Diare Kambing Perah PDF
Diare Kambing Perah PDF
Disusun oleh:
Kelompok 1
Jajat Rohmana 200110110030
Dwi Prima Utama 200110110052
Harika Apriana 200110130093
FAKULTAS PETERNAKAN
UNIVERSITAS PADJADJARAN
SUMEDANG
2017
i
KATA PENGANTAR
Puji dan syukur kami panjatkan kehadirat Allah SWT, atas rahmat dan
Perah ini. Shalawat serta salam selalu terlimpah kepada Nabi Muhammad SAW,
kepada keluarganya, para sahabatnya, serta para pengikut setianya hingga akhir
zaman. Kami juga berterima kasih kepada Bapak Willjan Djaja selaku pengampu
mata kuliah Produksi Kambing dan Kerbau perah atas penugasan makalah Analisis
Kami memohon maaf atas kekurangan yang terdapat dalam karya tulis ini,
sehingga kritik dan saran konstruktif akan kami terima. Semoga karya tulis kami
Penulis
ii
DAFTAR ISI
KESIMPULAN .................................................................................................... 18
I
PENDAHULUAN
Selain penularan penyakit secara alami ada pula penularan penyakit melalui
cara mekanik, sehingga sangat penting kesadaran mengenai bagaimana kita
melindungi diri kita, peternakan dan hewan ternak dari kontaminasi. Praktik ini
2
1.2 Masalah
Iklim tropis seperti di Indonesia membuka peluang lebih besar untuk
perkembangan penyakit yang diakibatkan faktor biologis, seperti bakteri, parasit
dan virus. Mayoritas pemeliharaan kambing perah di Indonesia masih menerapkan
pola pemeliharaan tradisional, yang berarti persebaran (prevalence) agen penyakit
lebih banyak terdapat di sekitar lingkungan peternakan.
Faktor kesehatan ternak sangat menentukan keberhasilan usaha peternakan
kambing. Menjaga kesehatan ternak harus menjadi salah satu prioritas utama
disamping kualitas makanan dan tata laksana yang memadai.
Diare merupakan penyakit yang sangat umum terjadi pada sebuah
peternakan kambing perah. Diare atau biasa disebut mencret sangat umum terjadi
pada peternakan kambing perah, serta berakibat pada penurunan produktivitas yang
pada ujungnya menimbulkan kerugian ekonomi bagi peternak..
1.3 Tujuan
Menganalisis penyebab diare pada peternakan kambing perah
1.4 Kegunaan
Mengetahui penyebab diare pada peternakan kambing perah
3
II
TINJAUAN PUSTAKA
2.2 Diare
Penyakit merupakan salah satu hambatan yang perlu diatasi dalam usaha
ternak kambing. Melalui penerapan manajemen kesehatan ternak yang dilakukan
secara berkelanjutan, diharapkan dampak negatif dari penyakit ternak dapat
diminimalkan. Empat tahapan manajemen kesehatan ternak yang perlu diperhatikan
dalam membangun usaha ternak kambing, yaitu tahap pemilihan lokasi, tahap
persiapan dan pengadaan ternak, tahap adaptasi, dan tahap pemeliharaan. (Sjamsul,
2004).
Penyakit-penyakit yang dijadikan prioritas untuk diatasi adalah penyakit
parasiter, terutama skabies dan parasit saluran pencernaan (nematodiasis).
Sementara itu, untuk penyakit bakterial terutama anthrax, pink eye, dan pneumonia.
Penyakit viral yang penting adalah orf, serta penyakit non infeksius yang perlu
diperhatikan adalah penyakit diare pada anak kambing, timpani (kembung rumen)
dan keracunan sianida dari tanaman. (Sjamsul, 2004).
Diare atau mencret adalah masalah gangguan kesehatan pencernaan yang
sering dialami oleh kambing. Tanda-tandanya adalah kotoran kambing yang
menggumpal seperti kotoran sapi dan kalau diarenya parah kotoran kambing bisa
berbentuk cair. Feses kambing diare biasanya juga disertai darah, lendir dan bau.
