Anda di halaman 1dari 23

KETENTUAN KEBERATAN, BANDING DAN SANKSI YANG BERLAKU

DALAM KEPABEANAN DAN BEA CUKAI

Diajukan untuk memenuhi salah satu tugas mata kuliah Kepabeanan dan Bea
Cukai dari Dosen :

Mas Rangga Cili, S.Kom, M.S.E

Disusun Oleh :

Bayu Khasballah Kusumayana [180201973]

Tata Ayu Alfiah [180201981]

Gaby Monica [180201987]

Adinda Chairunnisa [180201989]

Nadia Putri Salsabila [180202008]

PERDAGANGAN INTERNASIONAL WILAYAH ASEAN DAN RRT

POLITEKNIK APP JAKARTA

2020
KATA PENGANTAR

Puji syukur kami panjatkan atas kehadirat Tuhan Yang Maha Esa atas
rahmat dan karunia-Nya yang diberikan kepada kami dan kami ucapkan
terimakasih kepada Dosen, Teman-teman dan semua pihak yang telah membantu
kami, sehingga kami dapat menyelesaikan penulisan Makalah tentang “Keberatan,
banding dan ketentuan pidana dalam Kepabeanan dan Bea Cukai”. Kami
menyusun Makalah ini dengan sedemikian rupa tersusun secara sistematis dan
dengan sebaik-baiknya, bermaksud untuk memberikan pengetahuan dan
membantu pembaca untuk mengetahui tentang permasalahan seperti pengajuan
keberatan, banding dan bagaimana ketentuan pidana atau sanksi yang berlaku bagi
para pelanggar hukum dalam konteks Kepabeanan dan Bea Cukai. Kami
menyadari bahwa banyak kekurangan-kekurangan dalam penulisan Makalah ini,
sehingga kami mengharapkan saran dan kritik dari pembaca yang bersifat
membangun untuk meningkatkan kualitas Makalah ini. kami juga berharap agar
penulisan Makalah ini dapat bermanfaat bagi banyak orang.

Akhir kata kami ucapkan banyak terimakasih.

Jakarta, Februari 2020

Tim Penyusun

ii |
DAFTAR ISI
Kata pengantar ii
Daftar Isi iii
BAB I PENDAHULUAN 1
1.1 Latar Belakang 1
1.2 Rumusan Masalah 2
1.3 Tujuan Penulisan 2
1.4 Manfaat Penulisan 2
1.5 Batasan Masalah 3
1.6 Metode Penulisan 3
1.7 Metode Pengumpulan Data 3
1.8 Sistematika Penulisan 3
BAB II PEMBAHASAN 5
2.1 Ketentuan Keberatan dalam Kepabeanan dan Bea Cukai 5
2.1.1. Objek Keberatan 5
2.1.2. Pejabat Pemutus Keberatan 6
2.1.3. Subjek yang dapat mengajukan keberatan 6
2.1.4. Permintaan penjelasan secara tertulis 6
2.1.5. Persyaratan pengajuan keberatan 7
2.1.6. Proses penyelesaian keberatan 8
2.1.7. Jenis keputusan keberatan 9
2.2 Ketentuan banding dalam Kepabeanan dan Bea Cukai 9
2.2.1. Tugas dan wewenang pengadilan pajak 10
2.2.2. Ketentuan banding Kepabeanan 10
2.2.3. Persyaratan banding 10
2.2.4. Putusan banding 11
2.3 Ketentuan sanksi yang berlaku dalam Kepabeanan dan Bea Cukai
11
2.3.1. Sanksi administrasi 12
2.3.1.1. Objek sanksi administrasi 12
2.3.1.2. Subjek pengenaan sanksi administrasi 12
2.3.1.3. Bentuk pengenaan sanksi administrasi 12
2.3.2. Sanksi Pidana 13

iii |
2.3.2.1. Tindak pidana penyelundupan impor 13
2.3.2.2. Tindak pidana penyelundupan ekspor 13
2.3.2.3. Tindak pidana Kepabeanan lainnya 14
2.3.2.4. Sanksi pidana terhadap PPJK 15
BAB III PENUTUP 16
3.1. Kesimpulan 16
3.2. Saran 16
3.2.1. Saran untuk penulis 16
3.2.2. Saran untuk pelaku usaha 16
3.2.3. Saran untuk pihak Instansi Pemerintah yang berkaitan di
bidang Kepabeanan 16
DAFTAR PUSTAKA 18

iv |
v|
BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Indonesia adalah sebuah Negara kepulauan yang memiliki batas-


batas tertentu yang telah di tentukan dan diakui secara Internasional. Dan
Indonesia merupakan sebuah Negara hukum, sebagaimana yang telah di
tetapkan pada Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia
1945pada pasal 1 (satu) ayat 1 (satu). Karena Negara yang begitu luas dan
dalam menjalankan kegiatan ekonominya terutama yang berkaitan dengan
keluar masuknya barang baik barang masuk kedalam negeri maupun
barang keluar negeri untuk dijual maka diperlukan adanya aturan-aturan
atau dasar hukum yang kuat demi terciptanya kegiatan ekonomi yang
berjalan dengan lancar. Kegiatan Impor adalah kegiatan memasukkan
barang ke dalam daerah pabean. Sedangkan kegiatan ekspor adalah
kegiatan mengeluarkan barang dari dalam daerah pabean.

