Anda di halaman 1dari 8

*1.Jelaskan Mengapa Kerajaan Samudra Pasai Di Juluki Daerah Serambi Mekkah*!

Jawab:

Karena awal mula masuknya agama islam dari kerajaan samudra pasai.... Karena merupakan jalur
perdagangan pada saat itu, seperti Kata tersebut yaitu "serambi mekah". Serambi yg arti nya pintu.
Jadi kenapa samudera pasai di sebut serambi mekah, Karena merupakan pintu masuk nya ajaran-
ajaran Islam pada saat itu.23 Mei 2018

*2.Jelaskan Penyebab Runtuhnya Kerajaan Samudra Pasai* !

Faktor Internal :

•Pemimpin yang kurang cakap setelah Sultan Malik Al Tharir.

Sultan Malik Al Tharir adalah pembawa kejayaan Kerajaan Samudra Pasai. Sepeninggal Sultan Malik
Al Tharir, kerajaan berpindah pada penerusnya. Namun, karena kinerja yang kurang cakap, Kerajaan
Samudera Pasai terus mengalami kemunduran.

•Terjadinya perebutan kekuasaan.

Perebutan kekuasaan dan pemberontakan yang terjadi pada zaman pemerintahan Sultan Zainal
Abidin membuat kekuatan kerajaan ini melemah. Pemberontakan ini sempat ditulis di dalam berita-
berita Cina sumber sejarah kerajaan ini.

Faktor Eksternal :

•Penyerangan dari Kerajaan Majapahit.

Tekad Mahapatih Gajah Mada untuk menyatukan seluruh wilayah Nusantara dalam sumpah Palapa
membuat Majapahit juga menyerang Samudra Pasai. Beberapa bagian kerajaan Samudra Pasai tidak
dapat dipertahankan dan akhirnya jatuh ke tangan Majapahit.

•Kalah saing dengan Pelabuhan Malaka.

Semenjak pusat perdagangan beralih ke Selat Malaka, Pelabuhan Pasai mulai sepi dan mengalami
kerugian, karena komoditas utamanya yaitu lada batal untuk dikirim.

•Penyerangan dari Portugis.


Akhir riwayat dari kerajaan ini adalah penyerangan Portugis yang memanfaatkan konflik internal
yang terjadi. Kerajaan Samudra Pasai runtuh sekitar tahun 1500 karena penyerangan ini.

3.Jelaskan Kenapa Pati Unus Di Beri Gelar Pengeran Serbang Lor !

Jawab:

Menurut Tome Pires pada tahun 1513, Pati Unus berusia 25 tahun dan telah selesai menyerbu
Malaka pada serangan pertama. ... Pati Unus dikenal juga dengan julukan Pangeran Sabrang Lor
(sabrang=menyeberang, lor=utara), karena pernah menyeberangi Laut Jawa menuju Malaka untuk
melawan Portugis. Nama aslinya adalah Raden Surya.

4.Jelaskan Ulama² Terkenal Beserta Karya Yg Di Hasilkan Pada Kerajaan Aceh

Jawab:

Toggle navigation

Inilah 4 Ulama Besar Kerajaan Aceh Yang Sangat Berpengaruh

29 Desember 2017 Berita

1. Syeikh Hamzah Fanzuri

Beliau adalah tokoh sufi yang terkenal di Aceh. Hamzah Fansuri di lahir dilahirkan di Fansur Singkil,
Aceh. Beliau hidup pada zaman pemerintahan Sulthan Alaiddin Riayatsyah IV (1589 – 1604 M/997 –
1011 H) hingga awal pemerintahan Sulthan Iskandar Muda Mahkota Alam. Beliau banyak merantau
untuk menuntut ilmu hingga ke Jawa, Semenanjung Tanah Melayu, India, Parsi dan Semenanjung
Arab. Beliau ahli dalam ilmu fiqh, tasawuf, falsafah, sastra, mantiq, sejarah dan lain-lain, serta fasih
berbahasa Arab, Urdu, Parsi di samping bahasa Melayu dan Jawa.

