BAB I
PENDAHULUAN
1
2
sebagai hemoglobin, yang mencukupi kebutuhan zat besi bayi pada 3 bulan
pertama kehidupannya. Sebaliknya penjepitan tali pusat secara dini (kurang
lebih 10-15 detik setelah kelahiran) dapat menghalangi sebagian besar jumlah
zat besi yang masuk ke dalam tubuh bayi. Penundaan penjepitan tali pusat
juga dapat meningkatkan penyimpanan zat besi saat lahir sehingga dapat
mencegah terjadinya anemia defisiensi besi (Milena, 2012)
penelitian terbaru mendapatkan bahwa 41 bayi baru lahir berusia 0-6 bulan
(39,4%) menderita anemia dan 40 bayi diantaranya (97,6%) menderita
anemia karena defisiensi besi (Ringoringo, 2009) Bayi yang lahir dari ibu
yang menderita anemia mempunyai kadar hemoglobin yang lebih rendah
dibandingkan bayi yang lahir dari ibu yang tidak menderita anemia. Faktor
risiko lain adalah jenis kelamin bayi, apakah bayi minum ASI atau susu
formula yang telah difortifikasi besi, pendidikan ibu dan status ekonomi
keluarga yang rendah, jumlah paritas tinggi serta jarak kelahiran dekat.
(Susilowati, 2005)
Gambar 1.1 Rerata Level Hemoglobin pada bayi Aterm dan Preterm
BAB II
8
9
dapat menambah volume darah bayi, sehingga otak tetap mendapat suplai
oksigen yang cukup. Tiga metode untuk membuktikan adanya transfusi
plasental, yaitu : pengukuran volume darah plasental residual/ Residual
Placental Blood Flow (RPBV), pengukuran volume darah bayi atau sel
darah merah/ eritrosit, dan pengukuran Ht(Phillip,2004) Jika bayi setelah
lahir diletakkan di bawah atau sejajar introitus vagina selama 3 menit dan
sirkulasi fetoplasental tidak segera di putus dengan pemasangan klem,
kurang lebih 80 ml darah mungkin dapat dialirkan dari plasenta ke bayi.
Hal di atas menyediakan sekitar 50 mg besi ( Fe ) sehingga dapat
menurunkan frekuensi anemia defisiensi besi pada masa kehidupan
bayi(Mercer, 2000)
Faktor-faktor yang mempengaruhi transfusi plasental
Faktor-faktor yang mungkin mempengaruhi transfusi plasental sebagai
berikut :
1. Status gizi ibu
Bila ibu mengalami kekurangan gizi selama hamil akan
menimbulkan masalah, baik pada ibu maupun janinnya.
Pertumbuhan fetus dipengaruhi oleh banyak faktor, diantaranya
kecukupan suplai nutrisi fetus dari ibu melalui
plasenta( Mutalazimah, 2005). Ibu hamil dengan gizi buruk tentu
akan berpengaruh terhadap kualitas janinnya. Status gizi ibu hamil
dapat diukur secara antropometri, disamping dengan pengukuran
secara laboratorium, misal kadar Hb ibu. Pemeriksaan berat badan
dalam hubungan dengan tinggi badan dapat dinilai/ diassesmen
menggunakan index massa tubuh (IMT) . IMT dinyatakan = berat
badan(kg) / tinggi badan(meter) 2 . Status gizi ibu berdasarkan IMT
dikelompokkan menjadi: Underweight: IMT < 18,5; Normal:18.5–
24.9; Overweight : 25–29.9 dan Obesitas ≥ 30 (Cunningham,2005).
Kartono D dan Lamid A (1997) mengutip pendapat Power PS, status
gizi juga dapat dibedakan menjadi tiga yaitu underweight, normal,
gemuk (overweight dan obesitas)
