Anda di halaman 1dari 25

Triana Rosalina Noor | Analisis Desain

ANALISIS DESAIN FASILITAS UMUM BAGI PENYANDANG


DISABILITAS
(SEBUAH ANALISIS PSIKOLOGI LINGKUNGAN)

Triana Rosalina Noor


trianasuprayoga@gmail.com
STAI An Najah Indonesia Mandiri

Abstrak
Penyandang cacat, mereka memiliki keterbatasan fisik, sehingga
mereka akan memiliki sedikit kesulitan dalam menyesuaikan.
hambatan tersebut diperburuk oleh situasi lingkungan dan
fasilitas umum yang tidak kondusif untuk pertumbuhan,
partisipasi dan aktivitas dalam kehidupan. Penelitian ini
bertujuan untuk menganalisis desain lingkungan dan fasilitas
umum yang mengakomodasi penyandang cacat dalam kehidupan
sehari-hari berdasarkan studi psikologi lingkungan. Selain itu,
beberapa rumusan konsep yang terkait dengan perancangan dan
evaluasi fasilitas lingkungan dan publik disusun dengan
menggunakan pendekatan yang paling tepat dalam menghormati,
melindungi dan memenuhi hak penyandang disabilitas. Melalui
analisis deskriptif kualitatif terhadap kondisi penyandang
disabilitas yang ada, diharapkan sebagian besar lingkungan dan
fasilitas umum tetap tidak dirancang untuk penyandang cacat,
terutama sarana transportasi, area perbelanjaan, tempat parkir,
pasar, taman dan sebagainya. Oleh karena itu, pemangku
kepentingan harus mempertimbangkan disain lingkungan yang
dapat diakses oleh penyandang cacat.

Keyword: Penyandang cacat, desain fasilitas umum, psikologi


lingkungan

Journal An-nafs: Vol. 2 No. 2 Desember 2017 | 187


Triana Rosalina Noor | Analisis Desain
Abstract
Persons with disabilities, they have physical limitations, so they will
have little difficulty in adjusting. These obstacles are exacerbated by
environmental situations and public facilities that are not conducive
to growth, participation and activity in life. This study aims to
analyze an environmental design and public facilities that
accommodate people with disabilities in everyday life based on
environmental psychology studies. In addition, some concept
formulations related to the design and evaluation of environmental
and public facilities are drawn up using the most appropriate
approach in respecting, protecting and fulfilling the rights of
persons with disabilities. Through qualitative descriptive analysis of
the existing conditions of persons with disabilities, it is hoped that
the majority of the environment and public facilities still not
designed for persons with disabilities, especially transportation
facilities, shopping areas, parking lots, markets, parks and so on.
Therefore, stakeholders should consider the design of the
environment that can be accessed by persons with disabilities.

Keyword : Persons with disabilities, design of public facilities,


environment psychology

Pendahuluan
Dalam kehidupan ini terdapat suatu hubungan yang tidak
terpisahkan serta saling mempengaruhi antara manusia dan
lingkungan, baik itu berupa lingkungan yang bersifat alami
ataupun lingkungan yang bersifat buatan. Hal ini menunjukkan
interaksi antara manusia dan lingkungan terjalin sangat erat,
yakni lingkungan dapat mempengaruhi manusia, dan manusia
juga dapat mempengaruhi lingkungan. Hubungan yang terjalin
tersebut dilakukan oleh manusia sebagai suatu cara untuk tetap
bisa survive dalam menghadapi perubahan yang ada. Jika
hubungan antara manusia dan lingkungan ini tidak berjalan baik
maka akan mengganggu kondisi keseimbangan dari manusia itu
sendiri.
Untuk mengatasi kondisi yang tidak seimbang tersebut
maka manusia akan selalu melakukan perubahan-perubahan baik
atas dirinya untuk menyesuaikan diri terhadap lingkungan

188 | Journal An-nafs: Vol. 2 No. 2 Desember 2017


Triana Rosalina Noor | Analisis Desain
ataupun sebaliknya yakni mengubah lingkungan agar sesuai
dengan dirinya. Pada kondisi manusia yang normal secara fisik
maka manusia tersebut cenderung akan melakukan penyesuaian
diri yang baik terhadap lingkungan. Namun tidak sama halnya
pada saat manusia tersebut memiliki kondisi fisik yang tidak
normal atau tergolong manusia dengan disabilitas, maka
kemampuan untuk menyesuaikan diri dengan lingkunganpun
pasti akan lebih sulit.
Menyikapi hal tersebut maka sebagai solusi terbaik adalah
dengan menyiapkan sebuah lingkungan yang mampu
mengakomodir penyandang disabilitas dalam bentuk menyiapkan
lingkungan yang mampu mengakomodir kondisinya tersebut.
Usaha menyiapkan lingkungan yang mempermudah penyandang
disabilitas adalah sebagai bentuk upaya mengatasi pengalaman
negatif seperti stres yang dialami sebagai akibat agak
terhambatnya aktivitas penyandang disabilitas dalam beraktivitas
sehari-hari.
Jika ditelaah sekarang ini, terkait jumlah penyandang
disabilitas di Indonesia tergolong cukup signifikan. Berdasar dari
angka yang ditetapkan oleh WHO (World Health Organization)
terdapat 15% Penyandang Disabilitas di Indonesia pada tahun
2012. Hal ini menunjukkan bahwa terdapat populasi mencapai
36.841,956 dengan populasi keseluruhan penduduk 245 juta
(WHO dalam Tohari 2014). Meski demikian data yang lebih tepat
belum dapat dipastikan, karena tak jarang keluarga penyadang
disabilitas sering menyembunyikan anggotanya yang memiliki
disabilitas tersebut untuk menghindari rasa malu atau atau
menganggap penyandang disabilitas sebagai “aib” bagi citra
keluarganya.

Interaksi Manusia Dengan Lingkungan


Manusia hidup pasti mempunyai hubungan dengan
lingkungan hidupnya. Pada mulanya, manusia mencoba mengenal
lingkungan hidupnya, kemudian barulah manusia berusaha
menyesuaikan dirinya. Lingkungan adalah suatu media dimana

Journal An-nafs: Vol. 2 No. 2 Desember 2017 | 189


Triana Rosalina Noor | Analisis Desain
makhluk hidup tinggal, mencari, dan memiliki karakter serta
fungsi yang khas yang mana terkait secara timbal balik dengan
keberadaan makhluk hidup yang menempatinya, terutama
manusia yang memiliki peranan yang lebih kompleks dan riil
(Setiadi, 2006). Lingkungan hidup adalah kesatuan ruang dengan
semua benda, daya, keadaan, dan makhluk hidup, termasuk di
dalamnya manusia dan perilakunya.
Sebagai seorang manusia, individuakan selalu beraktivitas
atau berperilaku yang tidak timbul dengan sendirinya tetapi
sebagai akibat dari stimulus yang diterimanya. terdapat
pandangan dari aliran kognitif, yaitu yang memandang perilaku
individu merupakan respons dari stimulus, namun dalam diri
individu itu ada kemampuan untuk menentukan perilaku yang
diambilnya. Ini berarti inidividu dalam keadaan aktif menentukan
perilaku yang diambilnya. Hubungan stimulus dan respon tidak
berlangsung secara otomatis, tetapi individu mengambil peranan
dalam menentukan perilakunya. Oleh karena itu kaitan antara
stimulus, organisme/individu dan prilaku sebagai respon
diformulasikan dengan formulasi yang dapat memberikan
gambaran tentang perilaku yang bersangkutan Walgito (2010).
Kurt Lewin (dalam Matulessy, 2003) memberikan
formulasi klasik mengenai perilaku manusia yang merupakan
fungsi interaksi antara individu dengan lingkungannya. bahwa
interaksi antara manusia dengan lingkungan adalah saling terkait
antara satu dengan lain.
B = f (E, O)

Keterangan :
B = behaviour,
f = fungsi,
E = environment
O = organisme.

