Anda di halaman 1dari 12

TUGAS ILMIAH KEPANITERAAN KLINIK FK UMS

CASE REPORT

PEREMPUAN USIA 25 TAHUN DENGAN KERATITIS OS

PENYUSUN
Nur Sukma Anggrahini, S.Ked; J510195105

PEMBIMBING
dr. Naziya, Sp.M

PRODI PROFESI DOKTER


FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH SURAKARTA
2020
HALAMAN PENGESAHAN
Tugas Ilmiah Kepaniteraan Klinik FK UMS
CASE REPORT
Prodi Profesi Dokter Fakultas Kedokteran
Universitas Muhammadiyah Surakarta

Judul : PEREMPUAN USIA 25 TAHUN DENGAN KERATITIS OS


Penyusun : Nur Sukma Anggrahini, S.Ked; J510195105
Pembimbing : dr. Naziya, Sp.M.

Surakarta, 12 April 2020

Penyusun

Nur Sukma Anggrahini, S.Ked

Menyetujui,
Pembimbing

dr. Naziya, Sp.M

Mengetahui,
Kepala Program Studi Profesi Dokter
Fakultas Kedokteran UMS

dr. Iin Novita N.M., M.Sc., Sp.PD


PEREMPUAN USIA 25 TAHUN DENGAN KERATITIS OS :
LAPORAN KASUS

A WOMAN 25 YEARS OLD WITH KERATITIS OS : CASE REPORT

Nur, S. A.*, Naziya.**


* Fakultas Kedokteran, Universitas Muhammadiyah Surakarta
** Bagian Ilmu Kesehatan Mata, RS PKU Muhammadiyah Surakarta

ABSTRAK
Pleksus brakhialis adalah pangkal dari serabut-serabut saraf yang berasal dari medulla
spinalis yang mempersarafi ekstremitas superior. Pleksus brakhialis merupakan serabut
saraf yang berasal dari ramus anterior radiks saraf C5-T. Plexus berperan terhadap
innervasi motorik otot-otot extremitas superior kecuali musculus trapezius dan
levator scapula. Plexus brachialis juga melayani innervasi seluruh bagian kulit
dari extremitas superior kecuali area axilla dan dorsal dari scapula. Gangguan
pada plexus ini ataupun cabang-cabang sarafnya akan menyebabkan paralisis pada
otot yang dilayani dan juga gangguan sensasi kulit yang bersifat area atau zona.
Studi epidemiologis pada trauma pleksus brakialis sulit diketahui dengan pasti dan
epidemiologi dapat bervariasi di berbagai negara. Menurut penelitian yang
dilakukan di India Pusat tahun 2012 menyebutkan bahwa kecelakaan lalu lintas
menyumbang 94% pasien dan kecelakaan lalu lintas 90% melibatkan roda dua.
Cedera pleksus brakhialis membentuk bagian multitrauma pada 54% kelompok
penelitian dan 46% telah mengisolasi cedera pleksus brakhialis. Kami melaporkan
kasus laki-laki berusia 15 tahun datang ke poliklinik rawat jalan rehabilitasi medik
RS. Ortopedi Prof. Dr. R. Soeharso Surakarta dengan keluhan kelemahan pada
lengan kanan post jatuh dari pohon mangga. Berdasarkan keluhan, pemeriksaan
fisik, dan penunjang, diagnosis awal pada pasien adalah brachial plexus injury.
Kasus ini menggambarkan kasus brachial plexus injury. Kasus ini menekankan
pada pentingnya diagnosis dan tata laksana pada kasus brachial plexus injury.
Kata kunci : brachial plexus injury, rehabilitasi medis.

PENDAHULUAN
Plexus brachialis berperan terhadap innervasi motorik otot-otot extremitas
superior kecuali musculus trapezius dan levator scapula. Plexus brachialis juga melayani
innervasi seluruh bagian kulit dari extremitas superior kecuali area axilla dan dorsal dari
scapula. Gangguan pada plexus ini ataupun cabang-cabang sarafnya akan menyebabkan
paralisis pada otot yang dilayani dan juga gangguan sensasi kulit yang bersifat area atau
zona (Wardana, 2017).
Data mengenai insiden trauma plexus brachialis sulit diketahui dengan pasti,
Goldie dan Coates melaporkan 450-500 kasus cedera supraklavikular tertutup terjadi
setiap tahun di Inggris. Pada laporan yang lain, Narakas membuat suatu pedoman "seven
seventies”  dengan mengacu pada pengalaman menangani 1.068 pasien selama 18 tahun
yang salah satunya berisi  70% kecelakaan pengendara sepeda motor dengan  trauma
multipel akan berimplikasi 70% diantara berupa cedera supraklavikuler, 70% cedera
supraklavikuler merupakan avulsi saraf yang melibatkan  C7, C8, T1 [ CITATION
Fos11 \l 1033 ].
Sementara itu cedera pleksus brakhialis terus meningkat pula di kota-kota besar
di Indonesia. Di Surabaya kebanyakan pasien dengan pleksus brakhialis trauma adalah
laki-laki berusia antara 15 dan 25 tahun.. 70% dari trauma pleksus brakhialis terjadi
karena kecelakaan kendaraan bermotor (Putra, 2015).

