sidang-sidang sebagai Hakim Anggota;
 Mengonsep putusan/penetapan dan memarapnya serta
wajib menandatangani asli putusan/penetapan yang
diucapkan dalam persidangan;
 Memonitoring perkara-perkara yang menjadi wewenangnya
baik dalam proses maupun penyelesaiaannya sampai
minutasi;
 Melaporkan perkara yang diterima dan diputus setiap akhir
bulan kepada Ketua dalam bentuk Laporan Kegiatan Hakim
(LKH);
 Menerima, mencatat dan menandatangani
gugatan/permohonan lisan yang ditunjuk oleh Ketua;
 Melakukan pengawasan yang ditugaskan Ketua dalam
bidang pengelolaan manajemen, mekanisme pengawasan,
kepemimpinan, pembinaan dan pengembangan sumber
daya manusia, pemeliharaan dan perawatan inventaris,
tingkat ketertiban, kedisiplinan, ketaatan, kebersihan dan
kerapian, kecepatan dan keaktifan penanganan perkara
serta tingkat pengaduan masyarakat;
 Membantu Ketua menyusun program kerja jangka pendek
dan jangka panjang; 27
 Melaksanakan tugas-tugas lain yang diperintahkan oleh
Ketua/Pimpinan.

Kepaniteraan

a. Panitera

Panitera Pengadilan Agama yang memiliki uraian tugas sebagai berikut;

1. Bertanggung jawab atas kelancaran dan ketertiban administrasi


Kepaniteraan Pengadilan Agama;
2. Membantu Majelis Hakim dengan mengikuti dan mencatat
jalannya persidangan serta merumuskannya dalam berita acara
sidang;
3. Melaksanakan eksekusi putusan atas perintah Ketua
Pengadilan Agama;
4. Mengatur dan membagi secara rinci tugas-tugas Wakil
Panitera, Wakil Sekretaris, Panitera Pengganti dan Jurusita
Pengganti;
5. Menandatangani dan mempertanggungjawabkan; Salinan
Putusan/Penetapan; Akta Cerai; Surat-surat Banding, Kasasi
dan Peninjauan Kembali; Akta yang oleh Udang-undang dibuat
oleh Panitera; Buku Register, Buku Induk Keuangan, Laporan-
laporan yang secara tegas diatur dalam Peraturan
Perundangundangan yang menjadi wewenang Panitera;
Melegalisir surat-surat alat bukti dalam persidangan dan surat
kuasa; Surat-surat permintaan bantuan panggilan dari dan ke
Pengadilan Agama lain (Tabayyun); 28
6. Membina, mengawasi dan mempertanggung jawabkan atas
pengurusan berkas perkara, putusan/penetapan, dokumen,
akta, buku register, buku jurnal keuangan, buku induk
keuangan, surat-surat bukti yang disimpan di kepaniteraan;
7. Bertanggung jawab atas penyetoran uang yang telah
ditentukan/Kas Negara;
8. Memberikan informasi kepada Pimpinan tentang pelaksanaan
tugas dan rencana kerja kepaniteraan;
9. Melaksanakan tugas-tugas khusus yang diberikan oleh atasan;
10. Melaporkan pelaksanaan tugas kepada atasan/Ketua
Pengadilan Agama;
11. Maleksanakan tugas-tugas lain yang diperintahkan oleh
Ketua/Pimpinan.