Definisi Daerah Pabean didalam buku Kepabeanan dan Bea Cukai


karya Mohamad Jafar, SE,MM adalah wilayah Republik Indonesia dan
tempat-tempat tertentu di zona ekonomi eksklusif (ZEE) dan landas
kontinen yang terdapat kegiatan tertentu. ZEE adalah wilayah laut diluar
laut territorial Indonesia meliputi dasar laut, tanah di bawahnya dan air di
atasnya dengan batas terluar paling jauh 200 mil diukur dari garis pangkal
laut wilayah Indonesia. Sedangkan landas kontinen adalah wilayah laut
diluar laut territorial meliputi dasar laut dan tanah di bawahnya, yang
merupakan kelanjutan alamiah dari daratan sampai batas terluar kontinen
paling jauh 350 mil diukur dari garis pangkal laut wilayah Indonesia.

Didalam melaksanakan aturan yang telah dibuat dan disahkan,


biasanya sering terjadi kekurangan-kekurangan. Maka masyarakat dalam
hal ini terutama pelaku kegiatan usaha boleh mengajukan keberatan dan
banding melalui Instansi atau lembaga resmi milik pemerintah. Kebijakan
peraturan yang telah dibuat juga tidak lepas dari sanksi yang berlaku
apabila para pelaku usaha tersebut melakukan pelanggaran. Ketentuan
kepabeanan hendaknya memberikan hak kepada pengguna jasa untuk
menyatakan ketidaksetujuannya atas penetapan aparat pabean dari proses
impor atau ekspor barang yang mereka lakukan. Hak keberatan diberikan
untuk menjamin adanya kepastian hukum dan sebagai menifestasi dari

1|
asas keadilan. Hak keberatan dan banding diatur dalam konvensi pabean
internasional untuk memberi kesempatan kepada pengguna jasa
menunjukkan bukti-bukti bahwa yang mereka lakukan adalah benar dan
telah sesuai dengan ketentuan. Pada BAB selanjutnya akan kami bahas
secara rinci satu per satu tentang ketentuan keberatan, banding dan jenis
sanksi yang berlaku dalam Kepabeanan dan Bea Cukai.

1.2 Rumusan Masalah

Berdasarkan pemaparan diatas, kami membaginya dalam sebuah


pokok bahasan dalam suatu rumusan masalah yang selanjutnya akan kami
bahas pada bab selanjutnya. Berikut adalah rumusan masalahnya :

1. Bagaimana ketentuan keberatan dalam Kepabeanan dan Bea Cukai?


2. Bagaimana ketentuan banding dalam Kepabeanan dan Bea Cukai?
3. Bagaimana ketentuan sanksi yang berlaku dalam Kepabeanan dan Bea
Cukai?

1.3 Tujuan Penulisan

a. Bagi Penulis

Makalah yang kami buat untuk memenuhi salah satu tugas Mata
kuliah Kepabeanan dan Bea Cukai, terlebih lagi dari kami sangat berharap
dengan dipublikasikannya makalah ini kami dapat mengembangkan
kemampuan menulis secara verbal dan dapat menambah pengetahuan serta
membangun rasa tanggung jawab terhadap tugas kami.

b. Bagi Pembaca

Penulisan ini di dedikasikan untuk pembaca khususnya Mahasiswa


untuk mengetahui ketentuan-ketentuan keberatan, banding dan sanksi yang
berlaku dalam Kepabeanan dan Bea Cukai.

1.4. Manfaat Penulisan

Kami sangat berharap nantinya karya tulis ilmiah kami ini dapat
dijadikan referensi dan rujukan untuk penggunaannya dalam kebutuhan
pendidikan atau hal-hal lain yang berkaitan. Selain itu, kami sangat
berharap tulisan ini dapat dijadikan bahan bacaan atau informasi yang
sifatnya mengedukasi.

2|
1.5. Batasan Masalah

Untuk menghindari pelebaran masalah dan pembahasannya, kami


hanya akan membahas tentang ketentuan keberatan, banding dan sanksi
yang berlaku dalam Kepabeanan dan Bea Cukai.

1.6. Metode Penulisan

Kami membuat Makalah ini bersumber atau berasal dari data yang
sifatnya sekunder ( studi literatur) yaitu segala informasi yang kami dapat
dari buku dan berbagai sumber dari internet.

