Anda di halaman 1dari 14

Laporan Rahasia Medis

Disusun Oleh :

Argha Pangihutan Sinabutar


1961050129

Fakultas Kedokteran
Universitas Kristen Indonesia
2020
BAB I

PENDAHULUAN
Latar belakang

Di dalam sistematik Hukum Medis terdapat suatu bidang yang terdiri dari beberapa pokok yang
dinamakan sebagai “Trilogi Rahasia Medis”. Dinamakan demikian karena hubungan satu sama
lain antara ketiga bidang itu sedemikian eratnya, sehingga jika membahas salah satu bidang,
bidang yang lain pun akan terkait pula. Yang dimaksudkan disini adalah:
1. Persetujuan Tindakan Medis (Informed Consent),
2. Rekam Medis (Medical Records),
3. Rahasia Medis (Medical Secrecy).
Sepanjang dapat ditelusuri, Rahasia Medis mulai diatur di dalam Sumpah Hippokrates. Selain di
dalam Sumpah Hippokrates, kewajiban menyimpan rahasia medis juga terdapat pada :
1. Declaration of Geneve.
2. International Code of Medical Ethics.
3. Declaration of Lisbon, 1981
4. Kode Etik Kedokteran (KODEKI) tahun 2002
5. Peraturan Pemerintah No. 26 tahun 1966
6. Peraturan Pemerintah No. 10 tahun 1966
Rahasia medis merupakan prinsip hukum dan etika bahwa ada informasi tertentu yang tidak
boleh dibuka sembarangan, dimana informasi tersebut lahir dari hubungan dokter-pasien.
Hubungan dokter-pasien adalah suatu hubungan yang berdasarkan kepercayaan (fiduciary
relationship). Dasar dari hubungan ini adalah bahwa seorang pasien harus dapat menaruh
kepercayaan (trust, vertrouwen) kepada dokternya. Ia harus dapat minta pertolongan kepada
dokter dengan rasa aman dan bebas. Bebas dari keragu-raguan, apalagi ketidakpercayaan. Pasien
harus merasa bebas dan tidak perlu khawatir untuk mengungkapkan segala keluhan yang
dirasakan, baik jasmani maupun rohani. Ia harus percaya bahwa sang dokter itu tidak akan
menceritakan lagi persoalan yang amat pribadi itu kepada orang lain
BAB II
PEMBAHASAN

Dalam menjalankan profesi kedokteran/kesehatan, ada satu hal yang jarang disadari dokter, yaitu
bahwa saat ia menerima pasien untuk mengatasi masalah kesehatan baik di bidang kuratif,
preventif, rehabilitatif, maupun promotif, sebetulnya telah terjadi transaksi atau persetujuan antara
dua pihak dalam bidang kesehatan. Menurut ketentuan hukum, hubungan demikian berlaku
sebagai undang-undang. Artinya tiap-tiap pihak mempunyai hak dan kewajiban yang harus ditaati.
Bila salah satu pihak tidak memenuhi kewajibannya, pihak yang dirugikan dapat menuntut atau
menggugat pihak lain. Untuk melihat atau mendudukkan hubungan dokter dengan pasien yang
mempunyai landasan hukum, dapat dimulai dengan pasal 1313 KUH Perdata:

“Suatu persetujuan adalah suatu perbuatan dengan mana satu orang atau lebih
mengikatkan dirinya terhadap satu orang atau lebih.”

Kitab Undang-Undang Hukum Perdata membedakan dengan jelas antara perikatan yang
lahir dari perjanjian dan perikatan yang lahir dari undang-undang. Akibat hukum suatu perikatan
yang lahir dari perjanjian memang dikehendaki oleh para pihak, karena memang perjanjian
didasarkan atas kesepakatan yaitu persesuaian kehendak antara para pihak yang membuat
perjanjian. Sedangkan akibat hukum suatu perikatan yang lahir dari undang-undang mungkin tidak
dikehendaki oleh para pihak, tetapi hubungan hukum dan akibat hukumnya ditentukan oleh
undang-undang.