LAPORAN KASUS
Pasien seorang perempuan berusia 25 tahun datang ke poliklinik mata RS PKU
Muhammadiyah Surakarta dengan keluhan mata kiri kabur selama ±1 minggu. Pasien
juga mengeluh mata kiri seperti ada yang mengganjal, terasa nyeri, sering berair, serta
terasa silau bila terkena cahaya. Riwayat penggunaan lensa kontak (-). Pada riwayat
penyakit terdahulu, riwayat penyakit dengan keluhan yang sama sebelumnya (-), riwayat
diabetes melitus (-) riwayat hipertensi (-), riwayat alergi (-). Tidak ada riwayat
pengobatan sebelumnya. Pada riwayat penyakit keluarga dan sosial, tidak ada riwayat
penyakit yang sama pada keluarga pasien.
Pada pemeriksaan didapatkan kondisi umum baik, compos mentis, berat badan
pasien 59 kg, tinggi badan 160 cm, tekanan darah 120/80 mmHg, nadi 88x/menit,
respiratory rate 18x/menit dan suhu 370C. Pada pemeriksaan status generalis didapatkan
pada area kepala konjungtiva anemi -/-, sklera ikterik -/-, pupil reflek +/+, respon cahaya
+/+. Pada area leher pembesaran limfonodi (-), peningkatan JVP (-). Pada pemeriksaan
dada jantung didapatkan ictus cordis tidak nampak dan teraba normal suara jantung
regular, murmur – gallop –. Pada pemeriksaan paru-paru didapatkan simetris, vesikuler,
rh -/-, wheezing -/-. Pada pemeriksaan ekstremitas bawah akral hangat +/+, CRT<2 detik.
Pada pemeriksaan opthalmologi didapatkan hasil sebagai berikut :
1. Pemeriksaan Inspeksi

OD OS
Palpebra Edema (-) Edema (-)
Silia Normal, sekret (-) Normal, sekret (-)
Apparatus lakrimasi (-) lakrimasi (+)
lakrimalis
Konjungtiva Hiperemis (-) Hiperemis(+)
Bola mata Normal Normal
Kornea Jernih Sedikit keruh
Bilik Mata Normal Normal
Depan
Iris Coklat, Kripte (+) Coklat, kripte (+)
Pupil Bulat, Sentral, RC + Bulat, Sentral, RC +
Lensa Jernih Jernih
Mekanisme Ke segala arah Ke segala arah
muscular
2. Pemeriksaan Palpasi

Palpasi OD OS
Tensi Okuler Tn Tn
Nyeri tekan (-) (-)
Massa tumor (-) (-)
Glandula preaurikuler Tidak ada pembesaran Tidak ada pembesaran
3. Visus
VOD : 20/20
VOS : 20/70
4. Pemeriksaan Slit Lamp