1.7. Metode Pengumpulan Data

Sebagai dasar penulisan Makalah ini kami menggunakan data yang


sifatnya bersumber dari data sekunder, berikut kami uraikan :

a. Studi Kepustakaan
Kami telah mencari dan mempelajari publikasi Hasil Observasi
dan eksperimen pihak lain yang bentuknya berupa e-journal
guna memahami sejauh mana permasalahan ini berkembang
dan bagaimana kami dapat menyimpulkan masalah serta
menyelesaikan masalah lewat solusi dan saran, selain itu kami
menjadikan buku sebagai referensi tulisan kami untuk
penunjang.

1.8. Sistematika Penulisan

Untuk memberikan gambaran makalah kami ini, maka kami akan


memberikan gambaran sistematika penulisannya sebagai berikut :

BAB I Pendahuluan

Pada BAB I yang merupakan BAB pertama yang ditulis dalam


makalah ini, akan kami jelaskan apa-apa saja yang ditulis dalam BAB I
ini. Pertama adalah pendahuluan, yang merupakan latar belakang
penulisan makalah ini. Selain itu terdapat rumusan masalah, yang
merupakan pokok masalah yang nantinya akan dibahas pada BAB
selanjutnya. Kemudian terdapat tujuan penulisan, manfaat penulisan,
batasan masalah, metode penulisan, batasan masalah, metode penulisan,
metode pengumpulan data dan sistematika penulisan yang merupakan
bagian dari isi pada BAB I.

3|
BAB II Pembahasan

Setelah kami memaparkan rumusan masalah atau pokok


permasalahan yang terdapat pada BAB I, maka akan kami bahas satu per
satu rumusan masalah tersebut pada BAB II ini dengan rinci berdasarkan
sumber informasi yang terkait.

BAB III Penutup

Setelah pokok permasalahan tealah dijelaskan secara rinci pada


BAB sebelumnya, maka kami akan menyimpulkan penjelasan tersebut
secara singkat dan jelas. Tak lupa kami juga memberikan saran untuk
penulis dan pihak terkait agar dapat diperbaiki dikemudian hari apabila
terjadi kesalahan.

4|
BAB II

PEMBAHASAN

2.1. Ketentuan Keberatan dalam Kepabeanan dan Bea Cukai

Salah satu asas dasar yang diterapkan dalam pemberlakuan Undang-


undang Nomor 10 tahun 1995 tentang Kepabeanan sebagaimana telah
diamandemen dengan UU Nomor 17 tahun 2006 adalah asas keadilan dan
kepastian hukum. Implementasi asas keadilan dan kepastian hukum
diimplementasikan ke dalam pasal 93 sebagai berikut.

“Orang yang berkeberatan terhadap penetapan pejabat bead an cukai mengenai


tariff dan/atau nilai pabean untuk penghitungan bea masuk dapat mengajukan
keberatan secara tertulis hanya kepada Direktur Jenderal dalam waktu 60 (enam
puluh) hari sejak tanggal penetapan dengan menyerahkan jaminan sebesar tagihan
yang harus dibayar.”

Dalam rangka melaksanakan ketentuan UU Nomor 17 tahun 2006, perlu


ditetapkannya Peraturan Menteri Keuangan tentang keberatan di bidang
Kepabeanan. Yaitu Peraturan Menteri Keuangan Nomor 51/PMK.04/2017.
Didalam peraturan Menteri Keuangan tersebut terdiri dari 8 (delapan) BAB.
Untuk lebih memperjelas bagaimana prosedur dan tata cara penyelesaian
keberatan di bidang Bea dan Cukai maka Direktur Jenderal Bea dan Cukai
mengeluarkan peraturan tentang Tentang Tata Cara Pengajuan dan Penyelesaian
Keberatan di Bidang Kepabeanan dan Cukai yaitu Peraturan Dirjen Bea Cukai
Nomor 15/BC/2017.

Keberatan merupakan upaya hukum dari orang-orang yang berkeberatan


terhadap suatu putusan pejabat bea dan cukai yang mengakibatkan timbulnya
kewajiban beban pembayaran. Dalam jangka waktu 60 (enam puluh) hari yang
diberikan kepada pengguna jasa kepabeanan ini dianggap cukup bagi yang
bersangkutan untuk mengumpulkan data yang diperlukan guna pengajuan
keberatan kepada Direktur Jenderal. Dalam hal batas waktu 60 (enam puluh) hari
tersebut dilewati, hak yang bersangkutan menjadi gugur dan penetapan dianggap
disetujui.

2.1.1. Objek keberatan

1. Tarif dan/atau nilai pabean yang mengakibatkan kekurangan


pembayaran bea masuk, cukai dan pajak dalam rangka impor.

5|
2. Selain tariff dan/atau nilai pabean untuk penghitungan bea masuk

3. Pengenaan sanksi administrasi berupa denda

4. Pengenaan bea keluar.

2.1.2. Pejabat Pemutus Keberatan

Untuk efektifitas pelayanan maka Direktur Jenderal telah


mendelegasikan kewenangan memutus perkara keberatan kepada
pejabat sebagai berikut.