Dalam bidang pengobatan, jelas ada hubungan atau persetujuan antara pasien atau keluarga
pasien dan satu orang dokter atau beberapa dokter. Dengan demikian, akibat persetujuan ini akan
terjadi “perjanjian” antara dua pihak. Kedua pihak bersetuju dan berjanji untuk melakukan sesuatu
dalam bidang pengobatan atau kesehatan. Akibat persetujuan dan perjanjian ini akan terjadi
“perikatan” antara kedua pihak di atas (pasien dan dokter). Dalam undang-undang dijelaskan
bahwa yang dimaksud dengan perikatan adalah hubungan hukum antara dua orang atau lebih,
dengan pihak yang satu berhak menuntut sesuatu dari pihak yang lain, sedangkan pihak yang lain
itu berkewajiban memenuhi tuntutan itu.

Terdapat beberapa bentuk hubungan kontrak dokter-pasien, yaitu :

1. Kontrak yang nyata (expressed contract)


Dalam bentuk ini sifat atau luas jangkauan pemberian pelayanan pengobatan sudah
ditawarkan oleh sang dokter yang dilakukan secara nyata dan jelas, baik secara tertulis
maupun secara lisan.
2. Kontrak yang tersirat (implied contract)
Dalam bentuk ini adanya kontrak disimpulkan dari tindakan-tindakan para pihak.
Timbulnya bukan karena adanya persetujuan, tetapi dianggap ada oleh hukum
berdasarkan pertimbangan akalsehat, kebiasaan dan keadilan.

Penentuan bila hubungan dokter-pasien terjadi adalah sangat penting. Mengapa? Karena pada saat
itu sang dokter harus memenuhi kewajiban hukum dan timbulnya tanggung jawab terhadap
pasiennya. Pada umumnya di dalam banyak hal, mulainya hubungan tersebut sangat jelas dan
nyata. Apabila seorang pasien meminta seorang dokter untuk mengobatinya dan sang dokter
menerimanya, maka saat itu sudah dimulai hubungan kontrak antara dokter dan pasien.

Dalam kontrak terapeutik antara pasien dan dokter, memang dokter mendahulukan hak
pasien karena tugasnya merupakan panggilan perikemanusiaan. Namun, pasien yang telah
mengikatkan dirinya dengan dokter, perlu pula memperhatikan kewajiban-kewajibannya sehingga
hubungan dokter dan pasien yang sifatnya saling hormat-menghormati dan saling percaya-
mempercayai terlihat baik.

Dalam KODEKI terdapat pasal-pasal tentang kewajiban dokter terhadap pasien yang
merupakan pula hak-hak pasien yang perlu diperhatikan. Pada dasarnya hak-hak pasien adalah
sebagai berikut :

1. Hak untuk hidup, hak atas tubuhnya sendiri, dan hak untuk mati secara wajar.
2. Memperoleh pelayanan kedokteran yang manusiawi sesuai dengan standar profesi
kedokteran.
3. Memperoleh penjelasan tentang diagnosis dan terapi dari dokter yang mengobatinya.
4. Menolak prosedur diagnosis dan terapi yang direncanakan, bahkan dapat menarik diri
dari kontrak terapeutik.
5. Memperoleh penjelasan tentang riset kedokteran yang akan diikutinya.
6. Menolak atau menerima keikutsertaannya dalam riset kedokteran.
7. Dirujuk kepada dokter spesialis kalau diperlukan, dan dikembalikankepada dokter yang
merujuknya setelah selesai konsultasi atau pengobatan untuk memperoleh perawatan
atau tindak lanjut.
8. Kerahasiaan dan rekam mediknya atas hal pribadi.
9. Memperoleh penjelasan tentang peraturan rumah sakit.
10. Berhubungan dengan keluarga, penasihat, atau rohaniawan, dan lain-lain yang
diperlukan selama perawatan di rumah sakit.
11. Memperoleh penjelasan tentang perincian biaya rawat inap

