LATAR BELAKANG
Salah satu permasalahan pokok yang belum terpecahkan di dalam proses "menjadi"
negara bangsa (nation-state) Indonesia setelah berusia lebih dari setengah abad adalah
terbentuknya sebuah sistem politik demokratis yang berlandaskan pada nilai persatuan
dan kesatuan, kebangsaan, dan integrasi sosial yang mampu beradaptasi dengan proses
perubahan global. Mengingat dasar utama negara In- donesia adalah kebangsaan
(nationhood), maka nasionalisme harus dipelihara agar tetap relevan menghadapi
tantangan jaman. Oleh karena itu, merasotnya nasionalisme pada dasarnya akan
membahayakan kelangsungan hidup bangsa dan negara Indonesia Lebih lanjut gagalnya
uasaha menanamkan rasa kebangsaan dalam praksis penyelenggaraan negara itu
membuka peluang bagi tumbuhnya kecemburuan, ketidakpuasan, konflik sosial,
disintegrasi bangsa, separatisme, dan lain sebagainya. Gejala-gejala sosial itu lebih
merupakan manifestasi atau akibat dari terpuruknya rasa kebangsaan dan bukanlah
penyebab ataupun pendorong terjadinya keretakan solidaritas bangsa atau kesatuan dan
persatuan bangsa.
Kalau kita tidak peka dan siap mental untuk meng had api dan mengantisipasinya,
maka kecenderungan disintegrasi bangsa dan negara Indonesia bisa melebar dan
menguat. Agar kita tetap dapat mempertahankan keutuhan bangsa dan negara kita, dan
ke-Bhinneka Tunggal Ika-an masyarakat kita, maka sudah selayaknya dewasa ini generasi
muda (mahasiswa) meningkatkan pengetahuan, kesadaran, dan apresiasi terhadap
kebangsaan Indonesia dan eksistensi negara bangsa Indonesia (Zamroni, 2001; Tilaar,
2007). Oleh karena itu, bangsa Indonesia hanya dapat mempertahankan kesatuannya jika
warganegaranya memiliki semacam komitmen untuk bertekad membangun nasionalisme.
Dalam suatu masyarakat yang sangat pluralistik, di mana terdapat berbagai ragam nilai
yang berkaitan erat dengan etnis, bahasa, kedaerahan, dan agama, maka pembangunan
nasionalisme Indonesia memerlukan pendekatan multidisiplin dan dilakukan secara
berkesinambungan. Alasan-alasan di atas itulah yang menjadi ide dasar yang
melatarbelakangi uraian pada bab ini, yaitu mengenai mengapa nasionalisme atau paham
kebangsaan mempunyai peranan yang sangat signifikan di dalam membentuk kepribadian
bangsa (nation and character building). Untuk memperoleh jawaban yang obyektif dan
memadai, maka perlu dilakukan kajian yang komprehensif dan mendalam tentang konsep
kebangsaan Indonesia melalui penelusuran sejarah pertumbuhan, tantangan yang
dihadapi serta implikasinya bagi kehidupan berbangsa dan bernegara.
B. HAKIKAT NASIONALISME
1. Pengertian nasionalisme
Dalam beberapa literatur ilmu-ilmu sosial, istilah nasionalisme berasal dari bahasa
latin, yaitu nation yang berarti bangsa yang dipersatukan karena kelahiran, dan dari kata
nasci yang berarti diahirkan. Nasionalisme berarti bangsa yang bersatu karena faktor
kelahiran yang sama. Pengertian nasionalisme mengalami perkembangan beragam, yang
secara keseluruhan dapat diklasifikasikan menjadi 3 pengertian. Pertama, nasionalisme
adalah sebuah ideologi sekaligus merupakan satu bentuk dari perilaku (behavior). Kedua
nasionalisme adalah cita cita yang ingin memberi batas antaea kita yang sebangsa dengan
mereka dari bangsa lain, antara Negara kita dengan Negara lain. Ketiga, nasionalisme
adalah ibarat satu koin yang mempunyai dua sisi, yaitu sisi pertama adalah politik, dan sisi
lainnya adalah etnisitas atau rasa kesukubangsaan. Tidak ada nasionalisme tanpa elemen
politik, sedangkan substansinya tidak bisa lain kecuali sentiment etnik (nodia, 1998).