Formulasi tersebut mengkaji perilaku manusia melalui


pendekatan konsep "medan"/"field" atau "ruang kehidupan" - life

190 | Journal An-nafs: Vol. 2 No. 2 Desember 2017


Triana Rosalina Noor | Analisis Desain
space (LS). Kurt Lewin (dalam Alwisol, 2005) menggambarkan
manusia sebagai pribadi yang berada dalam lingkungan
psikologis, dengan pola hubungan dasar tertentu yang dimaknai
sebagai ruang hidup. Ruang hidup bagi Lewin adalah sebuah
potret sesaat, yang teres menerus berubah mencakup persepsi
orang tentang dirinya sendiri dalam lingkungan fisik dan
sosialnya saat itu, keinginan, kemauan, tujuan-tujuan, ingatan
tentang peristiwamasa lalu, imajinasinya mengenai masa depan,
perasaan-perasaannya dan lain sebagainya. Ruang hidup
merupakan gabungan antara daerah pribadi dan daerah
lingkungan psikologi yang terbentuk secara sistematis.
Pemahaman atas perilaku seseorang senantiasa harus dikaitkan
dengan konteks lingkungan di mana perilaku tertentu
ditampilkan. Intinya, teori medan berupaya menguraikan
bagaimana situasi yang ada (field) di sekeliling individu
bepengaruh pada perilakunya.
Teori medan (field theory) yang dikemukakan oleh Lewin
mirip dengan konsep "gestalt" dalam psikologi yang memandang
bahwa eksistensi bagian-bagian atau unsur-unsur tidak bisa
terlepas satu sama lainnya. Saat menganalisa suatu fenomena
maka tidak akan bias lepas dari konteks di mana individu
tersebut berada. Formulasi ini memberikan pengertian bahwa
perilaku (behaviour) itu merupakan fungsi atau tergantung pada
lingkungan (environment) dan organisme. Artinya, perilaku sangat
tergantung atau ditentukan oleh kepribadian individual atau apa
yang disebut norma subjektif yang ada dalam diri individu yang
bersangkutan, serta oleh faktor lingkungan yang bersifat
situasional.
Teori perilaku Kurt Lewin tersebut di atas juga selaras
dengan Bandura (dalam Walgito, 2010) yang memformulasikan
perilaku dalam bentuk sebagai berikut:

Journal An-nafs: Vol. 2 No. 2 Desember 2017 | 191


Triana Rosalina Noor | Analisis Desain

E P

Keterangan :
B = Behavior,
E = enviroment dan
P = Person.

Formulasi Bandura menerangkan bahwa perilaku,


lingkungan dan individu saling berhubungan atau berinteraki satu
sama lain bahkan saling mempengaruhi. Ini berarti bahwa
individu dapat mempengaruhi individu itu sendiri. Artinya hal ini
menggambarkan adanya fungsi kognisi dari manusia untuk tidak
hanya bisa menjadi reaktor tetapi juga aktor dari lingkungan.
Berdasarkan konsep resiprocal determinism ini, Bandura
(dalam Hergenhahn dan Olson, 2010) menemukan bahwa
pandangannya perilaku manusia tidak hanya belajar secara
belajar sosial lagi, tetapi sudah memasuki ranah kognitif dalam
belajar sosial. Hal ini karena ada lingkungan potensial (potential
environment) yang merupakan sama bagi setiap manusia,
sedangkan lingkungan aktual (actual environment) akan
bergantung pada manusia itu sendiri. Oleh karena itu, ada
manusia yang bisa dipengaruhi oleh lingkungan potensial ada juga
manusia yang tidak terpengaruh oleh lingkungan potensial yang
sama dengan manusia tadi. Hal ini dikarenakan adanya
kemampuan manusia tadi dalam mempengaruhi lingkungan,
minimal tidak terpengaruh oleh lingkungan, ini yang disebut
dengan belajar kognitif yakninya manusia memiliki kemampuan
berfikir untuk ikut dengan lingkungan atau tidak.
Dalam proses itu terdapat aspek penting dalam diri
manusia sehingga dia bisa menjadi aktor dari lingkungannya dan
melakukan perubahan dalam lingkungannya dan ini berkaitan
dengan proses pembelajaran. Aspek tersebut adalah efikasi diri

192 | Journal An-nafs: Vol. 2 No. 2 Desember 2017


Triana Rosalina Noor | Analisis Desain
(self efficacy) yaitu persepsi mengenai penilaian diri yang
berkaitan dengan mampu tidak mampu, bisa atau tidak bisa
melakukan dan menyelesaikan bahkan menjadi sesuatu yang
seharusnya yang sesuai dengan yang dipersyaratkan (Alwisol,
2005).
Menurut Murray, perilaku manusia adalah sebagai hasil
dari kebutuhan individu dan harapannya terhadap lingkungan
(Matulessy, 2003). Kebutuhan adalah sebuah konstruk mengenai
kekuatan pada bgian otak yang mengorganisir berbagai proses
seperti persepsi, berfikir dan berbuat untuk mengubah kondisi
yang ada dan kondisi yang tidak memuaskan. Kebutuhan ini akan
dibangkitkan oleh proses internal namun lebih sering dirangsang
oleh adanya faktor dari lingkungan. Pada umumnya, kebutuhan
akan dibarengi dengan munculnya perasaan atau emosi khusus
dan memiliki cara khusus untuk mengekespresikannya dalam
mencari pemecahannya. (Alwisol, 2005).
Murray menyimpulkan bahwa interaksi manusia tersebut
dilandari oleh 20 kebutuhan yang penting, yakni 19 kebutuhan
yang bersifat psychogenic yaitu merupakan kebutuhan yang
kepuasaanya tidak berhubungan dengan proses organis tertentu
sehingga dipandang sebagai kebutuhan yang murni bersifat
psikologikal. Sedangkan satu kebutuhan yang lainnya adalah
kebutuhan seks yang bersifat fisiologikal karena kepuasannya
berhubungan dengan proses biologi seksual. Antara keduapuluh
kebutuhan tersebut saling berhubungan antara satu dengan yang
lain dalam berbagai cara. Ada kebutuhan tertentu yang
membutuhkan kepuasan sebelum kebuthan lainnya, ada pula
kebutuhan yang saling berlawanan/ berkonflik dengan kebutuhan
yang lain dan adapula kebutuhan yang cenderung bergabung
dengan kebutuhan lainnya. Artinya pada akhirnya kebutuhan
yang dimiliki oleh seorang manusia akan juga kemungkinan akan
menjadi badian dai kebutuhan yang lain (Alwisol, 2005).
Adapun ketertakitannya dengan lingkungan, Bernard
(dalam Siahaan, 2004) membagi lingkungan atas empat macam
yakni :