Sejak zaman Hippokrates, kewajiban memegang teguh rahasia pekerjaan dokter harus
senantiasa dipenuhi, untuk menciptakan suasana percaya mempercayai yang mutlak diperlukan
dalam hubungan dokter dengan pasien. Hippokrates merumuskan sumpah yang harus diucapkan
oleh murid-muridnya tentang rahasia pekerjaan dokter berbunyi: “Apapun yang saya dengar atau
lihat, tentang kehidupan seseorang yang tidak patut disebarluaskan, tidak akan saya ungkapkan,
karena saya harus merahasiakannya”. Namun dalam perkembangan iptek kedokteran selanjutnya,
terdapat pengecualian-pengecualian untuk membuka rahasia jabatan dan pekerjaan dokter, demi
memelihara kepentingan umum dan mencegah hal-hal yang dapat merugikan orang lain. Salah
satu ayat Lafal Sumpah Dokter Indonesia berdasarkan Peraturan Pemerintah No. 26 Tahun 1960,
berbunyi: “Saya akan merahasiakan segala sesuatu yang saya ketahui karena pekerjaan saya dan
karena keilmuan saya sebagai dokter”. Dalam Bab II KODEKI tentan kewajiban dokter terhadap
pasien dicantumkan antara lain: “Seorang dokter wajib merahasiakan segala sesuatu yang
diketahuinya tentang pasien karena kepercayaan yang diberikan kepadanya, bahkan juga setelah
pasien meninggal dunia”

Untuk memperkokoh kedudukan rahasia jabatan dan pekerjaan dokter, telah pula
dikeluarkan Peraturan Pemerintah No.10 Tahun 1966 tentang wajib simpan rahasia kedokteran,
dimana dinyatakan bahwa Menteri Kesehatan dapat melakukan tindakan administratif berdasarkan
pasal 111 Undang-Undang Tentang Kesehatan, jika tidak dapat dipidanakan menurut KUHP
Rahasia adalah sesuatu yang disembunyikan dan hanya diketahui oleh satu orang, oleh
beberapa orang saja, atau oleh kalangan tertentu.

Orang biasanya tidak memberitahukan rahasia kepada orang lain tanpa ada alasan, karena itu
dapat dikatakan bahwa ia terpaksa berbuat demikian. Hal ini janganlah diremehkan. Sudah
barang tentu tidak selalu hal-hal yang diberitahukan kepada seorang dokter merupakan rahasia
yang tidak boleh diberitahukan kepada orang lain. Bagi seorang dokter, menjaga rahasia
pasiennya sering menjadi dilema, terutama jika bertentangan dengan pihak lain atau bahkan
kepentingan umum. Di samping untuk kepentingan umum, kekecualian lain terhadap kewajiban
menjaga rahasia pasien tersebut mestinya berlaku terhadap hal-hal sebagai berikut :

1. Jika ada persetujuan dari pasien untuk dibuka informasi tersebut.


2. Jika dilakukan komunikasi dengan dokter yang lain dari pasien tersebut.
3. Jika informasi tersebut bukan informasi yang tergolong rahasia.

Bandingkan dengan ketentuan dalam Undang-Undang Nomor 29 Tahun 2004 tentang Praktik
Kedokteran yang juga menentukan kekecualian terhadap kewajiban membuka rahasia dokter
tersebut yaitu sebagai berikut :

1. Jika dilakukan untuk kepentingan kesehatan pasien, atau


2. Jika dilakukan atas permintaan penegak hukum, atau
3. Jika dilakukan atas permintaan pasien sendiri, atau
4. Jika dilakukan berdasarkan ketentuan perundang-undangan lainnya.
(vide Pasal 48 ayat (2) Undang-Undang Nomor 29 Tahun 2004).

