Anda di halaman 1dari 11

BAB I

PENDAHULUAN

A. LATAR BELAKANG
Dalam penjelasan umum Undang-Undang No 16 tahun 2004 tentang Kejaksaan
dinyatakan bahwa Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia tahun 1945
menentukan secara tegas bahwa Negara Indonesia adalah Negara hukum. Sejalan dengan
ketentuan tersebut maka salah satu prinsip penting Negara hukum adalah adanya jaminan
kesederajatan bagi setiap orang dihadapan hukum (equality before the law). Oleh karena itu
setiap orang berhak atas perlakuan, jaminan, perlindungan, dan kepastian hukum yang adil,
serta perlakuan yang sama dihadapan hukum.
Kejaksaan sebagai salah satu lembaga penegak hukum dituntut untuk lebih berperan
dalam menegakkan supremasi hukum, perlindungan kepentingan hukum, penegakan HAM,
serta pemberantasan KKN. Dalam melaksanakan fungsi, tugas, dan wewenangnya, Kejaksaan
RI sebagai lembaga pemerintahan yang melaksanakan kekuasaan Negara di bidang
penuntutan harus mampu mewujudkan kepastian hukum, ketertiban hukum, keadilan, dan
kebenaran berdasarkan hukum dan mengindahkan norma-norma keagamaan, kesopanan, dan
kesusilaan, serta wajib menggali nilai-nilai kemanusiaan, hukum, dan keadilan yang hidup
dalam masyarakat. 
Kejaksaan juga harus mampu terlibat sepenuhnya dalam proses pembangunan antara
lain: turut menciptakan kondisi yang mendukung dan mengamankan pelaksanaan
pembangunan untuk mewujudkan masyarakat adil dan makmur berdasarkan Pancasila serta
berkewajiban untuk turut menjaga dan menegakkan kewibawaan pemerintah dan Negara
serta melindungi kepentingan masyarakat.
Kejaksaan dalam mengimplementasikan tugas dan wewenangnya secara kelembagaan
tersebut, diwakili oleh petugas atau pegawai kejaksaan yang disebut “Jaksa”. Seorang jaksa
sebelum memangku jabatannya tersebut harus mengikrarkan dirinya bersumpah atau berjanji
sebagai pertanggungjawaban dirinya kepada Negara, bangsa, dan lembaganya. Kode Etik
Jaksa adalah Tata Krama Adhyaksa dimana dalam melaksanakan tugas Jaksa sebagai
pengemban tugas dan wewenang Kejaksaan adalah insani yang beriman dan bertakwa kepada
Tuhan Yang Maha Esa yang berasaskan satu dan tidak terpisah-pisahkan, bertindak
berdasarkan hukum dan sumpah jabatan dengan mengidahkan norma keagamaan, kesopanan,
kesusilaan dan keadilan yang hidup dalam masyarakat berpedoman kepada Doktrin Tata
Krama Adhyaksa. Dengan adanya Kode Etik maka akan memperkuat sistem pengawasan

1
terhadap Jaksa, karena disamping ada peraturan perundang-undangan yang dilanggar juga
ada kode etik yang dilanggar.

B. RUMUSAN MASALAH
Dari uraian latar belakang di atas dapat disimpulkan rumusan masalah sebagai berikut :
1. Apakah profesi jaksa itu?
2. Bagaimana lembaga kejaksaan di Indonesia dan pengawasan terhadap jaksa?
3. Bagaimanakah kode etik bagi profesi jaksa?

C. TUJUAN PEMBAHASAN
1. Memberika pengertian tentang apa itu profesi jaksa.
2. Memberika pengertian tentang lembaga kejaksaan di Indonesia dan pengawasan terhadap
jaksa.
3. Memberika pengertian tentang kode etik bagi profesi jaksa.