Selain itu nasionalisme juga merupakan paham kebangsaan yang timbul karena
adanya persamaan nasib dan sejarah, serta kepentingan untuk hidup bersama sebagai
suatu bangsa yang merdeka, bersatu, dan berdaulat. Oleh karena itu nasionalisme sering
dipandang sebagai suatu ideology pemelihara Negara bangsa (nation state) (9Eriksen,
1993). Nasionalisme juga merupakan filsafat politik dan social yang menganggap bahwa
kebaikan bangsa adalah yang paling utama. Dengan demikian Negara menjadi milik
seluruh rakyat sebagai keseluruhan. Hal ini yang membuat nasionalisme dilihat sebagai
suatu dasar ideologi. Dengan demikian seorang nasionalis adalah seorang yang memiliki
kebanggaan terhadap bangsanya yang kadang-kadang sama dengan memujanya.
Dalam perspektif ilmu politik maupun ilmu sosial, terdapat beberapa konsep yang
berkaitan dengan nasionalisme, yaitu:
a. National sebagai masalah kebangsaan yang menyeluruh seperti terkandung antara lain
dalam istilah kepentingan nasional (na- tional interest), keamanan nasional (national
security), dan pertahanan nasional (national defence)
b. Nationalism sebagai semangat kebangsaan yang dilandasi oleh rasa sebangsa dan
setanah air serta senasib sepenanggungan.
c. Nationality sebagai pengalaman sebagai warganegara yang sadar akan hak dan
kewajibannya dalam segala bidang. Di samping itu nationality atau identitas nasional
melekat pada warganegara yang memegang paspor. Identitas tersebut antara lain berupa
bendera kebangsaan (national flag)
Meskipun terdapat berbagai macam definisi yang mungkin dapat diberikan, namun
nasionalisme dapat ditandai oleh adanya patriotisme (Kohn, 1976). Patriotisme adalah
ajaran tentang berjiwa dan bersemangat patriot. Sedangkan patriot adalah seseorang
yang mencintai tanah airnya dan akan melakukan semuanya yang dapat ia lakukan untuk
tanah airnya. Patriot berasal dari kata latin propatria yang dalam bahasa latin pro berarti
di muka atau di depan yang nuansanya sama dengan pre dalam bahasa Inggris. Pra dalam
bahasa Sansekerta dan Patria dalam bahasa Latin berarti tanah air, negeri asal, tanah
tumpah darah dan ibu pertiwi. Dalam bahasa Yunani patris berarti tanah air. Jadi patriot
berarti di depan tanah air dalam arti membela tanah air secara fisik. Dalam pengertian
membela terkandung pula pengertian memelihara dan membangun. Dalam kamus
bahasa Inggris, patriot adalah a person who loves his native country and will do all he can
for it (seseorang yang mencintai negerinya sendiri dan akan melakukan apa saja semampu
apa yang dapat dilakukan) (Michael Riff, 1995). Khusus istilah perwira mengandung
pengertian seorang wira dalam pelayaran seperti nenek moyang Indonesia sebagai pelaut
yang ulung (seafarer) mampu mengantisipasi semua bahaya dan tantangan yang
dihadapinya dalam suatu pelayaran (Bambang Budi Utomo, 2007) Di samping itu
patriotisme yang dimaksudkan di atas juga mengandung adanya keyakinan nilai-nilai
budaya dalam suatu bangsa. Tidak dapat disangkal, bahwa nasionalisme sebagai kekuatan
ideologi dunia sangat mempengaruhi perpolitikan global. Dengan kata lain patriotisme
adalah rasa kecintaan dan kesetiaan seseorang kepada tanah air dan bangsanya,
kekaguman pada adat dan kebiasaannya, kebanggaan terhadap sejarah dan
kebudayaannya, serta sikap pengabdian demi kesejahteraannya. Hampir dalam sepanjang
sejarah umat manusia, patriotisme merupakan cita-cita sederhana tanpa pertautan politik
tertentu, tetapi dalam perkembangannya seiring serta dengan kemajuan teknologi,
patriotisme tidak hanya untuk membela tanah air tetapi juga melaku kan ekspansi. Di
samping itu, patriotisme yang berlebihan menjurus ke arah chauvinisme yang dapat
terjadi pada setiap bangsa dan dalam segala zaman. Lebih jauh Hobsbawm (1992)
menyatakan bahwa cita-cita yang popular tentang patriotisme yang asli dan revolusioner
lebih bersandarkan pada negara daripada cita-cita kebangsaan sebab patriotisme ada
kaitannya dengan kedaulatan rakyat sendiri, yaitu
negara yang menjalankan kekuasaan atas rakyat. Revolusi nasional adalah saluran yang
murni daripada patriotisme, ketika rakyat berjuang menyabung nyawa untuk
mempertahanan negara yang telah dimiliki. Inilah negara yang dianggap sebagai
perwujudan dari kekuasaan yang berasal dari rakyat sendiri. Tanpa adanya negara yang
dipertahankan, patriotisme tidak lebih daripada tindakan yang ingin mendapatkan
sesuatu yang telah hilang. Misalnya, pada pertengahan tahun 1900- an bangsa Jerman
dan Italia di bawah Adolf Hitler dan Benito Mussolini merasa mempunyai tugas patriotik
untuk memperluas batas-batas wilayahnya dengan melakukan revolusi nasional.
