Anda di halaman 1dari 42

1

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Masalah Penelitian

Peran oksigenasi dari plasenta ke paru-paru bayi mengalami peralihan


pada masa setelah bayi lahir dan sebelum plasenta dilahirkan. Selama masa
tersebut, oksigenasi bayi melalui plasenta masih berjalan dan darah masih
ditransfusikan ke bayi. Hal tersebut dapat mempengaruhi hemoglobin (Hb),
hematokrit (Ht), menambah volume darah atau eritrosit, serta dapat mencegah
hipovolemi dan hipotensi pada bayi baru lahir (Santosa, 2008).Perbedaan
waktu pemotongan tali pusat dapat memberikan dampak pada bayi baru lahir.
Disebutkan bahwa pemotongan tali pusat yang segera, menjadi penyebab
utama anemia pada bayi baru lahir, sedangkan di lain pihak, beberapa peneliti
mendapatkan efek berbeda jika dilakukan penundaan pemotongan tali pusat,
diantaranya adalah kejadian ikterus dan polisitemia (Hutton, 2007).

Waktu penjepitan dan pemotongan tali pusat memegang peranan


penting dalam menentukan kecukupan zat besi pada bayi baru lahir.
Kontroversi saat memotong tali pusat yang tepat dan manfaat untuk bayi baru
lahir masih menjadi perdebatan para ahli dan menunda pemotongan tali pusat
masih dianggap suatu tindakan yang berbahaya pada manajemen aktif kala
tiga, beberapa penelitian membuktikan berbagai manfaat menunda
pemotongan tali pusat pada bayi baru lahir baik dari segi mencegah anemia
maupun pengaruh jangka panjang untuk perkembangan selanjutnya dari bayi
baru lahir. Penjepitan tali pusat merupakan salah satu tindakan dari
manajemen aktif kala tiga.(Gabbe, 2007)

Penundaan penjepitan tali pusat dapat menyediakan tambahan darah


sebanyak 80-100 ml pada bayi baru lahir (Gabbe, 2007) Penundaan waktu
penjepitan tali pusat sekitar 2-3 menit dapat memberikan redistribusi darah
diantara plasenta dan bayi, memberikan bantuan placental transfusion yang
didapatkan oleh bayi sebanyak 35-40 ml/kg dan mengandung 75 mg zat besi

1
2

sebagai hemoglobin, yang mencukupi kebutuhan zat besi bayi pada 3 bulan
pertama kehidupannya. Sebaliknya penjepitan tali pusat secara dini (kurang
lebih 10-15 detik setelah kelahiran) dapat menghalangi sebagian besar jumlah
zat besi yang masuk ke dalam tubuh bayi. Penundaan penjepitan tali pusat
juga dapat meningkatkan penyimpanan zat besi saat lahir sehingga dapat
mencegah terjadinya anemia defisiensi besi (Milena, 2012)

Lebih dari 50 % bayi di negara berkembang diperkirakan mengalami


anemia pada tahun pertama kehidupannya. Anemia defisiensi besi merupakan
anemia yang sering terjadi pada bayi dengan kejadian tertinggi pada umur 6
sampai 24 bulan (Gillespie, 2006) Menurut penelitian yang dilakukan oleh
Riffat Jaleel terdapat 50% bayi mengalami anemia pada usia 12 bulan. Dalam
survey nya di India di dapatkan 70% bayi usia 6 sampai 11 bulan mengalami
anemia. Anemia defisiensi besi pada bayi baru lahir juga sering dilaporkan
terjadi pada penduduk di daerah endemik malaria. Di daerah sub-Saharan
Afrika terdapat lebih dari 75% bayi mengalami anemia sebelum usia 6 bulan
(Abalos, 2008) Masalah anemia defisiensi besi pada bayi merupakan masalah
kesehatan serius karena akan mengganggu perkembangan mental dan kognitif
untuk perkembangan selanjutnya setelah dewasa.Lozoff melaporkan bahwa
bayi dengan anemia defisiensi besi dapat mengalami gangguan
perkembangan sistem saraf pusat. Lozoff juga menyebutkan bahwa zat besi
merupakan zat atau nutrisi penting untuk proses myelinisasi (Aldaous, 2006)
Masalah anemia defisiensi besi merupakan masalah sosioekonomi dan
kesehatan yang berkepanjangan (Gillespie, 2006) Penyimpanan cadangan zat
besi saat lahir adalah faktor utama yang mempengaruhi pertumbuhan bayi
dan insiden anemia defisiensi besi (PAHO,2007) Anemia defisiensi besi pada
masa bayi mengindikasikan cadangan besi saat lahir tidak adekuat. Ibu hamil
di negara berkembang sering mengalami anemia dan persalianan preterm atau
bayi dengan berat badan lahir rendah sering terjadi(Gabbe,2007)

Berdasarkan Survei Kesehatan Rumah Tangga (SKRT) Departemen


Kesehatan (Depkes) RI pada tahun 2001 menyatakan 61,3% bayi baru lahir
sampai usia 6 bulan menderita anemia defisiensi besi. Selanjutnya, hasil
3

penelitian terbaru mendapatkan bahwa 41 bayi baru lahir berusia 0-6 bulan
(39,4%) menderita anemia dan 40 bayi diantaranya (97,6%) menderita
anemia karena defisiensi besi (Ringoringo, 2009) Bayi yang lahir dari ibu
yang menderita anemia mempunyai kadar hemoglobin yang lebih rendah
dibandingkan bayi yang lahir dari ibu yang tidak menderita anemia. Faktor
risiko lain adalah jenis kelamin bayi, apakah bayi minum ASI atau susu
formula yang telah difortifikasi besi, pendidikan ibu dan status ekonomi
keluarga yang rendah, jumlah paritas tinggi serta jarak kelahiran dekat.
(Susilowati, 2005)

Tingginya angka prevalensi anemia pada bayi baru lahir, berhubungan


dengan tidak cukupnya penyimpanan cadangan zat besi pada bayi
(Artha,2013). Penundaan pemotongan tali pusat ditemukan dapat mengatasi
hal tersebut, karena bayi mendapat tambahan zat besi sebesar 40-50 mg/kg
saat lahir sehingga dapat mencegah kekurangan zat besi bahkan hingga
bayitersebut mencapai usia satu tahun (Committee on Obstetric Practice of
The American Academy of Pediatric, 2012).

Penundaan pemotongan tali pusat juga dapat meningkatkan kadar


hemoglobin pada bayi baru lahir cukup bulan. Ditemukan bahwa kadar
hemoglobin pada bayi yang dilakukan pemotongan tali pusat dengan segera
adalah 16,2 g/dL, sedangkan pada bayi yang dilakukan penundaan
pemotongan tali pusat adalah 18,3 g/dL (Lubis, 2008). Perbedaan kadar
hemoglobin tersebut terbukti signifikan dan dapat menurunkan kejadian
anemia bayi baru lahir sebesar 47% (Hutton, 2007). Penundaan pemotongan
tali pusat, selain bermanfaat karena meningkatkan kadar hemoglobin, hal
tersebut juga memberikan efek lain berupa peningkatan kadar hematokrit
yang jika kadarnya melebihi 65% akan menyebabkan polisitemia (Lessaris,
2009). Hal tersebut terlihat dari penelitian berikut yang menemukan kadar
hematokrit bayi yang dilakukan penundaan pemotongan tali pusat lebih besar,
yaitu 60,6% dibandikan dengan bayi yang dilakukan pemotongan tali pusat
dengan kadar hematokrit sebesar 54,7,% (Santosa, 2008).
4

Angka kejadian polisitemia di Rumah Sakit Hasan Sadikin dilaporkan


sebesar 8,4%. Persentase kejadian tersebut terbilang tinggi dan disimpulkan
sebagai akibat dari penambahan volume darah karena penundaan pemotongan
tali pusat (Adilia, 2011). Sesuai dengan review Mc Donald (2013) yang
meninjau dari beberapa penelitian yang berlangsung dari tahun 1989 hingga
tahun 2006, peningkatan risiko polisitemia memang terjadi pada kelompok
penundaan pemotongan tali pusat. Salah satunya diambil dari penelitian oleh
Aziz, dkk (2006) yang menemukan kejadian polisitemia pada kelompok bayi
dengan penundaan waktu pemotongan tali pusat selama 2 menit. Efek
samping lainnya dari penundaan pemotongan tali pusat adalah ditemukan
lebih banyak bayi yang memerlukan fototerapi akibat hiperbilirubinemia
dibandingkan dengan kelompok pemotongan tali pusat segera (Emhamed,
2004). Seperti pada penelitian Tanmoun (2013) yang menemukan
peningkatan bilirubin serum hingga 15 mg/dL pada bayi usia 48 jam yang
dilakukan penundaan pemotongan tali pusat dan bayi tersebut memerlukan
fototerapi.

Uraian tersebut di atas memperlihatkan bahwa penundaan


pemotongan tali pusat berdampak pada kejadian ikterus dan polisitemia bayi
baru lahir, namun Kohn (2013) menemukan bahwa risiko ikterus dan
polisitemia pada bayi baru lahir tidak ditimbulkan akibat penundaan
pemotongan tali pusat, melainkan lebih diakibatkan oleh kondisi maternal dan
bayi setelah lahir. Kohn (2013) mengatakan penundaan pemotongan tali pusat
yang bermanfaat dalam menurunkan anemia lebih terbukti akibat peningkatan
hemoglobin, hematokrit dan zat besi saat bayi baru lahir. Kejadian anemia,
polisitemia dan ikterus pada bayi baru lahir, merupakan keadaan yang tidak
diinginkan. Hal tersebut dapat dicegah dengan penatalaksanaan bayi baru
lahir yang optimal, salah satunya adalah dengan memperhatikan waktu
pemotongan tali pusat, sehingga diperlukan kajian untuk menentukan mana
yang terbaik, antara pemotongan tali pusat segera atau penundaan
pemotongan tali pusat. Kebanyakan praktisi negara barat melakukan
pemotongan tali pusat segera, sedangkan di negara lain masih bervariasi.
Begitupun di Indonesia, banyak praktisi belum melakukan penundaan
5

pemotongan tali pusat (BKKBN, 2011). Kebiasaan praktik pemotongan tali


pusat segera adalah karena kekhawatiran terhadap ikterus (Varney, 2009).
Padahal kejadian anemia pun tidak kalah penting untuk diteliti karena akan
mempengaruhi pertumbuhan dan perkembangan bayi tersebut, mengingat
juga bahwa pemeriksaan rutin atas Hb, Ht dan zat besi pada bayi baru lahir
yang menjadi indikator anemia jarang sekali dilakukan jika tanpa indikasi

