Disusun Oleh :
Fakultas Kedokteran
Universitas Kristen Indonesia
2020
BAB I
PENDAHULUAN
Latar belakang
Di dalam sistematik Hukum Medis terdapat suatu bidang yang terdiri dari beberapa pokok yang
dinamakan sebagai “Trilogi Rahasia Medis”. Dinamakan demikian karena hubungan satu sama
lain antara ketiga bidang itu sedemikian eratnya, sehingga jika membahas salah satu bidang,
bidang yang lain pun akan terkait pula. Yang dimaksudkan disini adalah:
1. Persetujuan Tindakan Medis (Informed Consent),
2. Rekam Medis (Medical Records),
3. Rahasia Medis (Medical Secrecy).
Sepanjang dapat ditelusuri, Rahasia Medis mulai diatur di dalam Sumpah Hippokrates. Selain di
dalam Sumpah Hippokrates, kewajiban menyimpan rahasia medis juga terdapat pada :
1. Declaration of Geneve.
2. International Code of Medical Ethics.
3. Declaration of Lisbon, 1981
4. Kode Etik Kedokteran (KODEKI) tahun 2002
5. Peraturan Pemerintah No. 26 tahun 1966
6. Peraturan Pemerintah No. 10 tahun 1966
Rahasia medis merupakan prinsip hukum dan etika bahwa ada informasi tertentu yang tidak
boleh dibuka sembarangan, dimana informasi tersebut lahir dari hubungan dokter-pasien.
Hubungan dokter-pasien adalah suatu hubungan yang berdasarkan kepercayaan (fiduciary
relationship). Dasar dari hubungan ini adalah bahwa seorang pasien harus dapat menaruh
kepercayaan (trust, vertrouwen) kepada dokternya. Ia harus dapat minta pertolongan kepada
dokter dengan rasa aman dan bebas. Bebas dari keragu-raguan, apalagi ketidakpercayaan. Pasien
harus merasa bebas dan tidak perlu khawatir untuk mengungkapkan segala keluhan yang
dirasakan, baik jasmani maupun rohani. Ia harus percaya bahwa sang dokter itu tidak akan
menceritakan lagi persoalan yang amat pribadi itu kepada orang lain
BAB II
PEMBAHASAN
Dalam menjalankan profesi kedokteran/kesehatan, ada satu hal yang jarang disadari dokter, yaitu
bahwa saat ia menerima pasien untuk mengatasi masalah kesehatan baik di bidang kuratif,
preventif, rehabilitatif, maupun promotif, sebetulnya telah terjadi transaksi atau persetujuan antara
dua pihak dalam bidang kesehatan. Menurut ketentuan hukum, hubungan demikian berlaku
sebagai undang-undang. Artinya tiap-tiap pihak mempunyai hak dan kewajiban yang harus ditaati.
Bila salah satu pihak tidak memenuhi kewajibannya, pihak yang dirugikan dapat menuntut atau
menggugat pihak lain. Untuk melihat atau mendudukkan hubungan dokter dengan pasien yang
mempunyai landasan hukum, dapat dimulai dengan pasal 1313 KUH Perdata:
“Suatu persetujuan adalah suatu perbuatan dengan mana satu orang atau lebih
mengikatkan dirinya terhadap satu orang atau lebih.”
Kitab Undang-Undang Hukum Perdata membedakan dengan jelas antara perikatan yang
lahir dari perjanjian dan perikatan yang lahir dari undang-undang. Akibat hukum suatu perikatan
yang lahir dari perjanjian memang dikehendaki oleh para pihak, karena memang perjanjian
didasarkan atas kesepakatan yaitu persesuaian kehendak antara para pihak yang membuat
perjanjian. Sedangkan akibat hukum suatu perikatan yang lahir dari undang-undang mungkin tidak
dikehendaki oleh para pihak, tetapi hubungan hukum dan akibat hukumnya ditentukan oleh
undang-undang.
