Pendahuluan
Kegundahan akan terjadinya krisis kedua sempat timbul dalam beberapa bulan
terakhir setelah ada kecenderungan nilai tukar rupiah kembali melemah. Jika selama
bulan Maret 2000 nilai tukar rupiah terhadap dolar Amerika Serikat mencatat rata-rata
sekitar Rp 7450,-, maka pada bulan Mei 2000 mencapai sekitar Rp 8250,-. Fluktuasi nilai
tukar yang berada di luar rentang sasaran pemerintah, yaitu antara Rp 7000 hingga Rp.
7500 telah mendorong kembali diskusi pada masalah pilihan sistem nilai tukar dan
pengendalian arus modal. Perkembangan pandangan kedua masalah tersebut akan diulas
berikut ini khususnya dikaitkan dengan pemikiran kembali bangun arsitektur keuangan
dunia, yang banyak mendapatkan gagasan dari tulisan Jeffrey Frankel 1 dan Barry
Eichengreen.2 Pada bagian akhir disampaikan ulasan tentang penerapan gagasan tersebut
dengan kondisi ekonomi Indonesia saat ini.
Pembahasan sistem nilai tukar sering terjebak pada generalisasi tanpa melihat
secara tepat kondisi ekonomi negara bersangkutan. Ada lima preposisi yang sering
diungkapkan mengenai sistem nilai tukar. 3 Pertama adalah suatu negara hendaknya
berupaya meningkatkan fleksibilitas nilai tukar mata uangnya. Pendapat ini banyak
disampaikan oleh pengambil kebijaksanaan di negara yang selama periode 1997-1999
berperang melawan spekulan di pasar devisa, seperti Thailand, Korea Selatan, Indonesia,
Rusia, dan Brasil. Negara-negara ini menjadi jera mempertahankan nilai tukar mata
uangnya pada level tertentu karena besarnya biaya yang telah dikeluarkan dan tanpa hasil
yang jelas. Bila nilai tukar mata uang diambang-bebaskan maka tidak perlu
mempertahankan nilai tukar pada level tertentu.
Preposisi kedua, kebalikan dari preposisi pertama, yaitu bahwa semua negara
sebaiknya mempersiapkan kelembagaan yang menunjang sistem nilai tukar tetap.
Preposisi ini timbul dari keberhasilan beberapa negara mengatasi gejolak arus modal,
seperti Argentina dan Hong Kong dengan menganut sistem currency board. Selain itu,
dimulainya pemberlakuan mata uang Euro pada 1 Januari 1999 untuk sebelas negara
yang tergabung dalam Uni Eropa, mendorong diterapkannya dolarisasi, yaitu pemakaian
1
Jeffrey Frankel, The International Financial Architecture, Brookings Policy Brief, June 1999, no.51
2
Barry Eichengreen, Toward A New International Financial Architecture, Institute for International
Economics, Washington DC, February 1999.
3
Jeffrey Frankel, June 1999
1
dolar Amerika Serikat sebagai nilai tukar resmi di berbagai negara. Ini merupakan salah
satu bentuk sistem monetary union.
Preposisi yang keempat yaitu prediksi bahwa dunia akan terbagi ke dalam
beberapa blok mata uang kuat, seperti negara-negara Eropa menggunakan Euro dan
negara-negara Amerika memakai dolar Amerika Serikat. Sedangkan preposisi kelima
menekankan pada pentingnya menciptakan stabilitas nilai tukar tiga mata uang utama
dunia, yaitu antara dolar AS, Euro dan Yen. Dengan stabilnya ketiga mata uang uang
dunia tersebut akan memudahkan negara-negara lain yang lebih kecil perekonomiannya
menentukan pilihan sistem nilai tukar.
2
Gambar 1
Kontinum Sistem Nilai Tukar 4
3
karakteristik lain bagi negara yang menganut kelompok sistem nilai tukar tetap yaitu
adanya kebutuhan akan stabilitas moneter yang dapat diperoleh apabila mengacu pada
mata uang negara lain yang kuat.