Para Sarjana tidaklah meragukan keadaan pribadinya, dapat dipastikan bahwa ia dan Syamsuddin
Sumatrani merupakan dua tokoh sufi yang sepaham dan hidup lebih dahulu dari dua ulama
terkemuka lainnya yang pernah hidup di Aceh, yakni Abdurrauf Singkil Fansuri dan Nuruddin Ar-
Raniry.

Riwayat hidupnya tidak banyak diketahui. Ia diperkirakan telah menjadi penulis pada masa
kesultanan Aceh Sultan Alaiddin Riayatsyah IV. Beliau menyebutkan Sultan Alaiddin selaku sultan
yang ke-4 dengan sayyid mukammil sebagai gelarnya. Hal keadaan ini sebagai isyarat yang terlihat
dalam syairnya yang berbunyi sebagai berikut:
Hamba mengikat syair ini

Di bawah hadhrat Raja yang wali

Syah Alam raja yang adil, raja kutub sempurna kamil

Wali Allah sempurna wasil, Raja arif lagi mukammil

Tentang dirinya beliau bersyair:

Hamzah ni asalnya fansuri

Mendapat wujud di tanah syahr nawi

Beroleh khilafat ilmu yang ali

Dari pada Abdul Qadir Sayyid Jailani

Syahr Nawi mengisyaratkan beliau lahir di tanah Aceh. Konon saudara Hamzah Fansuri bernama Ali
Fansuri yakni ayah dari Abdurrauf Singkil Fansuri.

Ketika pengembaraannya selesai dari Kudus, Banten, Johor, Siam, India, Persia, Irak, Makkah dan
Madinah, untuk mencari ilmu makrifat terhadap Allah SWT. Ia kembali ke Aceh dan mengajarkan
ilmunya. Mula-mula ia berdiam di Barus, lalu di Banda Aceh yang kemudian ia mendirikan Dayah
(pesantren) di Oboh Simpang Kanan Singkil dan di Oboh itulah (ada yang mengatakan antara Singkil
dengan Rundeng) beliau di makamkan di sebuah kuburan di desa ini dan dipandang oleh masyarakat
banyak sebagai kuburan Hamzah Fansuri.

Bersama-sama dengan Syeikh Syamsuddin Sumatrani, Hamzah Fansuri adalah tokoh aliran
wujudiyah (seorang alim yang telah sampai kepada makrifat wahdatul wujud). Ia dianggap sebagai
guru Syamsuddin Sumatrani, dimana ia kerapkali mengutip ungkapan-ungkapan Hamzah Fansuri.
Bersama dengan muridnya ini Hamzah Fansuri dituduh menyebarkan ajaran sesat oleh Nuruddin Ar-
Raniry pada ketika Nuruddin Ar-Raniry menjadi mufti kerajaan yang berpengaruh di istana Sultan
Iskandar Tsani, pada hal karya Hamzah Fansuri musnah dibakar pada zaman Sultanah Safiatuddin.
Kebanyakan dari karangan beliau menulis tentang ilmu tauhid, ilmu suluk, ilmu thariqat, ilmu
tasawuf dan ilmu syara’. Beliau adalah anak dari seorang ulama besar terkemuka di Barus, dan
Fansuri di negeri Barus terkenal sebagai pusat ilmu pengetahuan yang letaknya di selatan Aceh.

Hal keadaan di atas telah diungkapkan oleh Prof. DR. Syekh Muhammad Naquib Al-Attas, dalam
bukunya The Mysticism of Hamzah Fansuri.