Karena itu, sebagai kekecualian, seorang dokter mestinya diperkenankan untuk membuka
rahasia pasiennya secara terbatas kepada pihak tertentu saja, asalkan ada alasan pembenar yang
masuk akal. Dalam hal ini, berlaku 3 (tiga) syarat batasan sebagai berikut:

1. Syarat keterbatasan para pihak, yakni boleh dibuka rahasia hanya terhadap pihak yang relevan
saja, misalnya hanya kepada pihak istri/suami, mantan istri/suami, pengadilan, pihak yang
mungkin akan ketularan penyakit, dan lain-lain.
2. Syarat keterbatasan informasi, yakni hanya dibuka informasi sejauh yang diperlukan saja oleh
pihak yang menerima informasi.
3. Syarat keterbatasan persyaratan, yakni hanya dibuka informasi jika ada persyaratan tertentu
saja, antara lain persyaratan-persyaratan sebagai berikut:
a. Ada risiko (misalnya menularnya penyakit) terhadap pihak-pihak keluarga/teman
dekat dari pasien.
b. Secara medis informasi tersebut layak dibuka

Jadi, dokter sebagai salah seorang profesional, secara etika (yang dikuatkan oleh hukum) wajib
juga menjaga rahasia yang didapatinya dari pasiennya. Akan tetapi, ketentuan ini tidaklah berlaku
mutlak disebabkan alasan-alasan sebagai berikut :

1. Dokter tidak semata-mata merupakan alter ago dari pasiennya, tetapi merupakan pihak
profesional yang bekerja sesuai etika profesi.
2. Masih ada kepentingan lain yang mungkin lebih penting dari kepentingan melindungi rahasia
antara dokter dan pasien.

Pelanggaran profesi kedokteran di bidang hukum dapat dilakukan berdasarkan sesuatu yang
terletak dalam:

1. Bidang MEDIK

dan juga yang bersifat NON-MEDIK (informed consent, surat keterangan yang tidak benar,
membuka rahasia medis pasien, dsb)

Pelanggaran hukum dapat menimbulkan Tanggung jawab hukum “legal liability”.

Terkait dengan Rahasia Medis, di dalam prinsip etika diketahui bahwa norma-norma etika
merupakan “self-imposed regulation” yang ditaati atau tidaknya tergantung kepada hati-nurani si
pelaku sendiri. Sanksi etika dapat dijatuhkan oleh organisasi. Demikian pula Lafal Sumpah
Kedokteran yang ditetapkan dalam berbagai peraturan, namun secara yuridis tidak ada dasar
hukumnya untuk menggugatnya.

Dasar yuridis untuk menuntut yang berkenaan dengan Rahasia Medis terdapat pada :

(1) Yurisprudensi Belanda berdasarkan sifat dari:


a) Hoge Raad 21 April 1913
b) Arrondissementsrechtbank Haarlem 11 Desember 1984 tentang larangan
mengungkapkan Rahasia Medis,
(2) Hukum Perdata Indonesia
a) Perjanjian terapeutik antara dokter dan pasien (hukum),
b) Pasal 1909 tentang hak Tolak Mengungkap (verschoningsrecht),
c) Pasal 1365 tentang perbuatan melawan hukum(onrechtmatigedaad).
(3) Hukum Pidana
a) Pasal 322 tentang wajib menyimpan rahasia
b) Pasal 224 tentang Panggilan Menghadap sebagai Saksi Ahli
(4) Hukum Acara Pidana (KUHAP)
a) Pasal 170 tentang Wajib menyimpan rahasia,
b) Pasal 179 tentang Wajib memberikan keterangan sebagai Ahli Kedokteran
Kehakiman, atau sebagai Dokter.
(5) Hukum Acara Perdata
(Reglemen Indonesia yang diperbaharui).
(a) Pasal 146 ayat 3.
(Reglemen Luar Jawa)
(b) Pasal 174.
(6) Hukum Administrasi
Peraturan Pemerintah No. 10 tahun 1946 Yang memperluas jangkauan Wajib simpan
Rahasia Kedokteran terhadap tenaga kesehatan lainnya.
(7) Konvensi Internasional
(sesudah Ratifikasi)
(a) United Nations Declaration of Human Rights,
(b) Declaration of Lisbon tentang Hak Rahasia atas diri pribadi.