Journal An-nafs: Vol. 2 No. 2 Desember 2017 | 193


Triana Rosalina Noor | Analisis Desain
1. Lingkungan fisik atau anorganik, yaitu lingkungan yang terdiri
dari gaya kosmik dan fisiogeografis seperti tanah, udara, laut,
radiasi, gaya tarik, ombak dan sebagainya
2. Lingkungan biologi atau organik yaitu segala sesuatu yang
bersifat biotis berupa mikroorganisme, parasit, hewan,
tumbuh-tumbuhan. Termasuk juga disini, lingkungan prenatal
dan proses-proses biologi seperti reproduksi, pertumbuhan
dan sebagainya.
3. Lingkungan sosial. Ini dapat dibagi ke dalam tiga bagian :
a) Lingkungan fisiososial, yaitu yang meliputi kebudayaan
materiil: peralatan, senjata, mesin, gedung-gedung dan lain-
lain.
b) Lingkungan biososial manusia dan bukan manusia, yaitu
manusia dan interaksinya terhadap sesamanya dan
tumbuhan beserta hewan domestik dan semua bahan yang
digunakan manusia yang berasal dari sumber organik.
c) Lingkungan psikososial, yaitu yang berhubungan dengan
tabiat batin manusia seperti sikap, pandangan, keinginan,
keyakinan. Hal ini terlihat melalui kebiasaan, agama,
ideologi, bahasa, dan lain-lain.
4. Lingkungan komposit, yaitu lingkungan yang diatur secara
institusional, berupa lembaga-lembaga masyarakat, baik yang
terdapat di daerah kota atau desa.
Bailey (dalam Matulessy 2003) membagi komponen
lingkungan menjadi dua hal yaitu :
1. Komponen fisik, yakni komponen yang menyangkut
kebisingan, cahaya, ruang, vibrasi, angin, polusi udara, radiasi
dan gravitasi
2. Komponen sosial, yakni komponen yang mencakup social
facilitation, konformitas, privasi, personal space, territoriality
dan kesumpekan
Dalam usaha menghadapi berbagai bentuk lingkungan dan
komponen tersebut, manusia akan melakukan berbagai macam
cara untuk dapat menyesuaikan diri dalam menghadapi tekanan-
tekanan yang berasal dari lingkungannya. Sebagaimana diketahui

194 | Journal An-nafs: Vol. 2 No. 2 Desember 2017


Triana Rosalina Noor | Analisis Desain
bahwa dalam diri manusia akan merespon secara otomatis suatu
keadaan yang dirasakan tidak nayman bagi dirinya. Adasarnya
respon dari manusia tersebut sebagai bentuk respon biologis
yang muncul sebagai akibat tidak adanya keseimbangan organik
maupun kimiawi dalam tubuh manusia. Keseimbangan tersebut
meliputi berbagai unsur dalam tubuh manusia sehingga disebut
dengan istilah homeostatis. Kondosi yang non homeostatis
tersebut akan mendorong manusia untuk melakukan upaya
adaptasi yang bertujuan untuk memuaskan kebutuhannya. Upaya
pemuasan ini bertujuan untuk menyeimbangkan kembali kondisi
tubuhnya. Oleh karena itu, tubuh manusia sebenarnya memiliki
kecenderungan yang mengarah kepada upaya penyesuaian diri
guna mempertahankan homeostatis nya (Najati, 2003).
Menyikapi kondisi non homeostatis yang dimiliki manusia,
maka manusia akan melakukan berbagai cara diantarnya adalah
merubah tingkah lakunya agar sesuai dengan lingkungan atau
merubah lingkungan agar sesuai dengan tingkah laku manusia
(Sarwono, 1995).
Manusia adalah makhluk yang mempunyai keistimewaan
fisik dan akal. Ia memiliki kemampuan untuk menyesuaikan diri,
baik terhadap lingkungan dirinya sendiri maupun lingkungan
sosial secara lebih luas. Namun demikian, tidak semua orang akan
mampu melakukan cara-cara penyesuaian diri yang baik,
khususnya para penyandang disabilitas. Disabilitas merupakan
sebuah istilah baru untuk menjelaskan mengenai keadaan
seseorang yang memiliki ketidakmampuan berupa keadaan fisik,
mental, kognitif, sensorik, emosional, perkembangan atau
kombinasi dari beberapa keadaan tersebut
(http://www.dnetwork.net). Istilah disabilitas saat ini lebih sering
digunakan untuk menggantikan istilah penyandang cacat. Hal ini
dikarenakan disabilitas terkesan lebih halus istilahnya
dibandingkan dengan penyandang cacat.
Pada dasarnya kemampuan penyesuaian diri secara umum
akan berjalan baik dalam kondisi “normal” seseorang namun
berbeda dengan penyesuaian diri para penyandang disabilitas.

Journal An-nafs: Vol. 2 No. 2 Desember 2017 | 195


Triana Rosalina Noor | Analisis Desain
Menurut Gerungan (2002), penyesuaian diri dapat berarti
mengubah diri sendiri sesuai dengan keadaan lingkungan, tetapi
juga mengubah lingkungan sesuai dengan keadaan (keinginan)
diri. Penyandang disabilitas, mereka memiliki keterbatasan fisik,
sehingga akan sedikit mengalami kesulitan dalam menyesuaikan
diri. Mereka memiliki keterbatasan-keterbatasan yang lebih
banyak dibandingkan individu yang “normal” dalam menghadapi
kondisi lingkungan yang kurang mendukung keterbatasan yang
dimiliki para penyandang disabilitas. Kesulitan dalam
menyesuaikan diri menyebabkan mal adaptasi dan pada akhirnya
menimbulkan stres terhadap kondisi normal. Reaksi setiap orang
yang mengalami stres tersebut bermacam-macam, sebab stres
pada dasarnya merupakan keadaan yang tidak menyenangkan
karena adanya kesenjangan antara tuntutan (harapan) dengan
realita (kenyataan). Stres juga ditimbulkan adanya pengaruh
psikologis seseorang yang berkaitan dengan afeksi dan kognitif
dan juga dapat memengaruhi terhadap perilaku seseorang.
Dalam kamus psikologi, stres didefinisikan sebagai suatu
keadaan tertekan secara fisik maupun psikologis (Chaplin, 2005).
Gregson (2007) mengemukakan bahwa secara terminologi, arti
dari stres adalah adanya ketidakcocokan antara tuntutan-tuntutan
yang dihadapi dengan kemampuan yang dimilki oleh individu.
Untuk menghilangkan atau mengurangi stres tersebut, individu
akan elakukan suatu cara penyensuaian diri yang disebut coping
behaviour. Coping adalah suatau cara yang dilakukan untuk
menguasai suau kondisi yang danggap sebagai tantangan, luka,
kehialnagn, ancaman serta bagaimana seseorang bereaksi atas
stres atau tekana tersebut (Siswanto, 2007). Coping adalah
dimana seseorang yang mengalami stres atau ketegangan
psikologik dalam menghadapi masalah kehidupan sehari-hari
yang memerlukan kemampuan pribadi maupun dukungan dari
lingkungan, agar dapat mengurangi stres yang dihadapinya.
Dengan kata lain, coping adalah proses yang dilalui oleh individu
dalam menyelesaikan situasi stressfull. Coping tersebut adalah