2. Syamsuddin as-Sumatrani

Beliau adalah tokoh ulama besar dan pengarang di Aceh. Nama lengkapnya ialah Syekh Syamsuddin
bin Abdillah as Sumatrani; sering juga disebut Syamsuddin Pasee. Dia adalah ulama besar yang hidup
di Aceh pada beberapa dasa warsa (sepuluh tahun) terakhir abad ke-16 dan tiga dasa warsa pertama
abad ke-17.
Gurunya yang utama ialah Hamzah Fansuri dan pernah belajar dengan Pangeran Sunan Bonang di
Jawa. Beliau menguasai bahasa Melayu-Jawa, Parsi dan Arab. Antara cabang ilmu yang dikuasainya
ialah ilmu tasawuf, fiqh, sejarah, mantiq, tauhid, dan lain-lain. Pada masa pemerintahan Sultan
Alaiddin Riayatsyah IV dan Sultan Iskandar Muda, beliau memegang jabatan yang tinggi dalam
Kerajaan Kesultanan Aceh. Beliau dilantik sebagai penasehat kepada kedua sultan tersebut. Beliau
juga pernah diangkat menjadi qadi malikul adil yaitu satu jabatan yang terdiri dalam Kerajaan Aceh
(orang yang kedua penting dalam kerajaan). Beliau mengetuai Balai Gading (balai khusus yang di
anggotai oleh tujuh orang ulama dan delapan orang ulee balang), di samping menjadi Syekh pusat
pengajaran Baiturrahman.

Sekalipun mengikut faham aliran tasawuf wahdatul wujud, namun beliau berlaku adil dalam
menjalankan hukum-hukum yang difatwakannya. Keahliannya diakui oleh semua pihak termasuk
musuhnya Syekh Nuruddin. Beliau meninggal dunia pada tahun 1630 M pada zaman Sultan Iskandar
Muda. Banyak karangan-karangan beliau dan fatwa-fatwa beliau diantaranya Syarah Ruba’i Fansuri
(uraian terhadap puisi Hamzah Fansuri), dan lain-lain.

Wal hasil beliau adalah seorang ulama besar fiqh dan tasawuf. Dalam hal ini seorang pelaut Belanda
bernama Frederick de Houtman (1599M/1008H) yang ditawan di Banda Aceh, dia menyebutkan
dalam bukunya tentang Syamsuddin Sumatrani adalah seorang Syekh, penasehat agung raja.

Demikian juga Duta Kerajaan Inggris Sir James Lancaster yang datang ke istana Sultan Aceh (1602
M/1011 H) menyebutkan bahwa Syamsuddin Sumatrani adalah chiefe bishope (imam kepala) yang
dihormati raja dan rakyatnya, bijaksana dan berwibawa dan ikut dalam perundingan antara
perutusan Inggris dan pihak Aceh. Para peneliti cenderung pada kesimpulan bahwa Syekh yang
menjadi penasehat agung raja itu dan imam kepala tersebut tidak lain dari pada Syekh Syamsuddin
Sumatrani. Bahkan ada sarjana yang menetapkan bahwa Syekh ini baik pada masa Sultan Alaiddin
Riayatsyah IV (1589 – 1604 M/997 – 1011 H) maupun pada masa Sultan Iskandar Muda (1607 – 1636
M/1016 – 1045 H) diangkat menjadi Qadi Al Malikul Adil, orang kedua dalam barisan ulama besar
Aceh pada zaman dahulu.

Demikian kebesaran Syamsuddin Sumatrani, mudah-mudahan dalam waktu yang tidak lama, Insya
Allah Bapak Gubernur Aceh Irwandi Yusuf memperkenankan undangan Ketua Menteri Melaka untuk
meresmikan penanaman batu nisan pada kuburan Syeikh Syamsuddin Sumatrani. Undangan ini
sudah lama dan insya allah dalam waktu singkat beliau mempunyai waktu untuk upacara terhormat
atas Syamsuddin Sumatrani yang syahid di Melaka. Dan mudah-mudahan beliau dengan rakyat Aceh
diberikan berkah oleh Allah dalam memimpin Nanggroe Aceh Darussalam ini.