Untuk memahami soal rahasia jabatan ditilik dari sudut hukum, tingkah laku seorang
dokter kita bagi dalam 2 jenis :

1. Tingkah laku yang bersangkutan dengan pekerjaan sehari-hari.


Dalam hal ini yang harus diperhatikan ialah:
a. Pasal 322 KUHP yang berbunyi:
(1) “Barang siapa dengan sengaja membuka sesuatu rahasia yang ia wajib
menyimpannya oleh karena jabatan atau pekerjaannya, baik yang sekarang
maupun yang dulu, dihukum dengan hukuman penjara selama-lamanya
sembilan bulan atau denda sebanyak-banyaknya enam ratus rupiah”.
(2) “Jika kejahatan ini dilakukan terhadap seorang yang tertentu, ia hanya dituntut
atas pengaduan orang itu”.
b. Pasal 1365 KUH Perdata
“Barangsiapa yang berbuat salah sehingga seorang lain menderita kerugian,
berwajib mengganti kerugian itu”.
2. Tingkah laku dalam keadaan khusus
Menurut hukum, setiap warga negara dapat dipanggil oleh pengadilan untuk
didengar sebagai saksi. Selain itu, seorang yang mempunyai keahlian dapat juga
dipanggil sebagai ahli. Dengan demikian, dapatlah terjadi, bahwa seorang yang
mempunyai keahlian, umpamanya seorang dokter, dipanggil sebagai saksi, sebagai ahli
atau sekaligus sebagai saksi ahli.
Sebagai saksi atau saksi ahli mungkin sekali ia diharuskan memberi keterangan
tentang seorang yang sebelum itu telah menjadi pasien yang diobatinya. Ini berarti ia
seolah-olah diharuskan melanggar rahasia pekerjaannya. Kejadian yang bertentangan
ini dapat dihindarkan karena adanya hak undur diri seperti yang dahulu tercantum
dalam Pasal 277 Reglemen Indonesia yang diperbarui (RIB).
Kini ketentuan ini sudah tidak berlaku lagi, yaitu setelah diundangkannya Kitab
Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) yang berlaku sejak tanggal 31
Desember 1981. Tentang hak undur diri terhadap pasal-pasal 120 dan 168, dan secara
khusus tercantum pada pasal 170 KUHAP, sebagai berikut:
1. Mereka yang karena pekerjaan, harkat martabat atau jabatannya diwajibkan
menyimpan rahasia, dapat dibebaskan dari kewajiban untuk memberi
keterangan sebagai saksi, yaitu tentang hal yang dipercayakan kepada mereka.
2. Hakim menentukan sah atau tidaknya segala alasan untuk permintaan tersebut,
pengadilan negeri memutuskan apakah alasan yang dikemukakan oleh saksi
atau saksi ahli untuk tidak berbicara itu, layak dan dapat diterima atau tidak.

Penegakan hak undur diri dapat dianggap sebagai pengakuan para ahli hukum, bahwa kedudukan
rahasia jabatan itu harus dijamin sebaik-baiknya, malahan dengan membebaskan seorang dokter
yang menjadi saksi ataupun saksi ahli.

