Anda di halaman 1dari 26

1.

1 Latar belakang

Salah satu permasalahan pokok yang belum terpecahkan di dalam proses

"menjadi" negara bangsa (nation-state) Indonesia setelah berusia lebih dari

setengah abad adalah terbentuknya sebuah sistem politik demokratis yang

berlandaskan pada nilai persatuan dan kesatuan, kebangsaan, dan integrasi sosial

yang mampu beradaptasi dengan proses perubahan global. Mengingat dasar

utama negara In- donesia adalah kebangsaan (nationhood), maka nasionalisme

harus dipelihara agar tetap relevan menghadapi tantangan jaman. Oleh karena

itu, merasotnya nasionalisme pada dasarnya akan membahayakan kelangsungan

hidup bangsa dan negara Indonesia Lebih lanjut gagalnya uasaha menanamkan

rasa kebangsaan dalam praksis penyelenggaraan negara itu membuka peluang

bagi tumbuhnya kecemburuan, ketidakpuasan, konflik sosial, disintegrasi

bangsa, separatisme, dan lain sebagainya. Gejala-gejala sosial itu lebih

merupakan manifestasi atau akibat dari terpuruknya rasa kebangsaan dan

bukanlah penyebab ataupun pendorong terjadinya keretakan solidaritas bangsa

atau kesatuan dan persatuan bangsa.

Nasionalisme atau kebangsaan Indonesia sebagai landasan ideologis bagi

keberadaan sebuah komunitas politik (political community) mengalami pasang

surut di sepanjang sejarah Indonesia. Menarik perhatian bahwa tututan

separatisme dan disintegrasi bangsa sebagai manifestasi dari rapuhnya

kebangsaan Indonesia datang dari daerah, terutama luar Jawa seperti Aceh,

Papua, Ambon dan lain sebagainya. Adapun pertanyaan sentral yang perlu

diajukan adalah: "Berhasilkah selama ini Indonesia menjalankan transformasi


untuk mewujudkan nasionalisme sebagaimana diamanatkan dalam Sumpah

Pemuda 1928 dan Proklamasi Kemerdekaan 1945? Jawabannya, secara kategoris

jelas "belum". Realitasnya, bukan semangat kebangsaan yang terwujud secara

praksis, tetapi justru pemusatan kekuasaan oleh satu kelompok, monopoli,

korupsi, kolusi, nepotisme, feodalisme birokrasi, tindakan represi, dan

primordialisme, yang pada gilirannya membawa semangat kebangsaan dan

solidaritas bangsa menjadi rapuh dan terkoyak. Nation and character building

yang diupayakan sejak awal keberadaan bangsa dan negara Indonesia akhirnya

menemui kegagalan yang tragis. Kegagalan meng-Indonesia-kan masyarakat

Timor-Timur selama hampir seperempat abad berintegrasi dengan Negara

Kesatuan RI merupakan contoh tragis pembangunan kebangsaan Indonesia di

masa lalu.

Kalau kita tidak peka dan siap mental untuk menghadapi dan

mengantisipasinya, maka kecenderungan disintegrasi bangsa dan negara

Indonesia bisa melebar dan menguat. Agar kita tetap dapat mempertahankan

keutuhan bangsa dan negara kita, dan ke-Bhinneka Tunggal Ika-an masyarakat

kita, maka sudah selayaknya dewasa ini generasi muda (mahasiswa)

meningkatkan pengetahuan, kesadaran, dan apresiasi terhadap kebangsaan

Indonesia dan eksistensi negara bangsa Indonesia (Zamroni, 2001; Tilaar, 2007).

Oleh karena itu, bangsa Indonesia hanya dapat mempertahankan kesatuannya

jika warganegaranya memiliki semacam komitmen untuk bertekad membangun

nasionalisme. Dalam suatu masyarakat yang sangat pluralistik, di mana terdapat

berbagai ragam nilai yang berkaitan erat dengan etnis, bahasa, kedaerahan, dan

agama, maka pembangunan nasionalisme Indonesia memerlukan pendekatan


multidisiplin dan dilakukan secara berkesinambungan. Alasan-alasan di atas

itulah yang menjadi ide dasar yang melatarbelakangi uraian pada bab ini, yaitu

mengenai mengapa nasionalisme atau paham kebangsaan mempunyai peranan

yang sangat signifikan di dalam membentuk kepribadian bangsa (nation and

character building). Untuk memperoleh jawaban yang obyektif dan memadai,

maka perlu dilakukan kajian yang komprehensif dan mendalam tentang konsep

kebangsaan Indonesia melalui penelusuran sejarah pertumbuhan, tantangan yang

dihadapi serta implikasinya bagi kehidupan berbangsa dan bernegara.

1.2 Pembahasan

1. Pengertian Nasionalisme

Dalam beberapa literatur ilmu-ilmu sosial, istilah nasionalisme berasal dari

bahasa latin, yaitu nation yang berarti bangsa yang dipersatukan karena

kelahiran, dan dari kata nasci yang berarti diahirkan. Nasionalisme berarti

bangsa yang bersatu karena faktor kelahiran yang sama. Pengertian nasionalisme

mengalami perkembangan beragam, yang secara keseluruhan dapat

diklasifikasikan menjadi 3 pengertian Pertama, nasionalisme adalah sebuah

ideologi sekaligus merupakan satu bentuk dari perilaku (behavior). Kedua

nasionalisme adalah cita cita yang ingin memberi batas antaea kita yang

sebangsa dengan mereka dari bangsa lain, antara Negara kita dengan Negara

lain. Ketiga, nasionalisme adalah ibarat satu koin yang mempunyai dua sisi,

yaitu sisi pertama adalah politik, dan sisi lainnya adalah etnisitas atau rasa

kesukubangsaan. Tidak ada nasionalisme tanpa elemen politik, sedangkan

substansinya tidak bisa lain kecuali sentiment etnik (nodia, 1998).