3. Syekh Nuruddin ar-Raniry


Nama lengkapnya ialah Nuruddin Muhammad bin Ali bin Hasanji bin Muhammad Hamid Ar-Raniry Al
Quraisyi Asy Syafi’ie. Ia wafat pada 22 Zulhijjah 1069 H/21 September 1658 M di negeri kelahirannya
di kota pelabuhan Ranir (Rander) Gujarat India, tetapi tidak diketahui tahun kelahirannya. Beliau
seorang ulama besar, penulis, ahli fikir, dan Syekh Thariqat Rifa’iyyah di India yang merantau dan
menetap di Aceh. Ia lahir sekitar pertengahan ke dua abad ke-16. Pendidikan awalnya dalam
masalah keagamaan ia peroleh di tempat kelahirannya sendiri.

Kemudian ia melanjutkan pendidikan ke Tarim Arab Selatan. Kota ini adalah pusat studi ilmu agama
pada masa itu. Setelah menunaikan ibadah haji dan ziarah ke makam Nabi SAW pada 1621 M (1030
H), ia kembali ke India. Setelah kembali ke India dan mengajar di samping sebagai Syekh Thariqat
Rifa’iyyah ia merantau ke nusantara dan memilih Aceh sebagai tempat menetap. Ia datang ke Aceh
karena itu telah Aceh berkembang menjadi pusat perdagangan, kebudayaan dan politik serta pusat
studi agama Islam di kawasan Asia Tenggara menggantikan Melaka yang telah jatuh kepada
penguasaan portugis. Mungkin juga ia mau mengikuti jejak pamannya, Syekh Muhammad Jailani bin
Muhammad Hamid Ar-Raniry yang telah tiba di Aceh pada 1588 M berkat kesungguhannya ia
berhasil menjadi ulama besar yang berpengatahuan luas dan tercatat sebagai Syekh Thariqat
Rifa’iyyah dan bermazhab syafi’ie dalam lapangan fiqh.

Pada tahun 1621 atau 1030 H ia berada di Makkah dan Madinah dalam rangka menunaikan ibadah
haji dan setelah kembali ke India. Setelah itu untuk kali yang kedua ia kembali ke Aceh. Pada tahun
1620-an (1030-an H) dan menelaah faham wujudiyah yang sedang berkembang di kalangan murid-
murid Syekh Syamsuddin Sumatrani. Hubungan baik Ar-Raniry dengan Sultan Iskandar Tsani di Aceh
memberi peluang kepadanya untuk mengembangkan ajaran dan faham mistik yang dibawanya.
Peluang itu lebih berkembang lagi terutama setelah ia diangkat sebagai mufti kerajaan Aceh. Ia
menentang faham wujudiyah yang sesat yang berkembang di Aceh pada waktu itu. Jadi untuk
menyanggah pendapat dan faham wujudiyah yang sesat itu ia sengaja menulis beberapa kitab di
samping juga ia menyanggah ajaran wujudiyah yang sesat yang tidak sejalan dengan ajaran
wujudiyah Hamzah Fansuri dan Syamsuddin Sumatrani.

Al Quraisyi pada laqab namanya menunjukkan ia dari kabilah yang besar dan terhormat yaitu
Quraisy. Asy Syafi’ie mengungkapkan bahwa ia bermazhab Syafi’ie yang tidak perlu diragukan oleh
rakyat Aceh. Ia berthariqat dengan thariqat Rifa’iyyah menunjukkan bahwa tidak ada perbedaan
antara dia dengan Hamzah Fansuri, Syamsuddin Sumatrani dan Abdurrauf al Fansuri karena sama-
sama penganut thariqat suffiyah dan bermazhab Imam Syafi’ie r.a.

Namun yang sangat ditentangkan olehnya adalah para pengikut wujudiyah yang sesat. Dengan
demikian maka tidak ada perbedaan antara dia dengan Hamzah Fansuri dan Syamsuddin Sumatrani.
Mungkin sejarawan yang lain seperti menulis ada pertentangan menurut saya antara ulama-ulama
besar itu tidak ada sesat menyesatkan antara mereka dan terjadi perbedaan politik oleh karena ada
kaitan dengan kerajaan itu sah-sah saja. Kalaupun ada pertentangan ada pertentangan antara
keduanya bukanlah perbedaan dalam masalah syariat, thariqat dan hakikat, akan tetapi tidak lebih
untuk kepentingan rakyat dan kerajaan semata karena masa senantiasa berubah. Dan setelah
meninggal Sultan Iskandar Tsani maka kedudukannya selaku qadi malikul adil dilanjutkan pada
Sultanah Ratu Saifatuddin (1641 – 1675 M) di samping beliau menjadi guru besar ilmu-ilmu
pengetahuan Islam di mesjid Raya Baiturrahman.