1.2 Perspektif Teori


Anemia adalah berkurangnya volume sel darah merah atau
menurunnya kadar hemoglobin dibawah nilai normal. Dalam pendekatan
dengan bayi baru lahir yang memperlihatkan keadaan hemolitik, harus
dipertimbangkan hemolisis fisiologis. Keadaan ini dapat terjadi karena masa
hidup eritrositnya lebih pendek (80-100 hari pada keadaan neoatus cukup
bulan/NCB dan 60-80 hari pada neonatus kurang bulan/NKB) dibandingkan
dengan eritrosit anak dan orang dewasa(100-120 hari). Belum diketahui
dengan pasti mengapa masa hidup eritrosit bayi baru lahir lebih pendek dari
eritrosit orang dewasa. Terdapat beberapa hipotesis seperti kurangnya
deformabilitas membran sel, sensitivitas terhadap oksidan yang lebih tinggi
pada eritrosit neonatus, dan instabilitas hemoglobin janin, sehingga eritrosit
janin cepat mengalami lisis (Rheneen, 2007) Saat lahir kadar hemoglobin
NBC normal berkisar antara 14-20 gr/dl, dengan rerata 17 gr/dl. Dalam 3-4
jam setelah lahir terjadi peningkatan relatif hemoglobin karena adanya
hemokonsentrasi. Setelah 1 minggu paska kelahiran, terjadi penurunan
hemoglobin yang mencapai titik terendah (10-11gr/dl) pada usia 6-10 minggu
dan berlangsung hingga usia 1 tahun. Keadaan ini disebut anemia fisiologis,
karena bayi baru lahir mengalami transisi dari kondisi relatif hipoksia dalam
kandungan menjadi hiperoksia pada saat lahir. Oksigenisasi jaringan yang
lebih baik ini akan menghentikan proses eritropoetin dan proses eritropoesis
(Mercer, 2006)
6

Gambar 1.1 Rerata Level Hemoglobin pada bayi Aterm dan Preterm

Penjepitan tali pusat merupakan salah satu tindakan dari manajemen


aktif kala tiga, tindakan lain adalah injeksi oksitosin intramuscular segera
setelah bayi lahir, peregangan tali pusat terkendali dan pemijatan uterus
setelah plasenta lahir. Penjepitan tali pusat ini tidak pernah disebutkan
konsensus pasti kapan waktu penjepitan yang tepat. Pengertian segera
memotong tali pusat mengacu kepada waktu dari bayi lahir sampai dengan
terpotongnya tali pusat adalah 1 menit dan menunda penjepitan tali pusat atau
penjepitan tali pusat lambat dimaksudkan bahwa waktu setelah bayi lahir
sampai dengan terpotongnya tali pusat diperkirakan 2 – 3 menit atau sampai
tidak ada denyut ditali pusat(Mercer, 2006)
Bayi segera diletakkan di perut ibu atau segera di letakkan dialat
penghangat agar bisa di evaluasi lebih dalam apakah resusitasi diperlukan.
Segera setelah tali pusat dipotong dilakukan peregangan tali pusat terkendali
untuk melahirkan plasenta. Peregangan tali pusat terkendali diyakini mampu
mengurangi darah yang hilang, mempersingkat kala tiga, dan meminimalisir
waktu dimana ibu berisiko untuk perdarahan post partum(Rheneen, 2007)
Pada saat dalam kandungan janin berhubungan dengan ibunya melalui
tali pusat yang merupakan bagian dari plasenta. Setelah bayi lahir, sebelum
plasenta dilahirkan, darah plasenta selama masa tersebut masih ditransfusikan
ke bayi (disebut transfusi palsenta) dan dapat menambah volume darah bayi
baru lahir serta berpengaruh terhadap status hemoglobin dan hematokrit bayi
baru lahir (Philip, 2004).
7

1.3 Pertanyaan Penelitian


Adakah pengaruh penundaan penjepitan tali pusat ( delayed cord
clamping ) terhadap hematologi bayi baru lahir aterm ?

1.4 Tujuan Penelitian

1.4.1 Tujuan Umum

Membuktikan pengaruh penundaan penjepitan tali pusat ( delayed cord


clamping ) terhadap hematologi bayi baru lahir aterm

1.4.2 Tujuan Khusus

1. Menganalisis kadar hemoglobin, hematokrit, zat besi dan billirubin


pada bayi baru lahir aterm tanpa penundaan penjepitan tali pusat (
delayed cord clamping )

2. Menganalisis kadar hemoglobin, hematokrit,zat besi dan billirubin pada


bayi baru lahir aterm dengan penundaan penjepitan tali pusat ( delayed
cord clamping )

3. Menganalisis pengaruh penjepitan tali pusat( delayed cord clamping )


terhadap hematologi bayi baru lahir aterm

1.5 Manfaat Penelitian


1.5.1 Manfaat Ilmiah
Hasil penelitian dapat memperkaya khasanah kajian teori
penundaan penjepitan tali pusat (Delayed Cord Clamping) dalam
penanganan anemia pada bayi.

1.5.2 Manfaat Terapan


Dengan diketahuinya pengaruh penjepitan tali pusat ( delayed cord
clamping ) terhadap hematologi bayi baru lahir aterm dapat dijadikan suatu
kebijakan dalam penatalaksanaan kala tiga persalinan
8

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA DAN LANDASAN TEORI

2.1 Tinjauan Pustaka


2.1.1 Penjepitan Tali Pusat
A. Tranfusi Plasenta
Pada saat dalam kandungan, janin brhubungan dengan ibunya
melalui plasenta dimana tali pusat memiliki rerata panjang 55 cm dengan
diameter 0,8 cm sampai 2 cm, biasanya berisi dua pembuluh darah arteri
umbilikalis dan satu pembuluh darah vena umbilikalis dimana diameter
arteri lebih kecil dibanding vena(Cunningham, 2005) Adapun nilai
normal untuk darah tali pusat tertera pada table 2.2
Pembuluh darah plasenta berisi sekitar 150 ml darah. Penundaan
penjepitan tali pusat dapat meningkatkan volume darah, dan sejumlah
darah yang diterima oleh bayi bergantung pada saat tali pusat dijepit
setelah melahirkan (Phillip, 2004)
Tabel 2.1 Nilai normal hematologis untuk darah tali pusat
(Brugnara,1998)
Parameter Mean ± SD
Hb (g/dl) 15,3 ± 1,3
Ht (%) 49 ± 5
Eritrosit (x 106/mm3) 4,3 ± 0,9
MCV (fL) 1,2 ± 6
MCH (Pg) 36,2 ± 2,2
MCHC (g/dl) 30,9 ± 1,3

Selama periode fetus/ janin, plasenta memegang peran


oksigenasi otak, setelah lahir, paru akan mengambil alih fungsi
oksigenasi plasenta tersebut.Masa setelah bayi lahir dan sebelum plasenta
dilahirkan, terjadilah peralihan peran penyuplai oksigen dari plasenta ke
paru bayi. Selama masa tersebut, oksigenasi bayi melalui plasenta masih
berlanjut sampai dengan berfungsinya paru sebagai penyuplai oksigen
bayi. Darah plasenta, selama masa tersebut, masih ditransfusikan ke bayi
( disebut transfusi palsental ), mempengaruhi Hb dan Ht bayi baru lahir,

8
9

dapat menambah volume darah bayi, sehingga otak tetap mendapat suplai
oksigen yang cukup. Tiga metode untuk membuktikan adanya transfusi
plasental, yaitu : pengukuran volume darah plasental residual/ Residual
Placental Blood Flow (RPBV), pengukuran volume darah bayi atau sel
darah merah/ eritrosit, dan pengukuran Ht(Phillip,2004) Jika bayi setelah
lahir diletakkan di bawah atau sejajar introitus vagina selama 3 menit dan
sirkulasi fetoplasental tidak segera di putus dengan pemasangan klem,
kurang lebih 80 ml darah mungkin dapat dialirkan dari plasenta ke bayi.
Hal di atas menyediakan sekitar 50 mg besi ( Fe ) sehingga dapat
menurunkan frekuensi anemia defisiensi besi pada masa kehidupan
bayi(Mercer, 2000)
Faktor-faktor yang mempengaruhi transfusi plasental
Faktor-faktor yang mungkin mempengaruhi transfusi plasental sebagai
berikut :
1. Status gizi ibu
Bila ibu mengalami kekurangan gizi selama hamil akan
menimbulkan masalah, baik pada ibu maupun janinnya.
Pertumbuhan fetus dipengaruhi oleh banyak faktor, diantaranya
kecukupan suplai nutrisi fetus dari ibu melalui
plasenta( Mutalazimah, 2005). Ibu hamil dengan gizi buruk tentu
akan berpengaruh terhadap kualitas janinnya. Status gizi ibu hamil
dapat diukur secara antropometri, disamping dengan pengukuran
secara laboratorium, misal kadar Hb ibu. Pemeriksaan berat badan
dalam hubungan dengan tinggi badan dapat dinilai/ diassesmen
menggunakan index massa tubuh (IMT) . IMT dinyatakan = berat
badan(kg) / tinggi badan(meter) 2 . Status gizi ibu berdasarkan IMT
dikelompokkan menjadi: Underweight: IMT < 18,5; Normal:18.5–
24.9; Overweight : 25–29.9 dan Obesitas ≥ 30 (Cunningham,2005).
Kartono D dan Lamid A (1997) mengutip pendapat Power PS, status
gizi juga dapat dibedakan menjadi tiga yaitu underweight, normal,
gemuk (overweight dan obesitas)
10

2. Asfiksia intrauterin.
Transfusi plasental tampaknya mungkin terjadi sebelum persalinan
pada janin mengalami asfiksia intra uterin. Bayi-bayi tersebut
walaupun tali pusat dijepit dini mempunyai RPBV minimal. Asfiksia
intrauterin dapat mengakibatkan peningkatan volume darah, massa
eritrosit dan Ht secara bermakna, tetapi keadaan ini tidak dijumpai
pada asfiksia intrapartum(Phillip, 2004)
3. Respirasi
Respirasi memegang peranan penting dalam transfer darah dari
plasenta ke bayi.Penelitian menggunakan binatang, mencatat bahwa
bayi domba baru lahir, kandungan darah dalam paru mengalami
peningkatan dua kali lipat setelah onset respirasi. Aliran masuk/
inflow darah ke dalam pembuluh darah paru (pembentukan kapiler)
menghasilkan terjadinya pengembangan paru. Paru yang
mengembang menghasilkan vascular bed yang besar sehingga darah
dapat mengalir secara fisiologis. Penelitian hubungan antara RPBV
dan durasi respirasi sebelum dilakukan penjepitan tali pusat,
menyimpulkan bahwa transfusi plasental adalah sebuah konsekuensi
yang tidak dapat dielakkan dari permulaan proses pengembangan
paru, namun ahli obstetri dan ahli anak, hanya memiliki sedikit
perhatian terhadapnya(Phillip, 2004)
4. Waktu Penjepitan tali pusat setelah kelahiran
Terdapat perbedaan yang besar jumlah darah yang berhasil
ditransfusikan ke bayi-bayi aterm ketika dilakukan penjepitan dini (≤
detik) dibandingkan dengan penjepitan tunda (5 menit) pada saat
bayi biasanya menangis.
Sebagian bayi sehat akan mendapatkan transfuse plasenta dengan
jumlah yang besar dalam 45 detik. Untuk mencegah terjadinya
transfuse plasenta pada beberapa keadaan resiko tinggi tertentu,
mungkin penting untuk menjepit tali pusat dalam 15 detik(Phillip,
2004)
11