Pengertian nasionalisme menurut Ernest Gellner (dalam Eriksen 1993) adalah suatu
prinsip po litik yang beranggapan bahwa unit nasional dan politik seharusnya seimbang.
Dengan kata lain, Gellner lebih menekankan nasionalisme dalam aspek politik. Jika
nasionalisme adalah suatu bentuk munculnya sentimen dan gerakan, baru kita dapat
mengerti dengan baik jika kita mendefinisikan apa itu gerakan dan sentimen. Apa yang
dimaksudkan sebagai suatu sentimen adalah secara psikologis merupakan suatu bentuk
antipati atau ungkapan marah, benci, dan lain sebagainya. Seperti dikemukakan oleh
Eriksen (1993:100) bahwa Anderson tidak seperti Gellner yang lebih menekankan
nasionalisme dalam aspek politik, tetapi Anderson justru tertarik untuk memahami
kekuatan dan kontinuitas dari sentimen dan identitas nasional. Meskipun berbeda
perspektif, akan tetapi keduanya menekankan bahwa bangsa adalah suatu konstruksi
ideologi yang nampak sebagai pembentuk garis antara (definisi-diri) kelompok budaya
dan state (negara), dan mereka membentuk komunitas abstrak berdasarkan perbedaan
negara, sistem politik atau komunitas berdasarkan kekerabatan yang mendahului
pembentu kan negara bangsa.
dokter, sarjana hukum, dan sarjana bidang lain, terutama yang berada di negeri rantau,
pada umumnya di Negeri Belanda. Sebagai contoh, jauh sebelum revolusi kemerdekaan,
di Surakarta lahir organisasi yang digerakkan oleh kaum priyayi terpelajar yang
mempelopori gerakan untuk membudayakan masyarakat dengan tujuan "mewujudkan
bangsa Jawa". Organisasi yang memiliki penerbitan dan gedung pertemuan dalam
kegiatan operasionalnya ini berusaha memerangi kebodohan dan kebiasaan yang jelek
yang ada di dalam masyarakat. Seperti, poligami dan kawin dalam usia muda. Karena
bersifat ke- Jawa-an, organisasi ini seakan-akan bersifat etnosentris. Kelahiran Organisasi
Budi Utomo merupakan organisasi yang bersifat polisentris. Keahirannya dibidani oleh
kaum terpelajar khususnya generasi muda dan para pemuda dari rantau. Budi Utomo
memberikan sumbangan yang penting dalam merumuskan cita-cita kemajuan bangsa.
Kalau Budi Utomo lebih bersifat idealis, maka kelahiran Serikat Islam lebih bersifat
realistis, mengupayakan usaha memperkuat ekonomi rakyat kecil. Sifat idealis juga
muncul dalam gerakan pendidikan yang dilaksanakan Muhammadiyah dan Taman Siswa.
Muhammadiyah yang didirikan oleh para kyai menekankan upaya menyatukan antara
agama dan pengetahuan. Kontribusi utama gerakan ini bagi perkembangannya
nasionalisme adalah sifat untuk selalu melakukan pembaharuan. Adapun Taman Siswa
menekankan pada upaya me madu kan antara Budaya Barat dan Budaya Timur.