1. Direktur Keberatan, banding dan peraturan untuk dan atas nama


Direktur Jenderal.
2. Kepala Kantor Wilayah untuk dan atas nama Direktur Jenderal, dalam
hal keberatan diajukan terhadap penetapan Pejabat Bea dan Cukai di
KPPBC (Kantor Pengawasan dan Pelayanan Bea dan Cukai), selain
tindak lanjut laporan hasil audit dibidang cukai ; atau
3. Kepala KPUBC (Kantor Pelayanan Utama Bea dan Cukai) untuk dan
atas nama Direktur Jenderal, dalam hal keberatan diajukan terhadap
penetapan diterbitkan oleh pejabat Bea dan Cukaidi KPUBC, selain
tindak lanjut pelaporan hasil audit dibidang cukai.
4. Kepala KPPBC untuk dan atas nama Direktur Jenderal, dalam hal
keberatan diajukan terhadap surat penetapan pembayaran BM (Beam
Masuk), Cukai dan/atau pajak atas impor barang kiriman.

2.1.3. Subjek yang dapat mengajukan keberatan.

1. Importir, eksportir, pengusaha tempat penimbunan sementara,


pengusaha tempat penimbunan berikat, pengusaha pengurusan jasa
kepabeanan, atau pengusaha pengangkutan.
2. Orang yang namanya tercantum di dalam Angka Pengenal Impor
(API).
3. Orang yang diberi kuasa oleh orang yang dimaksud pada poin (1) dan
(2).

2.1.4. Permintaan penjelasan secara tertulis

Sebelum mengajukan keberatan, orang yang berkeberatan dapat


meminta penjelasan secara tertulis mengenai hal yang menjadi dasar
penetapan kepada Kepala Kantor Bea dan Cukai yang menerbitkan

6|
penetapan. Atas permintaan penjelasan secara tertulis tersebut, Kepala
Kantor Bea dan Cukai atau pejabat yang ditunjuk memberikan penjelasan
secara tertulis mengenai dasar penetapan, dalam jangka waktu :
1. Untuk kasus keberatan di bidang kepabeanan, paling lambat 20 (dua
puluh) hari terhitung sejak tanggal diterimanya surat permintaan
penjelasan.
2. Untuk kasus keberatan di bidang cukai, paling lambat 10 (sepuluh) hari
terhitung sejak tanggal diterimanya surat permintaan penjelasan.

Apabila permintaan penjelasan secara tertulis disampaikan


melebihi jangka waktu yang ditentukan, Kepala Kantor Bea Cukai tidak
memberikan penjelasan secara tertulis. Proses ini tidak mempengaruhi
jangka waktu pengajuan keberatan kepabeanan dan atau cukai secara
keseluruhan.

2.1.5. Persyaratan Pengajuan Keberatan

Atas pengajuan keberatan secara tertulis, Pemohon wajib


mengajukan permohonan secara tertulis kepada pejabat yang berwenang
dan memenuhi persyaratan sebagai berikut.

1. Diajukan secara tertulis dalam Bahasa Indonesia menggunakan format


yang ditetapkan dalam Peraturan Kementerian Keuangan.
2. Diajukan dengan menyebutkan alasan keberatan.
3. Ditandatangani oleh orang yang berhak, yaitu orang pribadi atau
pengurus yang namanya tercantum dalam akta perusahaan.
4. Melampirkan bukti-bukti dokumen, berupa.
 Fotokopi bukti penerimaan jaminan, bukti penerimaan Negara
sebesar tagihan yang harus dibayar atau surat pernyataan bahwa
barang impor masih berada di kawasan pabean dan telah divalidasi
oleh pejabat Bea dan Cukai.
 Fotokopi Surat Penetapan Tarif dan Nilai Pabean (SPTNP), Surat
Penetapan Pabean (SPP), Surat Penetapan Sanksi Administrasi
(SPSA), atau penetapan lainnya oleh pejabat Bea dan Cukai.
 Dilampiri surat kuasa khusus, dalam hal ditandatangani oleh bukan
orang yang berhak.

Permohonan keberatan yang telah diterima dengan lengkap, dalam jangka


waktu paling lama 5 (lima) hari kerja.