5. Gravitasi ( posisi bayi )


Bayi dengan posisi lebih rendah dari plasenta, memiliki RPBV
minimal. Posisi bayi 40 cm di bawah introitus vagina ibu, sebagian
besar transfusi plasental telah terjadi dalam waktu 30 detik
saja(Oski, 1996). Ketika bayi letakkan pada 15 cm diatas introitus
vagina selama 1 menit, bayi-bayi tersebut tetap mendapatkan
transfusi plasental 60%, sama dengan yang didapatkan oleh bayi
yang digendong selama kurun waktu yang sama. Hal tersebut
merupakan kenyataan yang berlawanan dengan keyakinan beberapa
peneliti, aliran darah membalik dari bayi ke plasenta tampaknya
tidak terjadi ketika bayi tersebut digendong tinggi, hal ini
diperkirakan dikarenakan oleh peningkatan tekanan tonus
uterus(Phillip, 2004)
6. Kontraksi uterus
Setelah bayi lahir, kontraksi uterus dapat berlangsung selama
beberapa menit untuk mengeluarkan plasenta. Kontraksi ini dapat
memfasilitasi terjadinya transfusi plasental. Pemberian oksitosin
postnatal segera setelah kelahiran dapat meningkatkan kontraksi
uterus secara lebih lanjut dan mungkin mempercepat transfusi
plasental jika penjepitan tali pusat ditunda(Phillip, 2004)

B. Waktu Penjepitan tali Pusat


Tali pusat adalah tali yang menghubungkan janin ke plasenta yang
berfungsi dalam menyalurkan nutrisi dari ibu ke janin. Tali pusat mulai
terbentuk pada minggu kelima usia kehamilan dan terus berkembang
seiring dengan perkembangan janin. Sampai pada usia matang janin (37-
40 minggu), ukuran tali pusat mencapai panjang 50 cm dan diameter 2
cm (Benson, 2008).
Pemotongan tali pusat adalah suatu proses memisahkan bayi
dengan plasenta. Sebelumnya, janin mendapat pasokan nutrisi dari ibu
melalui plasenta dan disalurkan oleh tali pusat, namun setelah lahir dan
tali pusat dipotong, bayi harus memenuhi kebutuhannya sendiri, seperti
12

misalnya bernafas (Sodikin, 2008)


Waktu pemotongan tali pusat ialah waktu pemutusan aliran darah
dari plasenta ke bayi baru lahir saat kelahiran seluruh tubuh bayi baru
lahir oleh penolong bersalin dengan cara pemotongan tali pusat (Adilia,
2011).
Belum terdapat kesepakatan mengenai waktu pemotongan tali
pusat pada bayi baru lahir, namun secara umum, waktu pemotongan tali
pusat dibagi menjadi dua, yaitu waktu pemotongan tali pusat segera dan
penundaan waktu pemotongan tali pusat. Mengenai definisi dari masing
masing tersebut diantara para ahli masih belum ada kesepakatan (Rabe,
2004).
a. Pemotongan Tali Pusat Segera

Definisi pemotongan tali pusat segera tidak jelas dalam


kebanyakan studi kecuali pada McDonnell 1997 di mana waktu yang
tepat untuk pemotongan tali pusat adalah lima detik dan menurut
Ultee 2008 mencatat bahwa waktu pemotongan tali pusat segera
adalah pada 13,4 detik (Mc Donald, 2013).
Pemotongan tali pusat segera didefinisikan sebagai
pemotongan tali pusat yang dilakukan segera setelah bayi baru lahir
hingga sebelum satu menit untuk bayi baru lahir cukup bulan dan
pemotongan tali pusat yang dilakukan sesegera mungkin untuk bayi
prematur (Wickham, 2006). Pemotongan tali pusat kurang dari 15
detik dikategorikan sebagai pemotongan tali pusat segera (Setiawan,
2009).
b. Penundaan Pemotongan Tali Pusat
Definisi penundaan pemotongan tali pusat bervariasi, antara
studi McDonnell (1997) yang memiliki rata-rata waktu penundaan
31 detik, Rabe (2000), 45 detik, Hofmeyr (1988) dan Hofmeyr
(1993), 60 dan 120 detik, Aladagandy (2006) dan Baezinger (2007),
60 sampai 90 detik, Kugelman (2007), Mercer (2003) dan Mercer
(2006) 30 sampai 45 detik, dan 60 detik pada Strauss (2008). Ultee
(2008) memiliki waktu terpanjang yaitu 180 detik (Mc Donald,
13

2012).
Penundaan pemotongan tali pusat adalah pemotongan yang
dilakukan setelah bayi baru lahir bernafas secara teratur, yang
ditemukan rata-rata 94 detik setelah bayi lahir (Philip, 2004).
Sedangkan menurut Setiawan (2009), pemotongan tali pusat di
antara waktu 30 detik sampai 5 menit adalah termasuk dalam
kategori penundaan pemotongan tali pusat.
Kebanyakan penelitian menyebutkan bahwa penundaan
pemotongan tali pusat adalah pemotongan tali pusat yang dilakukan
setelah pulsasi tali pusat berhenti sampai 3 menit pertama setelah
melahirkan (Hutton, 2007). Namun menurut Aziz (2006),
penundaan pemotongan tali pusat adalah pemotongan tali pusat
dalam 2 menit pertama setelah bayi lahir karena transfusi darah
dalam jumlah bermakna sudah terjadi dalam waktu tersebut.
Perdebatan mengenai waktu pemotongan tali pusat masih
berlangsung hingga kini (Tanmoun, 2013). Kebiasaan melakukan
pemotongan tali pusat segera berhubungan dengan praktik obstetri
modern. Pendukung praktik tersebut mengkhawatirkan efek samping
akibat transfusi plasenta termasuk gawat pernafasan, polisitemia,
sindrom hiperviskositas, dan hiperbilirubinemia. Padahal jika ingin
mendukung transfusi fisiologis setelah persalinan sebelum plasenta
dilahirkan, bayi baru lahir akan mendapatkan volume darah yang
mempengaruhi status hematologi bayi baru lahir terutama
hemoglobin dan hematokrit dalam mencegah anemia bayi baru lahir
(Varney, 2009)
Di Indonesia, waktu pemotongan tali pusat awalnya
dilakukan segera setelah bayi lahir dan sebelum penyuntikan
oksitosin (JNPKR, 2004), kemudian mengalami perubahan yaitu
menjadi 2 menit setelah bayi lahir dan setelah pemberian oksitosin
(JNPKR, 2008).
14

2.1.2 Pengaruh Waktu Pemotongan Tali Pusat Terhadap Status


Hematologi Bayi Baru Lahir Cukup Bulan
Pada saat dalam kandungan janin berhubungan dengan ibunya
melalui tali pusat yang merupakan bagian dari plasenta. Setelah bayi lahir,
sebelum plasenta dilahirkan, darah plasenta selama masa tersebut masih
ditransfusikan ke bayi (disebut transfusi palsenta) dan dapat menambah
volume darah bayi baru lahir serta berpengaruh terhadap status
hemoglobin dan hematokrit bayi baru lahir (Philip, 2004).
Volume darah bayi meningkat pada penundaan pemotongan tali
pusat dibandingkan dengan pemotongan tali pusat segera. Rata-rata
volume darah saat satu setengah jam setelah lahir pada bayi dengan
penundaan pemotongan tali pusat adalah 78 ml/kg BB dibanding 98,6
ml/kgBB pada bayi dengan penundaan pemotongan tali pusat (Miller,
2005).
15

Perbedaan waktu pemotongan tali pusat sebagai intervensi


yang dilakukan setelah bayi lahir memberikan dampak yang berbeda.
Berikut adalah status hematologi bayi baru lahir cukup bulan dilihat
berdasarkan perbedaan waktu pemotongan tali pusat :
1. Hemoglobin
Penundaan pemotongan tali pusat akan meningkatkan jumlah
eritrosit yang ditransfusikan ke bayi, hal tersebut tercermin dalam
peningkatan kadar hemoglobin bayi baru lahir (Susilowati, 2009).
Ditemukan bayi usia 7 jam yang dilakukan pemotongan tali
pusat segera (kurang dari 1 menit) memiliki kadar hemoglobin lebih
sedikit dibandingkan dengan bayi yang dilakukan penundaan
pemotongan tali pusat. Begitupun saat pemeriksaan ulang pada bayi
tersebut di usia 2 dan 3 bulan (Hutton, 2007).
Penelitian lain menemukan bayi yang dilakukan pemotongan
tali pusat segera setelah bayi baru lahir, dalam 48 jam memiliki
kadar hemoglobin sebesar 16,1 g/dL sedangkan pada bayi yang
dilakukan penundaan pemotongan tali pusat, kadar hemoglobin lebih
tinggi yaitu sebesar 17,8 g/dL (Tanmoun, 2013).
Studi kolaborasi Cochrane (2013) mengemukakan bahwa
peningkatan hemoglobin yang signifikan terjadi pada bayi yang
dilakukan penundaan pemotongan tali pusat dalam rentang waktu 1-
3 menit akibat dari transfusi plasenta dan penambahan volume darah
sebesar 30-50%.
Penelitian pada bayi saat berusia 72 jam, bayi dengan
penundaan pemotongan tali pusat memiliki rerata volume darah
sekitar 93 ml/kg dan massa eritrosit 49 ml/kg, sedangkan pada
pemotongan tali pusat segera bayi memiliki rerata volume darah 82
ml/kg, dan masa eritrosit 31 ml/kg sehingga penundaan pemotongan
tali pusat dapat meningkatkan hemoglobin selama satu minggu
pertama kelahiran (Susilowati, 2009).
16