Dalam bidang pengobatan, jelas ada hubungan atau persetujuan antara pasien atau keluarga
pasien dan satu orang dokter atau beberapa dokter. Dengan demikian, akibat persetujuan ini akan
terjadi “perjanjian” antara dua pihak. Kedua pihak bersetuju dan berjanji untuk melakukan sesuatu
dalam bidang pengobatan atau kesehatan. Akibat persetujuan dan perjanjian ini akan terjadi
“perikatan” antara kedua pihak di atas (pasien dan dokter). Dalam undang-undang dijelaskan
bahwa yang dimaksud dengan perikatan adalah hubungan hukum antara dua orang atau lebih,
dengan pihak yang satu berhak menuntut sesuatu dari pihak yang lain, sedangkan pihak yang lain
itu berkewajiban memenuhi tuntutan itu.
Penentuan bila hubungan dokter-pasien terjadi adalah sangat penting. Mengapa? Karena pada saat
itu sang dokter harus memenuhi kewajiban hukum dan timbulnya tanggung jawab terhadap
pasiennya. Pada umumnya di dalam banyak hal, mulainya hubungan tersebut sangat jelas dan
nyata. Apabila seorang pasien meminta seorang dokter untuk mengobatinya dan sang dokter
menerimanya, maka saat itu sudah dimulai hubungan kontrak antara dokter dan pasien.
Dalam kontrak terapeutik antara pasien dan dokter, memang dokter mendahulukan hak
pasien karena tugasnya merupakan panggilan perikemanusiaan. Namun, pasien yang telah
mengikatkan dirinya dengan dokter, perlu pula memperhatikan kewajiban-kewajibannya sehingga
hubungan dokter dan pasien yang sifatnya saling hormat-menghormati dan saling percaya-
mempercayai terlihat baik.
Dalam KODEKI terdapat pasal-pasal tentang kewajiban dokter terhadap pasien yang
merupakan pula hak-hak pasien yang perlu diperhatikan. Pada dasarnya hak-hak pasien adalah
sebagai berikut :
1. Hak untuk hidup, hak atas tubuhnya sendiri, dan hak untuk mati secara wajar.
2. Memperoleh pelayanan kedokteran yang manusiawi sesuai dengan standar profesi
kedokteran.
3. Memperoleh penjelasan tentang diagnosis dan terapi dari dokter yang mengobatinya.
4. Menolak prosedur diagnosis dan terapi yang direncanakan, bahkan dapat menarik diri
dari kontrak terapeutik.
5. Memperoleh penjelasan tentang riset kedokteran yang akan diikutinya.
6. Menolak atau menerima keikutsertaannya dalam riset kedokteran.
7. Dirujuk kepada dokter spesialis kalau diperlukan, dan dikembalikankepada dokter yang
merujuknya setelah selesai konsultasi atau pengobatan untuk memperoleh perawatan
atau tindak lanjut.
8. Kerahasiaan dan rekam mediknya atas hal pribadi.
9. Memperoleh penjelasan tentang peraturan rumah sakit.
10. Berhubungan dengan keluarga, penasihat, atau rohaniawan, dan lain-lain yang
diperlukan selama perawatan di rumah sakit.
11. Memperoleh penjelasan tentang perincian biaya rawat inap
Sejak zaman Hippokrates, kewajiban memegang teguh rahasia pekerjaan dokter harus
senantiasa dipenuhi, untuk menciptakan suasana percaya mempercayai yang mutlak diperlukan
dalam hubungan dokter dengan pasien. Hippokrates merumuskan sumpah yang harus diucapkan
oleh murid-muridnya tentang rahasia pekerjaan dokter berbunyi: “Apapun yang saya dengar atau
lihat, tentang kehidupan seseorang yang tidak patut disebarluaskan, tidak akan saya ungkapkan,
karena saya harus merahasiakannya”. Namun dalam perkembangan iptek kedokteran selanjutnya,
terdapat pengecualian-pengecualian untuk membuka rahasia jabatan dan pekerjaan dokter, demi
memelihara kepentingan umum dan mencegah hal-hal yang dapat merugikan orang lain. Salah
satu ayat Lafal Sumpah Dokter Indonesia berdasarkan Peraturan Pemerintah No. 26 Tahun 1960,
berbunyi: “Saya akan merahasiakan segala sesuatu yang saya ketahui karena pekerjaan saya dan
karena keilmuan saya sebagai dokter”. Dalam Bab II KODEKI tentan kewajiban dokter terhadap
pasien dicantumkan antara lain: “Seorang dokter wajib merahasiakan segala sesuatu yang
diketahuinya tentang pasien karena kepercayaan yang diberikan kepadanya, bahkan juga setelah
pasien meninggal dunia”
Untuk memperkokoh kedudukan rahasia jabatan dan pekerjaan dokter, telah pula
dikeluarkan Peraturan Pemerintah No.10 Tahun 1966 tentang wajib simpan rahasia kedokteran,
dimana dinyatakan bahwa Menteri Kesehatan dapat melakukan tindakan administratif berdasarkan
pasal 111 Undang-Undang Tentang Kesehatan, jika tidak dapat dipidanakan menurut KUHP
Rahasia adalah sesuatu yang disembunyikan dan hanya diketahui oleh satu orang, oleh
beberapa orang saja, atau oleh kalangan tertentu.