Pemeriksaan fluorosein: tampak bintik-bintik warna hijau pada permukaan kornea

1. Pemeriksaan laboratorium
Tidak dilakukan pemeriksaan
2. Pemeriksaan Oftalmoskopi
Tidak dilakukan pemeriksaan.

Gambar 1. Hasil Rontgen

DISKUSI
Plexus berperan terhadap innervasi motorik otot-otot extremitas superior kecuali
musculus trapezius dan levator scapula. Plexus brachialis juga melayani innervasi seluruh
bagian kulit dari extremitas superior kecuali area axilla dan dorsal dari scapula. Gejala
yang timbul umumnya unilateral berupa kelainan motorik, sensorik dan bahkan
autonomik pada bahu dan / atau ekstremitas atas. Gambaran klinisnya mempunyai banyak
variasi tergantung dari letak dan derajat kerusakan lesi. Lesi pleksus brakhialis dapat
dibagi atas pleksopati supraklavikular dan pleksopati infraklavikular [CITATION Sig07
\l 1033 ]. Penyebab cedera plexus brachialis dibedakan berdasarkan mekanisme trauma,
antara lain cedera akibat traksi atau traumatic traction injuries, trauma penetrasi
pada bahu atau leher, kelemahan yang terkait dengan proses kelahiran, penyebab yang
jarang antara lain trauma tumpul pada bahu, lesi kompresi, radiasi, dan neoplasma.
Gejala yang timbul pada BPI umumnya unilateral berupa kelainan motorik,
sensorik dan bahkan autonomik pada bahu dan / atau ekstremitas atas. Gambaran
klinisnya mempunyai banyak variasi tergantung dari letak dan derajat kerusakan lesi. Lesi
pleksus brakhialis dapat dibagi atas pleksopati supraklavikular dan pleksopati
infraklavikular [CITATION Sig07 \l 1033 ]
Derajat Kerusakan pada lesi saraf perifer dapat dilihat dari klasifikasi Sheddon
(1943) dan Sunderland (1951). Klasifikasi Sheddon, yaitu [ CITATION Sig07 \l 1033 ]
diantaranya neuropraksia. Pada atipe ini terjadi kerusakan mielin namun akson tetap
intak. Dengan adanya kerusakan mielin dapat menyebabkan hambatan konduksi saraf.
Pada tipe cedera seperti ini tidak terjadi kerusakan struktur terminal sehingga proses
penyembuhan lebih cepat dan merupakan derajat kerusakan paling ringan. Tipe ke dua
yaitu aksonotmesis. Terjadi kerusakan akson namun semua struktur selubung saraf
termasuk endoneural masih tetap intak. Terjadi degenerasi aksonal segmen saraf distal
dari lesi (degenerasi Wallerian). Regenerasi saraf tergantung dari jarak lesi mencapai
serabut otot yang denervasi tersebut. Pemulihan sensorik cukup baik bila dibandingkan
motorik. Jenis ketiga yaitu neurotmesis. Terjadi ruptur saraf dimana proses pemulihan
sangat sulit terjadi meskipun dengan penanganan bedah. Bila terjadi pemulihan biasanya
tidak sempurna dan dibutuhkan waktu serta observasi yang lama. Merupakan derajat
kerusakan paling berat.
Klasifikasi Sunderland lebih merinci kerusakan saraf yang terjadi dan
membaginya dalam 5 tingkat, yaitu :
a. Tipe I : hambatan dalam konduksi (neuropraksia)
b. Tipe II : cedera akson tetapi selubung endoneural tetap intak (aksonotmesis)
c. Tipe III : aksonotmesis yang melibatkan selubung endoneural tetapi perineural dan
epineural masih intak.
d. Tipe IV : aksonotmesis melibatkan selubung endoneural, perineural, tetapi epineural
masih baik.
e. Tipe V : aksonotmesis melibatkan selubung endoneural, perineural dan epineural
(neurotmesis).
Penegakan diagnosis pasien BPI dimulai dengan anamnesis.
Seseorang  dengan  cedera bahu berat, khususnya pada kecelakaan bermotor. Mekanisme
cedera harus dipertimbangkan, karena dapat terjadi pada multiple trauma. Pasien dapat
memberikan gejala-gejala berupa nyeri, khususnya leher dan bahu. Nyeri saraf umumnya
disebabkan adanya ruptur, parestesia dan distesia, kelemahan atau rasa berat pada
ekstremitas, serta menurunnya nadi, disebabkan cedera pembuluh darah yang
menyertainya [ CITATION Fos11 \l 1033 ].
Pada cedera saraf perifer perlu menentukan grading yang bertujuan untuk
memprediksi luaran fungsional dan rencana terapi. Penentuan grading dilakukan dengan
menilai mekanisme trauma yang umumnya berupa kompresi, traksi, laserasi, dan/ atau
iskemik [ CITATION Fos11 \l 1033 ].
Pada pemeriksaan fisik, pemeriksaan sensasi dan gerakan pergelangan tangan dan
jari  untuk menilai saraf-saraf median, ulnar, radial dapat membantu mengetahui letak lesi
plexus brachialis. Pemeriksaan motorik berguna karena terdapat variasi tertentu pada
saraf-saraf spinal diantara medulla dan merupakan pola inervasi abnormal yang
terbanyak. Variasi ini menjadi tantangan tersendiri dalam mengidentifikasi level yang
terkena / terlibat. (Foster, 2011).
Pada pemeriksaan penunjang, gambaran radiologi terdiri atas mielografi
standar, computed tomographic (CT) myelography, dan magnetic resonance (MR)