196 | Journal An-nafs: Vol. 2 No. 2 Desember 2017


Triana Rosalina Noor | Analisis Desain
merupakan respon individu terhadap situasi yang mengancam
dirinya baik fisik maupun psikologik. (Rasmun, 2004).
Reaksi coping terhadap permasalahanan bervariasi antara
individu satu dengan yang lain dari waktu ke waktu pada waktu
yang sama (Stuart &Sundeen, 2000). Bila mekanisme coping ini
berhasil maka individu dapat melakukan penyesuaian diri dan
tidak menimbulkan gangguan kesehatan, namun apabila
mekanisme koping tidak berhasil maka invivid akan gagal dalam
melakukan penyesuaian diri sehingga akan timbul ganggun
kesehatan, gangguan fisik, gangguan psikologis ataupun perilaku
(Keliat, 2001).
Lahey (2007) mengatakan bahwa sebagian sumber-
sumber yang diketahui oleh banyak orang adalah segala hal yang
bersifat memberikan tekanan, namun sebenarnya ada faktor yang
menyebabkan stres tersebut salah satunya adalah environment
conditions (kondisi linkungan). Kondisi lingkungan juga bisa
menjadi sumber stres bagi seseorang seperti kondisi tempat yang
tidak mendukung, kebisingan dan lain-lain, khususnya bagi
penyandang disabilitas. Para penyandang disabilitas sangat
mungkin akan mengalami stres oleh karena kondisi lingkungan
sekelilingnya tidak sesuai dengan kebutuhan dirinya. Stres
lingkungan ini disebabkan karena keterbatasan fiisik yang
dimilikinya, ketahanan tubuh yang rentan, mobilitas dirinya yang
terbatas di lingkungan. Ketidakmampuan ini akan memungkinkan
munculnya frustrasi bagi para penyandang disabilitas saat
mengahadapi kondisi lingkungan yang tidak adekuat seperti
tempat penyeberangan jalan, tempat makan, alat transportasi dan
fasilitas umum lainnya.
Untuk saat ini kondisi cukup nampak pada fasilitas umum
salah satunya seperti alat transportasi yang belum semua
mengakomodir para penyandang disabilitas untuk melakukan
mobilitas secara mandiri. Kondisi seperti ini akan menyebabkan
perasaan tidak nyaman bagi para penyandang disabilitas yang
menderita kelemahan secara fisik. Perasaan tidak nyaman ini
akan mengarahkan pada kondisi psikis yang tertekan atau bahkan

Journal An-nafs: Vol. 2 No. 2 Desember 2017 | 197


Triana Rosalina Noor | Analisis Desain
menghindari lingkungannya sehingga tentu saja akan
berpebgaruh pada kondisi psikologisnya secara umum.
Oleh karena itu desain fasilitas umum yang ada
memperhitungkan keterbatasn yang dimiliki oleh para
penyandang disabilitas. Harapanya adalah melalui desain
lingkungan yang nyaman akan memunculkan rasa aman dan
nyaman bagi mereka untuk memanfaatkan fasilitas umum yang
ada.

Desain Lingkungan Yang Ideal


Dalam kehidupan ini terdapat suatu hubungan yang tidak
terpisahkan serta saling mempengaruhi antara manusia dan
lingkungan, baik itu berupa lingkungan yang bersifat alami
ataupun lingkungan buatan. Ketika sebuah tempat akan dijadikan
tempat manusia akan tinggal, maka yang ada didalam pikiran
manusia saat itu adalah apakah tempat itu cocok untuk tinggal
atau justru jauh dari keinginannya untuk tinggal ditempat. Ada
beberapa hal yang harus dipertimbangkan didalam memilih
sebuah tempat yang sesuai dengan keinginan dan kepantasannya
untuk ditempati sesuai dengan keinginan dan kebutuhan manusia.
Manusia modern dalam kehidupan sehari-hari tidak dapat
melepaskan diridari penerapan teknologi, karena manusia
modern tidak sekedar menjalani hidup akan tetapi telah
menempatkan kenikmatan hidup sebgai salah satu sikap dan
perilakunya dalam mencapai kebahagiaan. Sebagai konsekuensi
dari perilaku manusia modern ini, maka kebutuhan untuk
kehidupan yang diambil dari lingkungannya tidak lagi sebatas
subsistensi (jumlah yang diperlukanuntuk mempertahankan
fungsi-fungsi hidup) akan tetapi telah meningkat pada jumlah
kebutuhan yang berlebih.
Desain lingkungan yang ideal merupakan suatu konsep
dalam usaha manusia mewujudkan secara fisik rencana-rencana
pemenuhan kebutuhan fisik fisiologis terhadap lingkungannya.
Hasil desain lingkungan beragam disesuaikan kebutuhan manusia.
Namun demikian konsep dasar perencanaan dan perancangan

198 | Journal An-nafs: Vol. 2 No. 2 Desember 2017


Triana Rosalina Noor | Analisis Desain
lingkungan mempunyai pola yang sama. Menurut Setiyoko (2007)
terdapat tiga aspek yang menjadi dasar pertimbangan dalam
konsep perancangan lingkungan tinggal, yaitu :
1. Aspek Fungsi
Aspek Fungsi berkaitan program ruang, yaitu aktifitas yang
berlangsung di dalam lingkungan tinggal, kebutuhan ruang
untuk melakukan aktifitas tersebut, besaran ruang yang
minimal harus tersedia. Hubungan ruang-ruang yang ada, serta
organisasi (penyusunan) Ruang yang akan melancarkan
aktifitas pemakai. Aktifitas adalah kegiatan pelaku di dalam
lingkungan tersebut. Besaran ruang adalah menentukan luasan
minimal ruang-ruang yang telah didapatkan agar memenuhi
standar minimal
2. Aspek Estetika
Aspek estetika berkaitan dengan keindahan. Keindahan adalah
nilai-nilai yang menyenangkan pikiran, mata dan telinga. Aspek
estetika dalam perancangan lingkungan diwujudkan dalam
penampilan bangunan. Bagaimana bentuk bangunan rumah
tinggal dan bagaimana ekspresi yang ditimbulkan. Keindahan
terdiri dari dua unsur utama, yaitu:
a. Keindahan bentuk.
Keindahan bentuk berbicara mengenai sesuatu yang lebih
nyata, yang dapat diukur atau dihitung. Keindahan bentuk
mempunyai patokan-patokan tertentu yang berlaku bagi
segala macam keindahan, yaitu terpenuhinya syarat-syarat
keterpaduan (unity), keseimbangan (balance), proporsi
(proportion), dan skala (scale). Unity berarti keterpaduan
yang berarti tersusunnya beberapa unsure menjadi satu
kesatuan yang utuh dan serasi. Pusat keseimbangan adalah
titik istirahat mata, titik perhentian mata yang
menghilangkan keresahan dan kekacauan. Manusia secara
naluri mencari pusat keseimbangan dan berjalan ke arah
itu. Proporsi adalah perbandingan. Dalam arsitektur dapat
daianggap sebagai dimensi untuk ukuran tinggi, lebar dan
kedalaman dari unsure-unsur bangunan. Atau massa