b. Wakil Panitera
Wakil Panitera Pengadilan yang memiliki uraian tugas sebagai
berikut;
Membantu Panitera dalam membuat program kerja;
1. Memimpin pelaksanaan tugas kepaniteraan;
2. Membantu Majelis Hakim dalam persidangan sebagai Panitera
Pengganti;
3. Mengawasi kegiatan / pelaksanaan yang berhubungan dengan
penerimaan perkara melalui meja I, II dan III (Sistem Pola
Bindalmin);
4. Meneliti berkas perkara diterima dan berkas perkara Bundel A,
sebelum disiapkan;
5. Meneliti perkara-perkara yang masuk dan meneruskannya
kepada Panitera untuk diserahkan kepada Ketua Pengadilan
Agama; 29
6. Menyiapkan laporan bulanan, triwulan, semesteran dan
tahunan di bidang yustisial;
7. Melaksanakan eksekusi putusan berdasarkan perintah Ketua
Pengadilan Agama;
8. Memproses permohonan kuasa insidentil, pengacara praktik
sesuai dengan ketentuan/peraturan yang berlaku;
9. Melaksanakan tugas-tugas Panitera, apabila Panitera
berhalangan;
10. Mengawasi pelaksanaan Pengiriman salinan
Putusan/Penetapan kepada Kantor Urusan Agama Kecamatan
dan Instansi yang terkait dengan instansi yang terkait dengan
perkara Pegawai Negeri Sipil sesuai dengan peraturan yang
berlaku;
11. Maleksanakan tugas-tugas lain yang diperintahkan oleh
Ketua/Pimpinan.
c. Panitera Muda Gugatan
Panitera Muda Gugatan Pengadilan Agama yang memiliki uraian
tugas sebagai berikut;
1. Mengkoordinir pelaksanaan tugas Meja I dan II di bidang
gugatan;
2. Melaksanakan penerimaan perkara gugatan Tingakat Pertama,
Banding, Kasasi dan Peninjauan Kembali serta menaksir panjar
biaya perkara;
3. Membuat Surat Kuasa Untuk Membayar (SKUM) dalam
rangkap 3 (tiga) dan menyerahkan SKUM tersebut kepada
calon Penggugat;
4. Menyerahkan surat gugatan kepada calon Penggugat; 30
5. Membantu Majelis Hakim dalam persidangan sebagai Panitera
Pengganti dan membuat serta menandatangani Berita Acara
Sidang;
6. Melaporkan kegiatan urusan gugatan kepada atasannya;
7. Mencatat tentang perkara gugatan yang diterima di dalam buku
disertai dengan catatan singkat;
8. Melaksanakan tugas-tugas lain sesuai dengan bidang tugasnya.
d. Panitera Muda Permohonan Panitera Muda Permohonan
Pengadilan Agama yang memiliki uraian tugas Panitera Muda
Permohonan adalah sebagai berikut;
1. Mengkoordinir pelaksanaan tugas Meja I dan II di bidang
permohonan;
2. Melaksanakan penerimaan perkara permohonan Tingkat
Pertama, Banding, Kasasi dan Peninjauan Kembali serta
menaksir panjar biaya perkara;
3. Membuat Surat Kuasa Untuk Membayar (SKUM) dalam
rangkap 3 (tiga) dan menyerahkan SKUM tersebut kepada
calon Pemohon;
4. Menyerahkan surat permohonan kepada calon Pemohon;
5. Membantu Majelis Hakim dalam persidangan sebagai Panitera
Pengganti dan membuat serta menandatangani Berita Acara
Sidang;
6. Melaporkan kegiatan urusan permohonan kepada atasannya;
7. Mencatat tentang perkara permohonan yang diterima di dalam
buku disertai dengan catatan singkat;
8. Melaksanakan tugas-tugas lain sesuai dengan bidang tugasnya,

e. Panitera Muda Hukum


Panitera Muda Hukum Pengadilan Agama yang memiliki uraian
tugas sebagai berikut;
1. Mengumpulkan, mengelola dan mengkaji data, menyajikan
statistik perkara, menyusun laporan perkara (bulanan,
triwulanan, semesteran dan tahunan);
2. Membantu Majelis Hakim dalam persidangan sebagai Panitera
Pengganti dan membuat serta menandatangani Berita Acara
Sidang;
3. Menerbitkan Akta Cerai;
4. Menyerahkan salinan Putusan/Penetapan dan Akta Cerai
kepada pihak yang bersangkutan dan memimpin tugas Meja III;
5. Menerima memori banding, kontra memori banding, risalah
kasasi dan kontra risalah kasasi dan peninjauan kembali (PK);
6. Bertanggung jawab atas berkas perkara yang telah diputus baik
yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap maupun yang
masih berjalan (Banding atau Kasasi) dan menyimpannya
dalam arsip (Box) khusus;
7. Melaksanakan tugas-tugas lain sesuai dengan ketentuan yang
berlaku dan tugas-tugas yang diperintahkan oleh atasan atau
pimpinan.