7|
2.1.6. Proses Penyelesaian Keberatan

1. Direktur Keberatan Banding dan Peraturan (KBP) , Kepala Kantor


Pelayanan Utama Bea dan Cukai (KPUBC) atau Kepala Kantor
Pengawasan dan Pelayanan Bea dan Cukai (KPPBC) melakukan
penelitian kelengkapan berkas pengajuan keberatan.
 Penelitian Formal meliputi jangka waktu, kebenaran orang yang
berhak menandatangani surat keberatan, kesesuaian dan kebenaran
surat pernyataan, kesesuaian penetapan yang dilampirkan dengan
keberatan yang diajukan, kesesuaian kriteria kelengkapan.
 Penelitian Material meliputi kesesuaian alasan keberatan dengan
penetapan peraturan.
2. Direktur Keberatan Banding dan Peraturan (KBP), Kepala Kantor
Wilayah, Kepala Kantor Pelayanan Utama Bea dan Cukai (KPUBC)
atau Kepala Kantor Pengawasan dan Pelayanan Bea dan Cukai
(KPPBC) dapat menerima penjelasan, data dan/atau bukti tambahan
dari pemohon dalam jangka waktu paling lama 40 (empat puluh) hari
sejak tanggal tanda terima permohonan keberatan dan atas keberatan
tersebut belum diputuskan.
3. Direktur Keberatan Banding dan Peraturan (KBP), Kepala Kantor
Wilayah, Kepala Kantor Pelayanan Utama Bea dan Cukai (KPUBC)
atau Kepala Kantor Pengawasan dan Pelayanan Bea dan Cukai
(KPPBC) atas nama Direktur Jenderal memutuskan keberatan paling
lama 60 (enam puluh) hari dihitung sejak tanggal tanda terima
permohonan. Keberatan dianggap diterima/dikabulkan apabila
melebihi jangka waktu 60 (enam puluh) hari tidak daimbil keputusan
dan selanjutnya Direktur Jenderal Bea dan Cukai wajib menertibkan
Surat Keputusan (SK).
4. Pemohon dapat menanyakan secara tertulis ke Direktur Keberatan
Banding dan Peraturan (KBP), Kepala Kantor Wilayah, Kepala Kantor
Pelayanan Utama Bea dan Cukai (KPUBC) atau Kepala Kantor
Pengawasan dan Pelayanan Bea dan Cukai (KPPBC) sampai dengan
70 (tujuh puluh) hari sejak tanda terima pengajuan
keberatan.Kemudian Direktur Keberatan Banding dan Peraturan
(KBP), Kepala Kantor Wilayah, Kepala Kantor Pelayanan Utama Bea
dan Cukai (KPUBC) atau Kepala Kantor Pengawasan dan Pelayanan
Bea dan Cukai (KPPBC) menyampaikan jawaban secara tertulis
tentang penyelesaian keberatan yang bersangkutan dilengkapi dengan

8|
fotokopi salinan Keputusan Direktur Jenderal serta bukti
pengirimannya.

2.1.7. Jenis Keputusan Keberatan

Atas permohonan keberatan di bidang Kepabeanan dan Bea Cukai,


pejabat yang diberikan kewenangan oleh Direktur Jenderal Bea dan Cukai
untuk memutus perkara keberatan, dapat memberikan amar putusan dalam
bentuk sebagai berikut.

1. Keputusan keberatan di bidang kepabeanan.


 Mengabulkan seluruhnya
 Menolak seluruhnya atau sebagian
 Menetapkan lain
2. Keputusan keberatan di bidang Cukai.
 Mengabulkan seluruhnya atau sebagian
 Menolak
 Menetapkan lain.

2.2. Ketentuan Banding dalam Kepabeanan dan Bea Cukai

Menurut pasal 1ayat 6 Undang-undang no.14 tahun 2002 disebutkan bahwa.

1. Banding adalah upaya hukum yang dapat dilakukan oleh wajib pajak atau
penanggung pajak terhadap suatu keputusan yang dapat diajukan banding
berdasarkan peraturan perundang undangan pajak yang berlaku
2. Keputusan pejabat yang dapat disbanding adalah sengketa pajak yang
timbul dalam bidang perpajakan, yaitu sengketa antara wajib pajak atau
penanggung pajak dengan pejabat pajak yang berwenang.

Didalam pasal 95 Undang-undang Kepabeanan menyatakan bahwa setiap


orang yang berkeberatan terhadap penetapan Direktur Jenderal atas tariff dan nilai
pabean dapat mengajukan permohonan banding ke Pengadilan Pajak selambat-
lambatnya 60 (enam puluh) hari sejak tanggal surat keputusan atau penetapan.

Dalam pengertiannya, pajak terdiri dari pajak langsung dan pajak tidak
langsung. Pajak langsung antara lain berupa pajak penghasilan. Sedangkan pajak
tidak langsung antara lain berupa Pajak Pertambahan Nilai (PPN), Bea Masuk dan
Cukai. Dengan demikian pengajuan banding atas penetapan bea masuk dan cukai
juga diajukan kepada pengadilan pajak.

9|
2.2.1. Tugas dan Wewenang Pengadilan Pajak

Menurut UU Nomor 14 tahun 2002 tentang pengadilan


pajak ditetapkan bahwa.