Kecenderungan untuk menganut sistem nilai tukar tetap juga terdapat pada negara
yang kegiatan perdagangan luar negerinya tergantung kepada negara atau wilayah lain
yang lebih besar kekuatan ekonominya. Pertimbangan inilah yang mendorong Estonia,
Lithuania, dan Bulgaria menganut currency board agar selanjutnya mudah bergabung
dengan Uni Eropa sebagai mitra dagang utama. Negara yang menganut nilai tukar tetap
pada umumnya juga mempertimbangkan faktor memiliki atau mudah memperoleh
dukungan untuk mencapai suatu tingkat cadangan devisa yang memadai. Selain itu juga
telah memiliki sistem pengawasan dan pengaturan keuangan yang baik. Jika dua hal ini
tidak dipenuhi maka negara tersebut akan mudah mengalami krisis mata uang dan
berlanjut dengan krisis perbankan.
Beberapa karakteristik lain yang juga perlu dipertimbangkan bagi negara yang
akan menganut salah satu sistem dalam kelompok nilai tukar tetap yaitu adanya
penegakan hukum dan fundamental ekonomi yang kuat. Kedua syarat ini terutama
diperlukan bagi yang akan menerapkan sistem dewan mata uang (currency board).
Negara yang tidak memenuhi karakteristik tersebut tentunya lebih cocok menganut
sistem nilai tukar bebas mengambang atau sistem intermediate. Beberapa negara besar
seperti Amerika Serikat dan sebelas negara yang tergabung dalam Uni Eropa
mendapatkan manfaat yang lebih besar jika menerapkan sistem nilai tukar bebas
mengambang. Dengan menganut sistem ini, mereka memiliki independensi kebijakan
moneter. Perumusan kebijakan moneternya lebih memperhatikan kepentingan ekonomi
dalam negeri daripada kondisi ekonomi negara-negara yang mengacu pada fluktuasi dolar
atau menggunakan dolar sebagai mata uang resmi (dolarisasi). Untuk mencegah dampak
gejolak keuangan internasional akibat perubahan kebijakan suatu negara besar terhadap
mata uangnya di masa mendatang, maka perlu didorong adanya persaingan dolar AS,
Euro, dan Yen di pasar uang internasional. Hal ini dimungkinkan apabila ketiganya
menganut sistem bebas mengambang.
4
mencegah terjadinya krisis nilai tukar harus juga mempertimbangkan kebijakan
pengendalian arus modal. Pilihan kebijakan ini juga harus secara cermat dilakukan
dengan menghitung kondisi ekonomi suatu negara, tidak digeneralisasi.
Salah satu aturan yang juga efektif adalah mensyaratkan kewajiban menyimpan
di bank sentral tanpa memperoleh bunga bagi perbankan yang mempunyai pinjaman luar
negeri jangka pendek. Penetapan giro wajib minimum yang lebih tinggi untuk pinjaman
5
asing kiranya sejalan dengan upaya meningkatkan kehati-hatian. Pengaturan arus modal
masuk ini akan lebih mudah dilaksanakan daripada mengatur arus modal yang sudah ada
di dalam negeri untuk tidak keluar.
Kasus Indonesia
Dari ulasan di atas ada beberapa karakteristik umum negara yang menganut
sistem nilai tukar tetap, yaitu perekonomian negara tersebut berukuran kecil, terbuka
terhadap perdagangan internasional, memiliki mobilitas tenaga kerja yang tinggi, dan
adanya korelasi siklus usaha dengan kondisi ekonomi negara yang menjadi patokan nilai
tukar. Selain itu dalam era meningkatnya arus modal internasional diperlukan pula
tambahan persyaratan cadangan devisa yang relatif besar dan adanya kepastian hukum
serta sistem pengawasan dan pengaturan lembaga keuangan yang telah mantap. Jika
kriteria ini dipergunakan untuk menilai Indonesia pada saat ini maka belum bisa
dinyatakan semua persyaratan tersebut telah terpenuhi.
Pada periode yang lalu dengan arus modal masuk yang relatif kecil,
perekonomian Indonesia dapat bertahan dengan menerapkan sistem crawling peg.
