Assalamu’alaikum Wr.Wb
Dengan mengucap syukur kehadirat Allah SWT yang telah melimpahkan rahmat
dan hidayah-Nya , sehingga kelompok dapat menyelesaikan makalah tentang
“Laporan pendahuluan dan asuhan keperawatan konstipasi”. Makalah ini disusun
sebagai salah satu tugas mata kuliah Keperawatan Medikal BedahII di fakultas
kedokteran dan ilmu kesehatan universitas abdurrab.
Penulis
i
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR................................................................................................................i
DAFTAR ISI...............................................................................................................................ii
BAB 1 PENDAHULUAN..........................................................................................................1
A. Latar Belakang..................................................................................................................1
B. Rumusan Masalah.............................................................................................................2
C. Tujuan penelitian...............................................................................................................3
BAB II PEMBAHASAN............................................................................................................4
A. Definisi.............................................................................................................................4
B. Etiologi.............................................................................................................................4
C. Etiologi.............................................................................................................................5
D. Patofisiologi Konstipasi...................................................................................................5
E. Manifestasi Klinis............................................................................................................7
F. Diagnosa..........................................................................................................................8
G. Penatalaksanaan...............................................................................................................8
H. Asuhan Keperwatan.........................................................................................................9
1. Pengkajian..................................................................................................................11
2. Diagnosa Keperawatan..............................................................................................16
3. Rencana Keperawtan.................................................................................................17
4. Implementasi..............................................................................................................18
5. Evaluasi......................................................................................................................19
BAB III PENUTUP ...................................................................................................................26
A. Kesimpulan......................................................................................................................26
B. Saran................................................................................................................................26
DAFTAR PUSTAKA..................................................................................................................26
ii
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Konstipasi merupakan gejala berbagai penyakit saluran cerna pada anak dan sering
menimbulkan masalah kesehatan fisik dan mental yang cukup serius.Konstipasi terjadi sebagai
kegagalan kolon mengeluarkan isi lumen atau adanya peningkatan tahanan luar oleh karena
disfungsi pelvis dan anorektal yang menyebabkan kesulitan untuk defekasi.
Konstipasi merupakan masalah kesehatan pada anak yang masih cukup tinggi dan
merupakan 3% kunjungan pasien ke dokter anak umum dan 15% sampai 25% kunjungan ke
konsultan gastroenterologi anak. Sebagian besar konstipasi pada anak (lebih 90%) adalah
fungsional tanpa ada kelainan yang bersifat organik dan 40% diantaranya diawali sejak usia 1
sampai 4 tahun, hanya 5% sampai 10% yang mempunyai kelainan penyebab organik.
Penelitian di Itali melaporkan prevalensi konstipasi pada populasi anak sekitar 0.3%
sampai 8% dan riwayat keluarga mengalami konstipasi dijumpai 28% sampai 50% pada anak
dengan konstipasi.Penelitian di Inggris melaporkan prevalensi konstipasi fungsional pada anak
sekitar 4% sampai 36% dan insiden tertinggi terjadi pada saat usia toilet training yaitu sekitar 2
sampai 3 tahun, pada usia dibawah 5 tahun insidensi sama dijumpai pada kedua jenis kelamin,
usia diatas 13 tahun lebih sering pada jenis kelamin perempuan. Sementara sebuah penelitian di
Amerika melaporkan sekitar 34% anak di Inggris usia 4 sampai 11 tahun pernah mengalami
konstipasi.
Penyebab konstipasi fungsional bersifat multi faktor. Ada beberapa faktor predisposisi
yang dapat mempengaruhi konstipasi fungsional seperti faktor herediter, kebiasaan makan yang
kurang tepat seperti bentuk diet yang kurang karbohidrat dan selulosa, faktor psikologisdan
latihan toilet yang tidaksesuai, gangguan hormondan dysbakteriosis usus dimana tinja yang
kering dan keras menyebabkan lingkungan internal normal pada usus besar terganggu sehingga
berpengaruh pada motilitas usus.