1. Pengadilan Pajak mempunyai tugas dan wewenang memeriksa


dan memutuskan sengketa pajak.
2. Tugas dan wewenang Pengadilan Pajak berada diluar tugas dan
wewenang Peradilan Umum dan Peradilan Tata Usaha Negara.
3. Pengadilan Pajak mengawasi kuasa hukum yang memberikan
bantuan hukum kepada pihak-pihak yang bersengketa.
4. Ruang lingkup Pengadilan Pajak adalah pengadilan tingkat
pertama dan terakhir dalam memeriksa dan memutus sengketa
pajak.
5. Pengadilan Pajak dapat meminta keterangan yang berkaitan
dengan sengketa pajak dari pihak ketiga sesuai dengan UU
yang berlaku.

2.2.2. Ketentuan Banding Kepabeanan

Hal-hal yang dapat diajukan Banding menurut ketentuan


Undang-undang Kepabeanan.

1. Putusan Direktur Jenderal Bea dan Cukai atas keberatan


mengenai tariff atau nilai pabean.
2. Penetapan kembali oleh Direktur Jenderal Bea dan Cukai atas
tariff dan nilai pabean untuk perhitungan Bea Masuk (BM)
yang berbeda dengan penetapan pejabat Bea dan Cukai yang
mengakibatkan kurang bayar Bea Masuk (BM).
3. Putusan Direktur Jenderal mengenai pencabutan fasilitas.
4. Putusan atas sanksi administrasi berupa denda yang ditetapkan
oleh pejabat Direktur Jenderal Bea dan Cukai.

Banding dibidang Kepabeanan diajukan paling lama 60 (enam


puluh) hari sejak tanggl penetapan atau tanggal keputusan. Jangka
waktu tersebut tidak mengikat jika terjadi keadaan diluar
kekuasaan pemohon banding.

2.2.3. Persyaratan Banding

10 |
1. Pengajuan permohonan banding ke Pengadilan Pajak selambat-
lambatnya diajukan dalam waktu 60 (enam puluh) hari sejak
tanggal diterimanya surat keputusan atas keberatan.
2. Menurut UU nomor 14 tahun 2002, banding hanya dapat diajukan
apabila jumlah yang terutang telah dibayar 50% (lima puluh
persen) dari tagihan pajak yang terutang. Namun menurut pasal 95
UU Kepabeanan mensyaratkan bahwa banding dapat diajukan
apabila pungutan yang terutang telah dilunasi.

2.2.4. Putusan Banding

Jenis putusan Pengadilan Pajak atas perkara banding dapat berupa.

1. Menolak
2. Mengabulkan sebagian
3. Mengabulkan Seluruhnya
4. Menambah pajak yag harus dibayar
5. Tidak dapat diterima
6. Membetulkan salah tulis atau salah hitung
7. Membatalkan

2.3. Ketentuan Sanksi yang berlaku dalam Kepabeanan dan Bea Cukai

Dalam terminologi kepabeanan dan cukai, sanksi dibagi menjadi dua jenis
yaitu sanksi administrasi dan sanksi pidana. Sanksi pidana ini juga masih terbagi
menjadi dua, yaitu sanksi pidana pabean dan sanksi pidana cukai. Sanksi pidana
pabean diatur dalam undang-undang kepabeanan yaitu Undang-undang Nomor 10
Tahun 1995 yang telah diubah dengan Undang-undang Nomor 17 Tahun
2006. Ketentuan tentang pidana kepabeanan lebih tepatnya terletak pada Bab XIV
pada pasal 102 sampai dengan pasal 111. Sedangkan sanksi pidana cukai diatur
dalam Undang-undang Nomor 11 Tahun 1995 tentang Cukai yang telah diubah
dengan Undang-undang Nomor 39 Tahun 2007. Ketentuan tentang tindak pidana
di bidang cukai ini diatur dalam Bab XII pasal 50 sampai dengan pasal 62. Kedua
sanksi pidana, baik pabean maupun cukai, sudah secara jelas tersurat pada kedua
undang-undang berikut perubahan dan penjelasannya, oleh karenanya tidak ada
peraturan yang lebih spesifik mengaturnya lagi.

2.3.1. Sanksi administrasi

Sanksi administrasi bertujuan untuk menjamin bahwa hak – hak


Negara benar benar dipenuhi oleh wajib bayar. Disamping itu, sanksi

11 |
administrasi diterapkan untuk menjamin ditaatinya aturan yang telah
ditetapkan pemerintah. Oleh karena itu sanksi administrasi menggunakan
pendekatan fiscal yang mengutamakan penyelesaian pelanggaran
dilakukan dengan pengenaan denda. Sebagaimana yang telah ditetapkan
oleh pemerintah melalui Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 39 tahun 2019
tentang sanksi administrasi berupa denda di bidang kepabeanan. Selain itu
pemerintah melalui Kementerian Keuangan mengeluarkan Peraturan
Menteri Keuangan (PMK) Nomor 99 tahun 2019 tentang Tata Cara
Penghitungan Sanksi Administrasi Berupa Denda di Bidang Kepabeanan.