Secara objektif nasionalisme mengandung unsur-unsur bahasa, ras, etnik, agama,

peradaban (civilization), wilayah, Negara, dan kewarnegaraan. Unsur-unsur

pokok tersebuy amat kuat membentuk nasionalisme dan membantu mempercepat

proses evolusi nasionalisme ke arah pembentukan Negara nasional. Pada

awalmya dimulai adanya persaman faktor-faktor tersebut diatas, twtapi dalam

perkembangannya muncul unsur-unsur tambahan,yaitu adanya persamaan hak

dan kewajiban bagi setiap orang untuk memegang peranan dalam kelompok

masyarakatnya serta ada persamaan kepentingan ekonomi yang kemudian

dikenal dengan istilah nasionalisme modern, sehingga selanjutnya nasionalisme

memainkan peranan yang sangat penting dan positif di dalam menopang

tumbuhnya persatuan dan kesatuan (Eriksen, 1993; Pigay, 2001; Demmy Antoh,

2007)

Selain itu nasionalisme juga merupakan paham kebangsaan yang timbul karena

adanya persamaan nasib dan sejarah, serta kepentingan untuk hidup bersama

sebagai suatu bangsa yang merdeka, bersatu, dan berdaulat. Oleh karena itu

nasionalisme sering dipandang sebagai suatu ideology pemelihara Negara bangsa

(nation state) (9Eriksen, 1993). Nasionalisme juga merupakan filsafat politik dan

social yang menganggap bahwa kebaikan bangsa adalah yang paling utama.

Dengan demikian Negara menjadi milik seluruh rakyat sebagai keseluruhan. Hal

ini yang membuat nasionalisme dilihat sebagai suatu dasar ideologi. Dengan

demikian seorang nasionalis adalah seorang yang memiliki kebanggaan terhadap

bangsanya yang kadang-kadang sama dengan memujanya.


Dalam perspektif ilmu politik maupun ilmu sosial, terdapat beberapa

konsep yang berkaitan dengan nasionalisme, yaitu:

a. National sebagai masalah kebangsaan yang menyeluruh seperti terkandung ant

ara lain dalam istilah kepentingan nasional (national interest), keamanan nasional

(national security), dan pertahanan nasional (national defence)

b. Nationalism sebagai semangat kebangsaan yang dilandasi oleh rasa sebangsa d

an setanah air serta senasib sepenanggungan.

c. Nationality sebagai pengalaman sebagai warga negara yang sadar akan hak da

n kewajibannya dalam segala bidang. Di samping itu nationality atau identitas na

sional melekat pada warganegara yang memegang paspor. Identitas tersebut anta

ra lain berupa bendera kebangsaan (national flag)

d. Nationhood sebagai kualitas kesadaran setiap waraganegara terhadap semua m

asalah national, nationalism, dan nationality a. seperti tersebut di atas. Meskipun

terdapat berbagai macam definisi yang mungkin dapat diberikan, namun nasional

isme dapat ditandai oleh adanya patriotisme (Kohn, 1976). Patriotisme adalah aja

ran tentang berjiwa dan bersemangat patriot. Sedangkan patriot adalah seseorang

yang mencintai tanah airnya dan akan melakukan semuanya yang dapat ia lakuka

n untuk tanah airnya. Patriot berasal dari kata latin propatria yang dalam bahasa l

atin pro berarti di muka atau di depan yang nuansanya sama dengan pre dalam ba

hasa Inggris. Pra dalam bahasa Sansekerta dan Patria dalam bahasa Latin berarti

tanah air, negeri asal, tanah tumpah darah dan ibu pertiwi. Dalam bahasa Yunani

patris berarti tanah air. Jadi patriot berarti di depan tanah air dalam arti membela
tanah air secara fisik. Dalam pengertian membela terkandung pula pengertian me

melihara dan membangun. Dalam kamus bahasa Inggris, patriot adalah a person

who loves his native country and will do all he can for it (seseorang yang mencin

tai negerinya sendiri dan akan melakukan apa saja semampu apa yang dapat dila

kukan) (Michael Riff, 1995). Khusus istilah perwira mengandung pengertian seo

rang wira dalam pelayaran seperti nenek moyang Indonesia sebagai pelaut yang

ulung (seafarer) mampu mengantisipasi semua bahaya dan tantangan yang dihad

apinya dalam suatu pelayaran (Bambang Budi Utomo, 2007) Di samping itu patr

iotisme yang dimaksudkan di atas juga mengandung adanya keyakinan nilai-nilai

budaya dalam suatu bangsa. Tidak dapat disangkal, bahwa nasionalisme sebagai

kekuatan ideologi dunia sangat mempengaruhi perpolitikan global. Dengan kata l

ain patriotisme adalah rasa kecintaan dan kesetiaan seseorang kepada tanah air d

an bangsanya, kekaguman pada adat dan kebiasaannya, kebanggaan terhadap sej

arah dan kebudayaannya, serta sikap pengabdian demi kesejahteraannya. Hampir

dalam sepanjang sejarah umat manusia, patriotisme merupakan cita-cita sederhan

a tanpa pertautan politik tertentu, tetapi dalam perkembangannya seiring serta de

ngan kemajuan teknologi, patriotisme tidak hanya untuk membela tanah air tetap

i juga melaku kan ekspansi. Di samping itu, patriotisme yang berlebihan menjuru

s ke arah chauvinisme yang dapat terjadi pada setiap bangsa dan dalam segala za

man. Lebih jauh Hobsbawm (1992) menyatakan bahwa cita-cita yang popular te

ntang patriotisme yang asli dan revolusioner lebih bersandarkan pada negara dari

pada cita-cita kebangsaan sebab patriotisme ada kaitannya dengan kedaulatan rak

yat sendiri, yaitu negara yang menjalankan kekuasaan atas rakyat. Revolusi nasio

nal adalah saluran yang murni daripada patriotisme, ketika rakyat berjuang meny
abung nyawa untuk mempertahanan negara yang telah dimiliki. Inilah negara ya

ng dianggap sebagai perwujudan dari kekuasaan yang berasal dari rakyat sendiri.

Tanpa adanya negara yang dipertahankan, patriotisme tidak lebih daripada tindak

an yang ingin mendapatkan sesuatu yang telah hilang. Misalnya, pada pertengah

an tahun 1900- an bangsa Jerman dan Italia di bawah Adolf Hitler dan Benito M

ussolini merasa mempunyai tugas patriotik untuk memperluas batas-batas wilaya

hnya dengan melakukan revolusi nasional. Pengertian nasionalisme menurut Ern

est Gellner (dalam Eriksen 1993) adalah suatu prinsip po litik yang beranggapan

bahwa unit nasional dan politik seharusnya seimbang. Dengan kata lain, Gellner

lebih menekankan nasionalisme dalam aspek politik. Jika nasionalisme adalah su

atu bentuk munculnya sentimen dan gerakan, baru kita dapat mengerti dengan ba

ik jika kita mendefinisikan apa itu gerakan dan sentimen. Apa yang dimaksudkan

sebagai suatu sentimen adalah secara psikologis merupakan suatu bentuk antipati

atau ungkapan marah, benci, dan lain sebagainya. Seperti dikemukakan oleh Erik

sen (1993:100) bahwa Anderson tidak seperti Gellner yang lebih menekankan na

sionalisme dalam aspek politik, tetapi Anderson justru tertarik untuk memahami

kekuatan dan kontinuitas dari sentimen dan identitas nasional. Meskipun berbeda

perspektif, akan tetapi keduanya menekankan bahwa bangsa adalah suatu konstr

uksi ideologi yang nampak sebagai pembentuk garis antara (definisi-diri) kelomp

ok budaya dan state (negara), dan mereka membentuk komunitas abstrak berdasa

rkan perbedaan negara, sistem politik atau komunitas berdasarkan kekerabatan y

ang mendahului pembentu kan negara bangsa.