10
2. Asfiksia intrauterin.
Transfusi plasental tampaknya mungkin terjadi sebelum persalinan
pada janin mengalami asfiksia intra uterin. Bayi-bayi tersebut
walaupun tali pusat dijepit dini mempunyai RPBV minimal. Asfiksia
intrauterin dapat mengakibatkan peningkatan volume darah, massa
eritrosit dan Ht secara bermakna, tetapi keadaan ini tidak dijumpai
pada asfiksia intrapartum(Phillip, 2004)
3. Respirasi
Respirasi memegang peranan penting dalam transfer darah dari
plasenta ke bayi.Penelitian menggunakan binatang, mencatat bahwa
bayi domba baru lahir, kandungan darah dalam paru mengalami
peningkatan dua kali lipat setelah onset respirasi. Aliran masuk/
inflow darah ke dalam pembuluh darah paru (pembentukan kapiler)
menghasilkan terjadinya pengembangan paru. Paru yang
mengembang menghasilkan vascular bed yang besar sehingga darah
dapat mengalir secara fisiologis. Penelitian hubungan antara RPBV
dan durasi respirasi sebelum dilakukan penjepitan tali pusat,
menyimpulkan bahwa transfusi plasental adalah sebuah konsekuensi
yang tidak dapat dielakkan dari permulaan proses pengembangan
paru, namun ahli obstetri dan ahli anak, hanya memiliki sedikit
perhatian terhadapnya(Phillip, 2004)
4. Waktu Penjepitan tali pusat setelah kelahiran
Terdapat perbedaan yang besar jumlah darah yang berhasil
ditransfusikan ke bayi-bayi aterm ketika dilakukan penjepitan dini (≤
detik) dibandingkan dengan penjepitan tunda (5 menit) pada saat
bayi biasanya menangis.
Sebagian bayi sehat akan mendapatkan transfuse plasenta dengan
jumlah yang besar dalam 45 detik. Untuk mencegah terjadinya
transfuse plasenta pada beberapa keadaan resiko tinggi tertentu,
mungkin penting untuk menjepit tali pusat dalam 15 detik(Phillip,
2004)
11
2012).
Penundaan pemotongan tali pusat adalah pemotongan yang
dilakukan setelah bayi baru lahir bernafas secara teratur, yang
ditemukan rata-rata 94 detik setelah bayi lahir (Philip, 2004).
Sedangkan menurut Setiawan (2009), pemotongan tali pusat di
antara waktu 30 detik sampai 5 menit adalah termasuk dalam
kategori penundaan pemotongan tali pusat.
Kebanyakan penelitian menyebutkan bahwa penundaan
pemotongan tali pusat adalah pemotongan tali pusat yang dilakukan
setelah pulsasi tali pusat berhenti sampai 3 menit pertama setelah
melahirkan (Hutton, 2007). Namun menurut Aziz (2006),
penundaan pemotongan tali pusat adalah pemotongan tali pusat
dalam 2 menit pertama setelah bayi lahir karena transfusi darah
dalam jumlah bermakna sudah terjadi dalam waktu tersebut.
Perdebatan mengenai waktu pemotongan tali pusat masih
berlangsung hingga kini (Tanmoun, 2013). Kebiasaan melakukan
pemotongan tali pusat segera berhubungan dengan praktik obstetri
modern. Pendukung praktik tersebut mengkhawatirkan efek samping
akibat transfusi plasenta termasuk gawat pernafasan, polisitemia,
sindrom hiperviskositas, dan hiperbilirubinemia. Padahal jika ingin
mendukung transfusi fisiologis setelah persalinan sebelum plasenta
dilahirkan, bayi baru lahir akan mendapatkan volume darah yang
mempengaruhi status hematologi bayi baru lahir terutama
hemoglobin dan hematokrit dalam mencegah anemia bayi baru lahir
(Varney, 2009)
Di Indonesia, waktu pemotongan tali pusat awalnya
dilakukan segera setelah bayi lahir dan sebelum penyuntikan
oksitosin (JNPKR, 2004), kemudian mengalami perubahan yaitu
menjadi 2 menit setelah bayi lahir dan setelah pemberian oksitosin
(JNPKR, 2008).
14
2. Hematokrit
Pada penelitian terhadap bayi baru lahir cukup bulan yang
dilakukan pemotongan tali pusat 5 menit setelah bayi lahir, didapat
penambahan secara bermakna pada nilai hematokrit dan volume sel
darah merah. Hal tersebut juga ditemukan pada pemotongan tali
pusat 1 menit setelah bayi baru lahir (Adilia, 2011).