imaging. Gambaran radiologi memiliki peranan penting untuk membedakan cedera
preganglionik dari lesi postganglion yang akan menentukan manajemen pasien
[ CITATION Yos06 \l 1033 ].
Tata laksana pasien BPI dengan metode pembedahan bias dilakukan dengan
metode nerve graft. Repair saraf secara langsung tanpa graft saraf hanya mungkin
dilakukan pada cedera tajam dengan posisi melintang, namun keadaan ini jarang
dijumpai. Teknik ini paling banyak dilakukan pada repair pleksus brachialis. Teknik
kedua yaitu dengan Nerve Allografts. Allograft saraf bekerja sebagai kerangka temporer
sampai terjadi regenerasi akson. Jaringan allograft secara keseluruhan menggantikan
bahan dasar. Teknik ketiga dengan . Fibrin Glue In Nerve Repair. Studi terbaru
membandingkan lem fibrin dengan jahitan mikro pada repair saraf median yang
menunjukkan respon inflamasi dan fibrosis yang lebih kecil, regenerasi aksonal yang
lebih baik, dan kesejajaran serat yang lebih. Teknik fibrin sealant juga cepat dan mudah
digunakan. Teknik ke empat yaitu dengan nerve conduits. Saluran saraf ini membantu
mengarahkan tunas aksonal dari puntung proksimal sampai ke puntung saraf distal. Cara
ini juga menyediakan saluran untuk difusi faktor-faktor neurotropik dan neutotopik dan
meminimalisasi infiltrasi jaringan ikat. Metode ke lima yaitu nerve transfers. Dengan
metode ini dilakukan pada repair BPI berat, dimana akar saraf spinal proksimal robek
dari medulla spinalis. Saraf proksimal yang sehat disambungkan ke distal untuk
menginervasi saraf yang tidak menerima innervasi melalui akson yang didonorkan
[ CITATION Bha08 \l 1033 ].
Selain itu pasien BPI juga dapat dilakukan terapi rehabilitasi medis. Tindakan
rehabilitasi medis yang dilakukan meliputi imobilisasi, USD, TENS, EMS, terapi latihan
(physioterapy), dan terapi okupasi [ CITATION Fos11 \l 1033 ].
PEMBAHASAN
1. Identitas Pasien
Nama : Tn. K
Jenis Kelamin : Laki-laki
Usia : 39 tahun
2. Anamnesis
Anamnesis dilakukan secara autoanamnesis.
a. Keluhan utama
Kekakuan pada anggota gerak bagian kiri.
b. Riwayat penyakit sekarang Pasien seorang laki-laki berusia 39 tahun datang
diantar oleh keluarga ke poliklinik rawat jalan rehabilitasi medik RS. Ortopedi
Prof. Dr. R. Soeharso Surakarta dengan keluhan kekakuan pada sendi bagian
tubuh kiri dari leher sampai dengan kaki. Selain kaku, pasien mengeluhkan nyeri
pada punggung sebelah kiri. Pasien mengatakan memiliki riwayat jatuh di sawah
sejak 5 tahun yang lalu. Sejak saat itu pasien merasakan nyeri di punggang sebelah
kiri yang memberat 3 tahun terakhir. Nyeri yang dirasakan terus-menerus dan
menjalar ke paha. Nyeri berkurang saat aktivitas dan mengkonsumsi obat
antinyeri. Sebelumnya pasien sudah melakukan pemeriksaan rutin di bagian saraf
rumah sakit terdekat tetapi keadaan semakin lama semakin memburuk yaitu tubuh
pasien menjadi kaku.
c. Riwayat penyakit dahulu:
1) Riwayat alergi : disangkal
2) Riwayat diabetes mellitus : disangkal
3) Riwayat penyakit jantung : disangkal
4) Riwayat hipertensi : disangkal
5) Riwayat asma: tidak ada data
d. Riwayat penggunaan obat:
1) Riwayat alergi obat: tidak ada data
2) Riwayat pengobatan sebelumnya: disangkal
e. Riwayat Penyakit Keluarga
1) Riwayat asma : disangkal
2) Riwayat diabetes mellitus : disangkal
3) Riwayat penyakit jantung : disangkal
4) Riwayat penyakit hipertensi: disangkal
5) Riawayat alergi : disangkal
3. Pemeriksaan Fisik
a. Status Generalis
1) Keadaan Umum: Baik
2) Kesadaran : Compos mentis (GCS: E4V5M6)
3) Skala Nyeri : 5 (VAS sedang) saat bergerak. Skor 2 (VAS ringan) saat
beristirahat
4) Tekanan Darah : 120/80 mmHg
5) Nadi : 88x / menit
6) Respirasi : 18x / menit
7) Suhu : 37 oC
b. Status Gizi
1) BB : 53 kg
2) TB : 160 cm
c. Status internus
terlampir
d. Sistem neuro-muskuloskeletal
1) Postur :dapat duduk
2) Nervi cranialis :dbn
3) Pemeriksaan kekuatan otot : menurun pada anggota gerak kiri.
4. Pemeriksaan Penunjang
Rontgen Lumbosacral AP Lateral
5. Diagnosa
Penegakan diagnosis berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisik, dan
pemeriksaan penunjang. Pada kasus ini ditegakkan diagnosis Ankylosing Spondylitis.
Menurut kriteria New York 1984 penegakan diagnosis ankylosing spondylitis dapat
ditegakan dengan (Anon, 2014) :
a. Kriteria klinis :
1) Nyeri pinggang minimal 3 bulan, yang membaik dengan aktifitas, dan
tidak membaik dengan istirahat
2) Keterbatasan gerak vertebra lumbalis pada arah sagital dan frontal
3) Penurunan ekspansi rongga dada, jika dibandingkan umur dan jenis kelamin
yang sesuai
b. Kriteria radiologis
Sakroiliitis bilateral grade 2 – 4 atau sakroiliitis unilateral grade 3 – 4