Sebaliknya, nasionalisme adalah suatu "state of mind and an act of consciousnes

s", artinya sejarah pergerakan nasional harus dianggap sebagai suatu "history of i

dea". Dari pernyataan ini secara sosiologis, ide, pikiran, motif, kesadaran harus s

elalu dihubungkan dengan lingkungan yang konkrit dari situasi sosio-historis. Pe

ngertian lain dari nasionalisme dapat disebut sebagai "social soul", "mental masy

arakat", "sejumlah perasaan dan ide-ide yang kabur", dan sebagai "a sense of bel

onging". Dan beberapa lagi pengertian nasionalisme yang lain, yaitu merupakan

produk atau antitese dari kolonialisme. Dari berbagai pengertian di atas tidak ter

dapat perbedaan yang mendasar, justru menunjukkan persamaan, yaitu semuanya

lebih bersifat sosio-psikologis. Ini berarti nasionalisme sebagai suatu bentuk resp

on yang bersifat sosio-psikologis tidak lahir dengan sendirinya, akan tetapi lahir

dari suatu respon secara psikologis, politis, dan ideologis terhadap peristiwa yan

g mendahuluinya, yaitu imperialisme (kolonialisme). Jika demikian halnya, mak

a awal terbentuknya nasionalisme lebih bersifat subyektif, karena lebih merupak

an reaksi "group consciousness", "wesentiment", "corporate will", dan berbagai f

akta mental lainnya. Secara analitis, nasionalisme mempunyai tiga aspek yang da

pat dibedakan: Pertama, aspek cognitive, yaitu menunjukkan adanya pengetahua

n atau pengertian akan suatu situasi atau fenomena, dalam hal ini adalah pengeta

huan akan situasi kolonial pada segala porsinya. Kedua, aspek goal/value orienta

tion, yaitu menunjukkan keadaan yang dianggap berharga oleh pelakunya; dalam

hal ini yang dianggap sebagai tujuan atau hal yang berharga adalah memperoleh

hidup yang bebas dari kolonialisme. Ketiga, aspek affective dari tindakan kelom

pok menunjukkan situasi dengan pengaruhnya yang menyenangkan atau menyus

ahkan bagi pelakunya. 2. Perkembangan Konsep Nasionalisme Nasionalisme ban


gsa tumbuh dan berkembang sebagai jawaban atas kondisi struktur sosial yang a

da. Nasionalisme bangsa Indonesia lahir di bawah tekanan penjajahan. Oleh kare

na itu, nasionalisme Indonesia bersifat anti penjajahan, anti kolonialisme dan im

perialisme Nasionalisme Indonesia lahir untuk menghilangkan diskriminasi yang

diciptakan oleh penjajah dengan berbagai peraturan untuk memberikan kesempat

an dan keuntungan yang berbeda menurut rasa suka dan tingkat sosial dalam mas

yarakat. Nasionalisme Indone- sia lahir untuk memerangi kemiskinan dan kebod

ohan sebagai akibat penjajahan. Karena lahir untuk menentang dan mengusir pen

jajah maka nasionalisme Indonesia bersifat integratif. Sifat integrasi mencakup ti

ga aspek (Zamroni, 2001): pertama, integrasi etnis, mewujudkan satu kesatuan b

angsa yang disimbolkan lewat sumpah pemuda. Kedua, integrasi sosial yang dice

rminkan dengan upaya bangsa Indonesia untuk mewujudkan sistem kehidupan sa

ma rata sama rasa". Ketiga, integrasi kultural yang dicerminkan dengan mewujud

kan bahasa nasional. Dengan melihat aspek nasionalisme tersebut di atas, bisa di

ketemukan karakteristik nasionalisme kita dibandingkan dengan nasionalisme ba

ngsa lain. Pertama, nasionalisme kita bersifat kerakyatan sosialistis yang bercita-

cita mewujudkan masyarakat adil makmur, masyarakat yang berkesejahteraan da

n berkeadilan. Kedua, nasionalisme kita bersifat demokratis untuk mewujudkan t

ata hubungan dalam masyarakat yang seimbang dan serasi. Ketiga, nasionalisme

kita bersifat politis untuk mewujudkan negara kesatuan, merdeka, dan berdaulat.

Kelahiran nasionalisme kita dibidani oleh para kaum terpelajar baik priyayi terpe

lajar ataupun terpelajar dalam arti kaum sarjana:


dokter, sarjana hukum, dan sarjana bidang lain, terutama yang berada di negeri ra

ntau, pada umumnya di Negeri Belanda. Sebagai contoh, jauh sebelum revolusi k

emerdekaan, di Surakarta lahir organisasi yang digerakkan oleh kaum priyayi ter

pelajar yang mempelopori gerakan untuk membudayakan masyarakat dengan tuj

uan "mewujudkan bangsa Jawa". Organisasi yang memiliki penerbitan dan gedu

ng pertemuan dalam kegiatan operasionalnya ini berusaha memerangi kebodoha

n dan kebiasaan yang jelek yang ada di dalam masyarakat. Seperti, poligami dan

kawin dalam usia muda. Karena bersifat keJawaan, organisasi ini seakan-akan be

rsifat etnosentris. Kelahiran Organisasi Budi Utomo merupakan organisasi yang

bersifat polisentris. Keahirannya dibidani oleh kaum terpelajar khususnya genera

si muda dan para pemuda dari rantau. Budi Utomo memberikan sumbangan yang

penting dalam merumuskan cita-cita kemajuan bangsa. Kalau Budi Utomo lebih

bersifat idealis, maka kelahiran Serikat Islam lebih bersifat realistis, mengupayak

an usaha memperkuat ekonomi rakyat kecil. Sifat idealis juga muncul dalam gera

kan pendidikan yang dilaksanakan Muhammadiyah dan Taman Siswa. Muhamm

adiyah yang didirikan oleh para kyai menekankan upaya menyatukan antara aga

ma dan pengetahuan. Kontribusi utama gerakan ini bagi perkembangannya nasio

nalisme adalah sifat untuk selalu melakukan pembaharuan. Adapun Taman Sisw

a menekankan pada upaya me madu kan antara Budaya Barat dan Budaya Timur.