5
Akan tetapi penyebab dari diare pada kambing tidak bisa ditentukan hanya dari
warna dan bau feses dari kambing. Gejala atau ciri-ciri diare adalah kotoran ternak
menjadi lebih lembut, berair, dan berwarna kuning-hijau serta berbau menyengat.
Kambing juga ditemukan tidak bersuara seperti biasa, makan berkurang dan
kotoran (feces) menggumpal seperti kotoran sapi.
Menurut Ahmad Shantosi (2015), diare pada ternak bukan merupakan
sebuah penyakit, tapi lebih merupakan tanda atau gejala klinis dari sebuah penyakit
yang lebih komplek yang bisa disebabkan oleh berbagai hal. Diare pada ternak,
seperti pada manusia, dapat terjadi ketika pergerakan cairan tubuh dalam sistem
pencernaan mengalami gangguan. Biasanya selalu berakibat kehilangan cairan atau
dehidrasi. Cairan tubuh yang keluar ini juga membawa serta garam garam mineral
atau elektrolit. Sayangnya, kehilangan ini akan merubah keseimbangan kimiawi
tubuh yang pada akhirnya akan menimbulkan stress dan depresi, serta dapat
berujung pada kematian. Rehidrasi, sebuah terapi pada ternak dengan memberikan
air dan suplemen elektrolit dapat membantu meredakan efek diare dan memulihkan
keseimbangan tersebut.
A. Infeksi Bakteri
Bakteri ini menghasilkan semacam protein yang bersifat racun yang dapat
menganggu dinding usus. Ternak memberi reaksi terhadap racun ini dengan
memompa air dalam jumlah banyak ke sistem usus dengan tujuan untuk membilas
atau menyiram racun ini. Beberapa bakteri yang bertanggung jawab terhadap
infeksi ini adalah berasal dari jenis E. coli, Salmonella, dan Clostridium.
1. Escherichia coli
E. coli sebetulnya merupakan jenis mikroorganisma yang biasa dari terdapat
dalam sistem pencernaan ternak. Banyak dari strain E. coli sama sekali tidak
berbahaya, tapi beberapa jenis dapat menyebabkan diare parah dan bahkan
kematian. Biasanya E. coli akan menyebabkan jaringan epitel dalam usus berubah
fungsi, dari mode penyerapan (nutrisi) menjadi mode pengeluaran.
Colibacillosis (E. coli) biasanya terjadi pada minggu pertama, terutama pada
anak kambing yang tidak cukup menerima kolustrum. Cryptosporidiasis dapat
menyebabkan diare pada anak kambing umur 2-3 minggu. Beberapa penyebab
kasus diare yang menyebutkan bahwa cryptosporidia, E. coli dan virus mampu
menyerang secara bersama-sama sehingga menyebabkan diare yang hebat.
(Thompson, 2004)
2. Salmonella
Menyerang lapisan lendir dalam usus kecil, menyebabkan peradangan dan
pengikisan pada lapisan usus. Bakteri ini dapat menyerang aliran darah, persendian,
otak, paru paru dan hati. Lebih jauh, ternak yang terinfeksi dapat menyebarkan
bakteri ini dalam kotoran/faeces, urine, saliva dan cairan hidung. Bakteri yang
tinggal dalam media media tersebut dapat hidup sampai berbulan-bulan.
Sumber infeksi Salmonella pada cempe dapat berasal dari sesama ternak,
burung, binatang pengerat, air terkontaminasi, manusia dan air susu terinfeksi dan
manusia. Infeksi yang paling umum adalah berasal dari bakteri Salmonella
typhimurium.
Diare yang timbul biasanya cukup parah, ternak tidak mau minum susu atau
CMR, dehidrasi berat dan demam tinggi. Kotoran berair dan seringkali terdapat
9
bercak darah. Tingkat kematian pada cempe yang terinfeksi salmonella sangat
tinggi, biasanya terjadi pada 12 - 48 jam setelah tanda tanda pertama muncul.