2. Hematokrit
Pada penelitian terhadap bayi baru lahir cukup bulan yang
dilakukan pemotongan tali pusat 5 menit setelah bayi lahir, didapat
penambahan secara bermakna pada nilai hematokrit dan volume sel
darah merah. Hal tersebut juga ditemukan pada pemotongan tali
pusat 1 menit setelah bayi baru lahir (Adilia, 2011).
Kadar hematokrit pada bayi yang dilakukan pemotongan tali
pusat dengan segera adalah sebesar 47,8% sedangkan pada bayi
yang dilakukan penundaan pemotongan tali pusat memiliki kadar
hematokrit sebesar 53,5% (Lubis, 2008)
Bayi baru lahir usia 2 jam, didapat kadar hematokrit berkisar
0,44-0,53 pada bayi dengan pemotongan tali pusat segera (kurang
dari 15 detik) dan 0,58-0,70 pada bayi dengan penundaan
pemotongan tali pusat(2 menit). Pada kelompok pemotongan tali
pusat segera, hematokrit menurun secara signifikan setelah 24 jam,
menjadi berkisar antara 0,37-0,48 pada bayi dengan pemotongan tali
pusat segera dan 0,54-0,67 pada bayi dengan penundaan
pemotongan tali pusat. (Aziz, 2006).
Peningkatan hematokrit pada kelompok penundaan
pemotongan tali pusat juga ditemukan pada penelitian oleh
Thawinkarn (2008) dan Santosa (2008). Pada penelitian tersebut
ditemukan kadar hematokrit pada kelompok penundaan pemotongan
tali pusat adalah 41,6-60,6% sedangkan pada kelompok pemotongan
tali pusat segera adalah 37,6-54,7%
3. Zat Besi
Kadar Hb dan eritrosit yang cukup memungkinkan tingkat
oksigenasi yang optimal dan dapat menyediakan sumber Fe yang
sangat bermanfaat bagi bayi. Sumber Fe yang cukup, sangat penting
untuk kehidupan selanjutnya untuk memenuhi kebutuhan sel akan
Fe, termasuk produksi eritrosit. Fe sebagai salah satu mikronutrien
penting bagi sel. Besi adalah nutrien yang penting tidak hanya untuk
pertumbuhan normal, kesehatan dan kelangsungan hidup anak, tetapi
17

juga untuk perkembangan mental, motorik dan fungsi kognitif (Irsa,


2002).
Jika bayi setelah lahir diletakkan di bawah atau sejajar introitus
vagina selama 3 menit dan sirkulasi fetoplasental tidak segera
diputus dengan pemasangan klem, kurang lebih 80 ml darah
mungkin dapat dialirkan dari plasenta ke bayi. Hal di atas
menyediakan sekitar 50 mg besi (Fe) sehingga dapat menurunkan
frekuensi anemia defisiensi besi pada masa kehidupan bayi
(Cunningham, 2005).
Beberapa peneliti menemukan bahwa penundaan pemotongan
tali pusat telah terbukti bermanfaat menghasilkan kadar ferritin dan
Hb yang lebih tinggi serta menurunkan secara signifikan terjadinya
anemia pada masa bayi (Mc Donald, 2013). Penundaan pemotongan
tali pusat merupakan strategi yang murah dan efektif untuk
menurunkan kejadian anemia pada bayi terutama pada negara
berkembang (WHO, 2012).
Penundaan pemotongan tali pusat 2 hingga 3 menit dapat
memberikan penambahan volume darah sekitar 25-35 ml/kgBB.
Dengan asumsi konsentrasi besi dalam hemoglobin sekitar 3,4 mg/g,
kira-kira pada bayi dengan berat 3 kg, akan menerima 46-60 mg zat
besi. Jika kita memperkirakan bahwa bayi yang baru lahir
membutuhkan sekitar 0,7 mg zat besi per hari untuk pertumbuhan
dan perkembangan, pemeliharaan kadar hemoglobin dan tingkat
mioglobin serta enzim dalam otot dan jaringan lain. Kadar zat besi
sebesar 46-60 mg akan bertahan hingga 1-3 bulan pertama
kehidupannya (Chaparro, 2011).
Penelitian lain pun menyebutkan bahwa bayi dengan berat 3,2
kg yang dilakukan penundaan pemotongan tali pusat dan memiliki
hemoglobin darah sebesar 170 g/dL, akan menambahkan kadar zat
besi sebesar 75 mg ke dalam penyimpanan zat besinya sehingga
cukup untuk kebutuhan bayi hingga 3 bulan (Chaparro, 2006).
Untuk kadar zat besi bayi baru lahir yang dilihat berdasarkan
18

level feritin dalam penyimpanan zat besi. Ditemukan pada usia 2


hingga 3 bulan, bayi dengan pemotongan tali pusat segera memiliki
kadar feritin yang lebih rendah (<50µg/L), begitupun saat usia bayi 6
bulan (Hutton, 2007).
Kejadian anemia dan kadar zat besi yang lebih rendah
ditemukan pada bayi dengan pemotongan tali pusat segera, karena
bayi tersebut tidak mendapatkan penambahan volume darah sebesar
40% dari transfusi plasenta (Hutchon, 2012).
4. Bilirubin
Sel darah merah bayi baru lahir memiliki umur yang singkat,
yaitu rata-rata 80 hari (berbeda dari umur sel darah merah orang
dewasa yaitu 120 hari). Penggantian sel yang cepat ini menghasilkan
lebih banyak hasil metabolit akibat penghancuran sel termasuk
bilirubin, yang harus dimetabolisme. Muatan bilirubin yang
berlebihan ini menyebabkan ikterus fisiologis yang terlihat pada
bayi baru lahir (Varney, 2009).
Bagi bayi cukup bulan, dengan waktu pemotongan tali pusat 5
menit setelah bayi baru lahir dengan waktu pemotongan tali pusat
kurang dari 15 detik didapat bilirubin serum bayi baru lahir rata-rata
adalah 7,7 mg/dL dan 3,2 mg/dL. Dalam penelitian tersebut tidak
ditemukan bayi yang memerlukan fototerapi pada usia lebih dari 3
hari (Adilia, 2011).
Pada bayi baru lahir cukup bulan, kejadian ikterus lebih
banyak terjadi pada kelompok penundaan pemotongan tali
pusat,akibat penambahan sel darah merah dan ketika terjadi
pemecahan eritrosit, lebih banyak bilirubin yang dihasilkan.
Sedangkan pada bayi kurang bulan yang juga dilakukan penundaan
pemotongan tali pusat, tidak ditemukan kejadian ikterus (Hutchon,
2012).
Kadar serum bilirubin total pada bayi baru lahir 48 jam dengan
penundaan pemotongan tali pusat lebih tinggi dibandingkan dengan
bayi yang dilakukan pemotongan tali pusat segera, yaitu sebesar
19

13,3 mg/dL dan 12,7 mg/dL. Pada penelitian ini, indikator bayi
dengan hiperbilirubinemia adalah pada bayi yang membutuhkan
fototerapi, dan hal tersebut ditemukan lebih banyak pada bayi yang
dilakukan penundaan pemotongan tali pusat (Tanmoun, 2013). Hal
tersebut sesuai dengan penemuan Aziz (2006), yang menemukan 3
bayi dari 15 bayi memiliki nilai bilirubin serum > 15 mg/dL pada
kelompok penundaan pemotongan tali pusat, sedangkan pada
kelompok pemotongan tali pusat segera, tidak ditemukan adanya
peningkatan bilirubin abnormal yang abnormal. Namun, setelah
dilihat perbedaannya secara bermakna, peningkatan bilirubin yang
menyebabkan hiperbilirubinemia tidak terbukti secara signifikan.
Sesuai dengan penelitian yang dilakukan oleh Hutton (2007),
tidak terdapat perbedaan kadar bilirubin yang signifikan dari dua
kelompok waktu pemotongan tali pusat bahkan hingga bayi berusia
72 jam dan tidak ditemukan bayi yang memerlukan fototerapi dari
kelompok penundaan tali

2.2 Landasan Teori


2.2.1. Sirkulasi Darah Janin dan Bayi Baru Lahir
A. Sirkulasi Darah Janin
Pada sirkulasi janin, ventrikel kanan dan kiri berada dalam sirkuit
paralel yang berlawanan dengan sirkuit seri neonatus atau dewasa. Pada
janin, pertukaran gas dan metabolit dilakukan oleh plasenta. Paru-paru
tidak memberikan pertukaran gas dan pembuluh darah dalam sirkulasi
paru-paru mengalami vasokontriksi. Ada tiga bangunan kardiovaskuler
unik pada janin yang penting untuk mempertahankan sirkulasi paralel
ini : duktus venosus, foramen ovale, dan duktus arteriosus.
20

Sumber: Yorkshire and Humber Congenital Cardiac Network (2012)


Gambar 2.1 Sistem Kardiovaskuler Janin

Darah teroksigenasi yang kembali dari plasenta, dengan PO


(tekanan oksigen) sekitar 30-35 mmHg mengalir ke janin melalui vena
umbilikalis. Sekitar 50% darah vena umbilikalis masuk ke sirkulasi
hepatis, sedang sisanya melintasi hati dan bergabung dengan vena
kava inferior melalui duktus venosus, tempat ia sebagian bercampur
dengan darah vena kava inferior yang kurang teroksigenasi yang
berasal dari bagian bawah tubuh janin. Kombinasi tubuh bagian bawah
ini ditambah dengan aliran darah vena umbilikalis (PO2 sekitar 26-18
mmHg) masuk atrium kanan dan diarahkan secara khusus melewati
foramen ovale ke atrium kiri. Kemudian darah ini mengalir ke dalam
ventrikel kiri dan dikeluarkan ke dalam aorta asendens. Darah vena
kava superior janin yang sangat kurang teroksigenasi (PO2 12-14
mmHg) masuk atrium kanan, secara khusus melintasi trikuspidalis
bukannya foramen ovale, dan mengalir terutama ke ventrikel kanan.
Darah tersebut kemudian dipompa dari ventrikel kanan ke
dalam arteria pulmonalis karena sirkulasi arteria pulmonalis
vasokontriksi dan hanya sekitar 10% aliran keluar ventrikel kanan
masuk paru-paru. Sebagian besar darah ini (yang mempunyai PO 2,
sekitar 18-22 mmHg) melintasi paru-paru dan mengalir melalui duktus
arteriosus ke dalam aorta desendens untuk terus ke bagian bawah tubuh
janin juga untuk kembali ke plasenta melalui dua arteria umbilikalis,
21

dengan demikian, tubuh bagian atas janin (termasuk arteria koronaria


dan serebral, dan yang ke ekstremitas atas) dialiri hanya dari ventrikel
kiri dengan darah yang mempunyai PO2 sedikit lebih tinggi daripada
darah yang mengaliri bagian bawah tubuh janin, yang berasal sebagian
terbesar dari ventrikel kanan. Hanya sedikit volume darah dari aorta
asendens (10% dari curah jantung janin) mengalir melewati isthmus
aorta ke aorta desendens.

Gambar 2.2 Sirkulasi Janin

Curah jantung janin total, yaitu gabungan curah ventrikel (CV)


baik ventrikel kiri maupun kanan-berjumlah sekitar 450 ml/kg/men.
Sekitar 65% aliran darah aorta desendens kembali ke plasenta, sisanya
35% mengaliri organ-organ dan jaringan janin. Pada janin, dengan
persentase aliran darah lebih besar menuju otak, curah ventrikel kanan
mungkin lebih mendekati 1,3 kali aliran ventrikel kiri, dengan
demikian, selama kehidupan janin, ventrikel kanan tidak hanya
memompa melewati tekanan darah sistemik tetapi melakukan kerja
dengan volume yang lebih besar daripada ventrikel kiri (Nelson, 2000).
Perlu diketahui bahwa adanya krista dividens sebagai pembatas
pada vena kava, memungkinkan sebagian besar darah bersih dari duktus
venosus langsung mengalir ke arah foramen ovale. Sebaliknya sebagian
22

kecil akan mengalir kearah ventrikel kanan (Prawirohardjo, 2010).