Organisasi ini berperan besar dalam pencarian identitas bangsa. Sebagaimana dik

emukakan di atas, nasionalisme bersifat dinamis dan merupakan jawaban atas str

uktur sosial yang ada. Menurut Zamroni (2001), berdasarkan dinamika sosial yan

g ada, perkembangan nasionalisme dapat diidentifikasi ke dalam beberapa tahap

Pertama,periode 1945-1950, yang dapat dinamakan tahap transitif. Pada tahap i


ni mulai muncul perbedaan pandangan-pandangan di antara berbagai kelompok

masyarakat. Kedua, periode 1950-1960 yang disebut fase destruktif. Pada tahap i

ni pertentangan yang terjadi di masyarakat merupakan pertentangan yang bersifat

ideologis. Oleh karena itu sifat pertentangan sangat mendasar dan sulit didamaik

an. Ketiga, periode 1960-1965 yang disebut fase agresif, sebab nasionalisme ba

ngsa bersifat sangat agresif terhadap perbedaaan dikategorikan sebagai lawan ya

ng harus disingkirkan. Semangat dan visi ideologis sangat menonjol, yang terwuj

ud dalam suatu struktur sosial hal mana politik menjadi panglima. Produk-produ

k ideologis bermunculan misalnya komunisme, keagamaan, dan lain sebagainya.

Selain itu, fase ini juga memiliki ciri lain, yakni bersifat kontradiktif dan antagon

is, sehingga nasionalisme kita penuh jargon-jargon yang bersifat "hitam putih", s

eperti revolusioner versus reaksioner, tuan pendapat. Pendapat yang berbeda tana

h versus proletariat, atau setan kota dan kaum buruh. Keempat, periode tahun 19

65-1978-an, yang dapat disebut periode integratif. Pada fase ini persatuan dan ke

satuan bangsa menjadi kokoh kembali. Konsensus di antara berbagai perbedaan

dapat diwujudkan. Nasionalisme tahap integratif banyak diwarnai dengan seman

gat membangun. Pembangunan adalah penglima. Bahkan lebih daripada itu, pem

bangunan tidak saja berfungsi sebagai penglima, melainkan juga seakan-akan ber

fungsi sebagai ideologi. Karena pembangunan seakan-akan sebagai ideologi, ma

ka tidak terjamah karena setengah disakralkan. Tidak dapat dibenarkar kegiatan

yang dapat mengganggu pembangunan. Bahkan, masyarakat harus siap berkorba

n untuk pembangunan. Semboyan "kencangkan ikat pinggang', "kita harus prihat

in" dan "hidup sederhana" perlu terus digalakkan (Zamroni, 2001). Perkembanga

n nasionalisme bangsa kita mulai tahun 1990-an menghadapi tantangan baru, ter
utama perkembangan teknologi informasi. Revolusi komunikasi dan informasi y

ang terjadi pada masa tersebut melahirkan kecenderungan terjadinya globalisasi.

Dunia seakan- akan menjadi suatu kampung besar yang dihuni oleh manusia-ma

nusia yang saling berinteraksi secara komunikatif. Batas-batas wilayah menjadi k

abur dan interaksi antar manusia menjadi semakin intensif. Revolusi komunikasi

dan informasi mengakibatkan perubahan kehidupan bermasyarakat berlangsung

dengan cepat. Ada yang menyebutkan sebagai "future shock", ada lagi yang men

yebut "cul- ture shock, ataupun sebutan lain. Fakta yang ada menunjukkan bahw

a terlalu banyak perubahan, terlalu cepat perubahan berlangsung dan proses peru

bahan berlangsung terlelu lama menyebabkan lembaga sosial tidak berguna dan i

ndividu-individu merasa tidak cocok hidup dengan budayanya sendiri. Secara so

siologis, perubahan yang cepat akan membawa berbagai akibat. Pertama, timbul

nya apa yang disebut "disinformation through over information". Informasi yang

berkembang di masyarakat sangat melimpah sehingga seringkali informasi yang

ada cenderung berlebihan. Informasi yang berkembang hanya bersifat sementara

dan akan menghilang seiring dengan datangnya informasi yang baru. Kondisi ini

juga berlaku di bidang ilmu pengetahuan sebagaimana dikatakan oleh filosof Jur

gen Habermas, "kebenaran hari ini adalan suatu hal yang salah untuk hari berikut

nya". Dengan puitis filosof Pierre Bourdieu menggambarkan cepatnya perubahan

dengan menyatakan "the educated man of yesterday is the maladjusted uneducate

d man of today and the culturally illiterate misfit of tomorrow" Kedua, melimpah

nya informasi yang ada di masyarakat akan membawa kontradiksi informasi dan

meningkatkan kecepatan perubahan, yang pada gilirannya akan melecehkan keku

asaan di segala aspek kehidupan. Di dalamnya termasuk kekuasaan orang tua, ke


kuasaan guru, kekuasaan tokoh-tokoh agama, dan juga kekuasaan pemimpin poli

tik. Di televisi dan media massa hampir setiap hari memberitakan adanya pelece

han kekuasaan terhadap pemimpin nasional, elit lokal, tokoh masyarakat, dan lai

n sebagainya. Ketiga, muncul dan berkembangnya rasa "pesimisme" di sebagian

masyarakat terhadap perkembangan yang ada. Misalnya, pertumbuhan penduduk

yang cepat, kejahatan yang meningkat, kerusakan lingkungan yang parah, benca

na alam yang meluas, masalah penderitaan yang berkepanjangan di berbagai pelo

sok tanah air akan dapat menimbulkan sikap acuh ataupun sebaliknya sikap radik

al revolusioner. Keempat, interaksi antar budaya semakin intensif dan pengaruh

budaya asing (Barat) semakin besar masuk ke dalam budaya manusia Indonesia.

