1 Latar belakang
berlandaskan pada nilai persatuan dan kesatuan, kebangsaan, dan integrasi sosial
harus dipelihara agar tetap relevan menghadapi tantangan jaman. Oleh karena
hidup bangsa dan negara Indonesia Lebih lanjut gagalnya uasaha menanamkan
kebangsaan Indonesia datang dari daerah, terutama luar Jawa seperti Aceh,
Papua, Ambon dan lain sebagainya. Adapun pertanyaan sentral yang perlu
solidaritas bangsa menjadi rapuh dan terkoyak. Nation and character building
yang diupayakan sejak awal keberadaan bangsa dan negara Indonesia akhirnya
masa lalu.
Kalau kita tidak peka dan siap mental untuk menghadapi dan
Indonesia bisa melebar dan menguat. Agar kita tetap dapat mempertahankan
keutuhan bangsa dan negara kita, dan ke-Bhinneka Tunggal Ika-an masyarakat
Indonesia dan eksistensi negara bangsa Indonesia (Zamroni, 2001; Tilaar, 2007).
berbagai ragam nilai yang berkaitan erat dengan etnis, bahasa, kedaerahan, dan
itulah yang menjadi ide dasar yang melatarbelakangi uraian pada bab ini, yaitu
maka perlu dilakukan kajian yang komprehensif dan mendalam tentang konsep
1.2 Pembahasan
1. Pengertian Nasionalisme
bahasa latin, yaitu nation yang berarti bangsa yang dipersatukan karena
kelahiran, dan dari kata nasci yang berarti diahirkan. Nasionalisme berarti
bangsa yang bersatu karena faktor kelahiran yang sama. Pengertian nasionalisme
nasionalisme adalah cita cita yang ingin memberi batas antaea kita yang
sebangsa dengan mereka dari bangsa lain, antara Negara kita dengan Negara
lain. Ketiga, nasionalisme adalah ibarat satu koin yang mempunyai dua sisi,
yaitu sisi pertama adalah politik, dan sisi lainnya adalah etnisitas atau rasa
dan kewajiban bagi setiap orang untuk memegang peranan dalam kelompok
tumbuhnya persatuan dan kesatuan (Eriksen, 1993; Pigay, 2001; Demmy Antoh,
2007)
Selain itu nasionalisme juga merupakan paham kebangsaan yang timbul karena
adanya persamaan nasib dan sejarah, serta kepentingan untuk hidup bersama
sebagai suatu bangsa yang merdeka, bersatu, dan berdaulat. Oleh karena itu
(nation state) (9Eriksen, 1993). Nasionalisme juga merupakan filsafat politik dan
social yang menganggap bahwa kebaikan bangsa adalah yang paling utama.
Dengan demikian Negara menjadi milik seluruh rakyat sebagai keseluruhan. Hal
ini yang membuat nasionalisme dilihat sebagai suatu dasar ideologi. Dengan
ara lain dalam istilah kepentingan nasional (national interest), keamanan nasional
c. Nationality sebagai pengalaman sebagai warga negara yang sadar akan hak da
sional melekat pada warganegara yang memegang paspor. Identitas tersebut anta
terdapat berbagai macam definisi yang mungkin dapat diberikan, namun nasional
isme dapat ditandai oleh adanya patriotisme (Kohn, 1976). Patriotisme adalah aja
ran tentang berjiwa dan bersemangat patriot. Sedangkan patriot adalah seseorang
yang mencintai tanah airnya dan akan melakukan semuanya yang dapat ia lakuka
n untuk tanah airnya. Patriot berasal dari kata latin propatria yang dalam bahasa l
atin pro berarti di muka atau di depan yang nuansanya sama dengan pre dalam ba