2
BAB II
PEMBAHASAN

1. SEJARAH KODE ETIK JAKSA


Profesi jaksa sudah dikenal sejak lama, bahkan jauh sebelum indonesia merdeka. Pada
jaman kerajaan majapahit, misalnya jaksa dikenal dengan istilah dhyaksa, adhyaksa dan
dharmadhyaksa. Shyaksa dikatakan sebagai pejabat negara yang dibebani tugas untuk
menangani masalah-masalah peradilan di bawah pengawasan mahapatih gajah mada selaku
pejabat adhyaksa, sedangkan dharmadhyaksa berperan sebagai pengawas tertinggi dari
kekayaan suci dalam urusan kepercyaan dan menjabat sebagai ketua pengadilan dan
kemudian kata dhyaksa berubah menjadi jaksa.
Setelah era kemerdekaan, lembaga kejaksaan tetap dipertahankan yakni dengan
mengambil alih peraturan yang pernah berlaku pada jaman Jepang (Osamu Serei No. 3 Tahun
1942, No 2 Tahun 1944, dan No. 49 Tahun 1944) ketentuan ini lalu diperkuat dengan
Peraturan Pemrintah No. 2 Tahun 1945, Undang-Undang No 1 Tahun 1944, Undang-Undang
No. 7 Tahun 1947, dan Undang-Undang No. 19 Tahun 1984.
Dalam struktur pemerintahan RI pertama kali berdiri, kejaksaan menyatu dalam
wadah departemen kehakiman. Di sini terlihat betapa eratnya hubungan antara jaksa serta
hakim. Baru pada tanggal 22 Juli 1960, setelah hampir 15 tahun merdeka, dirasakan
penggabungan anatara jaksa dan hakim dalam satu jajaran departemen itu kurang
menguntungkan bagi penegakan hukum.
Pemisahan kedua lembaga diatas cukup beralasan. Dalam menjalankan tugas,
pendangan jaksa memang tidak harus selalu sejalan dengan hakim. Apabila keduanya
dikoordinasi oleh satu instansi, dikhawatirkan indepedensi masing-masing pihak tidak lagi
dipercaya oleh pencari keadilan. 1

2. JAKSA DAN PANJI ADHYAKSA


Terwujudnya kepastian hukum yang berintikan kebenaran dan keadilan yang
dilandasi oleh peraturan perundang-undangan yang berlaku dan didukung oleh aparatur yang
profesional, memiliki integritas moral yang tangguh dan disiplin yang tinggi untuk turut

1
Prof. Darji Darmodiharjo, S.,H. Pokok-Pokok Filsafat Hukum Apa Dan Bagaimana Filsafat Hukum Di
Indonesia, (Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama, 1999)

