Anda di halaman 1dari 6

PENGEMBANGAN WILAYAH BERBASIS DESA (PWD 535)

TUGAS ESSAY

JEJARING KOMUNITAS DAN DESA DALAM


PEMBANGUNAN WILAYAH BERKELANJUTAN

SHABRINA AGUSTIN GHASSANI


H051190031

SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2019
Jejaring Komunitas dan Desa dalam Pembangunan
Wilayah Berkelanjutan

Pembangunan merupakan upaya untuk membuat kehidupan yang lebih


baik bagi setiap orang (Peet and Hartwick 2009) dan menurut Todaro (2007)
Pembangunan adalah suatu proses multidimensional yang melibatkan berbagai
perubahan-perubahan mendasar dalam struktur sosial, tingkah laku sosial, dan
institusi sosial. Secara umum tujuan pembangunan nasional Indonesia ialah
mewujudkan kesejahteraan masyarakat Indonesia baik di daerah pedesaan
maupun perkotaan. Tetapi, masih terdapat masalah-masalah pembangunan yang
belum terpecahkan, seperti ketimpangan pembangunan antar daerah, urban
primacy yang cukup tinggi, relasi keterkaitan pedesaan dan perkotaan yang
kurang strategis, dan persoalan kemiskinan (Daryanto 2003). Ketimpangan
pembangunan masih banyak terjadi antara wilayah pedesaan dan perkotaan.
Jumlah masyarakat miskin di Indonesia masih terkonsentrasi sebanyak 61,9
persen pada wilayah pedesaan (World Bank 2018). Angka tersebut merupakan
angka yang tinggi mengingat sebagian besar wilayah administrasi di Indonesia
terdiri dari pedesaan, yaitu sebanyak 75.436 desa dan 8.444 kelurahan (BPS
2018).
Desa merupakan unit organisasi independen terkecil yang ada di Indonesia
dan sebagai unit yang independen, desa diatur dengan peraturan yang spesifik
yaitu Undang-Undang No. 6 Tahun 2014 tentang Desa. Berdasarkan UU tersebut
desa memiliki kewenangan yang meliputi kewenangan di bidang penyelenggaraan
Pemerintahan Desa, pelaksanaan pembangunan desa, pembinaan kemasyarakatan
desa, dan pemberdayaan masyarakat desa berdasarkan prakarsa masyarakat, hak
asal usul, dan adat istiadat desa. Sehingga, pada dasarnya desa diberikan mandat
dan memiliki hak untuk membangun dirinya sendiri. Terdapat dua pendekatan
pembangunan wilayah yang canangkan dalam UU Desa, yaitu desa membangun
dan membangun desa.
Pendekatan desa mambangun menekankan pada desa yang dapat
“mengurus” urusannya sendiri atau dengan kata lain Pemerintah Desa dan
masyarakat desa dengan semangat gotong royong menjadi pelaksana
pembangunan desa dengan memanfaatkan kearifan lokal dan sumber daya
alam (Kolopaking 2020). Pembangunan wilayah tidak dapat direalisasikan tanpa
adanya perubahan pada organisasi sosial dan sistem nilai, hal tersebut dikerenakan
produktivitas suatu sistem ekonomi dan pengelolaan sumberdaya dipengaruhi oleh
budaya dan kelembagaan komunitas (Hayami 2000). Oleh karena itu, peran
komunitas sangatlah penting dalam pendekatan ini. Komunitas dapat merujuk
pada kumpulan indivu yang bermukim di suatu wilayah atau kumpulan individu
yang memiliki minat yang sama terlepas dari jarak yang berjauhan atau
berdekatan (Phillips and Pittman 2009). Dalam hal ini, komunitas merupakan
entitas yang memiliki interaksi sosial dan kepentingan yang sama di dalam suatu
wilayah teritori yaitu desa. Kemampuan komunitas untuk mewujudkan dan
memengaruhi arah serta pelaksanaan pembangunan sangat ditentukan oleh power
yang dimiliki komunitas tersebut (Nasdian 2014). Kekuatan komunitas tersebut
dapat diperoleh dengan adanya akumulasi kapital sosial pada suatu komunitas
desa. Proses kerja kolaborasi kapital sosial menjadi energy dan kekuatan
komunitas, disandarkan pada sifat dan substansi yang dimilikinya yakni
kepercayaan, norma dan jaringan yang tidak bisa dipisahkan satu sama lain. Hasil
kerja kolaborasi kapital sosial menghasilkan energi positif seperti rasa
tanggungjawab, kepedulian, kejujuran, kolaborasi, inklusif, mutual trust,
solidaritas, transfaransi, perasaan aman dan nyaman bahkan etos kerja positif.
Keseluruhan sumber kekuatan sebagai potensi sumber daya yang dimiliki oleh
komunitas tersebut dapat diakses oleh setiap individu dalam meraih sejumlah
harapan,kepentingan dan kebutuhan bersama (Abdullah 2013).
Pendekatan desa membangun dapat memanfaatkan potensi kapital
sosialnya dengan menerapkan bonding strategy, yaitu membangun jejaring antar