Pembebasan itu tidak selalu datang dengan sendirinya. Menurut ayat (2), Pengadilan
Negeri/Ketua Pengadilan Negeri atau Hakim yang memutuskan apakah alasan yang dikemukakan
oleh saksi atau saksi ahli untuk tidak berbicara itu layak dan dapat diterima atau tidak. dalam hal
ini, mungkin sekali timbul pertentangan yang amat keras antara pendapat dokter dan pendapat
hakim, yaitu bila hakim tidak dapat menerima alasan yang dikemukakan oleh dokter untuk
menggunakan hak undur dirinya karena ia berkeyakinan bahwa keterangan yang harus diberikan
itu melanggar rahasia jabatannya.

Prof. Eck mengemukakan 4 (empat) justifikasi untuk pengecualian pengungkapan, yaitu:

1. Izin dari yang berhak (de toestemming van degeheimgerechtigde)


2. Dasar pembenaran (rechtsvaardigingsgrond) yang terpenting adalah izin dari yang berhak,
in casudari pasien itu sendiri. KUHP Pasal 322 memberikan ancaman hukuman bagi si
pelanggar karena dianggap sebagai pelanggaran terhadap suatu rahasia yang dipercayakan
kepadanya. Jika sudah diberi izin, maka dokter dibebaskan dari kewajibannya untuk
berdiam (zwijgplicht). Pemberian izin itu bisa secara terbatas, dalam arti terbatas terhadap
orang-orang tertentu. Bisa juga dibatasi ruang lingkup rahasia itu sendiri, misalnya terbatas
hanya kepada apa yang diperlukan saja Keadaan mendesak atau terpaksa (de noodtoestand
of the overmacht),
Di dalam keadaan terpaksa - juga tanpa izin pasien – seorang dokter dapat mengungkapkan
Rahasia medis pasien. Yang dimaksudkan dengan “keadaan terpaksa” adalah suatu situasi
dimana suatu norma dapat dilanggar demi suatu kepentingan yang lebih besar. Di dalam
KUHP ini disebut sebagai “keadaan terpaksa” (overmacht) sebagaimana diatur di dalam
KUHP pasal 48. Konkretnya bisa juga menyangkut diri pasien itu sendiri, misalnya pasien
yang mencoba untuk membunuh diri (tentamen suicide). Bisa jadi kasus yang menyangkut
kepentingan orang lain. Demikian pula kepentingan Negara bisa terancam, atau dalam
pemeliharaan kesehatan masyarakat.
3. Peraturan perundang-undangan (het wettelijk voorschrift)
Dalam hal tertentu, oleh Undang-undang tidak saja diberikan kewenangan, tetapi juga
kewajiban untuk mengungkapkan data-data medis tertentu. Didalam hal semacam ini
secara jelas dicantumkan didalam KUHP pasal 50. Secara formal ditentukan dijamin tidak
akan dihukum: setiap orang yang melanggar suatu norma berdasarkan undang-undang.
Misalnya kewajiban untuk melaporkan kelahiran, kematian, kewajiban untuk melaporkan
jika ada penyakit tertentu, dan sebagainya. Dalam hal ini dapat dianggap bahwa secara
material oleh undang-undang sudah dipertimbangkan, bahwa terdapa kepentingan yang
lebih besar. Secara formal justifikasinya terletak pada adanya perundang-undangannya.
4. Perintah jabatan (het bevoegd gegeven ambtelijk bevel)
Sebagai dasar pembenaran (rechtsvaardigingsgrond) lain untuk melanggar suatu norma
adalah atas perintah jabatan yang diatur di dalam KUHP Pasal 51. Contoh yang paling jelas
yang berkaitan dengan Rahasia Medis dalam kaitan pasal 51 ini adalah dalam kaitan
kemiliteran, di mana juga terdapat tenaga profesi medis. Sebagai tentara berdasarkan
Hukum Militer ia harus patuh terhadap perintah atasannya, namun sebagai dokter ia pun
terikat rehadap profesinya. Terdapat di sini suatu dualisme, dua kepentingan atau dua
kewajiban yang saling bertentangan. Kepentingan yang mana yang dianggap lebih tinggi:
perintah atasan yang sebagai seorang militer harus dipatuhi, atau peraturan perundang-
undangan yang mewajibkan kepadanya sebagai pemegang profesi medis untuk memegang
rahasia medis.