Sumber: Okymehtn (2012)


Gambar 2.3 Krista Dividens

B. Sirkulasi Darah Peralihan


Pada saat lahir, pengembangan mekanik paru-paru dan
kenaikan PO2 arterial menyebabkan penurunan tahanan vaskuler
pulmonal cepat. Secara serentak penghentian sirkulasi plasenta
bertahanan rendah megakibatkan penambahan tahanan vaskuler
sistemik. Curah darah dari ventrikel kanan sekarang mengalir
seluruhnya ke dalam sirkulasi pulmonal dan karena tahanan vaskuler
pulmonal lebih rendah daripada tahanan vaskuler sistemik, shunt
melalui duktus arteriosus berbalik dan menjadi dari kiri ke kanan.
Selama perjalanan beberapa hari setelah lahir, PO 2 arterial yang tinggi
mengkontriksi duktus arteriosus dan ia menutup, akhirnya menjadi
ligamentum arteriosum. Kenaikan volume aliran darah pulmonal yang
kembali ke atrium kiri menaikkan volume dan tahanan atrium kiri
cukup untuk secara fungsional menutup foramen ovale, walaupun
foramen dapat tetap terbuka dengan probe-paten selama bertahun-
tahun.
Pengambilan plasenta dari sirkulasi juga menyebabkan
penutupan duktus venosus, dengan demikian, dalam beberapa hari
23

peralihan, total dari sirkulasi paralel (janin) ke seri (dewasa) hampir


sempurna. Ventrikel kiri sekarang dirangkaikan dengan sirkulasi
sistemik tahanan tinggi dan ketebalan dinding dan massanya mulai
bertambah. Sebaliknya ventrikel kanan sekarang dirangkaikan dengan
sirkulasi pulmonal bertahanan rendah, dan ketebalan dinding dan
massanya sedikit berkurang. Ventrikel kiri pada janin memompa
darah hanya pada bagian atas tubuh dan otak, sekarang harus
menghantarkan seluruh curah jantung sistemik (sekitar 350
ml/kg/men), penambahan curah hampir 200%. Kenaikan yang
mencolok pada pekerjaan ventrikel kiri ini dicapai melalui gabungan
isyarat hormonal dan metabolik, termasuk penambahan katekolamin
(Nelson, 2000).
Aliran darah dari plasenta berhenti pada saat tali pusat diklem.
Tindakan ini meniadakan suplai oksigen plasenta dan menyebabkan
terjadinya serangkaian reaksi selanjutnya. Reaksi-reaksi ini dilengkap
oleh reaksi-reaksi yang terjadi dalam paru sebagai respon terhadap
tarikan napas pertama (Varney, 2009).
Sebelum Lahir Setelah Lahir

Sumber : Frases (2009)


Gambar : 2.4 Skema Perubahan Kardiovaskuler

C. Sirkulasi Darah Neonatus

Pada saat lahir, sirkulasi janin harus segera beradaptasi dengan


kehidupan ekstrauterin seperti pertukaran gas dipindahkan dari
plasenta ke paru-paru. Beberapa dari perubahan ini sebenarnya
24

spontan bersama dengan pernapasan pertama dan yang lain


dipengaruhi selama beberapa jam atau beberapa hari sesudah pada
mulanya ada penurunan ringan pada tahanan darah sistemik,
kemudian ada kenaikan progresif dengan semakin bertambahnya
umur. Frekuensi jantung melambat akibat respon baroreseptor pada
kenaikan tahanan vaskuler sistemik bila sirkulasi plasenta
dihilangkan. Rata-rata tekanan aorta sentral pada neonatus cukup
bulan adalah 75/50 mmHg.
Penurunan tahanan vaskuler pulmonal mencolok terjadi karena
vasodilatasi aktif (terkait PO2) maupun pasif (terkait mekanik) dengan
mulainya ventilasi. Pada neonatus normal, penutupan duktus
arteriosus dan penurunan tahanan vaskuler pulmonal menyebabkan
penurunan tekanan arteria pulmonalis dan ventrikel kanan. Penurunan
tahanan pulmonal dari tingkat janin yang tinggi ke tingkat “dewasa”
pada bayi biasanya terjadi pada hari 2-3 pertama tetapi dapat
diperpanjang selama 7 hari atau lebih. Lewat umur beberapa minggu
pertama, tahanan vaskuler pulmonal bahkan menurun lebih lanjut
akibat perubahan bentuk vaskularisasi pulmonal, meliputi penipisan
otot polos vaskuler dan penambahan pembuluh darah baru.
Curah jantung neonatus (sekitar 350 ml/kg/men) turun sesudah
umur 2 bulan pertama sampai 150 ml/kg/men, kemudian turun lagi
secara perlahan-lahan sampai mencapai curah jantung sekitar 75
ml/kg/men. Persentase hemoglobin janin yang tinggi yang ada pada
neonatus sebenarnya dapat mengganggu penghantaran oksigen ke
jaringan neonatus, sehingga memerlukan penambahan curah jantung
untuk penghantaran oksigen yang cukup ke jaringan.
Pada neonatus cukup bulan, oksigen merupakan faktor
pengendali penutupan duktus yang paling penting, bila PO2 darah
yang lewat melalui duktus mencapai sekitar 50 mmHg, dinding duktus
berkontriksi, mekanisme kontriksi duktus yang diaktifkan oksigen
belum sepenuhnya dimengerti. Pengaruh oksigen pada otot polos
duktus mungkin langsung diperantarai oleh pengaruhnya pada sintesis
25

prostaglandin. Umur kehamilan juga tampak memainkan peran


penting, duktus bayi prematur kurang tanggap terhadap oksigen
walaupun otot-ototnya berkembang (Nelson, 2000).

2.3. Hematologi Bayi Baru Lahir Cukup Bulan


Hematologi adalah ilmu yang berkenaan dengan darah, jaringan
yang menghasilkan darah, dan kelainan, penyakit, serta gangguan yang
berkaitan dengan darah. Sistem hematologi terdiri dari semua sel-sel darah,
sumsum tulang tempat sel tumbuh matang, dan jaringan lomfoid tempat sel
darah disimpan jika tidak bersirkulasi (Corwin, 2009).
Komponen sel dan plasma darah mengalami perubahan yang
dramatis dari janin ke bayi. Hal ini terutama berlaku di beberapa bulan
kehidupan pertamanya sebagai bayi dalam masa transisi dari lingkungan
intrauterin ke kehidupan ekstrauterin (Elzouki, 2012).
Nilai darah pada bayi baru lahir lebih bervariasi daripada nilai pada
orang dewasa atau anak yang lebih tua. Bidan harus menyadari rentang nilai
untuk keadaan normal terhadap perawatan bayi baru lahir (Varney, 2009).
26

2.3.1 Hemoglobin

Hemoglobin adalah suatu bahan yang penting sekali dalam


eritrosit dan dibentuk dalam sumsum tulang. Hemoglobin ini dibentuk
dari hem dan globin. Hem sendiri terdiri dari 4 struktur pirol dengan
atom Fe di tengahnya, sedangkan globin terdiri dari 2 pasang rantai
polipeptida.
Jenis hemoglobin normal yang ditemukan pada manusia ialah
HbA yang kadarnya kira-kira 98% dari keseluruhan hemoglobin, HbF
yang kadarnya tidak lebih dari 2% pada anak berumur lebih dari 1
tahun dan HbA2 yang kadarnya tidak lebih dari 3%. Pada bayi baru
lahir kadar HbF masih sangat tinggi yaitu kira-kira 90% dari seluruh
hemoglobin bayi tersebut. Pada perkembangan selanjutnya kadar HbF
ini akan berkurang hingga pada umur 1 tahun dan kadarnya tidak lebih
dari 2% (Hassan, 1985).
Hem dibentuk dalam semua sel tubuh dan bukan saja
merupakan bagian penting dari hemoglobin tetapi juga merupakan
bagian dari sitokrom dan enzim pernafasan yang penting.
Persenyawaannya terdiri dari cincin porifirin dengan atom Fe di
tengahnya (Elzouki, 2012).
Hemoglobin dapat mengikat oksigen (O2) atau
karbonmonoksida (CO) dalam keadaan besi tereduksi (ferro),
sedangkan dalam bentuk teroksidasi (ferri), hemoglobin tidak dapat
mengikat oksigen, tapi mudah mengikat anion. Fungsi hemoglobin
ialah mengangkut oksigen (O2) ke jaringan tubuh dan CO2 dari
jaringan ke paru (Wahidiyat I, 2005).
Bayi baru lahir dilahirkan dengan nilai hemoglobin yang
tinggi. Konsentrasi hemoglobin normal memiliki rentang dari 13,7
sampai 20,0 g/dL. Gomella (2004) memberikan batasan, pada saat
lahir nilai normal Hb bayi baru lahir dengan usia kehamilan > 34
minggu adalah 14 – 20 g/dL, dengan nilai rata-rata 17 g/dL.
Hemoglobin janin memiliki afinitas yang tinggi terhadap
27

oksigen, suatu efek yang menguntungkan bagi janin. Selama beberapa


hari pertama kehidupan, nilai hemoglobin sedikit meningkat,
sedangkan volume plasma menurun. Hemoglobin kemudian turun
perlahan tetapi terus-menerus pada 7 sampai 9 minggu pertama
setelah bayi lahir, disebut anemia fisiologis (Varney, 2009).
Nelson (2000) menyebutkan bahwa anemia fisiologis adalah
penurunan Hb hingga 9,5-11 g/dL pada bayi baru cukup bulan usia 2-
3 bulan. Anemia fisiologis merupakan adaptasi dari bayi baru lahir
akibat peningkatan tekanan O2 dari 25-30 mmHg saat janin menjadi
90-95 mmHg, yang menyebabkan serum eritropoitin menurun
sehingga produksi eritrosit juga menurun (Chapman, 2010).
Anemia fisiologis jika tidak diperhatikan dan diatasi, dengan
tidak memberikan asupan nutrisi yang cukup, akan terus berlangsung
hingga bayi usia 6 bulan dan bukan lagi menjadi hal yang fisiologis
(Chaparro, 2006).
Sedangkan untuk anemia selama masa neonatus (0-28 hari
kehidupan) pada bayi dengan umur kehamilan > 34 minggu
ditentukan berdasar kadar Hb < 13 g/dL (darah vena sentral) atau 14,5
g/dL (darah arteri). Menurut Varney (2009) nilai hemoglobin awal
pada bayi baru lahir sangat dipengaruhi oleh waktu pemotongan tali
pusat dan posisi bayi baru lahir segera setelah lahir.