f. Panitera Pengganti
Panitera Pengganti Pengadilan Agama yang memiliki uraian tugas
sebagai berikut;
1. Membantu Majelis Hakim dalam persidangan sebagai Panitera
Pengganti dan membuat serta menandatangani Berita Acara
Sidang secara tepat waktu;
2. Membantu Hakim mengetik Penetapan Hari Sidang;
3. Mengetik Putusan dan Penetapan;
4. Melaporkan kepada petugas Meja II setiap perkara yang
disidangkan guna mencatat kegiatan persidangan perkara,
termasuk amar putusan;
5. Menyiapkan dan menyusun pelaksanaan minutasi berkas
perkara;
6. Menyerahkan berkas perkara yang telah diminutasi kepada
Meja III;
7. Melaksanakan tugas-tugas lain sesuai dengan ketentuan yang
berlaku dan tugas-tugas yang diperintahkan oleh atasan atau
pimpinan;
8. Membantu meja I.
Kesekretariatan

a. Sekretaris
Sekretaris Pengadilan Agama yang memiliki uraian tugas sebagai
berikut;
1. Bertanggung jawab atas kelancaran dan ketertiban administrasi
kesekretariatan Pengadilan Agama;
2. Mengatur dan membagi secara rinci tugas-tugas Wakil
Sekretaris dan Kasubag-Kasubag yang ada;
3. Menandatangani dan mempertanggungjawabkan :
 Surat-surat yang dikeluarkan oleh kesekretariatan
Pengadilan Agama, seperti surat tugas dan lain-lain;
 Melegalisir surat-surat yang berkenaan dengan
kepegawaian;
 Berkas-berkas yang berkenaan dengan keuangan
Pengadilan Agama sebagai Kuasa Pengguna Anggaran;
4. Membina, mengawasi dan mempertanggung jawabkan atas
pengurusan dokumen, buku register, yang disimpan di
kesekretariatan;
5. Bertanggung jawab atas penyetoran uang yang telah
ditentukan/Kas Negara;
6. Memberikan informasi kepada Pimpinan tentang pelaksanaan
tugas dan rencana kerja kesekretariatan;
7. Bertanggung jawab atas pemeliharaan barang-barang/alatalat
inventaris kantor;
8. Meningkatkan tertib administrasi kesekretariatan dengan system
arsip dinamis;
9. Melaksanakan perencanaan pembangunan Rumah
Dinas/Jabatan dan renovasi kantor;
10. Bertanggung jawab atas pelaksanaan DIPA sesuai dengan
anggaran yang ada;
11. Melaksanakan tugas-tugas khusus yang diberikan atasan;
12. Mengevaluasi prestasi dan kinerja para aparat di lingkungan
Pengadilan Agama;
13. Melaporkan pelaksanaan tugas kepada atasan/Ketua
Pengadilan Agama.

b. Wakil Sekretaris
Wakil Sekretaris Pengadilan Agama memiliki uraian tugas sebagai
berikut;
 Melaksanakan kegiatan tata usaha dalam bidang
administrasi umum serta bertanggung jawab atas ruang
kesekretariatan;
 Memberikan pelayanan administrasi umum kepada semua
unsur di lingkungan Pengadilan Agama;
 Memimpin dan mengkoordinir tugas-tugas Kasubag Umum,
Kasubag Kepegawaian, Kasubag Keuangan dan para
stafnya dan memberikan bimbingan seperlunya;
 Membimbing dan mengawasi pelaksanaan arsip dinamis;
 Membuat buku laporan tahunan setiap akhir tahun
anggaran;
 Membuat perencanaan kegiatan setiap tahun anggaran
bersama Kasubag Umum dan Kasubag Keuangan;
 Mengkoordinir kebersihan ruangan dan pekarangan kantor;
 Melaksanakan tugas-tugas lain yang diperintahkan oleh
Ketua/Pimpinan.