Prinsip penanganan konstipasi fungsional adalah menentukan adanya akumulasi feses
(fecal impaction), evakuasi feses (disimpaction), pencegahan berulangnya akumulasi feses dan
menjaga pola defekasi menjadi teratur dengan terapi rumatan oral, edukasi kepada orang tua dan
evaluasi hasil terapi.
1
Diet tinggi serat memiliki efek meningkatkan retensi air pada feses dan sebagai substrat
bagi pertumbuhan bakteri komensal sehingga bersifat prebiotik dan membantu memperlunak
tinja dan menormalkan frekuensi BAB. Diet serat alami berasal dari tumbuhan yang terdiri dari
polisakarida dan oligosakarida yang dalam proses pemecahan di saluran pencernaan memerlukan
enzim. Serat terbagi atas yang water soluble dan water insoluble.
Glucomannan merupakan serat nabati yang berasal dari akar tanaman Elephant yam atau
lebih dikenal degan Amorphophallus konjac dan dianggap sebagai pencahar karena bersifat
water soluble, pembentuk massal, glucomannan menjadi pengobatan yang efektif untuk
konstipasi dan terbukti sebagai laksansia bila digunakan dengan dosis 100 mg/kg berat
badan/hari atau 3 sampai 4 gram setiaphari.
Glucomannan telah dipertimbangkan oleh United State Food and Drug Administration
(UFDA)sebagai bahan makanan yang terdaftar.Penelitian di Italimelaporkan pemberian
glucomannan pada anak konstipasi usia 5 sampai 10 tahun terbukti efektif sebagai terapi
konstipasi. Penelitian di Medan melaporkan pemberian glucomannan selama 4 minggu pada
anak konstipasi fungsional meningkatkan frekuenasi BAB danterdapat perbedaan konsistesi tinja
dibandingkan sebelum pemberian glucomannan.
Agar-agar dikenal dengan berbagai sebutan seperti agar, gum agar, bacto-agar, bengal
gelatin, japan agar, kanten dan caragennan. Agar-agar merupakan serat alamiah yang berasal dari
rumput laut (seaweed) jenis alga merah (Red algae) golongan Rhodophyta dantelah lama
digunakan sebagai bahan tambahan dalam berbagai produk makanan, kosmetik, media kultur
bakteri, sumber serat alamiah dan sebagai laksatif atau pencahar pada kasus konstipasi.
Agar-agar merupakan serat sintetis yang larut dalam air (watersoluble).Agar-agar bila
larut dalam air akan menambah volume tinja dan meningkatkan kadar air pada tinja sehingga
menambah massa tinja dan disaat yang sama terjadi fermentasi tinja oleh bakteri disaluran cerna
yang dapat memberi dampak laksatif (pencahar)
B. Rmusan Masalah
Berdasarkan latar belakang diatas, maka dirumuskan masalah penelitian sebagai berikut :
pakah ada perbedaan pemberian glucomannan dengan dan tanpa agar-agar pada pengobatan
konstipasi fungsional pada anak.
2
C. Tujuan Penelitian
1. Tujuan umum
Untuk menentukan perbedaan pemberian glucomannan saja dibandingkan dengan
pemberian glucomanan dengan agar-agar padapengobatan konstipasi fungsional pada
anak.
2. Tujuan khusus
Mengetahui perbedaan pemberianglucomannansaja dalam meningkatkan frekuensi
BAB pada pengobatan anak dengan konstipasi fungsional
Mengetahui perbedaan pemberian glucomannan dengan agar-agar dalam
meningkatkan frekuensi BAB pada pengobatan anak dengan konstipasi fungsional.
Mengetahui perbedaan pemberian glucomannan saja dibandingkan pemberian
glucomannan dengan agar-agar dalam mengatur perubahan konsistensi tinja pada
pengobatan anak dengan konstipasi fungsional.
3
BAB II
PEMBAHASAN
A. Definisi
Definisi yang berbeda mengenai konstipasi telah dijelaskan oleh berbagai literatur. The
North American Society of Pediatric Gastroenterology and Nutrition mendefinisikan konstipasi
sebagai terhambatnya atau sulitnya defekasi yang dialami 2 minggu atau lebih, dan cukup untuk
menyebabkan masalah yang signifikan pada pasien. KonstipasI dikatakan idiopatik (disebut juga
fungsional) ketika tidak bisa dijelaskan adanya abnormalitas anatomi, fisiologi, radiologi atau
histopatologi. Hal ini yang membedakannya dengan konstipasi sekunder akibat penyebab
organik.