hasa Inggris. Pra dalam bahasa Sansekerta dan Patria dalam bahasa Latin berarti
tanah air, negeri asal, tanah tumpah darah dan ibu pertiwi. Dalam bahasa Yunani
patris berarti tanah air. Jadi patriot berarti di depan tanah air dalam arti membela
tanah air secara fisik. Dalam pengertian membela terkandung pula pengertian me
melihara dan membangun. Dalam kamus bahasa Inggris, patriot adalah a person
who loves his native country and will do all he can for it (seseorang yang mencin
tai negerinya sendiri dan akan melakukan apa saja semampu apa yang dapat dila
kukan) (Michael Riff, 1995). Khusus istilah perwira mengandung pengertian seo
rang wira dalam pelayaran seperti nenek moyang Indonesia sebagai pelaut yang
ulung (seafarer) mampu mengantisipasi semua bahaya dan tantangan yang dihad
apinya dalam suatu pelayaran (Bambang Budi Utomo, 2007) Di samping itu patr
budaya dalam suatu bangsa. Tidak dapat disangkal, bahwa nasionalisme sebagai
ain patriotisme adalah rasa kecintaan dan kesetiaan seseorang kepada tanah air d
ngan kemajuan teknologi, patriotisme tidak hanya untuk membela tanah air tetap
i juga melaku kan ekspansi. Di samping itu, patriotisme yang berlebihan menjuru
s ke arah chauvinisme yang dapat terjadi pada setiap bangsa dan dalam segala za
man. Lebih jauh Hobsbawm (1992) menyatakan bahwa cita-cita yang popular te
ntang patriotisme yang asli dan revolusioner lebih bersandarkan pada negara dari
pada cita-cita kebangsaan sebab patriotisme ada kaitannya dengan kedaulatan rak
yat sendiri, yaitu negara yang menjalankan kekuasaan atas rakyat. Revolusi nasio
nal adalah saluran yang murni daripada patriotisme, ketika rakyat berjuang meny
abung nyawa untuk mempertahanan negara yang telah dimiliki. Inilah negara ya
ng dianggap sebagai perwujudan dari kekuasaan yang berasal dari rakyat sendiri.
Tanpa adanya negara yang dipertahankan, patriotisme tidak lebih daripada tindak
an yang ingin mendapatkan sesuatu yang telah hilang. Misalnya, pada pertengah
an tahun 1900- an bangsa Jerman dan Italia di bawah Adolf Hitler dan Benito M
est Gellner (dalam Eriksen 1993) adalah suatu prinsip po litik yang beranggapan
bahwa unit nasional dan politik seharusnya seimbang. Dengan kata lain, Gellner
atu bentuk munculnya sentimen dan gerakan, baru kita dapat mengerti dengan ba
ik jika kita mendefinisikan apa itu gerakan dan sentimen. Apa yang dimaksudkan
sebagai suatu sentimen adalah secara psikologis merupakan suatu bentuk antipati
atau ungkapan marah, benci, dan lain sebagainya. Seperti dikemukakan oleh Erik
sen (1993:100) bahwa Anderson tidak seperti Gellner yang lebih menekankan na
sionalisme dalam aspek politik, tetapi Anderson justru tertarik untuk memahami
kekuatan dan kontinuitas dari sentimen dan identitas nasional. Meskipun berbeda
perspektif, akan tetapi keduanya menekankan bahwa bangsa adalah suatu konstr
uksi ideologi yang nampak sebagai pembentuk garis antara (definisi-diri) kelomp
ok budaya dan state (negara), dan mereka membentuk komunitas abstrak berdasa