3
menegakkan supremasi hukum dengan memperhatikan rasa keadilan yang tumbuh dan
berkembang di dalam masyarakat serta memperhatikan hak asasi manusia.
Kejaksaan mempunyai tugas kewajiban utama dalam bidang penegakan hukum dan
melaksanakan fungsi penting dalam penyelenggaraan ketenteraman dan ketertiban umum
serta tugas-tugas pemerintah lainnya dan tugas kemasyarakatan mempunyai identitas khas
yakni wewenang penuh yang tak terbagi di bidang penuntutan, penyimpangan perkara dan
pelaksanaan putusan pengadilan yang semua dilandasi oleh peraturan perundang-undangan
dan dalam pelaksanaannya dijiwai dan bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa yang
menjunjung tinggi harkat dan martabat manusia, berjiwa Pancasila dan taat kepada Undang-
Undang Dasar 1945.2
Sebagai lembaga profesi, seorang jaksa tidaklah terlepas dari keahlian yang
berkeilmuan di bidang hukum. Ia mampu memenuhi kebutuhan warga dalam mendapatkan
keadilan. Dalam menciptakan keadilan, penegak hukum sangatlah penting mendapatkan
pengawasan agar tidak terjadi kesewenangan di luar wewenangnya.
Kode etik dalam profesi jaksa dirasa sangat perlu sebagai bentuk pengawasan
terhadap karya profesionalitas itu mengingat nilai-nilai dan kepentingan-kepentingan yang
dipertaruhkan berkenaan dengan pengemban karya profesionalitas. Dilema ini dipecahkan
dengan memberikan tekanan kuat pada pengendalian diri secara individual pada pihak
pengemban profesi, yang dilandaskan pada suatu proses sosialisasi yang panjang yang
didesain untuk membangun kompetensi teknikal yang diperlukan dan untuk menegakkan
komitmen yang kuat pada nilai-nilai dan norma-norma yang menjiwai tugas para pengemban
profesi.3
Dalam dunia peradilan, salah satu unsur penyangganya adalah jaksa. Karena posisi
sebagai penyangga, jaksa ikut menentukan hasil suatu proses berperkara di pengadilan.
Terlebih lagi dalam perkara (tindak) pidana. Eksistensi jaksa adalah mewakili negara dan
rakyat. Dalam Undang-Undang Nomor 5 tahun 1991 tentang Kejaksaan Republik Indonesia
disebutkan peran fungsional jaksa, sebagaimana dalam pasal 1 (1), “Jaksa adalah pejabat
yang diberi kewenangan oleh Undang-Undang untuk bertindak sebagai penuntut umum serta
melaksanakan putusan pengadilan yang telak memperoleh kekuatan hukum tetap.” Lebih
lanjut, dalam ayat 2 pasal 1 disebutkan, “Penuntut umum adalah jaksa yang diberi wewenang
oleh Undang-Undang untuk melakukan penuntutan dan melaksanakan penetapan hakim.4

2
Abintaro Prakoso, Etika Profesi Hukum: Telaah Historis, Filosofis, dan Teoritis Kode Etik Notaris, Advokat,
Polisi, Jaksa dan Hakim, (Surabaya: Laksbang Justitia, 2015), hlm. 167.
3
Jurnal B. Arief Sidharta, Etika dan Profesi Hukum, hlm. 226-227.

4
Pekerjaan jaksa itu terkait dengan hal-hal yang bersifat teknis, baik secara
administratif-birokratis maupun sosiologis. Secara administratitf-birokratis jaksa dituntut
untuk mampu memberdayakan tugas-tugas sebagai pejabat negara, sementara secara
sosiologis tugas-tugas itu akan dimintai (dituntut) pertanggungjawabannya secara moral oleh
masyarakat.
Ketentuan dalam KUHP dan UU Nomor 5 tahun 1991, menunjukkan peran strategis
jaksa sebagai penyelenggara profesi hukum yang terkait dengan penyidik dan terdakwa.
Keterlibatan dua pihak ini merupakan suatu lingkup manajerial nya yang akan menentukan
hasil kerjanya. Selain itu, tugas yang diembannya berkaitan dengan pembuatan surat dakwaan
merupakan tugas yang prinsipil yang dapat dijadikan wacana terhadap eksistensi jati diri
profesi jaksa. Sebab, dalam surat dakwaan, bukan hanya hakim yang akan dijadikannya
sebagai bahan pertimbangan istimewa untuk menjatuhkan vonis, tetapi juga dijadikan sebagai
bahan pelajaran bagi penasihat hukum untuk penyiapkan pembelaannya.5
Dalam sumpah jabatan jaksa yaitu pada UU No. 5 Tahun 1991 Pasal 10 terkandung
sejumlah ajaran luhur yang wajib ditegakkan.
1. Suatu janji yang berlandaskan pada ajaran agama merupakan ikrar yang telah
mengikatnya secara mutlak untuk dipatuhi. Dalam diri jaksa telah tertanam kaidah yang
mengharuskannya untuk teguh pendirian dan menghindari sikap pengingkaran.
2. Janji jaksa itu merupakan ikrar suci yang menuntun dan menunjukkan bahwa dirinya
adalah penyelenggara profesi hukum yang wajib berjalan diatas lini profesi yang suci dan
untuk kepentingan suci pula.
3. Jaksa terikat pada keharusan menegakkan prinsip kemanusiaan yang bernama
“kesamaan” (equality) atau menjatuhkan sikap diskriminatif dalam menangani perkara-
perkara hukum. Perkara yang sudah masuk lebih dahulu, haruslah diprioritaskan .
4. Kejujuran dalam menangani kasus hukum yang dihadapinya harus dikedepankan. Hal ini
mengandung konsekuensi terhadap harkat kemanusiaan, citra hukum dan kepercayaan
(kredibilitas) masyarakat terhadap dunia peradilan secara umum.
Panji Adhyaksa itu menjadi dasar pijakan bagi jaksa untuk menyadari dan menghargai
eksistensi jati diri dan fungsi profetiknya yang telah menyebut dirinya sebagai “alat” negara
dan “pengembala” atas aspirasi masyarakat pencari keadilan. Tertib negara (negara order)