Konstipasi merujuk pada frekuensi defekasi dan konsistensi tinja. Kedua parameter ini
berubah seiring perubahan usia dan pola diet, hal ini biasanya meningkatkan kekhawatiran di
kalangan orang tua yang kompulsif memantau kebiasaan defekasi anaknya. Bayi normal
cenderung buang air besar setelah setiap kali pemberian makanan, tetapi pola ini bervariasi. Bayi
yang diberi ASI memiliki frekuensi defekasi yang lebih sedikit dibanding bayi yang diberi susu
formula konvensional. Anak diatas 6 tahun cenderung buang air besar 1 kali sehari. Frekuensi
buang air besar yang berkurang harus diperhatikan jika konsistensi tinja keras, kering, besar yang
tidak seperti biasanya, atau sulit untuk dikeluarkan.
B. Etiologi
Penyebab konstipasi pada anak dibagi menjadi organik atau fungsional. Penyebab non-
organik menjadi mayoritas (95%) pada kasus konstipasi.Penyebab yang sering adalah makanan,
kurangnya aktivitas, perilaku, dan masalah psikososia
Konstipasi primer (fungsional/idiopatik) dapat dibagi menjadi 3 tipe, yaitu: normal-transit
constipation (NTC), slow-transit constipation (STC), dan disfungsi dasar panggul. Tipe pertama
merupakan tipe tersering, dimana tinja melewati usus besar dengan kecepatan normal, tetapi
pasien mengalami kesulitan untuk mengeluarkannya. Tipe kedua digambarkan dengan
pergerakan usus yang jarang, penurunan urgensi, atau usaha untuk buang air besar (sering terjadi
pada perempuan). Disfungsi dasar panggul digambarkan sebagai gangguan fungsi dasar panggul
atau sfingter anus. Pasien tipe ini sering mengeluhkan usaha yang berkepanjangan/berlebih untuk
4
buang air besar, perasaan tidak puas, atau penggunaan tekanan perineal atau vagina saat defekasi
untuk mengeluarkan tinja.
Penyebab organik termasuk kelainan anatomi, neuromuskular, metabolic, endokrin, dan
lain-lain. Konstipasi sekunder, sebagai contoh dikarenakan hipotiroid, penyakit Hirschsprun,
atau perubahan kadar kalsium, merupakan hal yang jarang terjadi dan hanya sekitar kurang dari
10%kasus. Selain itu, alergi protein susu sapi, khususnya yang tidak dimediasi IgE, berkaitan
dengan dismotilitas usus besar dapat menyebabkan konstipasi, dengan salah satu penelitian
memperkirakan hingga 40% kasus konstipasi yang sulit diatasi (refrakter).
Pemahaman pemicu konstipasi pada anak sangat penting. Berkembangnya konstipasi
fungsional pada anak merupakan proses yang dipicu oleh interaksi banyak faktor yang ada, yang
berakhir pada retensi tinja yang dikehendaki, dan apabila perilaku dibiarkan akan menjadi
konstipasi kronik. Orang tua dari anak dengan konstipasi sering mengalami konstipasi ketika
masa kanak-kanak. Hal ini menunjukkan kemungkinan adanya factor genetik berpengaruh. Diet
memainkan peran dalam volume dan konsistensi material tinja. Beberapa makanan, seperti serat
sayuran, cenderung membuat tinja lunak, sebaliknya makanan dan minuman lain, seperti garam
kalsium dari susu sapi, cenderung menyebabkan tinja keras. Diet elemental dan kimia tertentu
yang mengurangi residu makanan dan dengan demikian mengurangi frekuensi buang air besar.