Dengan sistem ini nilai tukar dapat dikelola untuk turut meningkatkan daya saing
komoditi ekspor. Pada waktu itu pertimbangan peranan perekonomian Indonesia relatif
kecil5 dalam perekonomian dunia tampak menonjol disamping juga kebijakan liberalisasi
perdagangan yang dengan cepat dilaksanakan.
Dengan memilih sistem nilai tukar yang flexible sejak pertengahan tahun 1997,
maka lebih besar kemungkinan melebarnya rentang fluktuasi nilai tukar rupiah. Hingga
pertengahan tahun 1999 ini, depresiasi rupiah terhadap dolar Amerika Serikat masih lebih
besar dibanding negara tetangga yang juga menganut sistem nilai tukar yang flexible,
seperti Thailand dan Filipina. Keberhasilan memperkecil rentang fluktuasi nilai tukar
rupiah kiranya dapat pula menjadi ukuran pemulihan ekonomi, sebagaimana tercermin
pada perkembangan nilai tukar Bath dan Won.
5
Produk Nasional Bruto Indonesia pada tahun 1997 tercatat sekitar 221.9 miliar USD, berada pada ranking
nomor 22 di bandingkan negara lain. Sementara itu, ukuran perekonomian negara yang memiliki mata uang
kuat seperti Amerika Serikat sebesar 7690,1 miliar USD dan Jepang sebesar 4772,3 miliar USD (World
Development Report 1997).
6
Tabel 1
Perubahan Beberapa Nilai Tukar Mata Uang Terhadap Dolar AS
Desember 1999 12 Juni 2000 Perubahan
Indonesia Rupiah 7.050,2 8.585,0 -21.77
Ringgit Malaysia 3.7792 3.8001 -0.5
Peso Filipina 40.327 42.45 5.26
Dolar Singapura 1.6660 1.7235 3.45
Bath Thailand 37.566 39.096 4.07
Sumber : beberapa edisi Far Eastern Economic Review
Sementara itu dalam masalah pengendalian arus modal (capital control) beredar
pendapat bahwa keraguan pemerintah untuk menerapkan pengendalian modal yang lebih
ketat daripada sekedar monitoring arus devisa memberikan kesan kurang peka terhadap
besarnya problem yang telah timbul akibat krisis. Langkah-langkah membangun
instrumen perlindungan terhadap terjadinya krisis nilai tukar memang perlu
diprioritaskan. Menurut Eichengreen,6 terjadinya krisis nilai tukar seperti halnya gempa
bumi, sulit diprediksi besaran dan waktu kejadiannya, hanya dapat diukur besaran dan
akibatnya setelah terjadi.
Jika diperhatikan perkembangan arus modal selama dua tahun terakhir ini, maka
terjadi penurunan jumlah hutang swasta berjangka pendek terhadap total hutang dari
sekitar 10 persen dari total hutang pada akhir tahun 1997 menjadi sekitar 6 persen pada
tahun 1999. Selain itu defisit pada arus modal swasta juga turun dari 17,5 miliar USD
pada tahun 1998 menjadi 9,8 miliar USD pada tahun 1999. Ini berarti terjadi arus modal
6
Barry Eichengreen, February 1999, halaman 13
7
Barry Eichengreen, February 1999, halaman 53
7
keluar yang lebih besar daripada arus modal masuk dalam waktu yang cukup panjang.
Namun demikian kebijakan pengendalian arus modal keluar bukanlah suatu yang
dianjurkan karena mendorong terjadinya korupsi dan penyalahgunaan wewenang pada
aparat pemerintah.8 Faktor geografis Indonesia yang begitu luas juga menyulitkan
pengendalian tersebut. Solusi terbaik (first best solution) adalah menghilangkan distorsi
yang menyebabkan defisit berlebihan. Tindakan pemerintah yang selama ini telah
dilaksanakan berupa independensi bank sentral, pengendalian anggaran belanja, dan
restrukturisasi perbankan merupakan bagian dari upaya mencegah terus berlangsungnya
arus modal keluar.