c. Bendahara
Bendahara Pengadilan Agama yang memiliki uraian tugas sebagai
berikut;
 Melakukan pengelolaan keuangan yang berhubungan
dengan Negara (Kas Negara), mengurus gaji pegawai,
Anggran Belanja Pengadilan Agama, Perjalanan dinas dan
lain-lain;
 Melaksanakan pembukuan yang berkaitan dengan
keuangan dan membuat laporan keuangan secara periodik;
 Melaksanakan penggunaan dana setelah mendapat
persetujuan dari atasan;
 Melaksanakan tugas-tugas lain yang diperintahkan oleh
Ketua/Pimpinan.
d. Kasubag Keuangan
Kasubag Keuangan Pengadilan Agama yang memiliki uraian tugas
sebagai berikut;
 Menyusun dan mengurus Rencana Anggaran Belanja
Pengadilan Agama bersama Kasubag Umum;
 Melakukan pengelolaan keuangan yang berhubungan
dengan Negara (Kas Negara), mengurus gaji pegawai,
Anggaran Belanja Pengadilan Agama, Perjalanan dinas dan
lain-lain;
 Melaksanakan pembukuan yang berkaitan dengan
keuangan dan membuat laporan keuangan secara periodik;
 Melaksanakan pengiriman setoran—setoran hak-hak
kepaniteraan dan setoran lainnya sesuai ketentuan yang
berlaku;
 Melaksanakan penggunaan dana DIPA setelah mendapat
persetujuan dari atasan;
 Melaksanakan tugas-tugas lain sesuai dengan bidang
tugasnya dan tugas yang diperintahkan oleh
Ketua/Pimpinan.
e. Kasubag Kepegawaian
Kasubag Kepegawaian Pengadilan Agama yang memiliki uraian
tugas sebagai berikut;
1. Melaksanakan dan bertanggung jawab atas urusan
kepegawaian meliputi :
 Kenaikan pangkat;
 Kenaikan gaji berkala;
 Pemberhentian;
 Pensiun;
 Kartu TIK Pegawai;
 Karpeg, Karis, Karsu dan Taspen;
 Pengetikan DP3;
 Statistik Pegawai;
 Arsip kepegawaian dan urusan kepegawaian lainnya.
2. Membuat dan merekapitulasi daftar hadir pegawai;
3. Melaporkan urusan kepegawaian kepada atasan secara rutin
baik secara lisan maupun tertulis;
4. Mengisi buku induk register kepegawaian;
5. Melayani permintaan cuti bagi pegawai;
6. Mengkoordinir pembinaan kepegawaian baik untuk mengikuti
Diklat Penjenjangan maupun Diklat Fungsional;
7. Melaksanakan tugas-tugas lain sesuai dengan bidangnya dan
tugas-tugas yang diperintahkan oleh Ketua/Pimpinan.
f. Kasubag Umum
Kasubag Umum Pengadilan Agama yang memiliki uraian tugas
sebagai berikut;
1. Mencatat surat masuk dan surat keluar sesuai dengan jenisnya
menurut ketentuan arsip dinamis;
2. Malaksanakan Urusan Rumah Tangga dan Inventaris
Pengadilan Agama Kelas IB Baturaja dan bertanggung jawab
atas kebersihan, keamanan dan ketertiban kantor;
3. Membuat program atau rencana Penggunaan dana APBN dan
DIPA, baik tahunan maupun bulanan dan melaporkannya
kepada Ketua;
4. Melaksanakan pembelian barang keperluan kantor termasuk
ATK setelah disetujui oleh Sekretaris;
5. Menerima dan menggandakan surat/blankoo-blanko yang
dibutuhkan;
6. Menyortir dan mengarahkan surat maupun surat keluar serta
mengklasifikasikan surat sesuai dengan kodenya;
7. Membuat kode indeks untuk setiap arsip, menyiapkan dan
mensistematiskan arsip;
8. Melayani permintaan arsip pada saat dibutuhkan dengan
menggunakan bon pinjaman arsip umum dan membuat buku
daftar arsip;
9. Memelihara keamanan dan rahasia setiap arsip umum dan
mengkoordinir pelaksanaan arsip dinamis;
10. Membuat daftar iinventaris kantor dan bertanggung jawab atas
pemeliharaannya;
11. Melaksanakan tugas-tugas lain sesuai dengan bidang tugasnya
dan tugas yang diperintahkan oleh Ketua/Pimpinan.