Organisasi ini berperan besar dalam pencarian identitas bangsa. Sebagaimana
dikemukakan di atas, nasionalisme bersifat dinamis dan merupakan jawaban atas struktur
sosial yang ada. Menurut Zamroni (2001), berdasarkan dinamika sosial yang ada,
perkembangan nasionalisme dapat diidentifikasi ke dalam beberapa tahap : Pertama,
periode 1945-1950, yang dapat dinamakan tahap transitif. Pada tahap ini mulai muncul
perbedaan pandangan-pandangan di antara berbagai kelompok masyarakat. Kedua,
periode 1950-1960 yang disebut fase destruktif. Pada tahap ini pertentangan yang terjadi
di masyarakat merupakan pertentangan yang bersifat ideologis. Oleh karena itu sifat
pertentangan sangat mendasar dan sulit didamaikan. Ketiga, periode 1960-1965 yang
disebut fase agresif, sebab nasionalisme bangsa bersifat sangat agresif terhadap
perbedaaan dikategorikan sebagai lawan yang harus disingkirkan. Semangat dan visi
ideologis sangat menonjol, yang terwujud dalam suatu struktur sosial hal mana politik
menjadi panglima. Produk-produk ideologis bermunculan misalnya komunisme,
keagamaan, dan lain sebagainya. Selain itu, fase ini juga memiliki ciri lain, yakni bersifat
kontradiktif dan antagonis, sehingga nasionalisme kita penuh jargon-jargon yang bersifat
"hitam putih", seperti revolusioner versus reaksioner, tuan pendapat. Pendapat yang
berbeda tanah versus proletariat, atau setan kota dan kaum buruh. Keempat, periode
tahun 1965-1978-an, yang dapat disebut periode integratif. Pada fase ini persatuan dan
kesatuan bangsa menjadi kokoh kembali. Konsensus di antara berbagai perbedaan dapat
diwujudkan. Nasionalisme tahap integratif banyak diwarnai dengan semangat
membangun. Pembangunan adalah penglima. Bahkan lebih daripada itu, pembangunan
tidak saja berfungsi sebagai penglima, melainkan juga seakan-akan berfungsi sebagai
ideologi. Karena pembangunan seakan-akan sebagai ideologi, maka tidak terjamah karena
setengah disakralkan. Tidak dapat dibenarkar kegiatan yang dapat mengganggu
pembangunan. Bahkan, masyarakat harus siap berkorban untuk pembangunan.
Semboyan "kencangkan ikat pinggang', "kita harus prihatin" dan "hidup sederhana" perlu
terus digalakkan (Zamroni, 2001).
perubahan, yang pada gilirannya akan melecehkan kekuasaan di segala aspek kehidupan.
Di dalamnya termasuk kekuasaan orang tua, kekuasaan guru, kekuasaan tokoh-tokoh
agama, dan juga kekuasaan pemimpin politik. Di televisi dan media massa hampir setiap
hari memberitakan adanya pelecehan kekuasaan terhadap pemimpin nasional, elit lokal,
tokoh masyarakat, dan lain sebagainya. Ketiga, muncul dan berkembangnya rasa
"pesimisme" di sebagian masyarakat terhadap perkembangan yang ada. Misalnya,
pertumbuhan penduduk yang cepat, kejahatan yang meningkat, kerusakan lingkungan
yang parah, bencana alam yang meluas, masalah penderitaan yang berkepanjangan di
berbagai pelosok tanah air akan dapat menimbulkan sikap acuh ataupun sebaliknya sikap
radikal revolusioner. Keempat, interaksi antar budaya semakin intensif dan pengaruh
budaya asing (Barat) semakin besar masuk ke dalam budaya manusia Indonesia. Hal ini
tidak mengherankan karena sumber informasi dikuasai oleh bangsa Barat, yang secara
sains lebih unggul. Akibatnya, pengaruh asing semakin menguat dan meluas ke segala
aspek kehidupan. Sebagian kaum terpelajar mulai diinfiltrasi oleh ide-ide yang dikatakan
bersifat "universal", seperti terorisme, separatisme, radikalisme, demokrasi liberal,
kebebasan, teologi pembebasan, dan federalisme. Sedangkan dalam tataran norma dan
perilaku berkembang budaya konsumerisme, hedonisme, pornografi, dan pornoaksi.
Adanya pengaruh budaya asing yang besar, sesungguhnya juga menjadi indikator
terjadinya inferioritas nasionalisme Indonesia. Diakui, sebagian manusia Indonesia
dewasa ini lebih bangga dengan budaya dan produk asing dibandingkan dengan budaya
dan produk nasional. Di lain pihak produk budaya lokal dianggap primitif, kuno,
konvensional, tradsional, dan tidak bernilai ekonomis
Sebagai akibat adanya perkembangan yang terjadi di atas, sesuail dengan Visi Indonesia
2030, nampaknya bangsa Indonesia perlu mengembangkan nasionalisme baru, yang lebih
cocok dengan tuntutan perubahan global. Meskipun belum dapat dikonstruksikan secara
teoritis, namun nasionalisme baru yang perlu diformulasikan. sekurang-kurangnya
bercirikan: a) Cita-cita pesatuan dan kesatuan bangsa yang lebih menekankan kembali
pada pola pikir yang mendahulukan penciptaan kesejahteraan dan keadilan masyarakat,
b) Budaya individ ualisme, hedonisme, konsumerisme, harus diganti dengan cita-cita
kemasyarakatan, kebersamaan, toleransi, dan integrasi sosial; Orientasi yang cenderung
elitis dan kekuasaan diganti orientasi massa dan pernberdayaan sosial; d) Cara melihat
ideologi sebagai tertutup, sempit, dan sakral diubah menjadi ideologi terbuka dan
rasional; e) Kesadaran untuk mengembangkan rasa percaya diri, keberanian, patriotisme,
dan tanggung jawab untuk menjaga martabat bangsa c) 3. Nasionalisme Dalam
Masyarakat Modern Realitas memperlihatkan bahwa globalisasi membawa dampak bagi
perubahan-perubahan yang sangat kompleks, baik perubahan yang bersifat eksternal
maupun internal. Sesungguhnya bukan hanya globalisasi yang membawa dampak
perubahan, tetapi juga hal-na lain seperti pembangunan, modernisasi, keterbukaan antar
ras suku bangsa, kontak antar suku bangsa, revolusi teknologi informasi dan komunikasi.