Kadar hematokrit pada bayi yang dilakukan pemotongan tali
pusat dengan segera adalah sebesar 47,8% sedangkan pada bayi
yang dilakukan penundaan pemotongan tali pusat memiliki kadar
hematokrit sebesar 53,5% (Lubis, 2008)
Bayi baru lahir usia 2 jam, didapat kadar hematokrit berkisar
0,44-0,53 pada bayi dengan pemotongan tali pusat segera (kurang
dari 15 detik) dan 0,58-0,70 pada bayi dengan penundaan
pemotongan tali pusat(2 menit). Pada kelompok pemotongan tali
pusat segera, hematokrit menurun secara signifikan setelah 24 jam,
menjadi berkisar antara 0,37-0,48 pada bayi dengan pemotongan tali
pusat segera dan 0,54-0,67 pada bayi dengan penundaan
pemotongan tali pusat. (Aziz, 2006).
Peningkatan hematokrit pada kelompok penundaan
pemotongan tali pusat juga ditemukan pada penelitian oleh
Thawinkarn (2008) dan Santosa (2008). Pada penelitian tersebut
ditemukan kadar hematokrit pada kelompok penundaan pemotongan
tali pusat adalah 41,6-60,6% sedangkan pada kelompok pemotongan
tali pusat segera adalah 37,6-54,7%
3. Zat Besi
Kadar Hb dan eritrosit yang cukup memungkinkan tingkat
oksigenasi yang optimal dan dapat menyediakan sumber Fe yang
sangat bermanfaat bagi bayi. Sumber Fe yang cukup, sangat penting
untuk kehidupan selanjutnya untuk memenuhi kebutuhan sel akan
Fe, termasuk produksi eritrosit. Fe sebagai salah satu mikronutrien
penting bagi sel. Besi adalah nutrien yang penting tidak hanya untuk
pertumbuhan normal, kesehatan dan kelangsungan hidup anak, tetapi
17
13,3 mg/dL dan 12,7 mg/dL. Pada penelitian ini, indikator bayi
dengan hiperbilirubinemia adalah pada bayi yang membutuhkan
fototerapi, dan hal tersebut ditemukan lebih banyak pada bayi yang
dilakukan penundaan pemotongan tali pusat (Tanmoun, 2013). Hal
tersebut sesuai dengan penemuan Aziz (2006), yang menemukan 3
bayi dari 15 bayi memiliki nilai bilirubin serum > 15 mg/dL pada
kelompok penundaan pemotongan tali pusat, sedangkan pada
kelompok pemotongan tali pusat segera, tidak ditemukan adanya
peningkatan bilirubin abnormal yang abnormal. Namun, setelah
dilihat perbedaannya secara bermakna, peningkatan bilirubin yang
menyebabkan hiperbilirubinemia tidak terbukti secara signifikan.
Sesuai dengan penelitian yang dilakukan oleh Hutton (2007),
tidak terdapat perbedaan kadar bilirubin yang signifikan dari dua
kelompok waktu pemotongan tali pusat bahkan hingga bayi berusia
72 jam dan tidak ditemukan bayi yang memerlukan fototerapi dari
kelompok penundaan tali
2.3.1 Hemoglobin
2.3.2 Hematokrit
Hematokrit pada prinsipnya dihitung berdasarkan
perbandingan persentase volume eritrosit/volume darah (Rachmawati,
2003). Berdasarkan beberapa penelitian nilai normal hematokrit bayi
baru lahir berkisar antara 51,3-56,0% (Oski, 1996). Sumber lain
menyebutkan nilai hematokrit bayi baru lahir antara 45 dan 65%
(Linderkamp O, 2004).
Rata-rata hematokrit tali pusat 52,3%, kemudian pada hari
pertama kehidupan menjadi 58,2%, sementara pada hari ketiga 54,5%
dan pada akhir hari ke-7 sekitar 54,9%. Penelitian terhadap 629 bayi
28
2.3.4 Bilirubin
Faktor Bayi
BB
Gemelli
Asfiksi
Durasi Respirasi
Tranfusi Plasenta Posisi setelah lahir
Haematologi Bayi
Kadar Hb
Penundaan Penjepitan Kadar Ht
Zat Besi
Tali Pusat Bilirubin
BAB III
Bagan 3.1
Kerangka Konsep
36
37
3.2 Hipotesis
H1 = Kadar hematologi Bayi Baru Lahir Aterm lebih tinggi yang
dilakukan penundaan penjepitan tali pusat (Delayed Cord Clamping)
38
DAFTAR PUSTAKA
38
39