Terkait dengan rahasia kedokteran, bagaimana apabila seorang dokter setelah melakukan
pemeriksaan medis pada seseorang anak usia 5 tahun dan menemukan indikasi telah terjadi “child
abuse”, secara hukum apa yang harus dilakukan dokter tersebut?

Bila dokter tersebut melaporkan hal ini kepada KPAI atau Unit PPA maka bagaimana
hubungannya dengan rahasia kedokteran sang pasien? Apakah sang dokter bisa dituntut
berdasarkan Pasal 322 KUHP, apakah juga dia dapat dikategorikan melanggar kode etik
kedokteran?

Masalah “Perbuatan Melawan Hukum” (Onrechtmatige daad, Tort) di dalam sistematik


KUH Perdata diatur di dalam Buku II pada Titel 3 yang mengatur tentang Perikatan
(Verbintenissen). Perbuatan melawan hukum diatur di dalam KUH Perdata Pasal 1365, Pasal 1366,
dan Pasal 1367.

Menurut teori klasik yang membedakan antara gugatan wanprestasi dan gugatan perbuatan
melawan hukum ialah, tujuan gugatan wanprestasi adalah untuk menempatkan penggugat pada
posisi seandainya perjanjian tersebut terpenuhi (put the plaintiff to the position if he would have
been in had the contract been performed). Dengan demikian ganti rugi tersebut adalah berupa
kehilangan keuntungan yang diharapkan atau disebut dengan istilah expectation loss atau
winstderving. Sedangkan tujuan gugatan perbuatan melawan hukum adalah untuk menempatkan
posisi penggugat kepada keadaan semula sebelum terjadinya perbuatan melawan hukum. Sehingga
ganti rugi yang diberikan adalah kerugian yang nyata atau reliance loss. Bagi dokter yang menjadi
pedoman dalam menentukan sikapnya ialah: Yang pertama-tama didahulukan adalah rahasia
jabatan dokter, terutama karena kewajiban moral. Alasan melepaskan rahasia jabatan yang
mungkin terpaksa ditempuh adalah pertumbuhan akal sehat, yaitu ada tidaknya kepentingan yang
lebih utama atau kepentingan umum.

Disamping itu, dokter yang dalam hal ini sebagai seseorang yang secara kebetulan
mengetahui bahwa ada tindak pidana yang telah terjadi, dokter punya kewajiban untuk
melaksanakan pasal 108 yang mengatur mengenai pengaduan dan pelaporan tindak pidana, yang
bunyinya sebagai berikut:

(1) Setiap orang yang mengalami, melihat, menyaksikan dan atau menjadi korban peristiwa
yang merupakan tindak pidana berhak untuk mengajukan laporan atau pengaduan kepada
penyelidik dan atau penyidik baik lisan maupun tulisan.
(2) Setiap orang yang mengetahui permufakatan jahat untuk melakukan tindak pidana terhadap
ketentraman dan keamanan umum, wajib seketika itu juga melaporkan hal tersebut kepada
penyelidik atau penyidik.
(3) Setiap pegawai negeri dalam rangka melaksanakan tugasnya mengetahui tentang
terjadinya peristiwa yang merupakan tindak pidana wajib melaporkan hal tersebut kepada
penyelidik atau penyidik.