Hal ini tidak mengherankan karena sumber informasi dikuasai oleh bangsa Barat,

yang secara sains lebih unggul. Akibatnya, pengaruh asing semakin menguat dan

meluas ke segala aspek kehidupan. Sebagian kaum terpelajar mulai diinfiltrasi ol

eh ide-ide yang dikatakan bersifat "universal", seperti terorisme, separatisme, rad

ikalisme, demokrasi liberal, kebebasan, teologi pembebasan, dan federalisme. Se

dangkan dalam tataran norma dan perilaku berkembang budaya konsumerisme, h

edonisme, pornografi, dan pornoaksi. Adanya pengaruh budaya asing yang besar,

sesungguhnya juga menjadi indikator terjadinya inferioritas nasionalisme Indone

sia. Diakui, sebagian manusia Indonesia dewasa ini lebih bangga dengan budaya

dan produk asing dibandingkan dengan budaya dan produk nasional. Di lain piha

k produk budaya lokal dianggap primitif, kuno, konvensional, tradsional, dan tid

ak bernilai ekonomis Sebagai akibat adanya perkembangan yang terjadi di atas, s

esuail dengan Visi Indonesia 2030, nampaknya bangsa Indonesia perlu mengemb

angkan nasionalisme baru, yang lebih cocok dengan tuntutan perubahan global.
Meskipun belum dapat dikonstruksikan secara teoritis, namun nasionalisme baru

yang perlu diformulasikan. sekurang-kurangnya bercirikan:

a) Cita-cita pesatuan dan kesatuan bangsa yang lebih menekankan kembali pada

pola pikir yang mendahulukan penciptaan kesejahteraan dan keadilan masyaraka

t,

b) Budaya individ ualisme, hedonisme, konsumerisme, harus diganti dengan cit

a-cita kemasyarakatan, kebersamaan, toleransi, dan integrasi sosial;

c) Orientasi yang cenderung elitis dan kekuasaan diganti orientasi massa dan per

nberdayaan sosial;

d) Cara melihat ideologi sebagai tertutup, sempit, dan sakral diubah menjadi ideo

logi terbuka dan rasional;

e) Kesadaran untuk mengembangkan rasa percaya diri, keberanian, patriotisme,

dan tanggung jawab untuk menjaga martabat bangsa 3. Nasionalisme Dalam Ma

syarakat Modern Realitas memperlihatkan bahwa globalisasi membawa dampak

bagi perubahan-perubahan yang sangat kompleks, baik perubahan yang bersifat e

ksternal maupun internal. Sesungguhnya bukan hanya globalisasi yang membaw

a dampak perubahan, tetapi juga hal-na lain seperti pembangunan, modernisasi, k

eterbukaan antar ras suku bangsa, kontak antar suku bangsa, revolusi teknologi i

nformasi dan komunikasi. Diakui, secara sosiologis masyarakat modern berkemb

ang da berubah dengan akselerasi yang tinggi. Kemajuan teknologi informasi da

n komunikasi menyebabkan hubungan antara manusia menjadi sangat cepat dan t

anpa batas, sehigga seringkali manusia hidup di dalam dunia tanpa batas (borderl

ess world). Dengan kata lain, manusia modern hidup dalam "dunia yang terasin
g" dan senantiasa terbelenggu dalam kebebasan yang diciptakannya sendiri. Di si

nilah fungsi negara (state) sebagai tempat di mana warganegaranya dapat hidup p

enuh ketenangan dan kedamaian. Negara memberikan kepada warganegaranya s

uatu perasaan inklusif. Warganegara mencari pegangan kepada identitas bangsa

atau negaranya. Misalnya apabila seorang warganegara hendak bepergian ke luar

negeri tanpa mempunyai paspor nasional, maka ia tidak akan dapat memasuki ne

gara lain dan tidak ada suatu pegangan untuk kehidupan yang memberikan keam

anan. Paspor yang dipegang oleh seseorang merupakan tanda kewarganegaraan,

sebagai tanda keanggotaan suatu negara dan memberikan identitas bagi wargane

gara yang bersangkutan. Realitas keanggotaan seorang warganegara dalam suatu

bangsa (national) merupakan suatu kondisi yang tidak terbantahkan di dalam neg

ara modern. Menjadi warganegara dari suatu bangsa (nation) merupakan kebang

gaan dan keharusan bagi seseorang. Meskipun di dalam negara terdapat kekuata

n-kekuatan lokal atau regional atau kesukuan yang saling terpisah, tetapi menjadi

anggota dalam suatu negara merupakan pegangan di dalam menghadapi globalis

asi, atau hegemoni kebudayaan asing, ataupun di dalam diaspora bangsa- bangsa

di dunia. Nasionalisme telah menjadi pemicu kebangkitan kembali dari budaya y

ang telah memberikan identitas sebagai anggota dari suatu masyarakat bangsa. A

pabila kita bepergian ke luar negeri dengan menggunakan pakaian batik yang me

rupakan pakaian khas Indonesia, kita mengidentifikasikan diri sebagai bangsa In

donesia meskipun penyandang pakaian batik itu (kita) berasal dari jenis suku apa

pun. Identitas bangsa ternyata telah merupakan suatu pelindung diri dari transfor

masi yang tak terkontrol di abad globalisasi dewasa ini. Identitas bangsa mempu

nyai arti kebangkitan kembali dari kebudayaan. Inilah arti kebudayaan di dalam
pengembangan identitas bangsa (Tilaar, 2007). Dengan demikian nasionalisme d

alam konteks masyarakat modern diterjemahkan sebagai sikap mental dan tingka

h laku individu atau masyarakat yang merujuk pada loyalitas atau pengabdian pa

da bangsa dan negaranya. Kalau di masa kolonialisme, nasionalisme mengambil

bentuk sebagai anti-kolonialisme, sedangkan di masa kemerdekaan, nasionalisme

mengambil bentuk dalam wujud pembangunan untuk kesejahteraan dan keadilan

seluruh masyarakat Indonesia. Realitas menunjukkan bahwa nasionalisme Indon

esia hingga saat ini belum menunjukkan hasil yang sempurna, karena yang serin

gkali muncul adalah berkembangnya nasionalisme lokal, yang dibungkus dengan

otonomi daerah, putera daerah, kepentingan daerah, anggaran on daerah, dan keb

ijakan daerah.