2.3.2 Hematokrit
Hematokrit pada prinsipnya dihitung berdasarkan
perbandingan persentase volume eritrosit/volume darah (Rachmawati,
2003). Berdasarkan beberapa penelitian nilai normal hematokrit bayi
baru lahir berkisar antara 51,3-56,0% (Oski, 1996). Sumber lain
menyebutkan nilai hematokrit bayi baru lahir antara 45 dan 65%
(Linderkamp O, 2004).
Rata-rata hematokrit tali pusat 52,3%, kemudian pada hari
pertama kehidupan menjadi 58,2%, sementara pada hari ketiga 54,5%
dan pada akhir hari ke-7 sekitar 54,9%. Penelitian terhadap 629 bayi
28

baru lahir normal, hematokrit (darah kapiler) hari pertama kehidupan


adalah 62,9 ± 3,2% (Oski, 1996). Kadar hematokrit darah vena pada
tali pusat 40% diartikan sebagai batas anemia pada neonatus, namun
karena kadar hematokrit meningkat kurang lebih 10% pada jam-jam
pertama kehidupan, sehingga secara pendekatan klinis lebih tepat
mendefinisikan anemia neonatus berdasar kadar hematokrit adalah
pada batas 45% pada 6 jam setelah lahir (Cernadas, 2006) dan bila
kadar hematokrit meningkat > 65%, disebut polisitemia.
Polisitemia pada bayi baru lahir didefinisikan sebagai
peningkatan kadar hematokrit > 65%. Polisitemia dihubungkan
dengan peningkatan jumlah eritrosit dalam pembuluh darah dan
sering dihubungkan dengan kelainan/gangguan pada neonatus.
Gangguan akibat polisitemia yang dihubungkan dengan peningkatan
viskositas darah yaitu terjadinya gangguan kinetika aliran darah. Hal
tersebut bermanifestasi aliran darah yang lambat dan terjadi endapan
darah dan merupakan predisposisi terjadinya mikrotrombi dan
penurunan oksigenasi jaringan (Susilowati, 2009). Risiko polisitemia
meningkat pada bayi-bayi yang dilahirkan dari ibu dengan diabetes
dan bayi kembar serta yang mengalami twin to twin transfusi (Aziz,
2006).
Faktor faktor yang mempengaruhi hemoglobin dan hematokrit
bayi baru lahir :
A. Asal sampel darah
Darah kapiler mempunyai hemoglobin lebih tinggi dibanding
dengan darah vena, namun antar peneliti tidak sama nila
perbedaannya. Beberapa jam setelah lahir, terdapat perbedaan ±
5% antara kadar Hb kapiler dibanding dengan darah vena (Oski,
1996).
B. Waktu pengambilan sampel darah
Selama beberapa jam pertama kehidupan terjadi peningkatan
konsentrasi Hb. Peningkatan ini terutama terjadi akibat transfusi
plasental selama proses persalinan. Pada jam-jam pertama
29

kehidupan, tampaknya plasma meninggalkan sirkulasi. Total


volume darah pada bayi menyesuaikan segera setelah lahir,
terjadi penurunan volume plasma, sementara eritrosit tetap.
Sehingga sebagai hasil akhir, terjadi peningkatan jumlah eritrosit,
Ht dan Hb (Oski, 1996). Gomella (2004) berpendapat, nilai
hemoglobin bayi sehat aterm tidak berubah secara signifikan
sampai minggu ke-3 kehidupan, kemudian turun sampai 11 g/dL
pada usia 8 – 12 minggu.
C. Kadar hemoglobin ibu
Pengaruh ibu anemia pada kadar besi bayi tidak begitu besar.
Pada ibu hamil, besi ditransport melalui plasenta secara efisien
sehingga bayi yang cukup bulan dan sehat mempunyai cadangan
besi yang cukup. Telah banyak diketahui kekurangan besi pada
ibu hamil hanya mempunyai efek yang ringan pada besi di dalam
janin dan neonatus, sebab transfer besi dari ibu ke janin cukup
baik, kecuali ibu hamil mengalami kekurangan besi yang berat.
D. Waktu pemotongan tali pusat
Di dalam plasenta diperkiraan mengandung sejumlah 75-125
cc darah saat lahir, atau kurang lebih 1/4 sampai 1/3 volume
darah fetus. Kurang lebih 1/3 darah plasenta ditransfusikan dalam
waktu 15 detik pertama setelah lahir dan setengahnya dalam 1
menit pertama setelah lahir (Oski, 1996). Sebagian besar bayi
sehat mendapatkan transfusi plasental dengan jumlah yang besar
dalam 45 detik setelah lahir (Philip 2004).
Volume darah bayi meningkat pada penundaan pemotongan
tali pusat dibandingkan dengan pemotongan tali pusat segera.
Rata-rata volume darah saat satu setengah jam setelah lahir pada
bayi dengan penjepitan dini 78 ml/kgBB dibanding 98,6 ml/kgBB
pada bayi dengan penundaan pemotongan tali pusat.
30

Sumber: Sloan (2012)


Gambar 2.5 Tali Pusat yang Dibiarkan Selama 15 Menit

Gambar di atas memperlihatkan terjadinya aliran darah dari


plasenta sebelum dilahirkan ke bayi dan sebelum dilakukan
pemotongan tali pusat. Semakin lama pemotongan tali pusat
dilakukan maka aliran darah yang terlihat semakin berkurang.
Penundaan waktu pemotongan tali pusat selama 1 menit
dapat menambah volume darah bayi baru lahir sebesar 80 ml dan
sebesar 100 ml pada penundaan waktu pemotongan tali pusat
selama 3 menit (Varney, 2009).
E. Faktor lain
Faktor lain yang mempengaruhi kadar Hb dan Ht bayi baru
lahir adalah umur kehamilan, kehamilan ganda, bayi dengan ibu
diabetes melitus, berat lahir, bayi kecil masa kehamilan (KMK)
(Philip, 2004), hipertensi, pre-eklamsi/eklamsi (Prawirohardjo,
2010).
Setiap faktor yang mempengaruhi proses terjadinya transfusi
plasenta akan mempengaruhi kadar Hb dan Ht bayi baru lahir,
seperti durasi respirasi, asfiksia intrauterin, pengaruh
gravitasi/posisi bayi, kontraksi uterus dan kelainan plasenta
lainnya seperti infark, hematom dan solutio plasenta (Santosa,
2008).
31

2.3.3 Fe (Zat Besi)

Jumlah Fe pada bayi kira kira 400 mg yang terbagi sebagai


berikut: masa eritrosit 60%, feritin dan hemosiderin 30%, mioglobin
5-10%, hemenzim 1% dan besi plasma 0,1%. Pengangkutan Fe dari
rongga usus hingga menjadi transferin, yaitu suatu ikatan Fe dan
protein di dalam darah terjadi di dalam beberapa tingkat.
Fe dalam makanan terikat pada molekul lain yang lebih
besar. Di dalam lambung Fe akan dibebaskan menjadi ion feri oleh
pengaruh asam lambung (HCL). Di dalam usus halus, ion feri diubah
menjadi ion fero oleh pengaruh alkali. Ion fero inilah yang kemudian
diabsorpsi oleh sel mukosa usus. Sebagian akan disimpan sebagai
persenyawaan feritin dan sebagian masuk ke peredaran darah
berikatan dengan protein yang disebut transferin. Selanjutnya
transferin ini akan dipergunakan untuk sintesis hemoglobin. Sebagian
dari transferin yang tidak terpakai akan disimpan sebagai labile iron
pool. Ion fero diabsorpsi jauh lebih mudah daripada ion feri, terutama
bila makanan mengandung Fe yang larut, sedangkan fosfat, oksalat
dan fitrat menghambat absorpsi Fe (Hassan, 1985).
Eksresi Fe dari tubuh sangat sedikit. Fe yang dilepaksan pada
pemecahan hemoglobin dari eritrosit yang sudah mati akan masuk
kembali ke dalam iron pool dan akan dipergunakan lagi untuk sintesa
hemoglobin, jadi di dalam tubuh yang normal kebutuhan akan Fe
sangat sedikit, namun pada bayi baru lahir, dalam bulan-bulan
pertama kehidupannya, bayi menggunakan Fe dalam jumlah besar dan
cepat untuk mengimbangi kecepatan tumbuh dan bertambahnya
volume darah tubuh.
Menjelang usia 4 bulan cadangan Fe bayi berkurang 50%
(Santosa, 2008). Cadangan Fe tubuh dalam 2 bentuk, yaitu feritin dan
hemosiderin. Cadangan Fe disimpan terutama di hepar, sel
retikuloendotelial dan sumsum tulang. Di hepar sebagian besar Fe
disimpan di parenkim (hepatosit) dan sebagian kecil di sel-sel
32

retikuloendotelial (sel Kupffer).


Di sumsum tulang dan limpa Fe disimpan terutama di sel-sel
retikuloendotelial. Cadangan Fe berfungsi sebagai reservoir untuk
memberi Fe pada sel-sel yang sangat membutuhkan, terutama pada
pembentukan hemoglobin (Fleming RE, 2005).
Jumlah zat besi dalam darah tali pusat pada bayi normal lebih
tinggi dibandingkan jumlah zat besi yang dimiliki ibu. Rata-rata
nilainya sekitar 150 µg/dl. Bayi yang mendapatkan suplemen zat besi
memiliki nilai rata-rata zat besi sebanyak 125 µg/dl dalam 1 bulan
pertama dan 75 µg/dl dalam usia 6 bulan. Kapasitas total
penyimpanan zat besi meningkat selama 1 tahun pertama
kehidupannya. Batas rata-rata penyebaran zat ini menurun hampir
65% dalam setengah bulan menjadi 25% dalam 1 tahun. Anemia
berdasarkan kadar zat besi adalah < 100 µg/dl (Kee, 1995).
Nilai rata-rata serum feritin dalam kandungan zat besi yang
cukup pada bayi sangat tinggi saat kelahiran, yaitu 160 µg/dl dan
meningkat selama 1 bulan pertama, kemudian menurun menjadi 30
µg/dl dalam 1 tahun pertama kehidupannya (Segel, 2011).