Journal An-nafs: Vol. 2 No. 2 Desember 2017 | 199


Triana Rosalina Noor | Analisis Desain
keseluruhan bangunan sehingga menghasilkan penampilan
bangunan yang “proporsional terhadap suatu criteria disain
yang telah ditentukan. Skala menunjukan ukuran besar atau
kecil dengan jelas sebagaimana tujuannya. Demikian sebuah
bangunan dikatakan mempunyai skala. Skala sebuah
bangunan ialah kesan yang ditimbulkan bangunan itu
mengenai ukuran besarnya. Skala biasanya diperoleh
dengan membandingkan besar bangunan terhadap unsur-
unsur berukuran manusiawi. Untuk lingkungan yang
diperuntukan bagi kegiatan manusia yang paling dasar,
maka ukuran-ukuran yang dipakai didasarkan pada ukuran
yang ada pada manusia.
b. Keindahan Ekspresi.
Keindahan ekspresi berbicara mengenai sesuatu yang lebih
abstrak, yang lebih sukar diukur atau dihitung, karena
patokan-patokan yang lebih samar. Ada tiga syarat penting
untuk mencapai keindahan ekspresi: pertama karakter,
kedua gaya (langgam), ketiga warna. Karakter mewakili
suatu kelompok dengan fungsi tertentu. Sekelompok
rumahrumah tinggal sederhana. Yang dibuat menurut
fungsinya memerlukan bentuk dan ukuran tertentu,
akhirnya mempunyai ciri-ciri yang sama yang menjadi
karakter bangunan tersebut. Karakter adalah ekspresi dari
fungsi. Menurut Lousi Sullivan: “Tampak luar adalah cermin
dari fungsi yang ada di dalamnya”. Rumah tinggal yang baik
harus mampu menceritakan bahwa di dalamnya terdapat
kegiatan-kegiatan yang berklaitan dengan hunian (tinggal).
Gaya (langgam) arsitektur didapatkan karena ada ungkapan
yang sama pada bangunan arsitektur pada suatu daerah,
masa atau iklim. Warna dalam arsitektur sangat penting.
Hampir semua bahan/material bangunan mempunyai
warna tersendiri. Warna dapat memperkuat bentuk. Warna
memberi ekspresi kepada pikiran aau jiwa manusia yang
melihatnya, sehingga warna dalam bangunanpun ikut

200 | Journal An-nafs: Vol. 2 No. 2 Desember 2017


Triana Rosalina Noor | Analisis Desain
menentukan karakter. Dengan warna dapat diciptakan
sebuah karakter maupun suasana yang diinginkan.
3. Aspek Struktural dan Persyaratan Ruang
Aspek struktural merupakan konsekwensi dari adanya
penampilan fisik lingkungan tinggal. Bagaimana bentuk
massa yang telah dirancang bisa berdiri. Dalam arsitektur,
struktur berarti bagian-bagian pokok bangunan yang
tersusun menjadi kekokohan bangunan. Dalam
perancangan rumah tinggal sistem struktur yang sering
digunakan adalah Struktur rangka, dimana beban-beban
struktural disalurkan lewat batang-batang untuk akhirnya
disalurkan ke tanah. Hala ini berkaitan bahwa bangunan
rumah tinggal umumnya adalah bangunan mulai dari
sederhana tidak bertingkat sampai dengan bengunan
bertingkat rendah. Aspek Persyaratan Ruang
dipertimbangkan karena kegiatan manusia di dalam
bangunan mempunyai tuntutannya masing-masing.
Berdasarkan penelitian Adrian (2015) dikemukakan bahwa
lingkungan ideal yang diharapkan oleh responden sebagai
manusia adalah kebutuhan mendasar, dimana kebersihan,
keamanan, kenyamanan dan kesehatan merupakan hal yang
paling banyak diharapkan untuk menjadikan lingkungan rumah
yang ideal. Berikutnya yaitu karakter lingkungan sekitar, dimana
hubungan dan kondisi antar individu terbina dengan baik,
memiliki udara sejuk, memiliki lingkungan yang asri, kepadatan
bangunan tidak padat (tidak kumuh), tingkat kebisingan rendah
dan terhindar dari banjir. Berikutnya yaitu aksesibilitas, dimana
akses kendaraan mudah, mudahnya mengakses angkutan umum,
dekat dengan segala kebutuhan (pasar, kantor, sekolah, dll).

Evaluasi Lingkungan Dan Fasilitas Umum Yang Ideal Bagi


Penyandang Disabilitas
Ruang merupakan suatu tempat yang dapat
menunjukkan perletakan sebuah objek, yang harus dapat
diakses secara fisik oleh masyarakat umum yaitu dapat berupa

Journal An-nafs: Vol. 2 No. 2 Desember 2017 | 201


Triana Rosalina Noor | Analisis Desain
taman, lapangan, bangunan pasar, tempat ibadah, trotoar, dan
lain–lain. (Hariyono, 2007). Lingkungan sekitar berupa ruang
publik merupakan suatu tempat umum yang digunakan oleh
banyak orang untuk menghabiskan waktu. Fasilitas umum
yang ada di lingkungan sekitar akan dimanfaatkakn oleh
banyak orang untuk melakukan dan menjalani aktivitas
kesehariannya. Akan tetapi keadaan ruang publik seringkali
membuat kesusahan bagi penyadang disabiliutas untuk
menikmati fasilitas umum yang sdah disediakan. Oleh karena
itu, sebenarnya penyandang disabilitas memiliki hak dan
kewajiban yang sama untuk menikmati ruang dan fasilitas
umum yang ada untuk memenuhi kebutuhannya.
Semua kelengkapan prasarana dan sarana pada bangunan
gedung dan lingkungannya diharapkan agar dapat diakses dan
dimanfaatkan oleh semua orang termasuk difabel dan semua
orang guna mewujudkan kesamaan kesempatan dalam segala
aspek kehidupan dan penghidupan. Dengan adanya akses
fasilits umum yang mendukung maka kebutuhan penyandang
disabilitas di masyarakat dapat sedikit terpenuhi, sehingga
memungkinkan tidak ada pembedaan fasilitas umum antara
penyandang disabilitas ataupun non penyandang disabilitas
dalam mengaksesnya.
Mengenai penyediaan aksesibilitas sebenarnya sudah
diatur dalam Undang–Undang Nomor 4 Tahun 1997 tentang
Penyandang Cacat. Bab 1 pasal 1 ayat 4 berbunyi aksesibilitas
adalah kemudahan yang disediakan bagi penyandang cacat
guna mewujudkan kesamaan dan kesempatan dalam segala
aspek kehidupan dan penghidupan (www.bpkp.go.id).
Aksesibilitas yang dimaksud bisa berupa hal non fisik
berupa bidang pendidikan dan ketenagakerjaan bagi difabel
mempunyai kesempatan yang sama. Selain itu terkait
aksesibilitas fisik mencakup akses terhadap berbagai
bangunan, alat transportasi dan komunikasi, serta berbagai
fasilitas luar di luar ruangan termasuk sarana rekreasi sebagai
ruang publik. Aksesibilitas bagi penyandang disabilitas