2.3.1.1. Objek Sanksi Administrasi

Berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 39 Tahun 2019


tentang perubahan atas Peraturan Pemerintah Nomor 28 tahun
2008 tentang sanksi administrasi, didefinisikan bahwa objek sanksi
administrasi adalah dikenakan terhadap orang yang melakukan
pelanggaran yang diatur dalam UU Nomor 10 Tahun 1995 tentang
Kepabeanan jo UU No 17 Tahun 2006 tentang Perubahan atas UU
Nomor 10 tahun 1995.

2.3.1.2. Subjek Pengenaan Sanksi Administrasi

Orang yang dapat dikenakan sanksi administrasi adalah


sebagai berikut:

1. Pengangkut
2. Importir
3. Eksportir
4. Pengusaha Tempat Penimbunan Sementara (TPS)
5. Pengusaha Tempat Penimbunan Berikat (TPB)
6. Pengusaha Pengurusan Jasa Kepabeanan (PPJK)

2.3.1.3. Bentuk Pengenaan Sanksi Administrasi

Pengenaan sanksi administrasi berupa denda yang besarnya


menyatakan dalam.

1. Nilai Rupiah tertentu


2. Nilai Rupiah minimum sampai dengan maksimum
3. Presentase tertentu dari bea masuk yang seharusnya dibayar

12 |
4. Presentase minimum sampai dengan maksimum dari
kekurangan pembayaran bea masuk atau bea keluar
5. Atau presentase tertentu minimum sampai dengan maksimum
dari bea masuk yang seharusnya dibayar.

2.3.2. Sanksi Pidana

Selain pelanggaran administratif, ketentuan kepabeanan juga


mengatur tentang pelanggaran pidana. Tindak pidana kepabeanan dapat
diklasifikasikan menjadi tindak pidana kepabeanan di bidang impor,
ekspor dan tindak pidana kepabeanan lainnya. Tindak pidana dibagi
menjadi dua jenis yaitu Pidana Penjara dan Pidana Denda. Sanksi Pidana
ini diatur dalam UU Nomor 17 tahun 2006 tentang Kepabeanan. Tindak
pidana merupakan kegiatan yang sangat merugikan Negara. Berikut adalah
beberapa tindakan pidana dalam kepabeanan.

2.3.2.1 Tindak Pidana Penyelundupan Impor

Penyelundupan impor adalah tindakan di bidang impor


yang sama sekali tidak mengindahkan ketentuan kepabeanan atau
hanya mengindahkan sebagian ketentuan saja. Dampak dari
tindakan ini adalah tidak terpenuhinya hak-hak Negara secara
signifikan. Akibat lain dari tindakan ini adalah terganggunya
kehidupan masyarakat luas. Salah satu contoh tindakan
penyelundupan barang impor adalah mengangkut barang impor
yang tidak tercantum dalam manifest. Dalam kasus ini barang
tersebut artinya tidak ikut berpartisipasi dalam membayar pajak
atau bea masuk yang berlaku, dan sangat merugikan Negara.
Ancaman atas tindakan ini adalah dipidana dengan pidana penjara
sekurang-kurangnya selama 1 (satu) tahun, setinggi-tingginya 10
(sepuluh) tahun dan pidana denda sekurang kurangnya Rp. 50
(lima puluh) Juta, setinggi-tingginya Rp. 5 Milyar.

2.3.2.2. Tindakan Pidana Penyelundupan Ekspor

Tindakan penyelundupan ekspor adalah tindakan di bidang


ekspor yang sama sekali tidak mengindahkan ketentuan
kepabeanan akibatnya tidak terpenuhinya hak-hak negara secara
signifikan. Salah satu contoh tindakan penyelundupan barang
ekspor adalah mengekspor barang tanpa menyerahkan
pemberitahuan pabean. Ancaman atas tindakan ini yaitu dipidana

13 |
dengan pidana penjara sekurang-kurangnya selama 1 (satu) tahun,
setinggi-tingginya 10 (sepuluh) tahun dan pidana denda sekurang-
kurangnya Rp. 50 Juta, setinggi-tingginya Rp 5 Milyar. Dalam UU
Kepabeanan dinyatakan bahwa tindakan penyelundupan impor dan
ekspor yang mengakibatkan terganggunya perekonomian negara,
ancamannya lebih besar yaitu pidana penjara paling singkat 5
(lima) tahun dan pidana penjara paling lama 20 (dua puluh) tahun
dan pidana denda paling sedikit Rp 5 Milyar dan paling banyak Rp
10 Milyar.