s", artinya sejarah pergerakan nasional harus dianggap sebagai suatu "history of i
dea". Dari pernyataan ini secara sosiologis, ide, pikiran, motif, kesadaran harus s
ngertian lain dari nasionalisme dapat disebut sebagai "social soul", "mental masy
arakat", "sejumlah perasaan dan ide-ide yang kabur", dan sebagai "a sense of bel
onging". Dan beberapa lagi pengertian nasionalisme yang lain, yaitu merupakan
produk atau antitese dari kolonialisme. Dari berbagai pengertian di atas tidak ter
lebih bersifat sosio-psikologis. Ini berarti nasionalisme sebagai suatu bentuk resp
on yang bersifat sosio-psikologis tidak lahir dengan sendirinya, akan tetapi lahir
dari suatu respon secara psikologis, politis, dan ideologis terhadap peristiwa yan
akta mental lainnya. Secara analitis, nasionalisme mempunyai tiga aspek yang da
n atau pengertian akan suatu situasi atau fenomena, dalam hal ini adalah pengeta
huan akan situasi kolonial pada segala porsinya. Kedua, aspek goal/value orienta
tion, yaitu menunjukkan keadaan yang dianggap berharga oleh pelakunya; dalam
hal ini yang dianggap sebagai tujuan atau hal yang berharga adalah memperoleh
hidup yang bebas dari kolonialisme. Ketiga, aspek affective dari tindakan kelom
da. Nasionalisme bangsa Indonesia lahir di bawah tekanan penjajahan. Oleh kare
an dan keuntungan yang berbeda menurut rasa suka dan tingkat sosial dalam mas
yarakat. Nasionalisme Indone- sia lahir untuk memerangi kemiskinan dan kebod
ohan sebagai akibat penjajahan. Karena lahir untuk menentang dan mengusir pen
angsa yang disimbolkan lewat sumpah pemuda. Kedua, integrasi sosial yang dice
ma rata sama rasa". Ketiga, integrasi kultural yang dicerminkan dengan mewujud
kan bahasa nasional. Dengan melihat aspek nasionalisme tersebut di atas, bisa di
ngsa lain. Pertama, nasionalisme kita bersifat kerakyatan sosialistis yang bercita-
ata hubungan dalam masyarakat yang seimbang dan serasi. Ketiga, nasionalisme
kita bersifat politis untuk mewujudkan negara kesatuan, merdeka, dan berdaulat.
Kelahiran nasionalisme kita dibidani oleh para kaum terpelajar baik priyayi terpe
ntau, pada umumnya di Negeri Belanda. Sebagai contoh, jauh sebelum revolusi k
emerdekaan, di Surakarta lahir organisasi yang digerakkan oleh kaum priyayi ter
uan "mewujudkan bangsa Jawa". Organisasi yang memiliki penerbitan dan gedu
n dan kebiasaan yang jelek yang ada di dalam masyarakat. Seperti, poligami dan
kawin dalam usia muda. Karena bersifat keJawaan, organisasi ini seakan-akan be
si muda dan para pemuda dari rantau. Budi Utomo memberikan sumbangan yang
penting dalam merumuskan cita-cita kemajuan bangsa. Kalau Budi Utomo lebih
bersifat idealis, maka kelahiran Serikat Islam lebih bersifat realistis, mengupayak
an usaha memperkuat ekonomi rakyat kecil. Sifat idealis juga muncul dalam gera
adiyah yang didirikan oleh para kyai menekankan upaya menyatukan antara aga
nalisme adalah sifat untuk selalu melakukan pembaharuan. Adapun Taman Sisw
a menekankan pada upaya me madu kan antara Budaya Barat dan Budaya Timur.