4. Syekh Abdurrauf As Singkily

Beliau adalah salah satu dari empat ulama terkemuka yang pernah muncul di Aceh pada abad ke-17.
Sedang yang tiga lagi adalah Hamzah Fansuri, Syamsuddin Sumatrani dan Nuruddin Ar-Raniry. Para
ahli sejarah memperkirakan bahwa ia lahir sekitar 1615 M (1035 H) di Singkil yang terletak di ujung
paling selatan pantai barat Aceh, sekampung dengan Syekh Hamzah Fansuri dan juga putra dari
saudara Syekh Hamzah Fansuri sendiri. Ia tumbuh dan berkembang sebagai calon ulama di Aceh
pada masa negeri itu sedang berada dalam puncak kejayaan di bawah pimpinan sultannya yang
terbesar, Sultan Iskandar Muda.

Demi untuk lebih memperdalam atau memperluas pengetahuan agamanya, ia berangkat ke negeri
Arab sekitar tahun 1643 M (1064 H) pada saat negeri Aceh dipimpin oleh Sultanah Safiatuddin yang
berada kekacauan politik dan pertentangan paham keagamaan.

Abdurrauf tidak segera langsung menuju Mekkah, tapi terlebih dahulu bermukim pada banyak
tempat yang menjadi pusat-pusat pendidikan agama di sepanjang jalur perjalanan haji. Setelah
beliau sampai di Mekkah dan Madinah beliau melengkapi ilmu lahir (ilmu Al-Qur’an, tafsir, hadits,
fiqh) yang telah dimilikinya dan dilengkapi pula dengan ilmu, yakni tasawuf dan thariqat. Setelah
belajar di Madinah pada Syekh Thariqat Syatthariyah Ahmad Al Qusyasyi (wafat 1661 M/ 1082 H)
dan kemudian pada khalifah atau penggantinya IbrahimAlqur’ani, beliau memperoleh ijazah dari
pimpinan thariqat tersebut. Ini berarti ia telah beroleh pengakuan dan hak untuk mengajarkan
Thariqat Syatthariyah itu pada orang lain atau untuk mendirikan cabang baru pada tempat lain.
Banyak guru-guru besar yang ia mendapatkan ijazah ilmu pengetahuan dari padanya selama 19
tahun ia menuntut ilmu pengetahuan itu. Ia pulang ke Aceh sebagai seorang ulama yang luas dalam
ilmunya. Menurut perkiraan para ahli sekitar tahun 1662 M (1083 H), boleh jadi peranannya sebagai
pengajar thariqat Syatthariah telah dimulainya di Madinah, menjelang pulang ke Aceh, seperti yang
disimpulkan oleh Snouck Houghranje dari penelitiannya atas silsilah-silsilah thariqat, yang tidak
hanya tersebar di Sumatra tetapi juga di Jawa, yang sudah pasti beliau sesudah berada di Aceh, aktif
mengajar dan tercatat sebagai ulama Indonesia yang menjadi mata rantai pertama dalam silsilah
thariqat Syatthariah yang mengajar di Sumatra, Jawa atau tempat-tempat lain di Indonesia. Ia
mengajar di Kuala atau muara krueng Aceh sampai wafat di sana pada tahun 1693 M (1105 H).
Karena mengajar dan berkubur di kuala Aceh ia kemudian dikenal oleh masyarakat Aceh dengan
sebutan Syiah Kuala. Selain mengajar ia juga menjalankan tugasnya sebagai mufti kerajaan Aceh
Darussalam pada masa pemerintahan Sultanah Safiatuddin (1641 - 1675 M). Banyak karangan beliau
baik dalam ilmu tafsir dan kitab tafsir pertama yang dihasilkan di Indonesia dan ilmu-ilmu lain.