Ketika peningkatan aktivitas dan diet tinggi serat dapat bersifat protektif, faktor predisposisi
yang meningkatkan risiko terjadinya konstipasi adalah usia, depresi, inaktivitas, asupan kalori
yang rendah, tingkat ekonomi dan pendidikan yang rendah, sejumlah obat-obatan yang
dikonsumsi, kekerasan fisik dan seksual, mulainya toilet training, perubahan pola makan,
perubahan dari ASI menjadi susu sapi, atau perubahan dari makanan lunak menjadi padat,
kelahiran saudara baru, pertama kali berada ditempat penitipan anak, bepergian, tidak
tersedianya toilet. Anak yang mengalami kesulitan saat toilet training cenderung mengalami
konstipasi. Anak seperti ini biasanya kurang bisa beradaptasi dan memiliki mood negatif. Selain
itu, konstipasi dapat juga terjadi akibat efek sekunder dari pergi ke sekolah yang terburu-buru di
pagi hari, waktu penggunaan toilet sekolah yang cepat, penundaan buang air besar karena anak
lebih tertarik mengerjakan hal lain. Terkadang tinja pada anak juga keras karena asupan cairan
yang kurang saat liburan atau demam.
5
C. Etiologi
Konstipasi merupakan masalah yang sering terjadi pada anak di dunia, baik di pelayanan
primer maupun sekunder, serta melibatkan 40% bayi dan 30% anak usia sekolah. Prevalensi
dunia secara keseluruhan bervariasi karena perbedaan diantara tiap etnis tentang konstipasi yang
dialami. Prevalensi konstipasi pada anak di dunia saat ini berkisar antara 0,7% sampai 29,6%.
Prevalensi konstipasi fungsional pada anak berkisar dari 4% sampai 36%. Di rumah sakit, 3%
konstipasi anak dirujuk ke bagian pediatrik dan hingga 25% ke bagian pediatric
gastroenterology.
Konstipasi lebih jarang terjadi pada penduduk Afrika berkulit hitam dibandingkan dengan
penduduk Afrika berkulit putih. Hal ini menunjukkan bahwa selain diet, faktor lingkungan lain
juga memainkan peranan penting. Adanya riwayat keluarga dijumpai pada 28-50% anak
konstipasi dan insiden yang lebih tinggi dilaporkan pada kembar monozigot dibandingkan
dizigot Umumnya perempuan lebih sering mengalami konstipasi dibanding laki-laki dengan
rasio sebesar 3 berbanding 1. Meskipun demikian, konstipasi cenderung sama pada kedua jenis
kelamin dibawah usia 5 tahun, lebih sering terjadi pada perempuan diatas usia 13 tahun, dan
puncak insiden pada saat toilet training sekitar usia 2-3 tahun hingga usia sebelum sekolah.
D. Patofisiologi konstipasi
Proses defekasi yang normal memerlukan keadaan anatomi dan persafaran yang normal
dari rektum, otot puborektal dan sfingter ani. Rektum adalah organ sensitif yang mengawali
proses defekasi. Tekanan pada dinding rektum oleh feses akan merangsang sistem saraf intrinsik
rektum dan menyebabkan relaksasi sfingter ani interna, yang dirasakan sebagai keinginan untuk
defekasi. Sfingter ani eksterna kemudian menjadi relaksasi dan feses dikeluarkan mengikuti
peristaltik kolon melalui anus. Apabila relaksasi sfingter ani interna tidak cukup kuat, maka
sfingter ani eksterna akan berkontraksi secara refleks dan untuk selanjutnya akan diatur secara
volunter. Otot puborektalis akan membantu sfingter ani eksterna sehingga anus mengalami
konstriksi. Apabila konstriksi berlangsung cukup lama, refleks sfingter ani interna akan
menghilang diikuti hilangnya keinginan defekasi.