Organisasi ini berperan besar dalam pencarian identitas bangsa. Sebagaimana dik
emukakan di atas, nasionalisme bersifat dinamis dan merupakan jawaban atas str
uktur sosial yang ada. Menurut Zamroni (2001), berdasarkan dinamika sosial yan
masyarakat. Kedua, periode 1950-1960 yang disebut fase destruktif. Pada tahap i
ideologis. Oleh karena itu sifat pertentangan sangat mendasar dan sulit didamaik
an. Ketiga, periode 1960-1965 yang disebut fase agresif, sebab nasionalisme ba
ng harus disingkirkan. Semangat dan visi ideologis sangat menonjol, yang terwuj
ud dalam suatu struktur sosial hal mana politik menjadi panglima. Produk-produ
Selain itu, fase ini juga memiliki ciri lain, yakni bersifat kontradiktif dan antagon
is, sehingga nasionalisme kita penuh jargon-jargon yang bersifat "hitam putih", s
eperti revolusioner versus reaksioner, tuan pendapat. Pendapat yang berbeda tana
h versus proletariat, atau setan kota dan kaum buruh. Keempat, periode tahun 19
65-1978-an, yang dapat disebut periode integratif. Pada fase ini persatuan dan ke
gat membangun. Pembangunan adalah penglima. Bahkan lebih daripada itu, pem
bangunan tidak saja berfungsi sebagai penglima, melainkan juga seakan-akan ber
in" dan "hidup sederhana" perlu terus digalakkan (Zamroni, 2001). Perkembanga
n nasionalisme bangsa kita mulai tahun 1990-an menghadapi tantangan baru, ter
utama perkembangan teknologi informasi. Revolusi komunikasi dan informasi y
Dunia seakan- akan menjadi suatu kampung besar yang dihuni oleh manusia-ma
abur dan interaksi antar manusia menjadi semakin intensif. Revolusi komunikasi
dengan cepat. Ada yang menyebutkan sebagai "future shock", ada lagi yang men
yebut "cul- ture shock, ataupun sebutan lain. Fakta yang ada menunjukkan bahw
a terlalu banyak perubahan, terlalu cepat perubahan berlangsung dan proses peru
bahan berlangsung terlelu lama menyebabkan lembaga sosial tidak berguna dan i
siologis, perubahan yang cepat akan membawa berbagai akibat. Pertama, timbul
nya apa yang disebut "disinformation through over information". Informasi yang
dan akan menghilang seiring dengan datangnya informasi yang baru. Kondisi ini
juga berlaku di bidang ilmu pengetahuan sebagaimana dikatakan oleh filosof Jur
gen Habermas, "kebenaran hari ini adalan suatu hal yang salah untuk hari berikut
d man of today and the culturally illiterate misfit of tomorrow" Kedua, melimpah
nya informasi yang ada di masyarakat akan membawa kontradiksi informasi dan
tik. Di televisi dan media massa hampir setiap hari memberitakan adanya pelece
han kekuasaan terhadap pemimpin nasional, elit lokal, tokoh masyarakat, dan lai
yang cepat, kejahatan yang meningkat, kerusakan lingkungan yang parah, benca
sok tanah air akan dapat menimbulkan sikap acuh ataupun sebaliknya sikap radik
budaya asing (Barat) semakin besar masuk ke dalam budaya manusia Indonesia.
Hal ini tidak mengherankan karena sumber informasi dikuasai oleh bangsa Barat,
yang secara sains lebih unggul. Akibatnya, pengaruh asing semakin menguat dan
edonisme, pornografi, dan pornoaksi. Adanya pengaruh budaya asing yang besar,
sia. Diakui, sebagian manusia Indonesia dewasa ini lebih bangga dengan budaya
dan produk asing dibandingkan dengan budaya dan produk nasional. Di lain piha
k produk budaya lokal dianggap primitif, kuno, konvensional, tradsional, dan tid
esuail dengan Visi Indonesia 2030, nampaknya bangsa Indonesia perlu mengemb
angkan nasionalisme baru, yang lebih cocok dengan tuntutan perubahan global.