C. HAKIKAT BANGSA

Memahami Konsep Bangsa Konsep bangsa memiliki pengertian yang sangat luas

dan beragam. Secara umum pengertian bangsa (nation atau natie) adalah sekump

ulan manusia yang merupakan suatu kesatuan karena mempunyai kesatuan politi

k yang sama. Istilah bangsa atau Nation berasal dari bahasa Perancis dan natie be

rasal dari bahasa Belanda, sedangkan dalam bahasa Jerman disebut volk. Di sini

istilah bangsa diartikan sebagai sekumpulan manusia yang merupakan suatu

kesatuan karena mempunyai persamaan kebudayaan, seperti bahasa, adat istiadat

agama dan sebagainya (Kohn, 1976). Karena bangsa diartikan demikian, maka b

angsa Indonesia dipersamakan dengan bangsa-bangsa Eropa, bangsa-bangsa Asi

a Tenggara dan sebagainya. Dalam pengertian modern, bangsa sesungguhnya ad


alah sebuah konstruksi yang dihasilkan oleh sebuah visi yang diperjuangkan, buk

an oleh nasib yang telah ditentukan oleh takdir. Bangsa Indonesia, misalnya, tida

k muncul begitu saja sebagai sebuah keharusan ilmiah, tetapi merupakan hasil pe

rjuangan dan akibat dari sebuah pergolakan sejarah. Demikian pula dengan bang

sa Filipina, Vietnam, Kamboja, dan lain sebagainya. Dalam ilmu politik, konsep

bangsa berkaitan erat dengan suku bangsa (ethnic group) dan ras. Suku bangsa a

dalah pengelompokkan masyarakat berdasarkan ciri-ciri sosial budaya, seperti ad

at istiadat, agama, dan lain sebagainya. Misalnya suku bangsa Arab yang terkelo

mpokan menjadi lebih dari sepuluh negara. Sedangkan ras (race), yaitu sekumpul

an manusia yang merupakan suatu kesatuan karena mempunyai ciri-ciri jasmania

h yang sama, seperti warna kulit, warna rambut, bentuk badannya dan sebagainy

a. Dalam pengertian ini, maka dikenal istilah rumpun Melayu, Mongoloid, Aria,

Negroid dan sebagainya. Ras ini dapat juga disebut pengelompokan manusia ber

dasarkan keturunan (biologi) karena itu sering berkonotasi negatif bila dijadikan

gagasan yang disebut "rasialis" (Richard Jenkins, 1998). Dengan demikian penge

rtian bangsa adalah identitas kolektif yang mendefinisikan "kita", yang pada satu

pihak mengandung jaringan solidaritas yang dikenakan terhadap kemajemukan d

an antagonisme di dalam masyarakat, sedangkan pada pihak lain mengandung pe

ngakuan sebagai suatu kolektivitas yang "berbeda " dari mereka atau bangsa lain.

Kekitaan itu dungkapkan melalui simbolisme yang kuat, sebagaimana diwujudka

n dalam bentul bendera dan laqu kebangsaan, dan juga melalui sejarah resmi yan

g memitoskan ke- kita-an kolektif masa lalu yang dibanggakan bersama. Beberap

a pendapat para ahli tentang pengertian bangsa adalah sebagai berikut:


Pertama, Ernest Renan (1823-1892) mendefinisikan bangsa sebagai suatu asas r

ohani, yang timbul dari peristiwa-peristiwa historis yang terus-menerus dan bera

kar secara mendalam pada suatu komunitas yang mempunyai kehendak hidup be

rsama (jiwa). Bangsa ialah jiwa dan asas rohani, dua hal yang sesungguhnya han

ya berwujud satu (yang) membentuk jiwa (atau) asas rohani itu. Yang satu terdap

at dalam waktu yang telah silam, yang lain dalam waktu sekarang. Yang satu me

miliki warisan bersama yang kaya akan kenangan sejarah, yang lain adalah komi

tmen sekarang, dan keinginan untuk hidup bersama. Apa yang telah dialami pada

masa yang lampau, baik penderitaan, kesusahan, maupun kesenangan, maka di m

asa depan harus juga dinikmati bersama-sama. Bersama-sama menderita, bersam

a-sama senang, bersama-sama berjuang, itulah yang lebih berharga untuk saling

menyatukan diri ke dalam bangsa yang sama. Sekalipun terdapat keragaman oran

g, agama, dan bahasa, penderitaan bersama merupakan landasan yang kuat untuk

bersatu sebaqai sebuah bangsa. Dalam hal peristiwa nasional, duka-cita lebih ber

harga daripada kemenangan, sebab duka-cita itu memberi kewajiban, dan mendo

rong ke arah usaha bersama. Jadi bangsa (nation) itu ialan suatu solidaritas besar,

yang terbentuk karena adanya kesadaran kolektif. Misalnya, keberadaan bangsa I

ndonesia sesungguhnya terbentuk karena adanya solidaritas yang sama dan pend

eritaan yang sama sebagai akibat penjajahan Belanda (Amal & Armaidy, 1998)

Kedua, Hans Kohn (1852 1879) menyatakan bahwa bangsa adalah buah hasil per

jalanan sejarah, dan karena itu selalu mengalami pasang surut. Bangsa merupaka

n golongan warga masyarakat yang beraneka ragam dan sulit dirumuskan secara
baku. Kebanyakan bangsa itu memiliki faktor obyektif tertentu yang membuat m

ereka itu berbeda dari bangsa-bangsa lainnya, misalnya persamaan keturunan, ba

hasa, daerah, kesatuan politik, adat istiadat dan tradisi, atau perasaan hidup berag

ama. Akan tetapi jelaslah bahwa tiada satu pun di antara faktor ini bersifat hakiki

untuk menentukan ada tidaknya atau untuk merumuskan pengertian bangsa itu.

Meskipun faktor obyektif itu penting, tetapi unsur yang terpenting ialah kemauan

bersama yang hidup secara nyata (Kohn, 1976) Ketiga, Benedict Anderson (200

1) mendefinisikan bangsa sebagai sesuatu yang terbayang karena para anggota b

angsa yang terkecil sekalipun tidak akan tahu dan tidak akan kenal sebagian besa

r anggota yang lain. Mereka tidak bertatap muka dengan warga masyarakat yang

lain. Di antara mereka tidak saling mengenal, bahkan mungkin tidak pula pernah

mendengar tentang mereka. Jadi pengertian nasion dipahami sebagai "imagined

political community" (masyarakat yang secara politik dibayangkan). Keberadaan

nya diimajinasikan dan dibayangkan seolah-olah mereka saling mengenal dan m

engetahui hak dan kewajibannya sebagai sebuah bangsa. Misalnya, kita sebagai

bangsa Indonesia membayang kan seolah-oleh kita mengenal masyarakat Aceh a

tau Papua, padahal realitasnya kita tidak pernah mengenal dan bertemu muka de

ngan mereka sama sekali. Keempat, Mochtar Pabottinggi (2000; dalam Dhakidae,

2001), menyatakan bahwa: "Di sini nasion kita rumuskan sebagai kolektivitas p

olitik egaliter-otosentris, yang konterminus (dipisahkan) dengan wilayah politikn

ya serta lahir dari atau ditunjukkan bersama pada rangkaian dialektika serta peris