Patofisiologi konstipasi pada anak berkaitan dengan banyak faktor. Borowitz, dkk.
melaporkan bahwa defekasi yang menyakitkan adalah pencetus dari konstipasi. Nyeri saat
6
defekasi akan membuat anak cenderung menahan defekasinya. Selama proses tersebut, mukosa
rektum akan mengabsorbsi air dari feses, sehingga feses menjadi keras dan besar. Hal ini akan
mengakibatkan defekasi menjadi semakin sulit. Karena sulitnya defekasi, terkadang dapat terjadi
fisura anal yang akan memperburuk nyeri yang dialami anak. Hal ini akan membuat anak
semakin berusaha untuk menahan defekasinya. Siklus retensi feses ini terjadi berulang-ulang dan
menjadi reaksi otomatisasi. Seiring berjalannya waktu, akumulasi feses di rektum akan
menyebabkan dilatasi rektum. Dilatasi rektum akan menyebabkan kemampuan sensorik rektum
berkurang bersama dengan keinginan defekasi. Proses tersebut terjadi terus menerus dan
mencetuskan konstipasi.
E. Manifestasi Kelinis
Gejala yang paling umum didapati adalah riwayat berkurangnya frekuensi defekasi. Seiring
meningkatnya retensi feses, manifestasi konstipasi yang lain bermunculan seperti nyeri dan
distensi abdomen yang menghilang setelah defekasi. Terkadang dijumpai riwayat feses yang
keras atau feses yang sangat besar sehingga menyumbat saluran toilet. Enkopresis diantara feses
yang keras sering salah didiagnosis sebagai diare.
Anak yang mengalami konstipasi biasanya mengalami anoreksia dan kurangnya kenaikan
berat badan. Hal ini akan berkurang jika konstipasi teratasi. Anak sering melakukan manuver
menahan feses seperti menyilangkan kedua kaki serta menarik kaki kanan dan kiri bergantian ke
depan dan kebelakang sehingga kadang terkesan seperti kejang. Inkontinensia urin dan infeksi
saluran kemih sering berkaitan dengan konstipasi pada anak. Semakin lama feses berada di
rektum, semakin banyak bakteri berkoloni di perineum sehingga akan meningkatkan risiko
infeksi saluran kemih.
Pada pemeriksaan fisik, didapati distensi abdomen dengan peristaltik normal, meningkat
atau berkurang. Dapat dijumpai massa yang teraba di regio abdomen kiri dan kanan bawah serta
suprapubis. Pada kasus yang berat, massa tinja kadang dapat teraba di daerah epigastrium. Tanda
penting lain dari konstipasi adalah fisura ani dan ampula rekti yang besar.
Nyeri perut kronis dan retensi feses dapat menyebabkan kesulitan psikososial, gangguan
dalam bergaul dan tekanan pada keluarga. Anak dengan konstipasi terlihat lebih pendiam,
7
cenderung menarik diri, malu, kurang percaya diri dan marah saat dilakukan pemeriksaan
dibandingkan dengan anak yang tidak memiliki kelainan serupa.
F. Diagnosis
Anamnesis dan pemeriksaan fisik memegang peranan penting dalam diagnosis konstipasi.
Dari anamnesis dijumpai manifestasi klinis seperti disebutkan di atas. Temuan klinis tersebut
kemudian disesuaikan dengan kriteria diagnosis konstipasi menurut ROME III. Diagnosis
ditegakkan bila dijumpai setidaknya dua gejala selama sebulan pada anak usia kurang dari 4
tahun. Untuk anak usia lebih dari 4 tahun, harus dijumpai 2 gejala atau lebih yang tidak termasuk
IBS dan gejalanya harus dijumpai setidaknya sekali dalam seminggu selama 2 bulan. Dikatakan
konstipasi akut bila keluhan berlangsung kurang dari 1-4 minggu dan konstipasi dikatakan kronis
apabila keluhan berlangsung lebih dari 1 bulan. Pendapat lain yang diajukan oleh Croffie
menyatakan bahwa konstipasi dikatakan kronis apabila berlangsung lebih dari 8 minggu.
Pemeriksaan penunjang yang dapat dilakukan antara lain pengukuran kadar hormon
tiroksin dan thyroid stimulating hormone (TSH), tes serologi, foto polos abdomen, barium
enema, manometri anorektal dan kolon, biopsi rektum, pemeriksaan transit marker radioopaque
dan ultrasonorafi abdomen. Pemeriksaan penunjang tersebut dilakukan untuk menyingkirkan
diagnosis banding konstipasi.