6. Diagnosis Fungsional
a. Impairment : ankylosing spondylitis, post THR OA HIP bilateral dan ROM HIP
sinistra dan vertebrae terbatas
b. Disability : terdapat gangguan aktivitas sehari-hari
c. Handicap : pasien mengalami gangguan sehinggan memutuskan untuk berhenti
bekerja
7. Problem Rehabilitasi Medik
a. Nyeri punggung sebelah kiri
b. Kekakuan pada anggita gerak sebelah kiri
c. kesulitan berjalan dan mobilisasi
d. Komunikasi : tidak terdapat problem
e. Psikologis : tidak terdapat problem
8. Goal Rehabilitasi Medik
a. Jangka Pendek
1) Mengurangi nyeri
2) Meningkatkan mobilitas
3) Meningkatkan ROM pada anggota gerak atas dan bawah
4) Memperbaiki kekuatan
b. Jangka Panjang
1) Mencegah komplikasi
2) Mempersiapkan pasien agar dapat melakukan aktivitas sehari-hari dan dapat
bekerja kembali
9. Terapi
Saat ini terapi ankylosing spondylitis tidak hanya mengandalkan farmakologi maupun
bedah, tetapi dikombinasikan denga terapi rehabilitasi medic [ CITATION Per14 \l
1033 ].
a. Terapi farmakologi
1) Analgesic untuk mengurangi nyeri (Natrium Diklofenak)
2) Pemberian suplemen glukosamin yang menurut penelitian dan memelihara
sendi
b. Terapi non-farmakologi
1) Rehabilitasi medik