202 | Journal An-nafs: Vol. 2 No. 2 Desember 2017


Triana Rosalina Noor | Analisis Desain
merupakan salah satu sarana untuk membuat kehidupan
penyandang disabilitas menjadi lebih baik (Demartoto, 2005).
Pada hakekatnya manusia adalah makhluk hidup yang
memerlukan proses bergerak atau berpindah untuk memenuhi
kebutuhan hidupnya. Padahal sebagian dari manusia tersebut
ada yang memiliki hambatan–hambatan dalam bergerak
maupun berpindah tempat, baik secara permanen maupun
sementara. Salah satunya adalah penyandang disabilitas, yang
diyakini sebagai orang yang tidak normal dan selalu
membutuhkan bantuan serta figur yang memiliki kekurangan.
Walaupun demikian penyandang disabilitas tetaplah
masyarakat yang harus terpenuhi hak dan kewajibannya salah
satunya adalah dalam akses fasilitas umum yang ada.
Manusia dalam kehidupannya banyak menggunakan
desain sebagai fasilitas penunjang aktivitasnya. Manusia
menginginkan lingkungan dan fasilitas umum yang ideal dalam
mewadahi kebutuhannya yang semakin meningkat, tidak
terkecuali bagi penyandang disabilitas. Namun saat ini,
lingkungan dan fasilitas umum yang diperuntukkan untuk
disabilitas masih belum terimplementasikan di semua ruang
publik seperti perkantoran, tempat perbelanjaan dan lain
sebagainya. Bahkan meski sudah disediakan fasilitas umum untuk
penyandang disabilitas ternyata kondisinya masih banyak yang
kurang dalam perawatannya sehingga belum optimal. Sebagai
usaha agar keberadaan lingkungan dan fasilitas umum yang
mengakomodir para penyandang disabilitas agar dapat terus
menikmatinya, maka diperlukan desain lingkungan dan fasilitas
umum yang jangka panjang dan memiliki nilai keberlanjutan
dengan lingkungan sekitar. Oleh karena itu diperlukan adanya
evaluasi secara periodik untuk mengidentifikasi dan melakukan
pembenahan terhadap lingkungan dan fasilitas umum yang ideal
bagi penyadang disabilitas agar penggunaannya dapat maksimal
dan bermanfaat luas. Analisis yang dapat digunakan untuk
mengevaluasi kelangsungan suatu lingkungan adalah Post
Occupancy Evaluation (POE).

Journal An-nafs: Vol. 2 No. 2 Desember 2017 | 203


Triana Rosalina Noor | Analisis Desain
Menurut Sudibyo (dalam Kusumastuty, 2016), Post
Occupancy Evaluation merupakan kegiatan berupa peninjauan
(pengkajian) kembali (evaluasi) terhadap bangunan-bangunan
dan atau lingkungan binaan yang telah dihuni. Post Occupancy
Evaluation merupakan suatu bagian dari rentetan kegiatan di
dalam proses pembangunan dimana kajian atas suatu bangunan
yang telah dipergunakan (dihuni) dilakukan secara seksama atau
sistematika untuk menilai apakah kinerja bangunan tersebut
sejalan dengan kriteria perancangannya (Danisworo dalam
Kusumastuty 2016).
Rabinowitz (dalam Kusumastuty, 2016) memilih POE
dalam 3 aspek yaitu: fungsional, teknis, dan perilaku. Masing-
masing mempunyai lingkup dan spesifikasi dalam kegiatannya,
meskipun secara proses garis besarnya sama. Dalam pelaksanaan
kegiatan POE, evaluator dapat melakukan satu atau lebih aspek
yang hendak dievaluasi.
1 . Aspek Fungsional
Aspek fungsional yang dimaksud disini adalah
menyangkut aspek fisik ruang terbuka yang secara langsung
mendukung kegiatan pemakai dengan segala atributnya.
Perancangan ruang terbuka yang menekankan fungsi akan
berpedoman pada kesesuaian antara area kegiatan dengan segala
kegiatan yang berlangsung didalamnya. Evaluasi terhadap
perubahan fungsi memberi masukan yang sangat berguna karena
fleksibilitas menjadi pertimbangan rancangan tata ruang dan
prasarana.
2 . Aspek Teknis
Aspek teknis merupakan segala sesuatu yang terkait
dengan teknis suatu ruang, seperti struktur, ventilasi, sanitasi,
pencahahayaan, keamanan, dsb.
3 . Aspek Perilaku
Aspek perilaku menghubungkan kegiatan pengguna
dengan lingkungan fisiknya. Evaluasi perilaku adalah mengenai
bagaimana kesejahteraan sosial dan psikologis pengguna
dipengaruhi oleh rancangan suatu ruang. Beberapa permasalahan

204 | Journal An-nafs: Vol. 2 No. 2 Desember 2017


Triana Rosalina Noor | Analisis Desain
perilaku yang perlu diperhatikan misalnya proximity dan
teritoriality, privasi dan interaksi, persepsi, citra dan makna,
kognisi dan orientasi (Sudibyo, dalam Kusumastuty 2016)

Dalam proses analisisnya, metode POE ini dapat dilakukan


dalam jangka pendek, menengah, dan panjang tergantung dari
seberapa luas dan seberapa detil permasalahan ruang publik
tersebut. Tujuan dari evaluasi ini adalah untuk menemukan
kekurangan dalam proses desain ruang terbuka publik atau
fasilitas umum yang ada di lingkungan (Nimpuno, 2017).
Pada proses pelaksanaan kegiatan evaluasi dengan
menggunakan POE memiliki lima tahap prinsip yang umum
dilakukan yaitu (dalam Gunadarma, 2017):
Tahap I: Entry and Initial Data Collection
Pada tahap ini yang dikerjakan terutama mencari
dukungan dari semua indovidu yang terlibat dalam fasilitas umum
dan lingkungan serta mempelajari secara garis besar riwayat
fasilitas umum tersebut untuk menemukan hak yang penting
dalam pengambilan keputusan.
Tahap II : Designing the Research
Pada tahap ini diharapkan akan menyelesaikan beberapa
tugas yaitu memantapkan dan berpegangan pada tujuan
penelitian, mengembangkan strategi, penentuan sampel,
pemilihan serta pengembangan rancangan dan metode penelitian
serta pengetesan awal.