Meskipun belum dapat dikonstruksikan secara teoritis, namun nasionalisme baru
a) Cita-cita pesatuan dan kesatuan bangsa yang lebih menekankan kembali pada
t,
c) Orientasi yang cenderung elitis dan kekuasaan diganti orientasi massa dan per
nberdayaan sosial;
d) Cara melihat ideologi sebagai tertutup, sempit, dan sakral diubah menjadi ideo
eterbukaan antar ras suku bangsa, kontak antar suku bangsa, revolusi teknologi i
anpa batas, sehigga seringkali manusia hidup di dalam dunia tanpa batas (borderl
ess world). Dengan kata lain, manusia modern hidup dalam "dunia yang terasin
g" dan senantiasa terbelenggu dalam kebebasan yang diciptakannya sendiri. Di si
nilah fungsi negara (state) sebagai tempat di mana warganegaranya dapat hidup p
negeri tanpa mempunyai paspor nasional, maka ia tidak akan dapat memasuki ne
gara lain dan tidak ada suatu pegangan untuk kehidupan yang memberikan keam
sebagai tanda keanggotaan suatu negara dan memberikan identitas bagi wargane
bangsa (national) merupakan suatu kondisi yang tidak terbantahkan di dalam neg
ara modern. Menjadi warganegara dari suatu bangsa (nation) merupakan kebang
gaan dan keharusan bagi seseorang. Meskipun di dalam negara terdapat kekuata
n-kekuatan lokal atau regional atau kesukuan yang saling terpisah, tetapi menjadi
asi, atau hegemoni kebudayaan asing, ataupun di dalam diaspora bangsa- bangsa
ang telah memberikan identitas sebagai anggota dari suatu masyarakat bangsa. A
pabila kita bepergian ke luar negeri dengan menggunakan pakaian batik yang me
donesia meskipun penyandang pakaian batik itu (kita) berasal dari jenis suku apa
pun. Identitas bangsa ternyata telah merupakan suatu pelindung diri dari transfor
masi yang tak terkontrol di abad globalisasi dewasa ini. Identitas bangsa mempu
nyai arti kebangkitan kembali dari kebudayaan. Inilah arti kebudayaan di dalam
pengembangan identitas bangsa (Tilaar, 2007). Dengan demikian nasionalisme d
alam konteks masyarakat modern diterjemahkan sebagai sikap mental dan tingka
h laku individu atau masyarakat yang merujuk pada loyalitas atau pengabdian pa
esia hingga saat ini belum menunjukkan hasil yang sempurna, karena yang serin
otonomi daerah, putera daerah, kepentingan daerah, anggaran on daerah, dan keb
ijakan daerah.
C. HAKIKAT BANGSA
Memahami Konsep Bangsa Konsep bangsa memiliki pengertian yang sangat luas
dan beragam. Secara umum pengertian bangsa (nation atau natie) adalah sekump
ulan manusia yang merupakan suatu kesatuan karena mempunyai kesatuan politi
k yang sama. Istilah bangsa atau Nation berasal dari bahasa Perancis dan natie be
rasal dari bahasa Belanda, sedangkan dalam bahasa Jerman disebut volk. Di sini
agama dan sebagainya (Kohn, 1976). Karena bangsa diartikan demikian, maka b
an oleh nasib yang telah ditentukan oleh takdir. Bangsa Indonesia, misalnya, tida
k muncul begitu saja sebagai sebuah keharusan ilmiah, tetapi merupakan hasil pe
rjuangan dan akibat dari sebuah pergolakan sejarah. Demikian pula dengan bang
sa Filipina, Vietnam, Kamboja, dan lain sebagainya. Dalam ilmu politik, konsep
bangsa berkaitan erat dengan suku bangsa (ethnic group) dan ras. Suku bangsa a
at istiadat, agama, dan lain sebagainya. Misalnya suku bangsa Arab yang terkelo
mpokan menjadi lebih dari sepuluh negara. Sedangkan ras (race), yaitu sekumpul
h yang sama, seperti warna kulit, warna rambut, bentuk badannya dan sebagainy
a. Dalam pengertian ini, maka dikenal istilah rumpun Melayu, Mongoloid, Aria,
Negroid dan sebagainya. Ras ini dapat juga disebut pengelompokan manusia ber
dasarkan keturunan (biologi) karena itu sering berkonotasi negatif bila dijadikan
gagasan yang disebut "rasialis" (Richard Jenkins, 1998). Dengan demikian penge
rtian bangsa adalah identitas kolektif yang mendefinisikan "kita", yang pada satu
ngakuan sebagai suatu kolektivitas yang "berbeda " dari mereka atau bangsa lain.