Seperti halnya Syamsuddin Sumatrani dan Nuruddin Ar-Raniry, Abdurrauf As Singkili, beliau juga
menganut faham wahdatul wujud yang benar, yakni bahwa satu-satunya wujud hakiki adalah Allah,
sedangkan alam adalah ciptaannya bukanlah wujud hakiki, tetapi wujud bayangan yakni bayangan
dari wujud hakiki. Dengan demikian bahwa tuhan lain dari alam atau alam lain dari tuhan. Kendati
begitu antara bayangan alam dengan yang memancarkan bayangan (Tuhan) itu terdapat keserupaan
pada alam yang tampak ini. Tuhan menampakkan diri-Nya (tajalli) secara tidak langsung. Pada
manusia khususnya sifat-sifat tuhan secara tidak langsung menampakkan diri dengan sempurna dan
relatif sempurna pada insan kamil (manusia sempurna). Tujuan thariqat yang diajarkannya tidak lain
dari memfanakan (menyinarkan) apa saja selain Allah dari kesadaran batin manusia melalui
pengamalan beberapa macam zikir. (Sumber Buku Paham Wujudiah karyaAbuya Syeikh Prof. Dr.
Tgk. H. Muhibbuddin Muhammad Waly)

5.Tuliskam Usahan Yg Dilakukan Sultan Agung Untuk Mempertahankan Kerajaan Mataram!

Jawab:

1. Sultan Agung bersama pasukannya menyerbu Batavia.

2. Menaklukan Surabaya agar tidak di kuasai oleh VOC

6.Jelaskan Proses Islamisasi Makassar!

Jawab:

Masyarakat Sulawesi Selatan pada zaman dahululu memiliki keyakinan yang beragam. Untuk etnis
Bugis dan Makassar serta Mandar, telah memahami konsepsi ketunggalan Tuhan. Mereka menyebut
dengan nama “Dewata SeuwaE” yang berarti Tuhan yang tunggal.Kata “Dewata” menurut Mattulada
berasal dari kata “De” dan “Watang” yang bermakna tiada yang mampu mengalahkan kekuatannya.
Ada juga yang mengatakan bahwa “De” dan “Watang” berarti tidak memiliki jasmani. Bukan juga
tidak mungkin, kata “Dewata” adalah istilah yang diserap dari kebudayaan lain. Tapi terlepas dari
berbagai anggapan di atas, masyarakat Sulawesi Selatan umumnya di zaman dahulu telah meyakini
ketunggalan Tuhan.Meski demikian, kepercayaan dahulu juga menempatkan kekuatan-kekuatan
magis dalam sistem keyakinannya. Sehingga, hingga hari ini kita masih menemukan praktek ritual
kuno yang ditujukan terhadap kekuatan magis tersebut. Ini berarti bahwa Islamisasi di Sulawesi
Selatan mengalami akulturasi dengan kebudayaan lokal.Proses IslamisasiProses Islamisasi di
Sulawesi Selatan sebenarnya telah berjalan sebelum awal abad ke-17. Atau sebelum kerajaan-
kerajaan mengakui Islam sebagai agama resmi. Hal ini diindikasikan dengan adanya makam wali di
Sulawesi Selatan, atau cerita rakyat maupun naskah kuno sebelumnya yang berkisar abad ke-13 dan
14. Meski demikian masih membutuhkan penelitian kesejarahan yang lebih mendalam.Pada akhir
abad 16 kerajaan Makassar adalah kerajaan yang terkuat di timur nusantara yang telah berinteraksi
dengan kerajaan luar seperti Portugis, Denmark, Inggris dan Spanyol. Hal ini membuat kaum jesuit
tertarik untuk menyebarkan misi kristen di Sulawesi. Maka datanglah misionaris dari Portugis yang
menawarkan kristen kepada Raja Makassar. Bahkan misionaris Portugis sempat mengkristenkan
Datu Suppa (Pinrang) dan Raja Siang (Pangkep). Namun pada saat yang hampir bersamaan, kerajaan
Ternate dan Aceh juga menawarkan Islam.Sejarah mencatat, Sultan Iskandar Muda Raja Aceh
mengirim Dato’ ri Bandang, Dato’ ri Tiro dan Dato’ Sulaiman untuk menyebarkan Islam. Di
tempatain, La Mungkace to Udamang, Raja Wajo pernah bermimpi melihat orang shalat dan tertarik.
Namun merasa ajalnya sudah dekat, beliau mewasiatkan bahwa akan ada agama baru dan
hendaknya rakyatnya mengikuti agama tersebut.Sebelum Dato’ ri Bandang menemui Karaeng Tallo
(mangkubumi kerajaan makassar), I Malingkaan daeng Nyori Karaeng Tallo bertemu dengan seorang
yang berjubah warna keemasan dan menganjurkan agar menerima Islam. Padahal sebelumnya,
putranya hendak membunuh Dato’ ri Bandang.Ketika Dato’ ri Bandang mengunjungi Karaeng Tallo,
beliau mengucapkan salam dan dijawab juga dengan salam. Proses selanjutnya Karaeng Tallo
beserta anaknya mengucap dua kalimat syahadat. Memang kisah pengislaman terkadang berbau
mistis, sehubungan dengan paradigma masyarakat pada saat itu. Tapi bukan berarti pembenaran
terhadap rasionalitas empiris yang serta merta menolak pandangan seperti itu.Di Luwu, Dato’ ri
Sulaiman (Dato’ Patimang) bertemu dengan Datu Luwu yaitu Daeng Parabbang dan berdiskusi
tentang ketuhanan. Ternyata konsep Dewata Seuwae yang dipahami Datu Luwu dan rakyatnya
kemudian disebut Dato’ Patimang sebagai Allah Subhanahu Wataala dan konsekuensinya adalah
mengakui kerasulan Muhammad. Dengan mudah Raja Luwu mengucapkan dua kalimat
syahadat.Gowa Tallo (Makassar) adalah simbol kekuatan politik dan militer kerajaan pada saat itu.
Dan Luwu adalah simbol tradisi mistik. Islamnya kerajaan Makassar dengan Luwu adalah
kemenangan besar dalam Islamisasi. Saat Dato’ Patimang meminta Datu Luwu untuk menyebarkan
Islam, Datu Luwu dengan rendah hati mengatakan bahwa di Gowalah kekuatan dan menganjurkan
agar Islamisasi dilaksanakan oleh Gowa karena kekuatan politik dan militer yang dimilikinya.Gowa
menyerang Siang dan Suppa yang sempat dikristenkan lalu diIslamkan. Kemudian kerajaan-
kerajaan Ajatappareng (Sidenreng, Rappang) dan Mandar pada tahun 1605. Selanjutnya kerajaan
Soppeng di Islamkan pada tahun 1607. Pasukan gabungan Soppeng dan Gowa menyerang Wajo dan
Wajo pun diIslamkan pada tahun 1609. Selanjutnya, pasukan Gowa, Soppeng dan Wajo menyerang
Bone pada tahun 1611. Takluknya Bone adalah dalam musu selleng “Perang Islamisasi” adalah
pertanda masyarakat jazirah Sulawesi Selatantelah menerima Islam.Diakuinya Islam menjadi agama
resmi kerajaan, berimbas pada berubahnya konstitusi dan struktur kerajaan. Pangadareng adalah
konstitusi kerajaan yang terdiri dari1.Ade’ yang berarti undang-undang atau ketetapan
permanen.2.Rapang yang kurang lebih berarti yurisprudensi.3.Wari’ yang bermakna aturan-aturan
termasuk keprotokoleran4.

Anda mungkin juga menyukai