Orang biasanya tidak memberitahukan rahasia kepada orang lain tanpa ada alasan, karena itu
dapat dikatakan bahwa ia terpaksa berbuat demikian. Hal ini janganlah diremehkan. Sudah
barang tentu tidak selalu hal-hal yang diberitahukan kepada seorang dokter merupakan rahasia
yang tidak boleh diberitahukan kepada orang lain. Bagi seorang dokter, menjaga rahasia
pasiennya sering menjadi dilema, terutama jika bertentangan dengan pihak lain atau bahkan
kepentingan umum. Di samping untuk kepentingan umum, kekecualian lain terhadap kewajiban
menjaga rahasia pasien tersebut mestinya berlaku terhadap hal-hal sebagai berikut :
Bandingkan dengan ketentuan dalam Undang-Undang Nomor 29 Tahun 2004 tentang Praktik
Kedokteran yang juga menentukan kekecualian terhadap kewajiban membuka rahasia dokter
tersebut yaitu sebagai berikut :
Karena itu, sebagai kekecualian, seorang dokter mestinya diperkenankan untuk membuka
rahasia pasiennya secara terbatas kepada pihak tertentu saja, asalkan ada alasan pembenar yang
masuk akal. Dalam hal ini, berlaku 3 (tiga) syarat batasan sebagai berikut:
1. Syarat keterbatasan para pihak, yakni boleh dibuka rahasia hanya terhadap pihak yang relevan
saja, misalnya hanya kepada pihak istri/suami, mantan istri/suami, pengadilan, pihak yang
mungkin akan ketularan penyakit, dan lain-lain.
2. Syarat keterbatasan informasi, yakni hanya dibuka informasi sejauh yang diperlukan saja oleh
pihak yang menerima informasi.
3. Syarat keterbatasan persyaratan, yakni hanya dibuka informasi jika ada persyaratan tertentu
saja, antara lain persyaratan-persyaratan sebagai berikut:
a. Ada risiko (misalnya menularnya penyakit) terhadap pihak-pihak keluarga/teman
dekat dari pasien.
b. Secara medis informasi tersebut layak dibuka
Jadi, dokter sebagai salah seorang profesional, secara etika (yang dikuatkan oleh hukum) wajib
juga menjaga rahasia yang didapatinya dari pasiennya. Akan tetapi, ketentuan ini tidaklah berlaku
mutlak disebabkan alasan-alasan sebagai berikut :
1. Dokter tidak semata-mata merupakan alter ago dari pasiennya, tetapi merupakan pihak
profesional yang bekerja sesuai etika profesi.
2. Masih ada kepentingan lain yang mungkin lebih penting dari kepentingan melindungi rahasia
antara dokter dan pasien.