G. Penatalaksanaan
Edukasi kepada orang tua termasuk penjelasan patogenesis penyakit adalah langkah awal
dari penatalaksanaan konstipasi. Edukasi kepada orang tua penting dilakukan agar mereka dapat
mengatur pola makan yang tepat dan menghilangkan mitos-mitos yang tidak benar seputar
konstipasi. Selain itu, edukasi kepada orang tua juga akan mengurangi kecemasan merekadan
meningkatkan kemauan mereka untuk terlibat dalam penatalaksanaan.
8
Evakuasi feses dapat dilakukan dengan terapi lewat rektum atau oral. Program evakuasi
feses biasanya dilakukan selama 2-5 hari sampai terjadi evakuasi tinja secara lengkap dan
sempurna. Terapi oral yang diberikan adalah mineral oil (paraffin liquid) dengandosis 15-30
ml/tahun, maksimal 240 mL/hari kecuali pada bayi. Larutan polietilen glikol (PEG) juga dapat
diberikan dengan dosis 20 mL/kgBB/jam, maksimal 1.000 mL/jam yang diberikan dengan pipa
nasogastrik selama 4 jam/hari. Evakuasi feses lewat rektum dapat dilakukan dengan mengunakan
enema fosfat hipertonik (dengan dosis 3mL/kgBB, 2 kali sehari, maksimal 6 kali enema), enema
garam fisiologis (dengan dosis 600-1000 mL) atau mineral oil 120 mL. Pada bayi digunakan
supositoria atau enema gliserin 2-5 ml.
H. Asuhan Keperawatan
CONTOH KASUS:
Pada tanggal 14 juni 2010 Tn.Ln Usia51 tahun masuk rumah sakit dengan keluhant tidak
bisa BAB sejak ± 3 minggu yang lalu dan mengeluh nyeri pada perut tengah bagian kanan dan
nyeri pada kaki sebelah kiri. Setelah di periksa menggunakan MRS, Os datang karena fraktur
femur 1/3 proximal sinistra.Pasien mengatakan fraktur terjadi karena terpleset dikamar mandi
sekitar 4 hari yang lalu. pasien mengatakan sebelumnya pernah mengalami penyakit seperti
batuk, demam, pilek dan pusing, pasien mengatakan alergi terhadap makanan laut, karena dapat
menimbulkan reaksi gatal-gatal pada kulit. Sedangkan untuk obat-obatan pasien tidak mengalami
alergi. Setalah di lakuan pemeriksaan fisik di dapatkan keadaan umum pasien sedang dengan
tingkat kesadaran CM, GCS 15, Tekanan darah 110/80 mmHg, Nadi 80x/mnt.
1. Pengkajian
a. Identitas
- Pasien
9
Status : Kawin
- Identitas enanggung
10
- Saat MRS: Os datang karena fraktur femur 1/3 proximal sinistra.Pasien mengatakan fraktur
terjadi karena terpleset dikamar mandi sekitar 4 hari yang lalu.
- Saat pengakajian: Os mengeluh tidak bisa BAB sejak ± 3 minggu yang lalu dan mengeluh
nyeri pada perut tengah bagian kanan dan nyeri pada kaki sebelah kiri.
Alasan masuk RS:
- Sejak 4 hari yang lalu pasien datang dengan fraktur dan sebelumnya pasien juga mengeluh
tidak bisa BAB ± sejak 3 minggu yang lalu.
Upaya yang dilakukan untuk mengatasi:
Pasien mengatakan sebelumnya sudah pernah bolak balik RS selama 3x dan mendapatkan
obat pencahar dari dokter. Pasien lupa nama obatnya. Walaupun telah menggunakan obat
pencahar, tapi pasien tetap tidak bisa BAB.
c. Status kesehatan masa lalu
- Penyakit yang pernah di alami:
pasien mengatakan sebelumnya pernah mengalami penyakit seperti batuk, demam, pilek dan
pusing.
- Pernah di rawat:
pasien mengatakan sebelumnya tidak pernah dirawat di RS.