4
Abdul Wahid dan Anang Sulistyono, Etika Profesi Hukum dan Nuansa Tantangan Profesi Hukum di
Indonesia, (Bandung: Tarsito, 1997), hlm. 81.
5
Muhammad Nuh, Etika Profesi Hukum, (Bandung: Pustaka Setia, 2011), hlm. 237 – 238.

5
dan terwujudnya (memasyarakatnya) keadilan di tengah masyarakat dapat terjadi manakala
peran jaksa memang dikonsentrasikan pada pengabdian terhadap tugas-tugasnya.6

3. ANALISIS KODE ETIK JAKSA


Etika profesi pada dasarnya mengandung nilai-nilai yang memberikan tuntutan
tingkah laku, demikian juga hukum. Etika profesi dan hukum sebenarnya samasama bisa
dilihat sebagai bagian dari kebudayaan. Lebih lanjut apabila dibandingkan, hukum
menghendaki agar tingkah laku manusia sesuai dengan aturan hukum yang diterapkan.
Sedangkan etika mengejar agar sikap batin manusia berada dalam kehendak batiniah yang
baik.7
Dalam dunia kejaksaan di Indonesia, terdapat lima norma kode etik profesi jaksa,
yaitu sebagai berikut:
1. Bersedia menerima kebenaran dari siapapun, menjaga diri, berani, bertanggung jawab,
dan dapat menjadi teladan di lingkungannya.
2. Mengamalkan dan melaksanakan Pancasila serta secara aktif dan kreatif dalam
pembangunan hukum untuk mewujudkan masyarakat adil.
3. Bersikap adil dalam memberikan pelayanan kepada para pencari keadilan.
4. Berbudi luhur serta berwatak mulia, setia, jujur, arif dan bijaksana dalam diri, berkata dan
bertingkah laku.
5. Mengutamakan kepentingan bangsa dan negara daripada kepentingan pribadi atau
golongan.
Karena disusun dengan tujuan agar dijalankan, kode etik jaksa, sebagaimana kode etik
profesi lain, mengandung nilai-nilai luhur dan ideal sebagai pedomana berperilaku dalam satu
profesi. Apabila kode etik ini dijalankan sesuai dengan tujuan, akan lahir jaksa-jaksa yang
mempunyai kualitas moral yang baik dalam melaksanakan tugasnya sehingga kehidupan
peradilan di negara kita akan mengarah pada keberhasilan.
Dalam mengemban profesi, usaha-usaha yang dilakukan oleh jaksa bukan hanya
untuk memenuhi unsur-unsur yang terkandung dalam ketentuan hukum, melainkan
mendengarkan dan memperjuangkan sesuatu yang sesungguhnya benar-benar terjadi dan
dirasakan langsung oleh masyarakat juga di dengar dan di perjuangkan. Inilah yang
dinamakan pendekatan sosiologis.8
6
Ibid., hlm. 239 – 240.
7
Jurnal Livia V. Pelle, Peranan Etika Profesi Hukum Terhadap Upaya Penegakkan Hukum di Indonesia, hlm.
25.
8
Ibid., hlm. 241 – 243.