Kejurusitaan

a. Jurusita
Jurusita Pengadilan Agama yang memiliki uraian tugas sebagai
berikut;
 Menerima tugas dari Majelis Hakim untuk memangggil
pihakpihak yang berperkara pada tangggal sidang yang
telah ditentukan;
 Memerintahkan kepada Jurusita Pengganti untuk
memanggil pihak-pihak yang berperkara baik dari
Pengadilan Agama Kelas IB Baturajamaupun dari
Pengadilan Agama lain;
 Mengatur secara bergantian kepada Jurusita Pengganti
untuk memanggil;
 Melaksankan tugas kejurusitaan yang diberikan
kepadanya;
 Menerima uang panjar perkara dari kasir sesuai dengan
SKUM;
 Menerima biaya perkara Banding, Kasasi, Peninjauan
Kembali, Sita, Eksekusi dan Somasi;
 Mencatat semua pemasukan dan pengeluaran biaya
perkara dalam buku kas pembantu dan buku jurnal
keuangan secara tertib;
 Melaksanakan pengeluaran uang setoran ke Pengadilan
Tinggi Agama;
 Membantu menerima dan memproses perkara yang
masuk apabila diminta oleh Kasubag
Gugatan/Permohonan;
 Melaksanakan tugas-tugas lain yang diperintahkan oleh
Ketua/Pimpinan.

b. Jurusita Pengganti
Jurusita Pengganti Pengadilan yang memiliki uraian tugas
membantu Jurusita dalam hal ;
 Pelaksanaan Pemanggilan;
 Pemberitahuan Isi Putusan;
 Dan lain-lain yang berkenaan dengan kejurusitaan;
 Kemudian karena banyaknya pegawai yang menduduki
jabatan double, maka kinerjanya agak kurang terkontrol
dan sedikit mengalami hambatan-hambatan dan
tersendat-sendat, selain itu juga disebabkan karena
faktor sarana dan prasarana yang kurang memadai,
misalnya alat-alat tekhnologi (komputer dan laptop) yang
tidak mencukupi.
DAFTAR PUSTAKA

Arifin, Busthanul, Pelembagaan Hukum Islam di Indonesia; Akar Sejarah,


Hambatan dan Prospeknya, Jakarta, Gema Insani Press, 1996.

Aripin, Jaenal, Peradilan Agama dalam Bingkai Reformasi Hukum di


Indonesia, Jakarta, Kencana, 2008

Harjono, Anwar dan Ramli Hutabarat, “Prospek Peradilan Agama Sebagai


Peradilan Keluarga dalam Sistem politik Indonesia” dalam Amrullah
Ahmad dkk. “Prospek Hukum Islam dalam Kerangka Pembangunan
Hukum Nasional di Indonesia”, Jakarta, PP-IKAHA.
Hasymi, A. Sejarah Masuk dan Berkembangnya Islam di Indonesia,
Bandung, Al-Ma’arif, 1981;

Hazairin, Demokrasi Pancasila, Jakarta, Rineka Cipta, 1990. Ichtijanto,


“Kontribusi Hukum Islam Terhadap Hukum Nasional” dalam Mimbar
Hukum No. 13 Thn V, Jakarta; Yayasan al-Hikmah.

Ka’bah, Rifyal, Penegakan Syari’at Islam di Indonesia, Jakarta, Khairul


Bayan, 2004. Lev,

Daniel. S. Hukum dan Politik di Indonesia; Kesinambungan dan


Perubahan, Terj. Nirwoo dan A.E. Priyono, Jakarta, LP3ES,1990,

Mahfud. M.D, Moh, Peradilan Agama dan Kompilasi Hukum Islam dalam
Tata Hukum Indonesia, Yogyakarta: UII Press, 1993. ----------, Politik
Hukum di Indonesia, Jakarta, Pustaka LP3ES, 2001.

Roestandi, Achmad Prospek Peradilan Agama dalam Amrullah Ahmad


dkk. Prospek Hukum Islam dalam Kerangka Pembangunan Hukum
Nasional di Indonesia, Jakarta, PP IKAHA, 1994.

Sabrie, Zuffran, Peradilan Agama dalam Wadah Negara Pancasila (Dialog


tentang RUUPA), Jakarta, Logos Wacana Ilmu, 2001.

Zarkasyi, Muchtar “Kerangka Historis Pembentukan UU No. 7 Tahun


1989” dalam Mimbar Hukum , No. 1 thn I, Jakarta, Yayasan Alhikmah

Anda mungkin juga menyukai