Infeksi salmonella pada cempe dapat terjadi pada semua tingkat usia, tapi
biasanya terjadi pada usia diatas 6 hari. Mengingat ada lebih dari 1000 jenis bakter
Salmonella, selain itu banyak isolat yang ditemukan merupakan jenis yang sangat
tahan terhadap pola pola antimikroba. Oleh sebab itu tes khusus (bacteriologic
sensitivity test) sangat kritis untuk menentukan jenis antibiotik yang diberikan.
3. Clostridium perfringens
Bakteri Clostridium dari tipe B, C dan D ini dapat menyebabkan
enterotoxemia, sebuah infeksi usus yang akut. Clostridium perfringens secara
normal ditemukan pada usus sapi dewasa dan dapat bertahan hidup cukup lama di
tanah. Kondisi perubahan program pakan yang secara mendadak yang dimakan
berlebih dapat mengakibatkan proses pencernaan makanan yang kurang sempurna,
memperlambat pergerakan usus, menproduksi gula, protein dan konsentrasi
oksigen yang rendah yang berujung pada lingkungan yang cocok untuk
mempercepat pertumbuhan bakteri Clostridium. Kondisi basah dan lembab juga
terlihat diinginkan oleh bakteri ini.
Cempe yang terinfeksi menunjukkan gejala gelisah. Seringkali disertai
ketegangan pada bagian perut. Cempe seringkali ditemukan telah mati tanpa gejala
apa-apa. Biasanya terjadi pada usia kurang dari 10 - 14 hari. Infeksi Clostridial ini
tidak terlalu umum dijumpai pada cempe. Pun demikian, penyakit ini dapat
dikendalikan dengan memvaksinasi induk dengan Clostridium perfringens toxoid
pada 60 sampai 30 hari sebelum melahirkan. Selanjutnya satu dosis booster harus
diberikan setiap tahun sebelum melahirkan. Apabila masalah ini di diagnosa pada
cempe yang dilahirkan dari induk yang belum di imunisasi, antitoxin dapat
langsung diberikan pada cempe. Pemberian antitoxin dan antibiotik secara oral
dipandang sebagai satu satunya pengobatan yang efektif.
10
B. Infeksi Virus
Infeksi yang disebabkan virus menyebabkan cempe menjadi lebih rentan
terhadap serangan infeksi bakteri lain. Virus menyerang lapisan sel usus kecil yang
mengganggu proses penyerapan nutrien. Virus masuk kedalam sel dan
menggunakan bahan bahan sel tersebut untuk reproduksi virus. Ketika sel yang
menjadi tempat berkembang biak penuh oleh virus, sel tersebut pecah dan
mengeluarkan lebih banyak kloning virus untuk menyerang lebih banyak sel sehat
lainnya.
1. Rotavirus
Mengakibatkan diare pada cempe berumur 24 jam serta dapat menular
hingga ternak berusia 30 hari. Memiliki gejala sering mengejan, mencret parah,
feces berwarna kuning sampai hijau, kehilangan nafsu makan, pengeluaran air liur
(saliva), hampir tidak ada demam, depresi dan tingkat kematian mencapai 50 %
tergantung adanya infeksi sekunder dari bakteri lain.
Rotavirus biasanya menyerang cempe berusia 10 - 14 hari. Seringkali
terdapat komplikasi serangan lain dari bakteri seperti E. coli. Pada kasus ini
antibiotik tidak efektif terhadap virus, tapi dapat membantu melawan infeksi
bakterinya.
2. Coronavirus
Terjadi pada cempe usia 5 hari atau lebih. Dapat menulari cempe yang
berusia 6 minggu atau lebih. Tingkat depresi tidak setinggi infeksi oleh rotavirus.
Pada awalnya, feces ternak akan menunjukkan bentuk dan warna yang sama dengan
infeksi rotavirus. Setelah beberapa jam, feces dapat mengandung lendir bening
yang menyerupai putih telur. Diare dapat terus berlangsung selama beberapa hari.
Tingkat kematian akibat coronavirus berkisar antara 1 sampai 25 persen.