6
4. TRIKARMA ADHYAKSA: SATYA ADHI WICAKSANA
1. Satya, kesetiaaan yang bersumber pada rasa jujur, baik terhadap Tuhan Yang Maha Esa,
terhadap diri pribadi, dan keluarga maupun kepada sesama manusia.
2. Adhi, kesempurnaan dalam bertugas dan berunsur utama pada rasa tanggung jawab
terhadap Tuhan Yang Maha Esa, keluarga, dan terhadap sesama manusia.
3. Wicaksana, bijaksana dalam tutur kata dan tingkah laku, khususnya dalam penerapan
kekuasaan dan kewenangannya.

5. VISI & MISI KEJAKSAAN AGUNG


a. Visi
“Mewujudkan kejaksaan sebagai lembaga penegak hukum yang melaksanakan tugasnya
secara independen dengan menjunjung tinggi HAM dalam negara hukum berdasarkan
Pancasila.”

b. Misi
a. Menyatukan tata pikir, tata laku, dan tata kerja dalam penegakan hukum.
b. Optimalisasi pemberantasan KKN dan penuntasan pelanggaran HAM.
c. Meyesuaikan sistem dan tata laksana pelayanan dan penegakan hukum dengan mengingat
norma keagamaan, kesusilaan, kesopanan dengan memperhatikan rasa keadilan dan nilai-
nilai kemanusiaan dalam masyarakat.9

6. PROGRAM PEMBAHARUAN KEJAKSAAN


Untuk pertama kalinya pada era reformasi, program pembaruan di lembaga-lembaga
penegak hukum disepakati, yaitu pada Pertemuan Puncak Pejabat Tinggi Negara di Bidang
Hukum & Peradilan serta Pimpinan Profesi Hukum (Law Summit) III pada 16 April 2004 di
Jakarta. Pembenahan serta penguatan lembaga-lembaga penegakan hukum, termasuk
lembaga kejaksaan merupakan sebuah keniscayaan untuk memulihkan kepercayaan
masyarakat terhadap pemerintahan saat ini. Dengan semangat perubahan itulah, pada Hari
Bhakti Adhyaksa ke-45 yang jatuh pada tanggal 22 Juli 2005, Kejaksaan RI meluncurkan
Program Pembaharuan Jaksa dihadapan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono dan
masyarakat luas.

9
Ibid., hlm. 244.

7
Program ini meliputi aspek pembaharuan organisasi dan tata kerja kejaksaan dan
sumber daya manusia; pembaharuan organisasi dan tata kerja bidang kejaksaan; pembaruan
manajemen umum; pembaharuan manajemen perkara; dan pembaharuan negara pengawasan
kejaksaan.10

7. REFORMASI BIROKRASI KEJAKSAAN


a. Visi
“Tercapainya aparat kejaksaan yang profesional dan berintegritas berlandaskan nilai-nilai
luhur Satya Adhi Wicaksana demi terciptanya kepastian hukum dalam rangka mewujudkan
tata kelola pemerintahan yang baik tahun 2025.