n dalam bentul bendera dan laqu kebangsaan, dan juga melalui sejarah resmi yan
g memitoskan ke- kita-an kolektif masa lalu yang dibanggakan bersama. Beberap
ohani, yang timbul dari peristiwa-peristiwa historis yang terus-menerus dan bera
kar secara mendalam pada suatu komunitas yang mempunyai kehendak hidup be
rsama (jiwa). Bangsa ialah jiwa dan asas rohani, dua hal yang sesungguhnya han
ya berwujud satu (yang) membentuk jiwa (atau) asas rohani itu. Yang satu terdap
at dalam waktu yang telah silam, yang lain dalam waktu sekarang. Yang satu me
miliki warisan bersama yang kaya akan kenangan sejarah, yang lain adalah komi
tmen sekarang, dan keinginan untuk hidup bersama. Apa yang telah dialami pada
a-sama senang, bersama-sama berjuang, itulah yang lebih berharga untuk saling
menyatukan diri ke dalam bangsa yang sama. Sekalipun terdapat keragaman oran
g, agama, dan bahasa, penderitaan bersama merupakan landasan yang kuat untuk
bersatu sebaqai sebuah bangsa. Dalam hal peristiwa nasional, duka-cita lebih ber
harga daripada kemenangan, sebab duka-cita itu memberi kewajiban, dan mendo
rong ke arah usaha bersama. Jadi bangsa (nation) itu ialan suatu solidaritas besar,
ndonesia sesungguhnya terbentuk karena adanya solidaritas yang sama dan pend
eritaan yang sama sebagai akibat penjajahan Belanda (Amal & Armaidy, 1998)
Kedua, Hans Kohn (1852 1879) menyatakan bahwa bangsa adalah buah hasil per
jalanan sejarah, dan karena itu selalu mengalami pasang surut. Bangsa merupaka
n golongan warga masyarakat yang beraneka ragam dan sulit dirumuskan secara
baku. Kebanyakan bangsa itu memiliki faktor obyektif tertentu yang membuat m
hasa, daerah, kesatuan politik, adat istiadat dan tradisi, atau perasaan hidup berag
ama. Akan tetapi jelaslah bahwa tiada satu pun di antara faktor ini bersifat hakiki
untuk menentukan ada tidaknya atau untuk merumuskan pengertian bangsa itu.
Meskipun faktor obyektif itu penting, tetapi unsur yang terpenting ialah kemauan
bersama yang hidup secara nyata (Kohn, 1976) Ketiga, Benedict Anderson (200
angsa yang terkecil sekalipun tidak akan tahu dan tidak akan kenal sebagian besa
r anggota yang lain. Mereka tidak bertatap muka dengan warga masyarakat yang
lain. Di antara mereka tidak saling mengenal, bahkan mungkin tidak pula pernah
engetahui hak dan kewajibannya sebagai sebuah bangsa. Misalnya, kita sebagai
tau Papua, padahal realitasnya kita tidak pernah mengenal dan bertemu muka de
ngan mereka sama sekali. Keempat, Mochtar Pabottinggi (2000; dalam Dhakidae,
2001), menyatakan bahwa: "Di sini nasion kita rumuskan sebagai kolektivitas p
ya serta lahir dari atau ditunjukkan bersama pada rangkaian dialektika serta peris
tiwa sejarah yang sarat makna dengan proyeksi eksistensial tanpa batasan waktu
asion adalah kolektivitas politik nyata dengan wilayah politik yang juga nyata. N
ejauh kolektivitas politik ini belum terwujud, wilayah politiknya pun begitu. Ata
s dasar itulah kita tidak memakai definisi Benedict Anderson tentang nasion, ken
dati itu luas diikuti". Dengan demikian bangsa adalah kolektivitas politik yang la
hir karena proses sejarah dan dialektika yang dinamis. Pengertian bangsa semaca
litik dan solidaritas sosial yang terus berubah mengikuti sejarah perkembangan
ang merambah ke Asia, Amerika Latin, dan Afrika, menyebabkan perkataan ban