2.3.4 Bilirubin

Sebagian besar bilirubin terbentuk sebagai akibat


degradasi hemoglobin pada sistem retikuloendotelial. Tingkat
penghancuran hemoglobin pada neonatus lebih tinggi daripada pada
bayi yang lebih tua. Satu gram hemoglobin dapat menghasilkan 35
mg bilirubin indirek. Bilirubin indirek yaitu bilirubin yang bereaksi
tidak langsung dengan zat warna diazo, yang bersifat tidak larut
dalam air tetapi larut dalam lemak. Produksi bilirubin pada fetus dan
neonatus diduga sama besarnya tetapi kesanggupan hepar mengambil
bilirubin dan sirkulasi sangat terbatas. Begitupun dengan
kesanggupannya untuk mengkonjugasi sehingga hampir semua
bilirubin pada janin dalam bentuk bilirubin indirek dan mudah melalui
33

plasenta ke sirkulasi ibu dan dieksresi oleh hepar ibunya. Pada


keadaan fisiologis tanpa gejala, hampir semua neonatus dapat terjadi
akumulasi bilirubin indirek sampai 2 mg/dL. Hal ini menunjukkan
ketidakmampuan fetus mengolah bilirubin berlanjut pada masa
neonatus. Pada masa janin hal ini diselesaikan oleh hepar ibunya,
tetapi pada masa neonatus hal ini berakibat penumpukan bilirubin dan
disertai gejala ikterus. Pada bayi baru lahir karena fungsi hepar belum
matang atau bila terdapat gangguan dalam fungsi hepar akibat
hipoksia, asidosis atau bila terdapat kekurangan enzim glukoronil
transferase atau kekurangan glukosa, kadar bilirubin indirek dalam
darah dapat meninggi. Bilirubin indirek yang terikat pada albumin
sangat tergantung pada kadar albumin dalam serum. Inilah yang
menjadi dasar pencegahan kernicterus dengan pemberian albumin
atau plasma. Bila kadar bilirubin indirek mencapai 20 mg/dL pada
umumnya kapasitas maksimal pengikatan bilirubin oleh neonatus
yang mempunyai kadar albumin normal telah tercapai (Hassan, 1985).
Diketahui bahwa pada setiap bayi baru lahir akan terjadi
peningkatan kadar bilirubin indirek dalam serum secara fisiologis,
timbul dalam minggu pertama kehidupannya, biasanya dimulai pada
hari kedua atau hari ketiga, dengan kadar puncak 5-6 mg/dL pada hari
ke 4-5 dan akan menurun secara spontan.
Ikterus atau hiperbilirubinemia adalah peningkatan
konsentrasi bilirubin 5 mg/dL atau lebih setiap 24 jam atau
konsentrasi bilirubin serum sewaktu 12,5 mg/dL pada bayi cukup
bulan (Prawirohardjo, 2010).
Penyebab ikterus pada bayi baru lahir, disebabkan oleh
beberapa faktor. Secara garis besar dapat dibagi sebagai berikut :
a. Produksi yang berlebihan
Hal ini melebihi kemampuan bayi untuk mengeluarkannya,
misalnya pada hemolisis yang meningkat pada inkompatibilitas
darah Rh, ABO, golongan darah lain, defisiensi enzim G-6-PD,
piruvat kinase, perdarahan tertutup dan sepsis.
34

b. Gangguan dalam proses „uptake‟ dan konjugasi hepar


Gangguan ini dapat disebabkan oleh imaturitas hepar, kurangnya
substrat untuk konjugasi bilirubin, gangguan fungsi hepar, akibat
asidosis, hipoksia dan infeksi atau tidak terdapatnya enzim
glukoronil transferase.
c. Gangguan transportasi
Bilirubin dalam darah terikat pada albumin kemudian diangkut ke
hepar. Ikatan bilirubin dengan albumin ini dapat dipengaruhi oleh
obat misalnya salisilat dan sulfafurazole. Defisiensi albumin
menyebabkan lebih banyak terdapatnya bilirubin indirek yang
bebas dalam darah yang mudah melekat ke sel otak.
d. Gangguan dalam eksresi
Gangguan ini dapat terjadi akibat obstruksi dalam hepar atau di
luar hepar. Kelainan di luar hepar biasanya disebabkan oleh
kelainan bawaan. Obstruksi dalam hepar biasanya akibat infeksi
atau kerusakan hepar oleh penyebab lain (Hassan, 1985).

2.4 Peta Teori


Bayi Baru Lahir Aterm Faktor Plasenta Faktor Ibu
Besarnya diameter Usia Kehamilan
Solutio Plasenta Kontraksi Uterus
Plasenta Preria IMT (Status Gizi)
Morfololgi Tekun Darah
Infark, Hematom Gula Darah

Faktor Bayi
BB
Gemelli
Asfiksi
Durasi Respirasi
Tranfusi Plasenta Posisi setelah lahir

Haematologi Bayi
Kadar Hb
Penundaan Penjepitan Kadar Ht
Zat Besi
Tali Pusat Bilirubin

Bagan 2.1 Peta Teori


35

Masa setelah bayi lahir dan sebelum plasenta dilahirkan, terjadilah


peralihan peran penyuplai oksigen dari plasenta ke paru bayi. Selama masa
tersebut, oksigenasi bayi melalui plasenta masih berlanjut sampai dengan
berfungsinya paru sebagai penyuplai oksigen bayi. Darah plasenta, selama
masa tersebut, masih ditransfusikan ke bayi ( disebut transfusi palsental ),
Faktor lain yang mempengaruhi kadar Hb dan Ht bayi baru lahir pada transfusi
Plasenta adalah umur kehamilan, kehamilan ganda, bayi dengan ibu diabetes
melitus, berat lahir, bayi kecil masa kehamilan (KMK) ,hipertensi, pre-
eklamsi/eklamsi. Setiap faktor yang mempengaruhi proses terjadinya transfusi
plasenta akan mempengaruhi kadar Hb,Ht,Zat besi dan billirubin bayi baru
lahir, seperti durasi respirasi, asfiksia intrauterin, pengaruh gravitasi/posisi
bayi, kontraksi uterus dan kelainan plasenta lainnya seperti infark, hematom
dan solutio plasenta
36

BAB III

KERANGKA KONSEP DAN HIPOTESIS PENELITIAN

3.1 Kerangka Konsep

Penundaan Penjepitan Kadar Hematologi Bayi Baru Lahir


Tali Pusat Aterm

Bagan 3.1
Kerangka Konsep

Tali pusat adalah tali yang menghubungkan janin ke plasenta yang


berfungsi dalam menyalurkan nutrisi dari ibu ke janin. Tali pusat mulai
terbentuk pada minggu kelima usia kehamilan dan terus berkembang seiring
dengan perkembangan janin. Sampai pada usia matang janin (37-40 minggu),
ukuran tali pusat mencapai panjang 50 cm dan diameter 2 cm (Benson, 2008)
Di dalam plasenta diperkiraan mengandung sejumlah 75-125 cc pertama
setelah lahir dan setengahnya dalam 1 menit pertama setelah lahir (Oski,
1996). Sebagian besar bayi sehat mendapatkan transfuse plasental dengan
jumlah yang besar dalam 45 detik setelah lahir (Philip 2004). Bayi-bayi yang
mendapatkan transfusi plasental mengalami peningkatan jumlah eritrosit, Hb,
Ht dan volume darah.
Volume darah bayi meningkat pada penundaan pemotongan tali pusat
dibandingkan dengan pemotongan tali pusat segera. Rata-rata volume darah
saat satu setengah jam setelah lahir pada bayi dengan penjepitan dini 78
ml/kgBB dibanding 98,6 ml/kgBB pada bayi dengan penundaan pemotongan
tali pusat. Penundaan waktu pemotongan tali pusat selama 1 menit dapat
menambah volume darah bayi baru lahir sebesar 80 ml dan sebesar 100 ml
pada penundaan waktu pemotongan tali pusat selama 3 menit (Varney, 2009).

36
37

3.2 Hipotesis
H1 = Kadar hematologi Bayi Baru Lahir Aterm lebih tinggi yang
dilakukan penundaan penjepitan tali pusat (Delayed Cord Clamping)
38

DAFTAR PUSTAKA

Abalos E. Effect of timing of umbilical cord clamping of term infants on maternal


and neonatal outcomes. : RHL commentary, The WHO Reproductive
Health Library; Geneva: World Health Organization. 2008
Adilia, L., Tari, N. R., Primantara, D. (2011) Perbandingan Klem Tali Pusat Dini
Dan Lambat Pada Bayi. Sari Pustaka, Universitas Padjajaran.
Aldous MB. Delayed Umbilical Cord Clamping Improves Iron Status at 6 Months
of Age. AAP Grand Rounds 2006;16;31
Andersson, O., Hellstrom, L., Andersson, D., & Domellof, M. (2011) Effect Of
Delayed Versus Early Umbilical Cord Clamping On Neonatal Outcomes
And Iron Status At 4 Months: A Randomised Controlled Trial. BMJ, 343
(10), pp 1-12.
Astrianti, L. R., Pangemanan, W. T., Bernolian, N., & Yakub, K. (2012) Neonatal
Haemoglobin and Haematocrit Leve on Delayed Cord Clamping. Indones
J Obstet Gynecol, 36 (1), pp 24-27.
Artha, Kurniawan (2013) Penundaan Penjepitan Tali Pusat sebagai Strategi yang Efektif
untuk menurunkan Insiden Anemia Defisiensi Besi pada Bayi Baru Lahir,
Bagian/SMF Obstetri dan Ginaekologi Fakultas Kedokteran Universitas
Udayana/Rumah Sakit Umum Pusat Sanglah
Aziz, Samir F. (2006) Early Cord Clamping and Its Effect on some Hematological
Determinants of Blood Viscosity in Neonatus [Internet]. Tersedia di:
<http://www.obgyn.net/articles/early-cord-clamping-and-its-effect-some-
hematological-determinants-blood-viscosity-neonates> [Diakses 17
September 2013].
Benson, Ralph C. & Martin L. Pernoll (2008) Buku Saku Obstetric Dan
Ginekologi Edisi 9. Jakarta: EGC
Beutler, Ernest. ed. (2007) Williams Hematology 6th Edition. New York: Mc
Graw Hill Medical Publishing Division
Cernadas, J. M. C., Carroli, G., Pellegrini, L., Otano, L., Ferreira, M., Ricci, C.,
Casas, O., Giordano, D., & Lardizabal, J. (2006) The Effect of Timing of
Cord Clamping on Neonatal Venous Hematocrit Values and Clinical
Outcome at Term: A Randomized, Controlled Trial. Pediatrics, 117 (4),
pp e779-e786.
Chaparro, C. M., Neufeld, L. M., Alavez, G. T., Cedilo, R. E., & Dewey, K. G.
(2006) Effect Of Timing Of Umbilical Cord Clamping on Iron Status in
Mexican Infants: a Randomised Controlled Trial. Lancet, 367, pp 1997-
2004.
Chaparro, Camila M. (2011) Timing Of Umbilical Cord Clamping: Effect On Iron
Endowment Of The Newborn And Later Iron Status. Nutritions Reviews,
69 Suppl 1, pp S30-S36.
Chapman, R. L. & Colson, E. R. (2010) Perinatal Physiology [Internet]. Tersedia
di: <http://www.merck.com/mmpe/sec19/ch271/ch271a.html> [Diakses 23
Oktober 2013]
Committee on Obstetric Practice. (2012) Timing of Umbilical Cord Clamping
After Birth. Committee Opinion, (543), pp 1-5.
Corwin, Elizabeth L. (2009) Buku Saku Patofisiologi Ed. 3. Jakarta : EGC