komunitas yang didasarkan pada hubungan kepercayaan. Dengan membantuk
jejaring komunitas desa, akan tercipta kohesi sosial yang mengarah pada
partisipasi masyarakat dalam pembangunan wilayah pedesaan baik dari segi
perencanaan, pelaksanaan, dan pengawasan yang memprioritaskan pemanfaatan
sumberdaya lokal berdasarkan kebutuhan masyarakat desa. Perbedaan
karakteristik antar wilayah dengan keunikan budayanya masing-masing juga dapat
membantu menjaga kelestarian sumberdaya alam yang ada melalui norma-norma
yang diciptakan, seperti contohnya budaya sasi di Maluku. Komunitas-komunitas
interaksi kerja di Maluku, seperti komunitas nelayan laut, komunitas nelayan air
tawar, dan komunitas pemanfaat hasil hutan berjejaring untuk menjaga kelestarian
alamnya dengan menetapkan peraturan-peratuan dalam memanfaatkan
sumberdaya alam. Sehingga secara garis besar, partisipasi komunitas dalam desa
membangun diharapkan menghasilkan pembangunan yang berkelanjutan melalui
paradigma pembangunan people centered development. Penggunaan paradigma
ini mengedepankan pada prinsip desentralisasi, partisipasi, pemberdayaan,
pelestarian, jejaring sosial, territorial, keswadayaan lokal, dan keberlanjutan
(Nasdian 2014).
Paradigma people centered development juga diterapkan dalam
pendekatan kedua, yaitu pendekatan membangun desa. Tidak hanya komunitas
saja yang berjejaring, tetapi antar desa pun juga dapat membangun jaringan sosial,
hal inilah yang disebut dengan pembangunan wilayah kawasan perdesaan. Pada
pendekatan pembangunan ini peran desa dalam berjejaring dan berkolaborasi
dengan desa lainnya sangatlah penting. Jika dalam desa membangun terdapat
bonding strategy, maka dalam membangun desa digunakan bridging strategy
yang menekankan pada kolaborasi antar desa dalam mengelola sumberdaya alam
yang dimiliki bersama untuk melakukan pembangunan. Pengembangan jaringan
sosial dan kolaborasi di pedesaan diformulasikan untuk mewujudkan desa yang
mandiri dalam memenuhi kebutuhan dasarnya, seperti pangan, energi, pendidikan
dan kesehatan. Kemandirian desa tidak berarti desa terlepas kesaling-
ketergantungannya dengan desa yang lain, melainkan terjadi net-benefit yang
dihasilkan dari pertukaran antara desa (Arsyad 2015). Selain itu, pendekatan
membangun desa tidak hanya terpaku pada kolaborasi antar desa, melainkan
terjalin kolaborasi pula dengan pihak ketiga seperti pemerintah kabupaten/kota,
pemerintah pusat, dan swasta.
Jejaring antar desa dapat meniciptakan produktivitas yang lebih tinggi.
Peningkatan produktivitas pada kawasan perdesaan dapat menarik arus investasi
untuk masuk sehingga dapat merangsang penanam modal baik dari dalam maupun
luar desa (Ernan et al. 2011). Salah satu contoh jejaring desa untuk meningkatkan
produktivitas dapat dilihat pada wilayah agropolitan. Desa yang tergabung dalam
wilayah agropolitan menghasilkan produktivitas dan pendapatan yang lebih tinggi
dibandingkan dengan desa yang tidak berjejaring. Hal tersebut sesuai dengan hasil
penelitian Pranoto (2006) yang menyatakan bahwa pengembangan wilayah
agropolitan dapat meningkatkan pendapatan petani disebagian besar wilayah
penelitian, hasil pendapatan petani di kawasan agropolitan secara signifikan
berada diatas pendapatan petani yang bermukim di wilayah yang jauh dari
pengembangan wilayah agropolitan.
Kunci keberhasilan pembangunan agropolitan adalah memberlakukan
setiap distrik agropolitan sebagai suatu unit tunggal otonom mandiri tetapi
terintegrasi secara sinergik dengan keseluruhan sistem pengembangan wilayahnya
(Suroyo dan Handayani 2014), konsep ini tentunya memainkan peran penting
jejaring antar desa dan jejaring komunitas di dalamnya. Selain dapat
meningkatkan produktivitas pertanian, pengembangan wilayah menjadi kawasan
agropolitan juga mendorong terbangunnya sarana dan prasarana pertanian dan
industri yang setara dengan pembangunan di kota, hal ini dikarenakan wilayah
agropolitan haruslah mengembangkan usaha on farm dan off farm untuk
menunjang wilayah perkotaan dan kota akan menyediakan fasilitas untuk
berkembangnya usaha budidaya agribisnis seperti penyediaan sarana pertanian,
modal, teknologi, informasi pengolahan hasil dan pemasaran hasil produksi
pertanian (Suroyo dan Handayani 2014).
DAFTAR PUSTAKA

