Anda di halaman 1dari 2

َ‫ق فَالَ ُش ْف َعة‬ ُّ ‫ت‬

ُ ‫الط ُر‬ ُ ‫ت ْال ُحدُو ُد َو‬


ِ َ‫ص ِّرف‬ ٍ ‫صلَّى هَّللا ُ َعلَ ْي ِه َو َسلَّ َم بِال ُّش ْف َع ِة فِي ُكلِّ َم‬
ِ ‫ال لَ ْم يُ ْق َس ْم فَإ ِ َذا َوقَ َع‬ َ ‫النَّبِ ُّي‬.

“Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam memutuskan adanya


syuf’ah pada setiap sesuatu yang belum dibagi. Apabila telah
dibatasi dan telah diatur peraturannya, maka tidak berlaku
syuf’ah.”

Hukum-hukum yang terkait dengan Syuf’ah

a.  Tidak boleh bagi sekutu menjual bagiannya sampai memberitahukan atau menawarkan kepada
sekutunya. Jika ia telah menjualnya tanpa memberitahukan lebih dulu, maka kawan sekutunya lebih
berhak terhadapnya

b.  Syuf’ah hanya berlaku pada tanah dan sesuatu yang tidak bisa dipindahkan, jika bisa dipindahkan,
mislanya barnag-barang, hewan dan sebagainya maka tidak berlaku.

c.  Syuf’ah adalah hak syar’i tidak boleh dicari celah untuk menggugurkannya karen aia disyariatkan untuk
menghindarkan mudharat dari sekutunya.

d.   Syuf’ah berlaku bagi para sekutu sesuai kadar kepemilikan mereka. Siapa yang berhak mendapatkan
syuf’ah, maka ia mengambilnya dengan harga penjualannya baik secara tempo maupun kontan.

e.   Syuf’ah berlaku karena bagian yang berpindah dari seorang sekutu merupakan jual beli yang tegas
atau semakna dengannya. Oleh karena itu, tidak ada syuf’ah pada sesuatu berpindah dari milik
sekutu tanpa Ada jual beli, seperti dihibahkan tanpa ganti, atau diwarisi atau diwasiati.

f.       ‘Aqaar (sesuatu yang tidak bisa dipndahkan) yang berpindah kepemilikan dengan adanya jual beli
harus bisa dibagi. Oleh karena itu, tidak Ada syuf’ah pada barang yang tidak bisa dibagi, seperti
kamar mandi kecil, sumur dan jalan.

g.  Syuf’Ah bisa dituntut segera stelah ia mengetahui sesuatu dijual. Jika tidak dituntut sewaktu dijual,
maka menjadi batal. Kecuali jika ia belum tahu, maka tetap berlaku syuf’ahnya. Demikian pula masih
berlaku, jika ia menundanya karena adanya udzur, seperti tidak tahu hukumnya atau udzur lainnya.

h.    Objek syuf’ah itu tanah yang belum dibagi dan belum dibatasi, serta apa yang Ada di sana berupa
pepohonan dan bangunan dan bangunan. Jika sudah dibagi, tetapi masih ada sebagian perlengkapan
yang disekutui antara bberapa tetangga, seperti jalan, Air, dan semisalnya maka menurut pendapat
yang paling shahih, syuf’ah tersebut masih berlaku.

i.  Si syafii’ harus mengambil semua yang dijual, tidak mengambil sebagian dan meninggalkan sebagian.
Yang demikian tidak lain untuk menghindarkan madharat dari pembeli.

4.      Rukun dan Syarat Syufah

Adapun beberapa rukun dan syarat syuf’ah, yaitu :

1.   Masyfu’, yaitu benda-benda yang dijadikan barang syuf’ah, barang yang diambil sebagian yang sudah
dijual.
           Syaratnya keadaan barang tidak bergerak karena dalam hadits yang telah lalu diberikan
contoh rumah atau kebun. Adapun barang yang bergerak berarti dapat dipindahkan padanya tidak
berlaku syuf’ah kecuali dengan jalan mengikuti pada yang tidak bergerak, karena syuf’ah
disyariatkan guna menghindarkan keberatan dari pihak tetangga yang baru dan menghilangkan
keberatan-keberatan kalau barang itu dibagi,karena adanya pembagian sudah tentu memerlukan
biaya.

2.      Syafi’, yaitu orang yang mengambil atau menerima syuf’ah.

           Syaratnya adalah orang yang membeli syuf’ah adalah partner dalam benda atau barang
tersebut. Perpatneran mereka lebih dahulu terjalin sebelum penjualan, tidak hanya perbedaan
batasan diantara keduanya sehingga benda itu menjadi milik mereka berdua secara bersamaan,syafi’
meminta dengan segera, maksudnya syafi’ jika telah mengetahui penjualan, ia wajib meminta
dengan segera jika hal itu memungkinkan jika ia telah mengetahuinya kemudian memperlambat
permintaan tanpa adanya uzur, maka haknya gugur, syafi’ mengambil seluruh barang, maksudnya
jika syafi’ meminta untuk mengambil sebagian maka semua haknya gugur apabila syuf’ah terjadi
antara dua syafi’ atau lebih sebagian syafi’ melepaskannya maka syafi’ yang lain harus menerima
semuanya ini dimaksudkan agar benda syuf’ah tidak terpilah-pilah atas pembeli.

3.      Masyfu’ min hu, yaitu orang tempat mengambil syuf’ah, orang yang dipaksa (serikat baru).

           Syaratnya, keadaan barang itu dimilikinya dengan jalan bertukar, bukan dengan jalan pusaka
wasiat atau pemberian.[11]

5.      Hikmah disyariatkannya syuf’ah

Islam mensyariatkan syuf’ah untuk mengatisipasi terjadinya kerugian dan bahaya. Pembelian
kembali bagian seorang partner yang telah dibeli oleh pembeli dengan harga tertentu akan
menguntungkan baginya (partner yang menjual bagiannya). Disamping itu,dapat menolak kerugian
atau efek negative dengan tidak merugikan partner yang menjual bagiannya dan pembelinya.
Keduanya mendapat haknya secara sempurna.

Ibnu al-Qayyim menyatakan bahwa syuf’ah adalah termasuk syariat yang baik,adil,dan
menjunjung tinggi kemaslahatan umat . dari sini, dapat diketahui bahwa rekayasa untuk
menggugurkan kepentingan umat sangat berlawanan dengan sesuatu yang menjadi tujuan syar’I
(Allah SWT).[12]

Adanya syuf’ah ini diatur oleh agama untuk memelihara ketenangan dan keutuhan para pemilik
harta bersama itu dari berbagai gangguan, baik gangguan terhadap hak milik atau ketenangan para
anggota. Dalam hal ini unsure ketenangan dan kedamaian, sebagai salah satu asas dalam lapangan
muamalat, haruslah benar-benar diperhatikan.

Anda mungkin juga menyukai