gsa memiliki arti dan konsep yang sangat ambigu. Kata bangsa yang diterjemahk
an dari nation, yang berarti sekelompok orang yang lahir di suatau tempat yang s
ama (a group of people born in the same place). John Stuart Mill (1861:XVI), se
bagaimana dikutip Usman Pelly (1998), kemudian memperluas arti dan konsep b
angsa, dengan menyatakan bangsa adalah: "A portion of mankind if they are unit
corporate which each other more willingly than the other people desire to be und
er the same government, and desire that it should be govern ment by themselves
or a portion themselves, exclusively ". Para penulis dan ahli teori bidang politik,
ternyata sangat sedikit memberikan penjelasan mengenai arti dan konsep bangsa;
bagaimana bangsa itu berkembang dan menemukan dirinya. Walaupun tidak dap
lam hubungannya dengan kajian negara. Tetapi orang lebih dapat memahami pen
jelasan (explanation), daripada definisi (definition) dari kata bangsa itu. Para pak
aan (nationhood). Karakteristik obyektif ialah wilayah teritorial, sejarah, dan stru
ngat tepat (genuine) untuk definisi bangsa, sedangkan karakteristik obyektif untu
ill seperti yang diutarakan dalam definisi bangsanya, karakteristik subyektif lebih
penting dan menentukan kesatuan dan kekukuhan suatu bangsa. Misalnya Negar
a Swiss, rakyatnya mempergunakan tiga bahasa yang berbeda, tetapi sebagai suat
u bangsa, mereka tetap kompak dan bersatu. Berbeda dengan Irak dan Kuwait sat
adalah suatu bentuk loyalitas yang sifatnya fluktuatif, dapat turun dan naik. Berd
masih berdomisili, lahir dan kerja di Indonesia umpamanya, tidak memiliki kesa
reka dikualifikasikan sebagai orang Indonesia? Dengan kata lain, apakah mereka
kah mereka masih pula dapat dikategorikan sebagai orang Indonesia?. Bagaiman
a sebaliknya, mereka yang tinggal di luar negeri, lahir di negeri asing dan berusa
ha di negeri itu, tetapr memiliki kesadaran, loyalitas, dan kemauan untuk memba
ngun Indonesia. Apakah orang-orang semacam ini dapat menyatakan dirinya seb
agai orang Indon es ia? Kebangsaan bukanlah suatu state of being, tetapi suatu st
Suatu negara yang memiliki berbagai suku bangsa dan ras berupaya keras memb
entuk suatu bangsa baru dengan identitas kultural yang baru pula. Hal itu dimaks
udkan agar dapat bertahan lama dan mampu mencapai tujuan. Proses terbentukn
dalam istilah satu bangsa berbeda dengan pengertian bangsa dalam istilah negar
k masyarakat (berbagai suku bangsa dan ras) yang lebih luas daripada bangsa dal
am suku bangsa. Kesamaan identitas kultural dalam suku. bangsa lebih sempit ca
olitical community) dalam wilayah yang jelas batasnya dan berdaulat. Dikatakan
sebagai komunitas politik yang dibayangkan karena bangsa yang paling kecil sek
alipun para anggotanya tidak kenal satu sama lain. Dibayangkan secata terbatas k
arena bangsa yang paling besar sekalipun, dengan penduduknya ratusan juta jiwa
mempunyai batas wilayah yang relatif jelas. Dibayangkan sebagai berdaulat kar
ena bangsa ini berada di bawah suatu negara mempunyai kekuasaan atas seluruh
wilayah dan bangsa tersebut. Akhirnya disebut sebagai komunitas yang dibayang
kan karena terlepas dari adanya kesenjangan dan penindasan, para anggota bangs
a itu selalu memandang satu sama lain sebagai saudara sebangsa dan setanah air.