Diakui, secara sosiologis masyarakat modern berkembang da berubah dengan akselerasi
yang tinggi. Kemajuan teknologi informasi
dan komunikasi menyebabkan hubungan antara manusia menjadi sangat cepat dan tanpa
batas, sehigga seringkali manusia hidup di dalam dunia tanpa batas (borderless world).
Dengan kata lain, man usia modern hidup dalam "dunia yang terasing" dan senantiasa
terbelenggu dalam kebebasan yang diciptakannya sendiri. Di sinilah fungsi negara (state)
sebagai tempat di mana warganegaranya dapat hidup penuh ketenangan dan kedamaian.
Negara memberikan kepada warganegaranya suatu perasaan inklusif. Warganegara
mencari pegangan kepada identitas bangsa atau negaranya. Misalnya apabila seorang
warganegara hendak bepergian ke luar negeri tanpa mempunyai paspor nasional, maka ia
tidak akan dapat memasuki negara lain dan tidak ada suatu pegangan untuk kehidupan
yang memberikan keamanan. Paspor yang dipegang oleh seseorang merupakan tanda
kewarganegaraan, sebagai tanda keanggotaan suatu negara dan memberikan identitas
bagi warganegara yang bersangkutan. Realitas keanggotaan seorang warganegara dalam
suatu bangsa (national) merupakan suatu kondisi yang tidak terbantahkan di dalam
negara modern. Menjadi warganegara dari suatu bangsa (nation) merupakan kebanggaan
dan keharusan bagi seseorang. Meskipun di dalam negara terdapat kekuatan-kekuatan
lokal atau regional atau kesukuan yang saling terpisah, tetapi menjadi anggota dalam
suatu negara merupakan pegangan di dalam menghadapi globalisasi, atau hegemoni
kebudayaan asing, ataupun di dalam diaspora bangsa- bangsa di dunia. Nasionalisme
telah menjadi pemicu kebangkitan kembali dari budaya yang telah memberikan identitas
sebagai anggota dari suatu masyarakat bangsa. Apabila kita bepergian ke luar negeri
dengan menggunakan pakaian batik yang merupakan pakaian khas Indonesia, kita
mengidentifikasikan diri sebagai bangsa Indonesia
meskipun penyandang pakaian batik itu (kita) berasal dari jenis suku apa pun. Identitas
bangsa ternyata telah merupakan suatu pelindung diri dari transformasi yang tak
terkontrol di abad globalisasi dewasa ini. Identitas bangsa mempunyai arti kebangkitan
kembali dari kebudayaan. Inilah arti kebudayaan di dalam pengembangan identitas
bangsa (Tilaar, 2007). Dengan demikian nasionalisme dalam konteks masyarakat mod- ern
diterjemahkan sebagai sikap mental dan tingkah laku individu atau masyarakat yang
merujuk pada loyalitas atau pengabdian pada bangsa dan negaranya. Kalau di masa
kolonialisme, nasionalisme mengambil bentuk sebagai anti-kolonialisme, sedangkan di
masa kemerdekaan, nasionalisme mengambil bentuk dalam wujud pembangunan untuk
kesejahteraan dan keadilan seluruh masyarakat Indonesia. Realitas menunjukkan bahwa
nasionalisme Indonesia hingga saat ini belum menunjukkan hasil yang sempurna, karena
yang seringkali muncul adalah berkembangnya nasionalisme lokal, yang dibungkus
dengan otonomi daerah, putera daerah, kepentingan daerah, anggaran on daerah, dan
kebijakan daerah. C. HAKIKAT BANGSA 1. Memahami Konsep Bangsa Konsep bangsa
memiliki pengertian yang sangat luas dan beragam. Secara umum pengertian bangsa
(nation atau natie) adalah sekumpulan manusia yang merupakan suatu kesatuan karena
mempunyai kesatuan politik yang sama. Istilah bangsa atau Nation berasal dari bahasa
Perancis dan natie berasal dari bahasa Belanda, sedangkan dalam bahasa Jerman disebut
volk. Di sini istilah bangsa diartikan sebagai sekumpulan manusia yang merupakan suatu
kuat, sebagaimana diwujudkan dalam bentul bendera dan laqu kebangsaan, dan juga
melalui sejarah resmi yang memitoskan ke- kita-an kolektif masa lalu yang dibanggakan
bersama. Beberapa pendapat para ahli tentang pengertian bangsa adalah sebagai berikut:
Pertama, Ernest Renan (1823-1892) mendefinisikan bangsa sebagai suatu asas rohani,
yang timbul dari peristiwa-peristiwa historis yang terus-menerus dan berakar secara
mendalam pada suatu komunitas yang mempunyai kehendak hidup bersama (jiwa).