b. Misi
a. Membentuk dan atau menyempurnakan peraturan perundang-undangan sebagai landasan
hukum tata kelola kejaksaan yang baik.
b. Memodernisasi birokrasi kejaksaan dengan optimalisasi penggunaan tekonologi informasi
dan komunikasi.
c. Mengembangkan budaya, nilai kerja dan perilaku pegawai kejaksaan yang positif.
d. Mengadakan restrukturisasi organisasi (kelembagaan) kejaksaan.
e. Mengadakan relokasi dan meningkatkan kualitas sumber daya manusia termasuk
perbaikan sistem remunerasi.
f. Menyederhanakan sistem kerja, prosedur, dan mekanisme kerja.
g. Mengembangkan mekanisme pengawasan yang efektif.11

c. Tujuan Reformasi Birokrasi Kejaksaan


Tujuan umum reformasi birokrasi kejaksaan
Secara umum, reformasi birokrasi kejaksaan ditujukan untuk membangun atau
membentuk profil dan perilaku pegawai kejaksaan dengan:
1. Integritas tinggi, yaitu perilaku pegawai kejaksaan yang dalam bekerja senantiasa
menjaga sikap profesional dan menjunjung tinggi nilai-nilai moralitas (kejujuran,
kesetiaan, komitmen) serta menjaga keutuhan pribadi;

10
Ibid., hlm. 244 – 245.
11
Ibid., hlm. 245 – 246.

8
2. Produktivitas tinggi dan bertanggung jawab, yaitu hasil optimal yang dicapai oleh
pegawai kejaksaan dari serangkaian program kegiataan yang inovatif, efektif, dan efisien,
dalam mengelola sumber daya yang ada serta ditunjang oleh dedikasi dan etos kerja yang
tinggi;
3. Kemampuan memberikan pelayanan yang prima¸yaitu kepuasan yang dirasakan oleh
publik sebagai dampak positif dari hasil kerja birokrasi yang profesional, berdedikasi, dan
memiliki standar nilai moral yang tinggi pegawai kejaksaan dalam menjalankan tugasnya
sebagai abdi negara dan masyarakat.

Tujuan khusus reformasi birokrasi kejaksaan


Adapun tujuan khusus dari pelaksanaan reformasi birokrasi kejaksaan adalah
membangun atau membentuk sebagai berikut:
1. Birokrasi yang bersih, yaitu birokrasi kejaksaan yang bekerja atas dasar aturan dan nilai-
nilai yang dapat mencegah timbulnya berbagai tindak penyimpangan dan perbuatan
tercela (mal-administrasi), seperti korupsi, kolusi, dan nepotisme.
2. Birokrasi yang efisien, efektif, dan produktif, yaitu birokrasi kejaksaan yang mampu
memberikan dampak kerja positif (manfaat) kepada masyarakat dan mampu menjalankan
tugas dengan tepat, certmat, berdaya guna, dan tepat guna (hemat waktu, tenaga, dan
biaya).
3. Birokrasi yang transparan, yaitu birokrasi kejaksaan yang membuka diri terhadap hak
masyarakat untuk memperoleh informasi yang benar dan tidak diskriminatif dengan tetap
memerhatikan perlindungan atas hak asasi pribadi, golongan dan rahasia negara.
4. Birokrasi yang melayani masyarakat, yaitu birokrasi kejaksaan yang tidak minta dilayani
masyarakat, tetapi birokrasi yang memberikan pelayanan prima kepada publik.
5. Birokrasi yang akuntabel, yaitu birokrasi kejaksaan yang bertanggung jawab dan dapat
dipertanggungjawabkan atas setiap proses dan kinerja atau hasil akhir dari program
maupun kegiataannya sehubungan dengan pengelolaan dan pengendalian sumber daya
dan pelaksanaan kebijakan untuk mencapai tujuan sesuai dan berdasarkan peraturan
perundang-undangan yang berlaku.12

8. KEMANDIRIAN KEJAKSAAN
Dalam pasal 2 Undang-Undang Kejaksaan disebutkan sebagai berikut:
12
Ibid., hlm. 246 – 247.

9
a. Kejaksaan Republik Indonesia adalah lembaga pemerintah yang melaksanakan kekuasaan
negara di bidang penuntutan serta kewenangan lain berdasarkan Undang-Undang.
b. Kekuasaan negara sebagaimana yang dimaksud ayat (1) dilaksanakan secara merdeka
Dalam penjelasannya disebutkan, “yang dimaksud secara merdeka adalah melaksanakan
fungsi, tugas, dan wewenangnya, terlepas dari pengaruh kekuasaan pemerintah dan pengaruh
kekuasaan lainnya.”13