Journal An-nafs: Vol. 2 No. 2 Desember 2017 | 205


Triana Rosalina Noor | Analisis Desain
Tahap III : Collecting Data
Pada tahap ini pengumpulan data dilakukan dengan
memperhatikan permasalahan etis yang mungkin muncul. Artinya
dalam peneltian menggunakan POE harus menyertakan
serangkaian butir mengenai prinsip-prinsip etis.

Tahap IV : Analizing Data


Analisa data merupakan tahap yang paling kritis dalam
pelaksanaan POE. Analisis data ini diperuntukkan mencari
jawaban atas permasalahan yang dinyatakan dalam problem
Statement, atau menggunakan hipotesis, menguji pembenaran
atau menguji hipotesis.
Cara analisis data bisa dilakukan dengan dua teknik yaitu
kualitatif dan kuantitatif. Analisis kuantitatif biasanya digunakan
untuk permasalahan yang dilakukan pada ranah keilmuan
psiologi, ekonomi, sosiologi dan sebagainya. Sedangkan analisis
kualitatif biasanya untuk penelitian grounded deskriptif dan
historis.
Tahap V : Presenting Information
Pada tahap terkahir ini adalah menyajikan informasi
kepada pihak-pihak yang ada kaitannya dengan masalah yang
ingin dicari penyelesainnya. Teknik penyajian data ini akan
disesuaikan dengan bidang disiplin ilmu yang ingin dikaji.
Berdasarkan konsep tentang POE tersebut maka dapat
dilihat bahwa dalam melakukan evaluasi diperlukan berbagai
langkah penelitian yang sinergi untuk mendapatkan desain
lingkungan dan fasilitas umum yang memadai. Hal ini dilakukan
dengan harapan terwujudnya suatu lingkungan dan desain
fasilitas umum yan memadai dan sesuai dengan seluruh lapisan
masyarakat dalam kondisi apapun.
Selain menggunakan POE dalam mengevaluasi sebuah
desain lingkungan atau fasilitas umum, ada cara lain yang bisa
diterapkan untuk mengembangkan sistem evaluasi desain suatu
lingkungan. Cara tersebut adalah dengan memperhatikan sebuah
denain yang ergonomis. Hal ini dikarenakan sebuah desain yang

206 | Journal An-nafs: Vol. 2 No. 2 Desember 2017


Triana Rosalina Noor | Analisis Desain
baik berarti mempunyai kualitas fungsi yang baik, tergantung
pada sasaran dan filosofi mendesain pada umumnya, bahwa
sasaran berbeda menurut kebutuhan dan kepentingannya, serta
upaya desain berorientasi pada hasil yang dicapai, dilaksanakan
dan dikerjakan seoptimal mungkin (Wardhani, 2003).
Ergonomi merupakan salah satu dari persyaratan untuk
mencapai desain yang qualified, certified, dan customer need. Ilmu
ini akan menjadi suatu keterkaitan yang simultan dan
menciptakan sinergi dalam pemunculan gagasan, proses desain,
dan desain final (Wardhani, 2003). Ergonomi ini memanfaatkan
informasi mengenai sifat manusia, kemampuan manusia dan
keterbatasannya untuk merancang suatu sistem kerja yang baik
agar tujuan dapat dicapai dengan efektif, aman dan nyaman
(Sutalaksana dalam Wardhani 2003).
Fokus utama pertimbangan ergonomi menurut Cormick
dan Sanders (dalam Wardhani 2003) adalah mempertimbangkan
unsur manusia dalam perancangan objek, prosedur kerja dan
lingkungan.
Penyelidikan yang dikaitkan dalam ergonomi dibedakan
menjadi empat kelompok, yakni (Wardhani, 2003):
1. Penyelidikan tentang tampilan/display
Penyelidikan pada suatu perangkat (interface) yang
menyajikan informasi tentang lingkungan dan
mengkomunikasikannya pada manusia
2. Penyelidikan tentang kekuatan fisik manusia
Penyelidikan dengan mengukur kekuatan serta ketahanan
fisik manusia pada saat beraktifitas, termasuk perancangan
obyek serta peralatan yang sesuai dengan kemampuan fisik
manusia beraktivitas.
3. Penyelidikan tentang ukuran lingkungan
Penyelidikan ini bertujuan untuk mendapatkan rancangan
lingkungan yang sesuai dengan ukuran atau dimensi tubuh
manusia.
4. Penyelidikan tentang lingkungan

Journal An-nafs: Vol. 2 No. 2 Desember 2017 | 207


Triana Rosalina Noor | Analisis Desain
Penyelidikan tentang lingkungan meliputi penyelidikan
mengenai kondisi lingkungan fisik lingkungan dan fasilitas
yang ada di lingkungan tersebut.
Secara umum, karakteristik lingkungan dan fasilitas umum
yang disediakan saat ini hendaklah mendukung aktifitas yang
akan dilakukan oleh penyandang disabilitas. Karakteristik
lingkungan yang memiliki pencahayaan yang terang, tidak gaduh,
temperatur yang sesuai, peralatan keras seperti AC, akses pintu
masuk dan lain sebagainya hendaklah mampu memenuhi
kebutuhan para penyandang disabilitas. Proses desain lingkungan
tersebut harus melewati berbagai macam kriteri sebagaimana
sudah dipaparkan sebelumnya dan pada implementasinya akan
dievaluasi oleh penyandang disabilitas sebagai pengguna. Namun
tentu saja desain lingkungan tersebut bukan hanya diperuntukkan
untuk para penyandang disabilitas saja, melainkan dapat
diperuntukkankepada seluruh masyarakat. Harapannya adalah
akan didapatkan sebuah analisis terkait lingkungan dan fasilitas
umum yang bisa membawa kenyamanan dan solusi bagi rasa
aman semua pengguna, termasuk para penyandang disabilitas.
Ada berbagai penelitian tentang desain evaluasi desain
lingkungan yang berhubungan dengan penyandang disabilitas,
antara lain yang dilakukan oleh Galih Hapsari Putri (2011) yang
mengangkat penelitian terkait aksesibilitas difabel dalam ruang
publik. Lokasi penelitian ini dilakukan di beberapa fasilitas umum
yang ada Surakarta. Penelitian ini memaparkan bahwa tempat
publik yang telah disiapkan oleh pemerintah sebenarnya sudah
ada dan para penyandang difabel telah diberi akses yang luas.
Namun pada kenyataannya masih ada beberapa tempat yang
masih sulit untuk diakses. Kesulitan ini jelas terlihat dari akses
yang diberikan kurang sesuai dengan kebutuhan difabel.
Padahal sudah ada Perda mengenai difabel yang mengaturnya.
Penelian lainnya adalah penelitian yang dilakukan oleh
Slamet Tohari (2014) yang mengangakat topik tentang
Pandangan Disabilitas dan Aksesibilitas Fasilitas Publik bagi
Penyandang Disabilitas di Kota Malang. Penelitian ini