Bangsa ialah jiwa dan asas rohani, dua hal yang sesungguhnya hanya berwujud satu
(yang) membentuk jiwa (atau) asas rohani itu. Yang satu terdapat dalam waktu yang telah
silam, yang lain dalam waktu sekarang. Yang satu memiliki warisan bersama yang kaya
akan kenangan sejarah, yang lain adalah komitmen sekarang, dan keinginan untuk hidup
bersama. Apa yang telah dialami pada masa yang lampau, baik penderitaan, kesusahan,
maupun kesenangan, maka di masa depan harus juga dinikmati bersama-sama. Bersama-
sama menderita, bersama-sama senang, bersama-sama berjuang, itulah yang lebih
berharga untuk saling menyatukan diri ke dalam bangsa yang sama. Sekalipun terdapat
keragaman orang, agama, dan bahasa, penderitaan bersama merupakan landasan yang
kuat untuk bersatu sebaqai sebuah bangsa. Dalam hal peristiwa nasional, duka-cita lebih
berharga daripada kemenangan, sebab duka-cita itu memberi kewajiban, dan mendorong
ke arah usaha bersama. Jadi bangsa (nation) itu ialan suatu solidaritas besar, yang
terbentuk karena adanya kesadaran kolektif. Misalnya, keberadaan bangsa Indonesia
sesungguhnya terbentuk karena adanya solidaritas yang sama dan penderitaan yang sama
sebagai akibat penjajahan Belanda (Amal & Armaidy, 1998)
Kedua, Hans Kohn (1852 1879) menyatakan bahwa bangsa adalah buah hasil perjalanan
sejarah, dan karena itu selalu mengalami pasang surut. Bangsa merupakan golongan
warga masyarakat yang beraneka ragam dan sulit dirumuskan secara baku. Kebanyakan
bangsa itu memiliki faktor obyektif tertentu yang membuat mereka itu berbeda dari
bangsa-bangsa lainnya, misalnya persamaan keturunan, bahasa, daerah, kesatuan politik,
adat istiadat dan tradisi, atau perasaan hidup beragama. Akan tetapi jelaslah bahwa tiada
satu pun di antara faktor ini bersifat hakiki untuk menentukan ada tidaknya atau untuk
merumuskan pengertian bangsa itu. Meskipun faktor obyektif itu penting, tetapi unsur
yang terpenting ialah kemauan bersama yang hidup secara nyata (Kohn, 1976) Ketiga,
Benedict Anderson (2001) mendefinisikan bangsa sebagai sesuatu yang terbayang karena
para anggota bangsa yang terkecil sekalipun tidak akan tahu dan tidak akan kenal
sebagian besar anggota yang lain. Mereka tidak bertatap muka dengan warga masyarakat
yang lain. Di antara mereka tidak saling mengenal, bahkan mungkin tidak pula pernah
mendengar tentang mereka. Jadi pengertian nasion dipahami sebagai "imagined political
community" (masyarakat yang secara politik dibayangkan). Keberadaannya diimajinasikan
dan dibayangkan seolah-olah mereka saling mengenal dan mengetahui hak dan
kewajibannya sebagai sebuah bangsa. Misalnya, kita sebagai bangsa Indonesia
membayang kan seolah-oleh kita mengenal masyarakat Aceh atau Papua, padahal
realitasnya kita tidak pernah mengenal dan bertemu muka dengan mereka sama sekali.