2.3.2.3. Tindakan Pidana Kepabeanan Lainnya

Selain tindak pidana penyelundupan impor dan ekspor,


beberapa tindakan juga dapat dikategorikan sebagai tindakan
pidana di bidang kepabeanan. Berikut termasuk tindakan pidana
kepabeanan ini.
 Menyerahkan pemberitahuan pabean yang palsu
 Membuat, menyetujui, atau turut serta dalam pemalsuan
data kedalam buku atau catatan.
 Memberikan keterangan lisan atau tertulis yang tidak benar.
 Menimbun, menyimpan, memiliki, membeli, menjual,
menukar, memperoleh, atau memberikan barang impor
yang diketahui berasal dari tindak pidana kepabeanan di
bidang impor.
 Scara tidak sah mengakses sistem elektronik yang berkaitan
dengan pelayanan dan/atau pengawasan di bidang
kepabeanan.
 Mengangkut barang yang berasal dari tindak pidana
kepabeanan di bidang impor atau ekspor.
 Memusnahkan, mengubah, memotong, menyembunyikan,
atau membuang buku atau catatan yang sesuai ketentuan
harus disimpian.
 Menghilangkan, menyetujui, atau turut serta dalam
penghilangan keterangan dari pemberitahuan pabean,
dokumen pelengkap pabean.
 Menyimpan dan/atau menyediakan blangko faktur dagang
dari perusahaan yang berdomisili di luar negeri yang
diketahui dapat digunakan sebagai kelengkapan
pemberitahuan pabean.

14 |
 Dengan sengaja dan tanpa hak atau melepas segel tanpa izin
dari aparat pabean.

2.3.2.4. Sanksi pidana terhadap PPJK

Pengusaha Pengurusan Jasa Kepabeanan (PPJK)


melakukan pemalsuan invoice yang diterima dari importir sehingga
pemberitahuan pabean yang diajukan atas nama importer tersebut
lebih rendah nilai pabeannya, maka PPJK tersebut dikenai
ancaman.

BAB III

15 |
PENUTUP

3.1 Kesimpulan

Setiap pelaku usaha memiliki hak yang sama untuk melakukan pengajuan
keberatan kepada pihak instansi kepabeanan dan pengajuan banding kepada
pengadilan pajak sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Hal
ini diberikan untuk menjamin adanya kepastian hukum dan sebagai implementasi
dari asas keadilan. Namun, perlu disadari bahwa Negara Indonesia adalah sebuah
negara hukum, dimana terdapat aturan-aturan yang dibuat untuk menjamin
kelangsungan kegiatan ekonomi. Khususnya dalam bidang kepabeanan juga
terdapat aturan dan sanksi baik dalam bentuk pidana penjara maupun pidana
denda yang telah diatur didalam UU Kepabeanan. Sehingga para pelaku usaha
harus lebih berhati-hati dalam melakukan kegiatannya dan mematuhi peraturan
yang berlaku sehingga tidak merugikan para pelaku usaha itu sendiri maupun
pihak lain.

3.2 Saran

3.2.1 Saran untuk Penulis

a. Lebih banyak membuat karya tulis dengan berbagai jenis disiplin ilmu
dan mempublikasikannya secara umum dan luas.

b. Lebih peka terhadap perkembangan di bidang kepabeanan dan


peraturannya yang berlaku.

3.2.2 Saran untuk Pelaku Usaha

a. Lebih berhati-hati dalam melakukan kegiatan bisnisnya.

b. Lebih peka terhadap perkembangan informasi yang terbaru tentang


kepabeanan yang berlaku.

c. Mematuhi peraturan yang berlaku

3.2.3 Saran untuk pihak Instansi Pemerintah yang berkaitan


dibidang Kepabenanan

16 |
a. Lebih memperketat dalam pembuatan peraturan demi terlindunginya
industri dalam negeri.

b. Lebih mensosialisasikan dan mempublikasikan aturan terbaru yang


telah dibuat dan disahkan.

c. Lebih ketat dalam melakukan pengawasan barang impor dan ekspor


baik secara administrasi maupun fisik.

DAFTAR PUSTAKA

17 |
Surono & Jafar, Mohamad (2019). Sistem Nilai Pabean. Bekasi: PT. Pro Insani
Cendekia.

Jafar, Mohamad (2019). Kepabeanan Ekspor Impor. Bekasi: PT. Pro Insani
Cendekia.

“Direktori Peraturan DJBC”. 14 Februari 2020

https://peraturan.beacukai.go.id/index.html?page=detail/tag/178/3/peraturan-
menteri-keuangan/per-217-pmk-04-2010/keberatan-di-bidang-kepabeanan.html

Peraturan :

Peraturan Menteri Keuangan Nomor 51/PMK.04/2017 tentang keberatan di


bidang Kepabeanan.

Undang – undang no.14 tahun 2002 tentang Pengadilan Pajak.

Undang-undang Nomor 17 Tahun 2006 atas perubahan Undang-Undang Nomor


10 Tahun 1995. Ketentuan tentang Kepabeanan.

Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 39 tahun 2019 tentang sanksi administrasi


berupa denda di bidang kepabeanan.

Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 99 tahun 2019 tentang Tata Cara
Penghitungan Sanksi Administrasi Berupa Denda di Bidang Kepabeanan.

18 |

Anda mungkin juga menyukai