Abdullah S. 2013. Potensi dan kekuatan modal sosial dalam suatu komunitas
[Internet]. SOCIUS 12(1): 15-21. [diunduh 2020 Feb 14]. Makasar(ID):
Universitas Hasanudin. Tersedia pada:
http://journal.unhas.ac.id/index.php/socius/article/view/381

Arsyad I. 2015. Membangun Jaringan Sosial dan Kemitraan [Internet]. [diunduh


2020 Feb 14]. Jakarta(ID): Kementerian Desa, Pembangunan Daerah
Tertinggal, Dan Transmigrasi Republik Indonesia. Tersedia pada:
http://www.keuangandesa.com/wp-content/uploads/2015/04/Buku-9-
Membangun-Jaringan-Sosial-dan-Kemitraan.pdf

[BPS] Badan Pusat Statistik. 2018. Jumlah desa/kelurah menurut provinsi.

Daryanto A. 2003. Disparitas pembanguna perkotaan-perdesaan di Indonesia


[Internet]. Agrimedia, 8(2):30-39. [diunduh 2020 Feb 14]. Bogor(ID):
Institut Pertanian Bogor.

Ernan R, Sunsun S, Panuju DR. 2011. Perencanaan dan Pengambangan


Wilayah. Jakarta(ID): Yayasan Pustaka Obor Indonesia.

Handayani W, Suroyo BT. 2014. Pengembangan kawasan agropolitan di


kabupaten
kulonprogo, daerah istimewa Yogyakarta [Internet]. Jurnal Perencanaan
Wilayah dan Kota 25(03): 243-261. [diunduh 2020 Feb 15]. Bandung(ID):
LPPM ITB

Hayami. 2000. Development Economics From the Poverty to the Wealth of


Nation.
Oxford University Press.

Kolopaking LM. 2020. Bahan ajar: Penguatan Komunitas dan Desa Secara
Berkelanjutan.

Nasdian FT. 2014. Pengembangan Masyarakat. Jakarta(ID): Yayasan Pustaka


Obor Indonesia

Peet R, Harttwick E. 2009. Theories of Development contentations,


Argumentation,
Alternative. Guiliford Press.

Phillips R, Pittman RH. 2009. An Introduction to Community Development.


Toronto (US): Routledge.

Pranoto S, Maarif S, Sutjahjo SH, Siregar H. 2006. Pembangunan pedesaan


berkelanjutan melalui model pengembangan agropolitan [Internet]. Jurnal
Management dan Agribisnis 3(01). [diunduh 2020 Feb 15]. Bogor(ID):
Sekolah Bisnis IPB.

Todaro, Michael P. 2007. Pembangunan Ekonomi di Dunia Ketiga. Edisi Ketujuh,


Erlangga. Jakarta.

[World Bank] The World Bank. 2018. Indonsia economic quarterly: urbanisasi
untuk semua [Internet]. [diunduh 2020 Feb 8]. The World Bank. Tersedia
pada:
http://documents.worldbank.org/curated/en/545961539697659383/pdf/1300
14-INDONESIAN-IEQ-Sept-2018-IDN-for-web.pdf

Anda mungkin juga menyukai