Berdasarkan Peraturan Menteri Kesehatan RI No. 68 Tahun 2013 Tentang Kewajiban


Pemberi Layanan Kesehatan Untuk Memberikan Informasi Atas Adanya Dugaan Kekerasan
Terhadap Anak bahwa pemberi layanan kesehatan yang dalam melakukan pelayanan kesehatan
menemukan adanya dugaan kekerasan terhadap anak wajib memberitahukan kepada orang tua
dan/atau pendamping anak tersebut, sehingga rasa takut/khawatir akan melanggar Rahasia Medis
pasien tidak perlu terjadi. Karena ada kondisi pengecualian yang diperbolehkan menurut hukum
dan etika.
BAB III

SIMPULAN

1. Seorang dokter wajib merahasiakan segala sesuatu yang diketahuinya tentang pasien
karena kepercayaan yang diberikan kepadanya bahkan juga setelah pasien meninggal
dunia (Bab II KODEKI).
2. Kewajiban menyimpan rahasia medis telah diatur dalam UU, per-UU, serta KODEKI
yang terkait, bahkan sanksi pelanggarannya dapat dikenakan berdasarkan KUHP,
KUHPerdata, serta sanksi dari organisasi profesi.
3. Ketentuan menjaga rahasia medis tidak berlaku mutlak, artinya dokter diperbolehkan
dan/atau diwajibkan membuka rahasia pasiennya secara terbatas kepada pihak tertentu,
sepanjang demi memelihara kepentingan umum dan mencegah hal-hal yang dapat
merugikan kepentingan orang lain.
4. Berdasarkan Permenkes RI No.68 Tahun 2013 Tentang Kewajiban Pemberi Layanan
Kesehatan Untuk Memberikan Informasi Atas Adanya Dugaan Kekerasan Terhadap
Anak bahwa dokter wajib melakukan pengungkapan rahasia medis.
5. Permenkes RI No. 68 Tahun 2013 merupakan tindak lanjut dari pasal 108 KUHP dan
UU Perlindungan Anak No. 23 Tahun 2002.
6. Pada dasarnya semua pihak dapat berperan untuk mencegah terjadinya kekerasan pada
anak. Peran masyarakat termasuk tenaga kesehatan yang setiap hari harus melindungi
anak dari berbagai situasi agar anak dapat tumbuh dan berkembang (Growth and
Development), mencapai kedewasaan, terjaga kelangsungan hidupnya (Child survival),
dan terbebas dari kekerasan, diskriminasi dan eksploitasi untuk segera melaporkan
kejadian mencegah terjadinya kekerasan yang berkelanjutan.
DAFTAR PUSTAKA

George D. Pozgar, Legal and Ethical Issues, Burlington, USA: Jones&Bartlett Learning, 2013

J. Guwandi, Dugaan Malpraktik Medik & Draft RPP Perjanjian Terapeutik Antara Dokter dan
Pasien, Jakarta, 2006,

J. Guwandi, Rahasia Medis, Jakarta: FKUI, 2005 Kementerian Kesehatan Republik Indonesia,
Pedoman Pengembangan Puskesmas Mampu Tatalaksana KtP/A, Jakarta

Munir Fuady, Sumpah Hippocrates (Aspek Hukum Malpraktek Dokter), Bandung: PT. Citra
Aditya Bakti, 2005

Maher Hathout, In Pursuit of Justice (The Jurisprudence of Human Rights in Islam), Los
Anggles, California: Muslim Public Affairs Council, 2006

Suharnoko, Hukum Perjanjian Teori dan Analisa Kasus, Prenada Media, Jakarta 2004

Tony Hope, et all, Medical Ethics and Law, The Core Curriculum, London: Churchill
Livingstone, 2003

M. Jusuf Hanafiah & Amri Amir, Etika Kedokteran & Hukum Kesehatan,, Jakarta: EGC,1999

Judi, “Tata Kelola Dokumen Rekam Medis Sebagai Upaya Menjaga Rahasia medis di Pelayanan
Kesehatan”, Jurnal Informasi Kesehatan Indonesia Vol. 5 No 1 2017.

Ratna Winahyu Lestari Dewi, “Wajib Simpan Rahasia Kedokteran versus Kewajiban Hukum
Sebagai Saksi Ahli, Jurnal Vol XVIII No. 3, 2013.

Anda mungkin juga menyukai