9. LARANGAN BAGI JAKSA/JAKSA AGUNG


Pengaturan mengenai larangan bagi jaksa atau jaksa agung sangat penting dalam
menjaga independensi dan menghindari adanya conflict of interest atau permainan bagi jaksa
atau jaksa agung atau pihak-pihak tertentu yang nantinya akan mempengaruhi proses
penyelesaian perkara yang sedang ditangani. Hanya ada dua pasal yang mengatur larangan
bagi jaksa maupun jaksa agung dan kedua pasal tersebut hanya menyebutkan larangan
mengenai rangkap jabatan.
Dalam pasal 11 Undang-Undang Kejaksaan disebutkan, “kecuali ditentukan oleh
Undang-Undang ini, jaksa dilarang merangkap menjadi pengusaha, pengurus, atau karyawan
badan usaha milik negara/daerah, atau badan usaha swasta, dan advokat.”
Adapun dalam Pasal 21 Undang-Undang Kejaksaan disebutkan, Jaksa Agung dilarang
merangkap menjadi:
1. Pejabat Negara lain atau penyelenggara negara menurut peraturan perundang-undangan;
2. Advokat;
3. Wali, kurator/pengampu, dan/atau pejabat yang terkait dalam perkara yang sedang
diperiksa olehnya;
4. Pengusaha, pengurus atau karyawan badan usaha milik negara/daerah, atau badan usaha
swasta;
5. Notaris, notaris pengganti, atau pejabat pembuat akta tanah;
6. Arbiter, badan atau panitia penyelesaian sengketa yang dibentuk berdasarkan peraturan
perundang-undangan;
7. Pejabat lembaga berbentuk komisi yang dibentuk berdasarkan undang-undang; atau
8. Pejabat pada jabatan lainnya yang ditentukan berdasarkan undang-undang.
BAB III
PENUTUP

13
Ibid., hlm. 249.

10
A. KESIMPULAN
Etika profesi pada dasarnya mengandung nilai-nilai yang memberikan tuntutan
tingkah laku, demikian juga hukum. Etika profesi dan hukum sebenarnya samasama bisa
dilihat sebagai bagian dari kebudayaan. Lebih lanjut apabila dibandingkan, hukum
menghendaki agar tingkah laku manusia sesuai dengan aturan hukum yang diterapkan.
Sedangkan etika mengejar agar sikap batin manusia berada dalam kehendak batiniah yang
baik.
Dalam dunia kejaksaan di Indonesia, terdapat lima norma kode etik profesi jaksa,
yaitu sebagai berikut:
1. Bersedia menerima kebenaran dari siapapun, menjaga diri, berani, bertanggung jawab,
dan dapat menjadi teladan di lingkungannya.
2. Mengamalkan dan melaksanakan Pancasila serta secara aktif dan kreatif dalam
pembangunan hukum untuk mewujudkan masyarakat adil.
3. Bersikap adil dalam memberikan pelayanan kepada para pencari keadilan.
4. Berbudi luhur serta berwatak mulia, setia, jujur, arif dan bijaksana dalam diri, berkata dan
bertingkah laku.
5. Mengutamakan kepentingan bangsa dan negara daripada kepentingan pribadi atau
golongan.

B. SARAN
Dalam menjaga keluruhan penegakan hukum di Indonesia maka pemahaman mengenai kode
etik profesi seorang hakim masihlah sangat diperlukan, guna memberikan pengertian
kewajiban seorang jaksa dalam menjaga kode etik sebagai penegak hukum agar dapat
menjadi penegak hukum yang penuh tanggungjawab dan amanah.
.

11

Anda mungkin juga menyukai