tiwa sejarah yang sarat makna dengan proyeksi eksistensial tanpa batasan waktu

ke masa depan. Rumusan ini sengaja menggarisbawahi kata "kolektivitas politi

k"... Konterminusnya (pemisahan) kolektivitas politik dengan wilayah politik per


lu ditekankan di sini, sebab itulah yang membedakan nasion dari nasionalisme. N

asion adalah kolektivitas politik nyata dengan wilayah politik yang juga nyata. N

asionalisme, sesuai namanya, barulah impian menuju suatu kolektivitas politik. S

ejauh kolektivitas politik ini belum terwujud, wilayah politiknya pun begitu. Ata

s dasar itulah kita tidak memakai definisi Benedict Anderson tentang nasion, ken

dati itu luas diikuti". Dengan demikian bangsa adalah kolektivitas politik yang la

hir karena proses sejarah dan dialektika yang dinamis. Pengertian bangsa semaca

m ini mengindikasikan bahwa bangsa Indonesia terbentuk karena kesepakatan po

litik dan solidaritas sosial yang terus berubah mengikuti sejarah perkembangan

masyarakatnya. Perkembangan Konsep Bangsa Gerakan anti kolonial abad XX y

ang merambah ke Asia, Amerika Latin, dan Afrika, menyebabkan perkataan ban

gsa memiliki arti dan konsep yang sangat ambigu. Kata bangsa yang diterjemahk

an dari nation, yang berarti sekelompok orang yang lahir di suatau tempat yang s

ama (a group of people born in the same place). John Stuart Mill (1861:XVI), se

bagaimana dikutip Usman Pelly (1998), kemudian memperluas arti dan konsep b

angsa, dengan menyatakan bangsa adalah: "A portion of mankind if they are unit

ed among themselves by common sympathies, which do not exist between them

corporate which each other more willingly than the other people desire to be und

er the same government, and desire that it should be govern ment by themselves

or a portion themselves, exclusively ". Para penulis dan ahli teori bidang politik,

ternyata sangat sedikit memberikan penjelasan mengenai arti dan konsep bangsa;

bagaimana bangsa itu berkembang dan menemukan dirinya. Walaupun tidak dap

at dipungkiri pula bahwa masalah bangsa sering menjadi perdebatan, terutama da

lam hubungannya dengan kajian negara. Tetapi orang lebih dapat memahami pen
jelasan (explanation), daripada definisi (definition) dari kata bangsa itu. Para pak

ar membeda kan antara karakteristik obyektif dan karakteristik subyektif kebangs

aan (nationhood). Karakteristik obyektif ialah wilayah teritorial, sejarah, dan stru

ktur ekonomi. Sedangkan karakteristik subyektif adalah kesadaran /(consciousne

ss), kesetiaan (loyality), dan kemauan (will). Karakteristik subyektif biasanya sa

ngat tepat (genuine) untuk definisi bangsa, sedangkan karakteristik obyektif untu

k penjelasan (explanation). Ahli-ahli sosial menambahkan bahasa, agama, pemer

intah sendiri, dan beberapa faktor lingkungan lainnya, merupakan karakteristik o

byektif. Akan tetapi aspek-aspek tersebut banyak menganggap sebagai faktor-fak

tor untuk memajukan perasaan kebangsaan (nationhood). Menurut John Stuart M

ill seperti yang diutarakan dalam definisi bangsanya, karakteristik subyektif lebih

penting dan menentukan kesatuan dan kekukuhan suatu bangsa. Misalnya Negar

a Swiss, rakyatnya mempergunakan tiga bahasa yang berbeda, tetapi sebagai suat

u bangsa, mereka tetap kompak dan bersatu. Berbeda dengan Irak dan Kuwait sat

u bahasa dan agama tetapi terus menerus bermusuhan. Kebangsaan (nationhood)

adalah suatu bentuk loyalitas yang sifatnya fluktuatif, dapat turun dan naik. Berd

asarkan pemikiran ini, adalah menarik untuk mempertanyakan orang-orang yang

masih berdomisili, lahir dan kerja di Indonesia umpamanya, tidak memiliki kesa

daran, kesetiaan, dan kemauan untuk membangun Indonesia. Masih dapatkah me

reka dikualifikasikan sebagai orang Indonesia? Dengan kata lain, apakah mereka

memiliki karakteristik obyektif tetapi tidak memiliki karakteristik subyektif, apa

kah mereka masih pula dapat dikategorikan sebagai orang Indonesia?. Bagaiman

a sebaliknya, mereka yang tinggal di luar negeri, lahir di negeri asing dan berusa

ha di negeri itu, tetapr memiliki kesadaran, loyalitas, dan kemauan untuk memba
ngun Indonesia. Apakah orang-orang semacam ini dapat menyatakan dirinya seb

agai orang Indon es ia? Kebangsaan bukanlah suatu state of being, tetapi suatu st

ate of becoming; nationhood is a form of loyality which is a matter of degree". D

engan demikian untuk meningkatan degree kebangsaan dapat dilakukan dengan

meningkatkan kadar karakteristik sibyektif (keasadaran, kesetiaan, dan kemauan)

dan dilengkapi dengan menyatukan unsur-unsur karakteristik obyektif (wilayah t

eritorial, sejarah, dan ekonomi). Apakah kedua macam karateristik kebangsaan it

u dapat dilihat sebagai batas-batas bangsa? Proses Pembentukan Negara-Bangsa

Suatu negara yang memiliki berbagai suku bangsa dan ras berupaya keras memb

entuk suatu bangsa baru dengan identitas kultural yang baru pula. Hal itu dimaks

udkan agar dapat bertahan lama dan mampu mencapai tujuan. Proses terbentukn

ya suatu negara terpusat modern yang penduduknya meliputi satu nasionalitas (s

uatu bangsa) merupakan proses pembentukan bangsa-negara. Pengertian bangsa

dalam istilah satu bangsa berbeda dengan pengertian bangsa dalam istilah negar

a-bangsa (nation-state). Bangsa dalam bangsa-negara mencakup jumlah kelompo

k masyarakat (berbagai suku bangsa dan ras) yang lebih luas daripada bangsa dal

am suku bangsa. Kesamaan identitas kultural dalam suku. bangsa lebih sempit ca

kupannya daripada identitas kultural dalam bangsa-negara Benedict Anderson (2

001), meru muskan proses pembentukan bangsa pada hakikatnya berlangssung s

ecara unik. Bangsa merupakan komunitas politik yang dibayangkan (imagined p

olitical community) dalam wilayah yang jelas batasnya dan berdaulat. Dikatakan

sebagai komunitas politik yang dibayangkan karena bangsa yang paling kecil sek

alipun para anggotanya tidak kenal satu sama lain. Dibayangkan secata terbatas k

arena bangsa yang paling besar sekalipun, dengan penduduknya ratusan juta jiwa
mempunyai batas wilayah yang relatif jelas. Dibayangkan sebagai berdaulat kar

ena bangsa ini berada di bawah suatu negara mempunyai kekuasaan atas seluruh

wilayah dan bangsa tersebut. Akhirnya disebut sebagai komunitas yang dibayang

kan karena terlepas dari adanya kesenjangan dan penindasan, para anggota bangs

a itu selalu memandang satu sama lain sebagai saudara sebangsa dan setanah air.