Tanda luka seringkali tidak jelas. Biasanya usus penuh oleh feces cair.
Apabila tanda luka terlihat di dalam usus, itu biasanya diakibatkan oleh infeksi
11
C. Infeksi Parasit
Gejala infeksi subklinis kronis tidak begitu jelas, biasanya ternak menderita
dan mengurangi konsumsi pakan sehingga pertumbuhan terhambat. Infeksi akut
menyebabkan diare (terkadang disertai darah), depresi, kehilangan berat badan dan
dehidrasi tapi biasanya ternak tetap makan.
1. Eimeria
Coccidiosis (koksidiosis) disebabkan protozoa mikroskopis yang disebut
coccidia (Eimeria spp). Coccidia memiliki siklus hidup yang kompleks dalam sel-
sel usus kambing. Dalam proses pertumbuhan dan multiplikasi dalam sel epitel usus
kambing, coccidia dapat menghancurkan banyak sel-sel usus serta menghasilkan
sejumlah besar telur (ookista) yang ikut keluar bersama kotoran. Hal ini dapat
menyebabkan diare dan merupakan tanda-tanda lain dari koksidiosis.
Koksidiosis atau berak kapur adalah penyebab paling umum dari diare pada
kambing berusia antara 3 minggu sampai 5 bulan. Hal ini terutama berlaku ketika
12
2. Giardia
Giardia intestinalis dan Giardia lamblia adalah protozoa yang
menyebabkan giardosis atau lambliasis. Menular melalui konsumsi rumput yang
terkontaminasi oleh okista yang tahan lingkungan panas. Menyebabkan diare akibat
malabsorpsi nutrisi dan penurunan berat badan. Kambing yang terinfeksi
mengeluarkan feces berlendir yang diakibatkan oleh produksi mucin oleh sel goblet
dari protozoa. Diare yang diakibatkan giardia tidak mempan oleh antibiotik dan
coccidiostat. Infeksi banyak ditemukan terutama pada cempe usia 3 sampai 5
minggu.
3. Cacing
Nematodiasis adalah penyakit parasit internal atau penyakit cacingan
saluran pencernaan pada kambing dan domba yang disebabkan oleh cacing gilig.
Frekuensi kejadian pada domba/kambing dapat mencapai 80%, terutama pada
daerah dengan curah hujan tinggi. Pada musim hujan frekuensi dan intensitas
penyakit ini meningkat. Angka prevalensi di daerah Jawa Barat dilaporkan
bervariasi, yaitu 87,5-100% (Soepeno dkk., 1993).
Pada kambing dan domba, Haemonchosis disebabkan oleh spesies
Haemonchus contortus. Penyebaran penyakit ini biasanya secara langsung melalui
padang penggembalaan, yaitu melalui rumput yang terkontaminasi larva infektif.
Parasit ini mampu mengeluarkan suatu zat anti pembekuan darah ke dalam luka
yang ditimbulkannya. Oleh karena itu, mukosa menjadi sangat teriritasi dan cacing
tersebut akan menghisap darah dalam jumlah yang cukup banyak. Beberapa
penelitian menunjukkan bahwa domba yang terinfestasi berat oleh Haemonchus
contortus akan kehilangan darah 0,6 liter tiap minggunya akibat diare berdarah.
Pada kambing dan domba akan mengakibatkan penurunan abosorbsi sari-sari
makanan, protein, kalsium dan fosfor (Subekti dkk., 1996).