Pelanggaran profesi kedokteran di bidang hukum dapat dilakukan berdasarkan sesuatu yang
terletak dalam:
1. Bidang MEDIK
dan juga yang bersifat NON-MEDIK (informed consent, surat keterangan yang tidak benar,
membuka rahasia medis pasien, dsb)
Terkait dengan Rahasia Medis, di dalam prinsip etika diketahui bahwa norma-norma etika
merupakan “self-imposed regulation” yang ditaati atau tidaknya tergantung kepada hati-nurani si
pelaku sendiri. Sanksi etika dapat dijatuhkan oleh organisasi. Demikian pula Lafal Sumpah
Kedokteran yang ditetapkan dalam berbagai peraturan, namun secara yuridis tidak ada dasar
hukumnya untuk menggugatnya.
Dasar yuridis untuk menuntut yang berkenaan dengan Rahasia Medis terdapat pada :
Untuk memahami soal rahasia jabatan ditilik dari sudut hukum, tingkah laku seorang
dokter kita bagi dalam 2 jenis :
Penegakan hak undur diri dapat dianggap sebagai pengakuan para ahli hukum, bahwa kedudukan
rahasia jabatan itu harus dijamin sebaik-baiknya, malahan dengan membebaskan seorang dokter
yang menjadi saksi ataupun saksi ahli.
Pembebasan itu tidak selalu datang dengan sendirinya. Menurut ayat (2), Pengadilan
Negeri/Ketua Pengadilan Negeri atau Hakim yang memutuskan apakah alasan yang dikemukakan
oleh saksi atau saksi ahli untuk tidak berbicara itu layak dan dapat diterima atau tidak. dalam hal
ini, mungkin sekali timbul pertentangan yang amat keras antara pendapat dokter dan pendapat
hakim, yaitu bila hakim tidak dapat menerima alasan yang dikemukakan oleh dokter untuk
menggunakan hak undur dirinya karena ia berkeyakinan bahwa keterangan yang harus diberikan
itu melanggar rahasia jabatannya.
Terkait dengan rahasia kedokteran, bagaimana apabila seorang dokter setelah melakukan
pemeriksaan medis pada seseorang anak usia 5 tahun dan menemukan indikasi telah terjadi “child
abuse”, secara hukum apa yang harus dilakukan dokter tersebut?
Bila dokter tersebut melaporkan hal ini kepada KPAI atau Unit PPA maka bagaimana
hubungannya dengan rahasia kedokteran sang pasien? Apakah sang dokter bisa dituntut
berdasarkan Pasal 322 KUHP, apakah juga dia dapat dikategorikan melanggar kode etik
kedokteran?
Menurut teori klasik yang membedakan antara gugatan wanprestasi dan gugatan perbuatan
melawan hukum ialah, tujuan gugatan wanprestasi adalah untuk menempatkan penggugat pada
posisi seandainya perjanjian tersebut terpenuhi (put the plaintiff to the position if he would have
been in had the contract been performed). Dengan demikian ganti rugi tersebut adalah berupa
kehilangan keuntungan yang diharapkan atau disebut dengan istilah expectation loss atau
winstderving. Sedangkan tujuan gugatan perbuatan melawan hukum adalah untuk menempatkan
posisi penggugat kepada keadaan semula sebelum terjadinya perbuatan melawan hukum. Sehingga
ganti rugi yang diberikan adalah kerugian yang nyata atau reliance loss. Bagi dokter yang menjadi
pedoman dalam menentukan sikapnya ialah: Yang pertama-tama didahulukan adalah rahasia
jabatan dokter, terutama karena kewajiban moral. Alasan melepaskan rahasia jabatan yang
mungkin terpaksa ditempuh adalah pertumbuhan akal sehat, yaitu ada tidaknya kepentingan yang
lebih utama atau kepentingan umum.
Disamping itu, dokter yang dalam hal ini sebagai seseorang yang secara kebetulan
mengetahui bahwa ada tindak pidana yang telah terjadi, dokter punya kewajiban untuk
melaksanakan pasal 108 yang mengatur mengenai pengaduan dan pelaporan tindak pidana, yang
bunyinya sebagai berikut:
(1) Setiap orang yang mengalami, melihat, menyaksikan dan atau menjadi korban peristiwa
yang merupakan tindak pidana berhak untuk mengajukan laporan atau pengaduan kepada
penyelidik dan atau penyidik baik lisan maupun tulisan.