Perasaan sebangsa inilah yang menyebabkan berjuta-juta orang bersedia mati ba

gi komunitas yang dibayangkan itu. Sementara itu, secara umum dikenal adanya

dua model proses pembentukan bangsa-negara. Pertama, model ortodoks yang be

rmula dari adanya suatu bangsa terlebih dahulu untuk kemudian bangsa itu mem

bentuk satu negara tersendiri. Setelah bangsa-bangsa ini terbentuk, kemudian sua

tu rezim politik (konstitusi) dirumuskan dan ditetapkan, dan sesuai dengan piliha

n rezim politik itu, dikembangkan sejumlah bentuk partisipasi politik warga mas

yarakat dalam kehidupan bangsa-negara. Kedua, model mutakhir yang berawal d

ari adanya negara terlebih dahulu, yang terbentuk melalui proses tersendiri, seda

ngkan penduduknya merupakan kumpulan sejumlah kelompok suku bangsa dan r

as. Pada tingkat perkembanganan tertentu, munculnya kesadaran politik di kalan

gan satu atau beberapa kelompok suku bangsa untuk berpartisipasi dalam proses

politik akan membawa mereka kepada pertanyaan yang lebih mendasar. Pertanya

an ini berkaitan dengan pilihan rezim politik. Hal itu dipertanyakan setelah melal

ui proses politisi yang secukupnya. Suatu bangsa akan terbentuk apabila masala

h-masalah bentuk partisipasi politik dan rezim politik disepakati jawabannya. Na

mun, pada proses politisi yang dilakukan secara memadai, mungkin saja terdapat

satu atau lebih kelompok suku bangsa yang tidak bersedia ikut serta dalam bangs

a yang baru. Mungkin disebabkan ketidaksetujuan mereka terhadap pilihan bentu


k-bentuk partisipasi politik dan rezim politik. Dalam situasi ini, mungkin terdapa

t satu atau lebih kelompok etnis yang menghendaki suatu negara sendiri atau mu

ngkin menghendaki bentuk kompromi seperti daerah istimewa dengan hak-hak d

an kewenangan khusus.

Kedua model tersebut berbeda dalam empat hal. Pertama, ada tidaknya perubaha

n unsur dalam pengelompokkan masyarakat. Model ortodoks tidak mengandung

perubahan unsur karena satu bangsa membentuk satu negara. Model mutakhir m

engandung perubahan unsur dari banyak kelompok suku bangsa menjadi satu ba

ngsa baru. Kedua, lamanya waktu yang diperlukan dalam proses pembentukkan

bangsa-negara. Model ortodoks memerlukan waktu yang singkat sebab membent

uk struktur kekuasaan (tidak perlu membentuk identitas kultural) yang baru. Keti

ga, kesadaran politik dalam model ortodoks muncul setelah terbentuknya bangs

a-negara, sedangkan dalam model mutakhir kesadaran politik muncul mendahulu

i dan menjadi kondisi awal bagi terbentuknya bangsa-negara. Keempat, derajat p

entingnya partisipasi politik dan rezim politik dianggap sebagai

hal yang terpisah dari proses integrasi nasional, sedangkan dalam model mutakhi

r kedua hal itu merupakan hal-hal yang tak terpisahkan dari proses integrasi nasi

onal (pembentukan bangsa-negara). Kedua model di atas sangat berguna dalam

menggambarkan secara sederhana proses pembentukan bangsa-negara yang dala

m kenyataan bersifat rumit. Namun, kedua model mengandung tiga kekurangan

pokok. Pertama, memandang proses pembentukan bangsa-negara dari sudut kem

ajemukan suku bangsa. Padahal permasalahan integrasi nasional juga disebabkan

dengan kemajemukan agama, ras (pribumi dan nonpribumi) dan kesenjangan sos
ial ekonomi. Kedua, faktor historis hal ihwal yang berkaitan dengan pengalaman

penjajahan tidak dimasukkan ke dalam model-model tersebut. Ketiga, dalam ken

yataan tidak hanya terdapat dua model proses pembentukan bangsa-negara, tetap

i juga terdapat model ketiga seperti yang dialami Indonesia berhubungan dengan

proses pembentukan bangsa baru, yang dimulai berlangsung jauh sebelum negar

a terbentuk. Dalam hal ini, satu di antaranya yang terpenting berupa Sumpah Pe

muda 1928 Dari berbagai kajian di atas, suatu bangsa biasanya terbentuk disebab

kan dua hal. Pertama, secara evolusi dibangun oleh suatu sistem feodal, dari kelo

mpok keluarga menjadi penduduk suatu kerajaan besar. Berubahnya penguasa at

au runtuhnya kekuasaan dinasti kerajaan tersebut tidak mencerai-beraikan rakyat

nya tetapi terus hidup menjadi suatu bangsa di bawah suatu negara baru yang dis

ebut nation state. Inggris dan Perancis merupakan contoh utama terbentuknya ba

ngsa secara evolusi dalam suatu sistem feodal. Kedua, kehendak bersama dari ra

kyat untuk mencapai masa depan yang lebih baik didasarkan pada pengalaman m

ereka sebelumnya. Biasanya dalam terbentuknya bangsa menurut sebab yang ked

ua ini, ras agama, bahasa dan kebudayaan bukan merupakan faktor utama, misal

nya Amerika Serikat dan Indonesia. Diakui, bahwa bangsa yang terbentuk oleh s

ebab hal yang pertama cenderung homogen dan kecil kemungkinan terjadi disint

egrasi bangsa itu. Sebaliknya pada sebab yang kedua, disintegrasi pada bangsa it

u lebih dimungkin kan karena bangsa yang baru itu umumnya heterogen. Apalag

i jika kehendak bersama itu lahir atau tumbuh karena dipaksakan oleh satu ideolo

gi atau karena perang pembebasan, dan aneksasi, maka kemungkinan disintegrasi

bangsa semakin terbuka

Anda mungkin juga menyukai