14
III
HASIL DAN PEMBAHASAN
4.1 Hasil
Diare disebabkan oleh banyak faktor, namun perlu ditekankan bahwa diare
bukanlah sebuah penyakit tunggal, namun lebih menyerupai gejala penyakit lainnya
atau merupakan tanda tubuh mengalami kelainan. Pada dasarnya perubahan
fisiologis dan patologis yang terjadi pada saluran pencernaan kambing dapat
menyebabkan diare. Penyebab diare bermacam-macam, namun dapat dibagi
kedalam dua kelompok utama, yaitu:
B. Diare Infeksi
1. Bakteri
1. E. Coli
2. Salmonella
3. Clostridium
2. Virus
1. Rotavirus
2. Coronavirus
3. Parasit
1. Eimeria
2. Giardia
3. Cacing
15
4.2 Pembahasan
Diare adalah gejala penyakit yang sangat umum, seringkali muncul sebagai
tanda dari penyakit lainnya. Diare atau gerusan lokal adalah penyebab paling umum
dari penyakit dan kematian pada cempe usia 1 sampai 30 hari. Diare biasanya
berhubungan dengan pemeliharaan kambing intensif dalam kondisi kepadatan
kandang dan sanitasi yang buruk. Kondisi cuaca ekstrim dapat memudahkan diare
terjadi pada cempe. Diare menyebabkan hilangnya cairan tubuh dan elektrolit dan
dapat mengakibatkan kematian jika tidak ditangani dengan cepat.
Cryptosporidia tampaknya menjadi penyebab paling umum dari diare pada
cempe berusia kurang dari satu bulan. Cryptosporidiosis dapat terjadi sendiri atau
bersama dengan bakteri patogen lainnya, virus, dan protozoa. Cryptosporidia sulit
diobati karena tidak ada obat yang tersedia untuk mengontrolnya. Infeksi biasanya
dari mengkonsumsi pakan yang terkontaminasi kotoran hewan yang terinfeksi,
bahkan dari spesies ternak yang berbeda.
Diare seringkali tidak disebabkan oleh hanya satu faktor saja. Faktor non
infeksi, seperti kelebihan pemberian pakan, pemberian pengganti susu yang tidak
cocok juga berkontribusi dalam berbagai faktor penyebab diare yang disebut
dengan “Neonatal Diarrhea Complex” (NDC).
Diare atau mencret pada kambing adalah sebuah gejala klinis yang
menunjukkan adanya perubahan fisiologis dan patologis di saluran pencernaan
kambing mulai dari rumen sampai ke usus. Gejala yang bisa kita perhatikan dari
mencret meliputi perubahan bentuk material kotoran kambing termasuk keras
lembeknya feses, warna dan bau feses, serta ada tidaknya bahan yang ikut terbawa
di dalam feses pada waktu kotoran kambing tersebut keluar (misalnya darah atau
segmen tubuh cacing), sehingga harus dapat membedakan gejala yang terjadi
karena pengobatannya pun akan berbeda.
Langkah pengobatan yang dapat diambil bila kambing perah terkena diare
parah adalah dengan memberikan obat yang memiliki kandunga sulfa, misalnya
injeksi intramuskuler obat merek Sulfa Strong dengan dosis 3-10 ml atau sesuai
petunjuk dokter hewan. Namun perlu diperhatikan bahwa susu kambing yang diberi
16
obat sulfa tidak boleh dikonsumsi, kecuali air susu yang diperah setelah 60 jam
pemberian terakhir obat sulfa.
Obat tradisional yang dapat diberikan adalah daun jambu bersama pakan,
karena secara insting kambing akan memilih makanan yang dibutuhkannya.
Sedangkan bila diare telah mengakibatkan dehidrasi pada kambing perah, kita
memerlukan cairan elektrolit untuk mengembalikan pengeluaran cairan berlebihan.
Selain kehilangan cairan, kondisi diare menyebabkan sistem pencernaan menjadi
asam. Oleh karenanya terapi cairan elektrolit perlu diberikan larutan suspense
alkali. Salahsatu resep yang mudah diikuti adalah dengan resep berikut.
• 1 sachet agar-agar bubuk bening
• 2 sendok garam
• 2 sendok soda kue/baking soda/Sodium bicarbonate/NaHCO3
Campurkan bahan diatas dengan air hangat hingga mencapai 2 liter. Berikan
perlahan lahan, 1 liter larutan elektrolit ini setiap 3 - 4 jam. Jangan dulu berikan
susu, minimal 24 jam setelah pemberian elektrolit, karena susu merupakan medium
yang baik bagi pertumbuhan bakteri E. coli. Apabila cempe sudah bisa minum dari
dalam ember (sebaiknya diajarkan sedini mungkin), awasi jangan sampai terlalu
cepat. Bila tidak, buatlah semacam botol dot dengan cara membuat dari botol air
mineral kemasan 1 liter. Beri selang yang dimampatkan di ujungnya. Beri lubang
sedikit agar cairan dapat keluar perlahan lahan.