208 | Journal An-nafs: Vol. 2 No. 2 Desember 2017


Triana Rosalina Noor | Analisis Desain
memaparkan bahwa secara umum, penyadang disabilitas di Kota
Malang masih sulit tampil ke wilayah publik dan masih terisolasi
dalam diri masyarakat. Mereka tak sering dilihat oleh masyarakat
secara umum, padahal mereka secara mudah ditemukan di
lingkungan mereka. Penelitian ini menegaskan bahwa
masyarakat Malang pada umumnya masih sangat kurang permitif
dan kurang inklusif bagi penyandang disabilitas. Hal tersebut
dapat dilihat hampir semua fasilitas publik di Malang tidak
aksesibel atau hanya sedikit yang menyediakan fasilitas yang
aksesibel bagi penyandang disabilitas.
Berdasarkan hasil penelitian tersebut menunjukkan
bahwa sebagian besar lingkungan dan fasilitas umum masih
belum banyak yang memperhitungkan desain bangunan yang
bebas hambatan bagi para penyandang disabilitas, terutama
fasilitas transportasi, tempat perbelanjaan, tempat parkir, pasar,
taman-taman dan sebagainya. Oleh karena itu, melalui berbagai
ulasan serta beberapa hasil penelitan yang telah dipaparkan
menunjukkan bahwa betapa pentingya rasa nyaman bagi
penyandang disabilitas. Harapannya adalah para pihak terkait
bisa mempertimbangkan desain lingkungan yang bisa diakses
dengan baik oleh para penyandang disabilitas.

Journal An-nafs: Vol. 2 No. 2 Desember 2017 | 209


Triana Rosalina Noor | Analisis Desain
Daftar Pustaka

Adrian, Aria. (2015). Temu Ilmiah IPLBI 2015. Prosiding


:Lingkungan Rumah Ideal Program. Sekolah Arsitektur,
Perencanaan dan Pengembangan Kebijakan (SAPPK)
Alwisol. (2005). Psikologi Kepribadian. Cetakan ke4. Malang:
UMM Press.
Chaplin, JP. (2005). Kamus lengkap psikologis. Jakarta: PT. Raja
Grafindo Persada
Demartoto, Argyo. (2005). Menyibak Sensitivitas Gender Dalam
keluarga Difabel. Surakarta:
UNS Press
Gerungan, W. 2002. Psikologi Sosial. Bandung: Refika Aditama
Gregson, T. (2007). Life without stress. Jakarta: Prestasi Pustaka
Raya
Hariyono. 2007. Sosiologi Kota Untuk Arsitektur. Jakarta: Bumi
Aksara
Hergenhahn, B. R. dan Olson, Matthew. H. (2010). Teori -teori
Belajar. Jakarta: Kencana Prenada Media Grup
Keliat, B. A. (2001). Penatalaksanaan stres: Jakarta:Penebit buku
kedokteran EGC
Kusumastuty, Karina Dwi. (2016). Temu Ilmiah IPLBI 2016.
Prosiding : Prospek Analisis Post Occupancy Evaluation
(POE) sebagai Tinjauan untuk Mengevaluasi Performa
Ruang Terbuka Hijau Publik di Perkotaan. Sekolah
Arsitektur, Perencanaan dan Pengembangan Kebijakan
(SAPPK)
Lahey, B. B. (2007). Psychology: An Introduction, Ninth Edition.
New York: The McGraw-Hill Companies.
Matulessy, Andik. (2003). Psikologi Pencerahan. Surabaya :
Penerbit Wineka Media
Najati, Muhammad Utsman. (2003). Psikologi dalam Tinjauan
Hadits Nabi. Jakarta: Mustaqim
Nimpuno, Wibisono Bagus. (2017). Sinergi: Post-Occupancy
Evaluation: The Application Of Universal Design In
Hayrettin Pasa Square, Istanbul. 21, (1): 39-46
Putri, Galih Hapsari. (2011). Aksesibilitas Difabel Dala Ruang
Publik (Studi Deskriptif Kualitatif Mengenai
Aksesibilitas Difabel Dalam Ruang Publik Di Kota
Surakarta). Skripsi. Program Studi Sosiologi Universitas
Sebelas Maret Surakarta.

210 | Journal An-nafs: Vol. 2 No. 2 Desember 2017


Triana Rosalina Noor | Analisis Desain
Rasmun. (2004). Stres, Coping dan Adaptasi, Teori dan Pohon
Masalah Kepereawatan. Ed.I. Jakarta: Sagung Seto
Sarwono, Sarlito Wirawan. (1995). Teori-Teori Psikologi Sosial.
Jakarta: PT Rajagrafindo Persada
Setiadi, Elly. M. (2006). Ilmu Sosial dan Budaya Dasar. Jakarta:
Kencana Prenada Media Group.
Setiyoko, Glinggang. (2007). Teodolita: Aspek-aspek Perancangan
Rumah Tinggal 8, (1): 45-52
Siahaan, Nommy Horas Thombang. (2004). Hukum Lingkungan
dan Ekologi Pembangunan (Edisi 2). Jakarta: Erlangga,
2004
Siswanto. (2007). Kesehatan mental suatu konsep, cakupan dan
perkembangannya. Yogyakarta : Andi Offset yogyakarta
Sturt, G. W & Sundeen, S. J.(2000). Principles and Practice of
Psychiatric nursing.sixth edition. St. Louis, Mosby Year
Book
Tohari, Slamet. (2014). Indonesian Journal of Disability Studies:
Pandangan Disabilitas dan Aksesibilitas Fasilitas Publik
bagi Penyandang Disabilitas di Kota Malang. 1, (1): 27-37
Walgito, Bimo. (2010). Pengantar Psikolog Umum. Yogyakarta: C.V
Andi Offset
Wardani, Laksmi Kusuma. (2003). Dimensi Interior: Evaluasi
Ergonomi Dalam Perancangan Desain. 1, (1): 61 - 73
http://www.dnetwork.net/blog/Mengapa-Penyedia-Kerja-Perlu
Mempekerjakan Penyandang Disabilitas, 2017. DNetwork,
Mengapa Penyedia Kerja Perlu Memperkerjakan
Penyandang Disabilitas?, Diakses pada tanggal 20
September 2017, pukul 14:08 WIB.
http://www.bpkp.go.id/uu/filedownload/2/46/442.bpkp
Diakses pada tanggal 22 September 2017, pukul 10:08
WIB.
http://elearning.gunadarma.ac.id/docmodul/arsitektur_psikologi
_dan_masyarakat/bab8_evaluasi_pasca_huni.pdf Diakses
pada tanggal 22 September 2017, pukul 11:08 WIB.

Journal An-nafs: Vol. 2 No. 2 Desember 2017 | 211

Anda mungkin juga menyukai