38
39

Cunningham, F. Gary (2006) Obstetri William Edisi 21 Volume 2. Jakarta : EGC


Dewi, Vivian N. (2010) Asuhan Neonatus, Bayi dan Anak Balita. Jakarta:
Salemba Medika
Elzouki, Abdelaziz Y ed. (2012) Textbook of Clinical Pediatrics Second Edition.
New York: Springer Heidellbergh Dordrecht
Emhamed MO, Rheenen P, & Brabin BJ. (2004) The Early Effects Of Delayed
Cord Clamping In Term Infants Born To Libyan Mothers [Internet].
Tersedia di: <http://www.ncbi.nlm.nih.gov/pubmed/15510946> [Diakses
17 Oktober 2013]
Fraser, Diane M. & Cooper, Margaret A. (2009) Myles Buku Ajar Bidan Edisi 14.
Jakarta: EGC
Gabbe SG, Niebyl JR, Simpson JL. Fetal Physiology in : Obstetrics Normal and
Problem Pregnancies, 5th Editon. Churchill Livingstone Elsevier. 2007
Gillespie S, Johnston JL. Expert Consultation on Anemia: Determinants and
Interventions. Ottawa: The Micronutrient Initiative, 2006
Hassan, Rusepno ed. (1985) Ilmu Kesehatan Anak. Jakarta: Fakultas Kedokteran
Universitas Indonesia
Hutchon, D. J. R. (2012) Immediate Or Early Cord Clamping Vs Delayed
Clamping. Journal of Obstetric and Gynaecology, 32, pp 724-729.
Hutton EK. & Hassan ES. (2007) Late vs Early Clamping of The Umbilical Cord
in Full Term Neonates Systemic Review and Meta Analysis of Controlled
Trials. JAMA, 297 (11), pp 1241-1252.
Irsa L. (2002) Gangguan Kognitif Pada Anemia Defisiensi Besi. Sari Pediatri, 4
pp 114-118.
JNPK-KR/POGI (2004) Asuhan Persalinan Normal. Jakarta: Jaringan Nasional
Pelatihan Klinik
JNPK-KR/POGI (2008) Asuhan Persalinan Normal Dan Inisiasi Menyusui Dini.
Jakarta: Jaringan Nasional Pelatihan Klinik
Johnston, Peter et al. (2004) The Newborn Child Ninth Edition. Edinburgh:
Churchill Livingstone
Kartono D dan Lamid A. Keadaan Kegemukan di Kelurahan Kebon Kelapa,
Bogor Berdasarkan Indeks Massa Tubuh. CDK 1997;120: 5-7.
Kee, Joyce (1995) Buku Saku Laboratorium dan Diagnostik. Jakarta: EGC
Kohn, Amitai (2013) Time to Delay: A Literature Review of Delayed Cord
Clamping. J Neonatal Biol, 2 (119) pp 1-5.
Kosim, M. S., S, Qodri, & Sudarmanto, D. (2009) Pengaruh Waktu Penjepitan
Tali Pusat Terhadap Kadar Hemoglobin dan Hematokrit Bayi Baru Lahir.
Sari Pediatri, 10 (5) pp 331-337.
Lubis, Muara P. (2008) Dampak Penundaan Pengkleman Tali Pusat Terhadap
Peningkatan Hemoglobin Dan Hematokrit Bayi Pada Persalinan Normal.
Tesis, Universitas Sumatra Utara
Matallana, Catalina de Paco (2007) Wait A Few Minute Before Cord Clamping
[Internet]. Tersedia di:
<http://www.sciencedaily.com/releases/2007/05/070509081554.htm>
[Diakses 18 September 2013]
Mathew, Joseph L. (2011) Timing of Umbilical Cord Clamping in Term and
Preterm Deliveries and Infant and Maternal Outcomes: a Systematic
40

Review of Randomized Controlled Trials. Indian Pediatrics, 48 pp 123-


129.
Mc Donald SJ. P, Middleton. T, Dowswell. & PS, Morris (2013) Effect Of
Timing Of Umbilical Cord Clamping Of Term Infants On Maternal And
Neonatal Outcomes (Review). The Cochrane Collaboration, Issue 7 pp 1-
92.
Mercer JS, Nelson CC dan Skovgaard RL. Umbilical cord clamping: beliefs and
practices of american nurse-midwives. Jaurnal of Midwifery & Women’s
Health 2000;45:58-66
Mercer JS, Debra EO. Delayed cord clamping increases infants iron stores. The
Lancet 2006; Vol 367.
Mercer JS., Betty RV, Margaret MM, James FP, Michael W, William OH.
Delayed Cord Clamping in Very Preterm Infants Reduces the Incidence of
Intraventricular Hemorrhage and Late-Onset Sepsis: A Randomized,
Controlled Trial. Pediatrics 2006;117;1235-1242
Milena Garofalo,Haim A. Abenhaim, Early Versus Delayed Cord Clamping in
Term and Preterm Births: A Review, Department of Obstetrics and
Gynecology, Jewish General Hospital, McGill University, Montreal QC
2012
Moore, K. L., & Persaud, T. V. N. (2008) Before We Are Born: Essential of
Embriology and Birth Defect, Seventh Edition. Philadelphia: Sauders
Elseiver
Mutalazimah. Hubungan lingkar lengan atas (LILA) dan kadar hemoglobin (Hb)
ibu hamil dengan berat bayi lahir di RSUD dr. Moewardi Surakarta.
Jurnal Penelitian Sains & Teknologi 2005;6: 114 – 126. Nelson, Waldo E.
ed. (2000) Ilmu Kesehatan Anak. Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran EGC
Obesity. Dalam: Cunningham FG, Leveno KJ, Bloom SL, Hauth JC, Larry GHI
dan Wenstrom KD, Penyunting. Williams Obstetrics. Edisi ke-22. New
York: McGraw-Hill 2005.h.1007-1016
Okymehtn (2012) Fetal and Neonatal Physiologi [Internet]. Tersedia di:
<http://zavantag.com/docs/1632/index-2960.html> [Diakses 23 September
2013]
Oski FA, Naiman JL. (1996) Hematologic Problems In The Newborn Edisi
Kedua. Philadelphia
Pan American Health Organization. Beyond Survival: Integrated delivery care
practices for long-term maternal and infant nutrition, health and
development. Washington, D.C.: PAHO 2007
Philip, Alistair G. S. & Saroj Saigal (2004) When Should We Clamp the
Umbilical Cord. Neo Reviews, 5 (4) pp 142-154.
Prawirohardjo, Sarwono (2010) Ilmu Kebidanan. Jakarta: PT. Bina Pustaka
Sarwono Prawirohardjo
Rabe H., JL., Diaz R., L, Duley, & T, Dowswell (2012) Effect Of Timing Of
Umbilical Cord Clamping And Other Strategies To Influence Placental
Transfusion At Preterm Birth On Maternal And Infant Outcomes
(Review). The Cochrane Collaboration, Issue 8, pp 1-84.
Ringoringo HP. (2008) Pendekatan Diagnostik Status Besi Bayi Berusia 0 Bulan
Sampai 6 Bulan Di Banjarbaru: Saat Terbaik Pemberian Suplementasi
Zat Besi. Disertasi, Universitas Indonesia.
41

Ringoringo, Harapan P. (2009) Insidens Defisiensi Besi dan Anemia Defisiensi


Besi pada Bayi Berusia 0-12 Bulan di Banjarbaru Kalimantan Selatan. Sari
Pediatri, 11 (1) pp 8-14.
Ringoringo, HP. & Windiastuti, E. (2006) Profil Parameter Hematologik dan
Anemia Defisiensi Zat Besi Berumur 0-6 Bulan di RSUD Banjarbaru. Sari
Pediatri, 7 (4) pp 214-218.
Santosa, Qodri (2008) Pengaruh Waktu Penjepitan Tali Pusat Terhadap Kadar
Hemoglobin dan Hematokrit Bayi Baru Lahir. Tesis, Universitas
Diponegoro.
Setiawan, Wawan (2009) Perbandingan Waktu Penjepitan Tali Pusat Segera Dan
Waktu Penjepitan Tali Pusat Lambat Pada Bayi Premature Di RSHS.
Tesis, Universitas Padjadjaran.
Shirvani, F., Radfar, M., Hashemieh, M., Soltanzadeh, M. H., Khaledi, H., &
Mogadam, M. A. (2010) Effect of Timing of Umbilical Cord Clamp on
Newborns‟ Iron Status and its Relation to Delivery Type. Archives of
Iranian Medicine, 13 (5) pp 420-425.
Sinly, Evan P. (2012) Anak Indonesia Kekurangan Zat Besi Dan Seng [Internet].
Tersedia di: <http://sinlyevanputra6.wordpress.com/2012/12/29/anak-
indonesia-kekurangan-zat-besi-dan-seng/> [Diakses 12 September 2013]
Siregar, Olga R., Lubis, B. M., Lubis, M. P., Lubis, B., & Tjipta, G. D. (2012)
Delayed Cord Clamping For Prevention of Iron Deficiency Anemia in
Term Infants. Paediatrica Indonesiana, 52 (4) pp 223-228.
Sloan, Mark (2012) Common Objections to Delayed Cord Clamping [Internet].
Tersedia di: <http://www.scienceandsensibility.org/?p=5730> [Diakses 2
September 2013]
Sodikin (2008) Buku Saku Perawatan Tali Pusat. Jakarta: EGC
Susilowati (2009) Pengaruh Waktu Pengikatan Tali Pusat Terhadap Indeks
Eritrosit Bayi Baru Lahir. Tesis, Universitas Sumatera Utara.
Susilowati H, Suwarti S, Ernawati F, Sukraniti DP, Putri SD, Sudirman H. Faktor-
faktor yang mempengaruhi kejadian anemia pada bayi usia 2,3 dan 4
bulan. Bogor: Puslitbang Gizi dan Makanan Balitbang Kesehatan Depkes;
2005.
Tanmoun MD, Nuanpun (2013) The Hematological Status between Early and
Delayed Cord Clamping after Normal Delivery in Term Infants at
Damnoen Saduak Hospital. Thai Journal of Obtetric and Gynaecology, 21
(2) pp 63-70
Thawinkarn, S., Swadpanich, U., Patipannawat, S., & Chandrakachorn, W (2008)
Early versus Delayed Cord-Clamping in Term-Infants Born at Khon Kaen
Regional Hospital. Thai Journal of Obtetric and Gynaecology, 16 (1) pp
3-11.
Ultee K, Swart J, van der Deure H, Lasham C, van Baar A. Delayed cord
clamping in preterm infants delivered at 34 to 36 weeks gestation: A
randomized controlled trial. Archives of Disease in Childhood. Fetal and
neonatal edition 2007
Varney, Helen (2008) Buku Ajar Asuhan Kebidanan Edisi 4 Volume 2. Jakarta :
EGC
Wahidiyat I, Amalia P (2005) Buku Ajar Hematologi-Onkologi. Jakarta: Badan
Penerbit IDAI
42

Wickham, Sara ed. (2006) Midwifery: Best Practice Volume 4. Edinburgh:


Elsevier Limited.
World Health Organization (2012) WHO Recommendations for the Prevention
and Treatment of Postpartum Haemorrhage. Geneva: WHO, 2012.
Yorkshire and Humber Congenital Cardiac Network (2012) The Normal Fetal
Circulation [Internet]. Tersedia di:
<http://www.yorksandhumberhearts.nhs.uk> [Diakses 1 Oktober 2013]

Anda mungkin juga menyukai