Praktek peternakan yang baik adalah pencegahan terbaik terhadap diare dan
berbagai penyakit pada umumnya. Pembuangan kotoran, pupuk dan pakan yang
terbuang secara teratur, mengurangi ternak agar tidak makan di tanah
terkontaminasi, merancang sistem air yang meminimalkan kontaminasi kotoran,
menyediakan sumber air bersih, membersihkan tangki air, dan memastikan sinar
matahari yang cukup memasuki bangunan adalah contoh dari praktik manajemen
peternakan yang baik.
Kambing yang dipelihara di lantai padat, gunakan bedding atau alas yang
bersih. Sanitasi kandang kambing perlu diperbaiki dengan menjaga kebersihan
17
secara rutin. Kambing yang sedang diare dipisahkan dengan koloni kambing
lainnya untuk mencegah penularan. Waspadai pula feses kambing yang menempel
di badan kambing biasanya disekitar anus dan ekor, bisa mengundang datangnya
lalat yang bisa menjadi perantara/vektor penyakit.
Program pemberian nutrisi yang cukup, sanitasi kandang dan manajemen
serta perawatan kesehatan yang baik dibutuhkan untuk meminimalisasi impak dan
kerugian. Diagnosis dini dan tindakan yang cepat akan sangat membantu. Selain itu
recording dan pencatatan merupakan hal yang mutlak diperlukan. Sebisa mungkin
catatlah kejadian dan tindakan yang telah diberikan pada ternak, untuk
memudahkan diagnosa dan tindakan di kemudian hari.
18
IV
KESIMPULAN
5.1 Kesimpulan
Diare pada kambing perah umumnya bukan merupakan penyakit khusus
namun merupakan gejala atau simptom penyakit yang terjadi pada ternak sehingga
manajemen pemeliharaan ternak yang menerapkan biosekuriti mutlak diperlukan.
19
DAFTAR PUSTAKA
Ahmad Shantosi. 2015. Penyebab, pencegahan dan Pengobatan Diare pada Ternak.
[Online]. Tersedia di https://www.agrinak.com/2015/05/penyebab-
pencegahan-dan-pengobatan.html (diakses 03 Maret 2017, jam 22.00 WIB)
Giadinis, N.D., Symeoudakis, S., Papadopoulos, E., Lafi, S.Q. & Karatzias, H.
2012. Comparison of two techniques for diagnosis of cryptosporidiosis in
diarrhoeic goat kids and lambs in Cyprus, [Online]. Tropical animal health
and production, 44:7 doi 10.1007/s11250-012-0106-4. Tersedia di
https://proquest.com (diakses 03 Maret 2017, jam 22.30 WIB)
Mileski, A. and P. Myers. 2004. Capra Hircus Animal Diversity. [Online] Tersedia
di http://animaldiversity.ummz.umich.edu (diakses 3 Maret 2017, pukul
21.10 WIB)
Mohammad Abu, B. S., Maqbool, A., Umbreen, J. K., Lateef, M., & Ijaz, M. 2015.
Prevalence, water borne transmission and chemotherapy of cryptosporidiosis
in small ruminants. [Online] Pakistan Journal of Zoology, 47:6. Tersedia di
https://proquest.com (diakses 03 Maret 2017, jam 22.30 WIB)
Soepeno, Arimiadi, B, Setiai dan J. Manurung. 1993. Sistem usaha tani ternak di
daerah padat penduduk (Jawa Barat). Prosiding Pengolahan Dan
Komunikasi Hasil-hasil Penelitian 27-29 Januari. Balai Penelitian Ternak.
Bogor. 118-127
20