Keempat, Mochtar Pabottinggi (2000; dalam Dhakidae, 2001), menyatakan bahwa: "Di
sini nasion kita rumuskan sebagai kolektivitas politik egaliter-otosentris, yang
konterminus (dipisahkan) dengan wilayah politiknya serta lahir dari atau ditunjukkan
bersama pada
rangkaian dialektika serta peristiwa sejarah yang sarat makna dengan proyeksi
eksistensial tanpa batasan waktu ke masa depan. Rumusan ini sengaja menggarisbawahi
kata "kolektivitas politik"... Konterminusnya (pemisahan) kolektivitas politik dengan
wilayah politik perlu ditekankan di sini, sebab itulah yang membedakan nasion dari
nasionalisme. Nasion adalah kolektivitas politik nyata dengan wilayah politik yang juga
nyata. Nasionalisme, sesuai namanya, barulah impian menuju suatu kolektivitas politik.
Sejauh kolektivitas politik ini belum terwujud, wilayah politiknya pun begitu. Atas dasar
itulah kita tidak memakai definisi Benedict Anderson tentang nasion, kendati itu luas
diikuti". Dengan demikian bangsa adalah kolektivitas politik yang lahir karena proses
sejarah dan dialektika yang dinamis. Pengertian bangsa semacam ini mengindikasikan
bahwa bangsa Indonesia terbentuk karena kesepakatan politik dan solidaritas sosial yang
terus berubah mengikuti sejarah perkembangan masyarakatnya. 2. Perkembangan
Konsep Bangsa Gerakan anti kolonial abad XX yang merambah ke Asia, Amerika Latin, dan
Afrika, menyebabkan perkataan bangsa memiliki arti dan konsep yang sangat ambigu.
Kata bangsa yang diterjemahkan dari nation, yang berarti sekelompok orang yang lahir di
suatau tempat yang sama (a group of people born in the same place). John Stuart Mill
(1861:XVI), sebagaimana dikutip Usman Pelly (1998), kemudian memperluas arti dan
konsep bangsa, dengan menyatakan bangsa adalah: "A portion of mankind if they are
united among themselves by common sympathies, which do not exist between them
corporate which each other more willingly than the other people desire to be under the
same government, and desire that it should be govern ment by themselves or a portion
themselves, exclusively ".
Para penulis dan ahli teori bidang politik, ternyata sangat sedikit memberikan penjelasan
mengenai arti dan konsep bangsa; bagaimana bangsa itu berkembang dan menemukan
dirinya. Walaupun tidak dapat dipungkiri pula bahwa masalah bangsa sering menjadi
perdebatan, terutama dalam hubungannya dengan kajian negara. Tetapi orang lebih
dapat memahami penjelasan (explanation), daripada definisi (definition) dari kata bangsa
itu. Para pakar membeda kan antara karakteristik obyektif dan karakteristik subyektif
kebangsaan (nationhood). Karakteristik obyektif ialah wilayah teritorial, sejarah, dan
struktur ekonomi. Sedangkan karakteristik subyektif adalah kesadaran (consciousness),
kesetiaan (loyality), dan kemauan (will). Karakteristik subyektif biasanya sangat tepat
(genuine) untuk definisi bangsa, sedangkan karakteristik obyektif untuk penjelasan
(explanation). Ahli-ahli sosial menambahkan bahasa, agama, pemerintah sendiri, dan
beberapa faktor lingkungan lainnya, merupakan karakteristik obyektif. Akan tetapi aspek-
aspek tersebut banyak menganggap sebagai faktor-faktor untuk memajukan perasaan
kebangsaan (nationhood). Menurut John Stuart Mill seperti yang diutarakan dalam
definisi bangsanya, karakteristik subyektif lebih penting dan menentukan kesatuan dan
kekukuhan suatu bangsa. Misalnya Negara Swiss, rakyatnya mempergunakan tiga bahasa
yang berbeda, tetapi sebagai suatu bangsa, mereka tetap kompak dan bersatu. Berbeda
dengan Irak dan Kuwait satu bahasa dan agama tetapi terus menerus bermusuhan.
Kebangsaan (nationhood) adalah suatu bentuk loyalitas yang sifatnya fluktuatif, dapat
turun dan naik. Berdasarkan pemikiran ini, adalah menarik untuk mempertanyakan
orang-orang yang masih berdomisili, lahir dan kerja di Indonesia umpamanya, tidak
memiliki kesadaran, kesetiaan, dan kemauan untuk membangun Indonesia.
Masih dapatkah mereka dikualifikasikan sebagai orang Indonesia? Dengan kata lain,
apakah mereka memiliki karakteristik obyektif tetapi tidak memiliki karakteristik
subyektif, apakah mereka masih pula dapat dikategorikan sebagai orang Indonesia?.