(2) Setiap orang yang mengetahui permufakatan jahat untuk melakukan tindak pidana terhadap
ketentraman dan keamanan umum, wajib seketika itu juga melaporkan hal tersebut kepada
penyelidik atau penyidik.
(3) Setiap pegawai negeri dalam rangka melaksanakan tugasnya mengetahui tentang
terjadinya peristiwa yang merupakan tindak pidana wajib melaporkan hal tersebut kepada
penyelidik atau penyidik.
SIMPULAN
1. Seorang dokter wajib merahasiakan segala sesuatu yang diketahuinya tentang pasien
karena kepercayaan yang diberikan kepadanya bahkan juga setelah pasien meninggal
dunia (Bab II KODEKI).
2. Kewajiban menyimpan rahasia medis telah diatur dalam UU, per-UU, serta KODEKI
yang terkait, bahkan sanksi pelanggarannya dapat dikenakan berdasarkan KUHP,
KUHPerdata, serta sanksi dari organisasi profesi.
3. Ketentuan menjaga rahasia medis tidak berlaku mutlak, artinya dokter diperbolehkan
dan/atau diwajibkan membuka rahasia pasiennya secara terbatas kepada pihak tertentu,
sepanjang demi memelihara kepentingan umum dan mencegah hal-hal yang dapat
merugikan kepentingan orang lain.
4. Berdasarkan Permenkes RI No.68 Tahun 2013 Tentang Kewajiban Pemberi Layanan
Kesehatan Untuk Memberikan Informasi Atas Adanya Dugaan Kekerasan Terhadap
Anak bahwa dokter wajib melakukan pengungkapan rahasia medis.
5. Permenkes RI No. 68 Tahun 2013 merupakan tindak lanjut dari pasal 108 KUHP dan
UU Perlindungan Anak No. 23 Tahun 2002.
6. Pada dasarnya semua pihak dapat berperan untuk mencegah terjadinya kekerasan pada
anak. Peran masyarakat termasuk tenaga kesehatan yang setiap hari harus melindungi
anak dari berbagai situasi agar anak dapat tumbuh dan berkembang (Growth and
Development), mencapai kedewasaan, terjaga kelangsungan hidupnya (Child survival),
dan terbebas dari kekerasan, diskriminasi dan eksploitasi untuk segera melaporkan
kejadian mencegah terjadinya kekerasan yang berkelanjutan.
DAFTAR PUSTAKA
George D. Pozgar, Legal and Ethical Issues, Burlington, USA: Jones&Bartlett Learning, 2013
J. Guwandi, Dugaan Malpraktik Medik & Draft RPP Perjanjian Terapeutik Antara Dokter dan
Pasien, Jakarta, 2006,
J. Guwandi, Rahasia Medis, Jakarta: FKUI, 2005 Kementerian Kesehatan Republik Indonesia,
Pedoman Pengembangan Puskesmas Mampu Tatalaksana KtP/A, Jakarta
Munir Fuady, Sumpah Hippocrates (Aspek Hukum Malpraktek Dokter), Bandung: PT. Citra
Aditya Bakti, 2005
Maher Hathout, In Pursuit of Justice (The Jurisprudence of Human Rights in Islam), Los
Anggles, California: Muslim Public Affairs Council, 2006
Suharnoko, Hukum Perjanjian Teori dan Analisa Kasus, Prenada Media, Jakarta 2004
Tony Hope, et all, Medical Ethics and Law, The Core Curriculum, London: Churchill
Livingstone, 2003
M. Jusuf Hanafiah & Amri Amir, Etika Kedokteran & Hukum Kesehatan,, Jakarta: EGC,1999
Judi, “Tata Kelola Dokumen Rekam Medis Sebagai Upaya Menjaga Rahasia medis di Pelayanan
Kesehatan”, Jurnal Informasi Kesehatan Indonesia Vol. 5 No 1 2017.
Ratna Winahyu Lestari Dewi, “Wajib Simpan Rahasia Kedokteran versus Kewajiban Hukum
Sebagai Saksi Ahli, Jurnal Vol XVIII No. 3, 2013.