gi komunitas yang dibayangkan itu. Sementara itu, secara umum dikenal adanya
rmula dari adanya suatu bangsa terlebih dahulu untuk kemudian bangsa itu mem
bentuk satu negara tersendiri. Setelah bangsa-bangsa ini terbentuk, kemudian sua
tu rezim politik (konstitusi) dirumuskan dan ditetapkan, dan sesuai dengan piliha
n rezim politik itu, dikembangkan sejumlah bentuk partisipasi politik warga mas
ari adanya negara terlebih dahulu, yang terbentuk melalui proses tersendiri, seda
gan satu atau beberapa kelompok suku bangsa untuk berpartisipasi dalam proses
politik akan membawa mereka kepada pertanyaan yang lebih mendasar. Pertanya
an ini berkaitan dengan pilihan rezim politik. Hal itu dipertanyakan setelah melal
ui proses politisi yang secukupnya. Suatu bangsa akan terbentuk apabila masala
mun, pada proses politisi yang dilakukan secara memadai, mungkin saja terdapat
satu atau lebih kelompok suku bangsa yang tidak bersedia ikut serta dalam bangs
t satu atau lebih kelompok etnis yang menghendaki suatu negara sendiri atau mu
an kewenangan khusus.
Kedua model tersebut berbeda dalam empat hal. Pertama, ada tidaknya perubaha
perubahan unsur karena satu bangsa membentuk satu negara. Model mutakhir m
engandung perubahan unsur dari banyak kelompok suku bangsa menjadi satu ba
ngsa baru. Kedua, lamanya waktu yang diperlukan dalam proses pembentukkan
uk struktur kekuasaan (tidak perlu membentuk identitas kultural) yang baru. Keti
ga, kesadaran politik dalam model ortodoks muncul setelah terbentuknya bangs
hal yang terpisah dari proses integrasi nasional, sedangkan dalam model mutakhi
r kedua hal itu merupakan hal-hal yang tak terpisahkan dari proses integrasi nasi
dengan kemajemukan agama, ras (pribumi dan nonpribumi) dan kesenjangan sos
ial ekonomi. Kedua, faktor historis hal ihwal yang berkaitan dengan pengalaman
yataan tidak hanya terdapat dua model proses pembentukan bangsa-negara, tetap
i juga terdapat model ketiga seperti yang dialami Indonesia berhubungan dengan
proses pembentukan bangsa baru, yang dimulai berlangsung jauh sebelum negar
a terbentuk. Dalam hal ini, satu di antaranya yang terpenting berupa Sumpah Pe
muda 1928 Dari berbagai kajian di atas, suatu bangsa biasanya terbentuk disebab
kan dua hal. Pertama, secara evolusi dibangun oleh suatu sistem feodal, dari kelo
nya tetapi terus hidup menjadi suatu bangsa di bawah suatu negara baru yang dis
ebut nation state. Inggris dan Perancis merupakan contoh utama terbentuknya ba
ngsa secara evolusi dalam suatu sistem feodal. Kedua, kehendak bersama dari ra
kyat untuk mencapai masa depan yang lebih baik didasarkan pada pengalaman m
ereka sebelumnya. Biasanya dalam terbentuknya bangsa menurut sebab yang ked
ua ini, ras agama, bahasa dan kebudayaan bukan merupakan faktor utama, misal
nya Amerika Serikat dan Indonesia. Diakui, bahwa bangsa yang terbentuk oleh s
ebab hal yang pertama cenderung homogen dan kecil kemungkinan terjadi disint
egrasi bangsa itu. Sebaliknya pada sebab yang kedua, disintegrasi pada bangsa it
u lebih dimungkin kan karena bangsa yang baru itu umumnya heterogen. Apalag
i jika kehendak bersama itu lahir atau tumbuh karena dipaksakan oleh satu ideolo