Bagaimana sebaliknya, mereka yang tinggal di luar negeri, lahir di negeri asing dan
berusaha di negeri itu, tetapr memiliki kesadaran, loyalitas, dan kemauan untuk
membangun Indonesia. Apakah orang-orang semacam ini dapat menyatakan dirinya
sebagai orang Indon es ia? Kebangsaan bukanlah suatu state of being, tetapi suatu state
of be- coming; nationhood is a form of loyality which is a matter of degree". Dengan
demikian untuk meningkatan degree kebangsaan dapat dilakukan dengan meningkatkan
kadar karakteristik sibyektif (keasadaran, kesetiaan, dan kemauan) dan dilengkapi dengan
menyatukan unsur-unsur karakteristik obyektif (wilayah teritorial, sejarah, dan ekonomi).
Apakah kedua macam karateristik kebangsaan itu dapat dilihat sebagai batas-batas
bangsa? Proses Pembentukan Negara-Bangsa Suatu negara yang memiliki berbagai suku
bangsa dan ras berupaya keras membentuk suatu bangsa baru dengan identitas kultural
yang baru pula. Hal itu dimaksudkan agar dapat bertahan lama dan mampu mencapai
tujuan. Proses terbentuknya suatu negara terpusat modern yang penduduknya meliputi
satu nasionalitas (suatu bangsa) merupakan proses pembentukan bangsa-negara.
Pengertian bangsa dalam istilah satu bangsa berbeda dengan pengertian bangsa dalam
istilah negara-bangsa (nation-state). Bangsa dalam bangsa-negara mencakup jumlah
kelompok masyarakat (berbagai suku bangsa dan ras) yang lebih luas daripada bangsa
dalam suku bangsa. Kesamaan identitas kultural dalam suku 3.
hal yang terpisah dari proses integrasi nasional, sedangkan dalam model mutakhir kedua
hal itu merupakan hal-hal yang tak terpisahkan dari proses integrasi nasional
(pembentukan bangsa-negara). Kedua model di atas sangat berguna dalam
menggambarkan secara sederhana proses pembentukan bangsa-negara yang dalam
kenyataan bersifat rumit. Namun, kedua model mengandung tiga kekurangan pokok.
Pertama, memandang proses pembentukan bangsa-negara dari sudut kemajemukan suku
bangsa. Padahal permasalahan integrasi nasional juga disebabkan dengan kemajemukan
agama, ras (pribumi dan nonpribumi) dan kesenjangan sosial ekonomi. Kedua, faktor
historis hal ihwal yang berkaitan dengan pengalaman penjajahan tidak dimasukkan ke
dalam model-model tersebut. Ketiga, dalam kenyataan tidak hanya terdapat dua model
proses pembentukan bangsa-negara, tetapi juga terdapat model ketiga seperti yang
dialami Indonesia berhubungan dengan proses pembentukan bangsa baru, yang dimulai
berlangsung jauh sebelum negara terbentuk. Dalam hal ini, satu di antaranya yang
terpenting berupa Sumpah Pemuda 1928 Dari berbagai kajian di atas, suatu bangsa
biasanya terbentuk disebabkan dua hal. Pertama, secara evolusi dibangun oleh suatu
sistem feodal, dari kelompok keluarga menjadi penduduk suatu kerajaan besar.
Berubahnya penguasa atau runtuhnya kekuasaan dinasti kerajaan tersebut tidak
mencerai-beraikan rakyatnya tetapi terus hidup menjadi suatu bangsa di bawah suatu
negara baru yang disebut nation state. Inggris dan Perancis merupakan contoh utama
terbentuknya bangsa secara evolusi dalam suatu sistem feodal. Kedua, kehendak bersama
dari rakyat untuk mencapai masa depan yang lebih baik didasarkan pada pengalaman
mereka sebelumnya. Biasanya
dalam terbentuknya bangsa menurut sebab yang kedua ini, ras agama, bahasa dan
kebudayaan bukan merupakan faktor utama, misalnya Amerika Serikat dan Indonesia.
Diakui, bahwa bangsa yang terbentuk oleh sebab hal yang pertama cenderung homogen
dan kecil kemungkinan terjadi disintegrasi bangsa itu. Sebaliknya pada sebab yang kedua,
disintegrasi pada bangsa itu lebih dimungkin kan karena bangsa yang baru itu umumnya
heterogen. Apalagi jika kehendak bersama itu lahir atau tumbuh karena dipaksakan oleh
satu ideologi atau karena perang pembebasan, dan aneksasi, maka kemungkinan
disintegrasi bangsa semakin terbuka