10. Program Rehabilitasi Medik


a. Program latihan bermanfaat untuk mempertahankan mobilitas dan postur tubuh
pasien serta mencegah progresivitas pelemahan fungsional pasien. Rehabilitasi
yang dapat dilakukan antara lain dengan latihan fisik dan latihan pernafasan seperti
peregangan, penguatan, fleksibilitas dan latihan pernafasan yang bertujuan untuk
mengurangi rasa nyeri, mempertahankan mobilitas spinal dan postur yang baik,
meningkatkan kekuatan otot dan aktivitas fungsional sehari – hari 4.
b. Hidroterapi untuk pasien yang mengalami nyeri dan kekakuan tubuh secara luas 6.
c. Terapi okupasi dapat diberikan sehingga pasien bisa mendapatkan latihan
mengerjakan aktivitas hidup sehari-hari6.
d. Terapi infrared juga dapat diberikan karena memiliki efek secara klinis selama
pengobatan pada pasien SA tanpa meningkatkan keparahan penyakit 5.
e. Terapi ultrasound dapat digunakan memulihkan dari nyeri,
kekakuan,meningkatkan mobilitas lumbal, menghambat progresifitas penyakit,
serta meningkatkan kulaitas hidup pasien AS 5.
11. Edukasi
a. Menjelasan kepada pasien dan keluarganya mengenai penyakitnya, faktor resiko
serta komplikasinya
b. Mengajarkan terapi latihan
c. Menyarankan agar tetap kontrol teratur kerumah sakit
12. Prognosis
Ad vitam : bonam
Ad sanam : dubia
Ad fungsionam : dubia ad bonam
KESIMPULAN
Pada kasus ini, penegakan diagnosis brachial plexus injury berdasarkan
anamnesis, pemeriksaan fisik dan pemeriksaan penunjang. Penatalaksaan brachial
plexus injury meliputi terapi pembedahan dan dikombinasikan dengan terapi non-
farmakologi yaitu rehabilitasi medis.
Tujuan dilakukannya rehabilitasi medis jangka pendek diantaranya untuk
mengurangi nyeri, meningkatkan mobilitas, meningkatkan ROM pada anggota
gerak atas dan bawah, dan memperbaiki kekuatan. Sedangkan tujuan jangka
panjang untuk mencegah komplikasi serta untuk mempersiapkan pasien agar
dapat melakukan aktivitas sehari-hari dan dapat bekerja kembali.
Program rehabilitasi medik yang digunakan pada laporan kasus ini adalah
imobilisasi, USD, TENS, EMS, terapi latihan (physioterapy), dan terapi okupasi.

REFERENSI
Arimbawa, I. K., 2017. TRAUMA PLEKSUS BRAKHIALIS. Denpasar: FK
UNUD.
Bhandari, P. e. a., 2008. Current trends in the management of brachial plexus
injuries. Indian Journal of Neurotrauma, 2008. 5(1): p. 21-5..
Foster, M., 2011. Traumatic Brachial Plexus Injuries. emedicine. p. 1-4.
Harsono, 2005. Buku ajar Neurologis klinis. 3 ed. Yogyakarta: UGM Press.
Junqueira, L. & Carneiro, J., 2005. Basic Histology Text and Atlas, ed. 11. New
York: McGraw-Hill Medical.
Kaiser, R., Waldauf, P. & Haninec, P., 2012. Types and severity of operated
supraclavicular brachial plexus injuries caused by traffic accidents. Acta
Neurochirurgica. 2012;154(7):1293-1297.
Kehila, M. et al., 2016. Macrosomia, shoulder dystocia and elongation of the
brachial plexus: what is the role of caesarean section?. The Pan African
medical journal.
Leffert, R., 1985. The Anatomy of the Brachial Plexus. In: Brachial Plexus
Injuries. New York: Churchill Livingstone.
Putra, S., 2015. Penatalaksanaan Fisioterapi Pada Plexus Brachialis Injury Di Rs
Orthopedi Prof Dr Soeharso 2015;52.
Sabapathy, S., Jain, D., Bhardwaj, P. & Venkataramani, H., 2012. An
epidemiological study of traumatic brachial plexus injury patients treated at an
Indian centre. Indian Journal of Plastic Surgery. 2012;45(3):498.
Sidharta, P., 1999. Tata Pemeriksaan Klinis Dalam Neurologi.. s.l.:s.n.
Sigit, W., 2007. Kelumpuhan Plexus Brachialis: Divisi Orthopaedi &
Traumatologi Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. s.l.:s.n.
Snell, R., 1998. Ekstremitas superior. In: J. Oswari, ed. Anatomi Klinik untuk
Mahasiswa Kedokteran, . Jakarta: EGC, pp. 132-253.
Van, H. e. a., 2001. MRI of the brachial plexus. Volume, 84-90.
Wardana, I. N. G., 2017. Aspek Anatomi Klinis Plexus Brachialis. Denpasar: FK
Universitas Udayana.
Weiss, L. & Silver, J., 2004. Brachial Plexopathies in Easy EMG. Eidenburgh:
Butterworth Heinemann.
Wood, M. & Murray, P., 2006. Current Concepts in the Surgical Management of
Brachial Plexus Injuries. 2006,. [Online]
Available at: www. DCMSonline.org. p. 31-4.
[Accessed 19 1 2020].
Yoshikawa, T. e. a., 2006. Brachial Plexus Injury: Clinical Manifestations,
Conventional Imaging Findings, and the Latest Imaging Techniques.
Radiographics, 2006. 26: p. 133-44

Anda mungkin juga menyukai