- Alerg :
pasien mengatakan alergi terhadap makanan laut, karena dapat menimbulkan reaksi gatal-
gatal pada kulit. Sedangkan untuk obat-obatan pasien tidak mengalami alergi.
- Kebiasaan : merokok (-), alcohol (-), kopi (-).
- Riwayat penyakit keluarga : asthma (-), DM (-), penyakit jiwa (-), hipertensi (-).
- Diagnosa medis dan therapy : CF femur 1/3 proksimal sinistra + konstipas
- Therapy :
ISDN 3x 5 mg
Oscandia 1 x 1 mg
Lactulosa 3 x 1 mg
Asamefenamat 3 x 1 mg
11
Laksobenont 1 x 20 tetes dalam 250 cc air.
Metyl predisolon 3 x 1 ml
12
Sebelum sakit,pasien biasa tidur dengan nyenyak dari pkl 22.00 sampai pkl 05.00.
Terkadang pasien bangun untuk buang air kecil.
Saat pengkajian : pasien mengatakan susah tidur karena situasi yang ramai,berisik dan
ruangan bercahaya. Pasien mengatakan hanya bisa tidur ± 3 jam dari pkl 23.00-
02.00.Pasien juga mengatakan tidak terbiasa tidur siang.
6) Pola berpakaian
Sebelum sakit pasien biasa mengganti pakaiannya 2x sehari setelah mandi.
Saat pengkajian : pasien hanya memakai celana pendek, karena merasa kepanasan. Dalam
berpakaian pasien biasa dibantu oleh keluarga.
13
Pasien menganut agama Hindu dan setiap hari raya pasien biasa sembahyang di merajan
dan di pura. Karena sakitnya pasien hanya bisa sembahyang dari tempat tidur.
12) Pola produktivitas
Pasien sebagai kepala keluarga dan pasien mempunyai seorang istri dan 3 orang anak.
Pekerjaan pasien sebagai PNS. Saat pengkajian pasien tidak bisa menjalankan tugasnya
sebagai kepala keluarga dan PNS.
13) Pola Rekreasi
Di rumah : pasien biasa menghibur diri dengan menonton TV, mengobrol dengan keluarga,
membaca Koran dan ke pantai saat liburan.
Saat pengkajian : pasien hanya menghabiskan waktu dengan tiduran dan terkadang
mengobrol dengan keluarga.
14) Pola belajar
Di rumah : pasien biasa mandapatkan berita terkini dari TV, Koran dan lingkungan
kerjanya.
Saat pengkajian : pasien mendapat informasi tentang penyakitnya dari tim kesehatan dan
pasien terlihat sering bertanya – tanya mengenai penyakitnya.
e. Pemeriksaan Fisik
1) Keadaan umum : sedang
TTV
2) Keadaan Fisik
14
Difokuskan sesuai dengan kasus / sistem yang mengalami gangguan.
Kepala dan leher : bentuk oval, warna rambut kehitaman berminyak, nyeri tekan (-)
mata : simetris,tanpa kaca mata,tampak ada lingkaran hitam pada mata,konjungtiva
normal (merah muda).
- Dada : gerak nafas simetris
- Paru – paru : Retraksi dada normal.Whesing(-),ronchi(-)
- Jantung : Suara jantung I+II normal.
Payudara dan ketiak : payudara simetris tidak ada benjolan ariola menonjol. Ketiak ada
rambut dan tidak ada hiperpigmentasi.
Abdomen : terdengar bising usus 16 x/mnt, teraba massa(skibala),pada perut bagian
tengah kanan, dan kembung (+) platus(+)
- Hepar : Normal
- Lien : Normal
Genetalia : Tidak dikaji..
Integumen : turgor kulit normal, kulit keriput (+) terdapat hiperpigmentasi pada lengan
dan kulit wajah.
Ekstremitas
- Atas : bentuknya simetris, edema (-), teraba hangat dan bisa berfungsi dengan baik
dan pergerakan terkontrol terpasang infus pada tangan kiri Nacl 0,9% 20 tetes/mnt.
- Bawah : bentuk simetris, edema (-) , fraktur pada femur kaki kiri, terbalut dengan
elastic bendage dan terpasang skin traksi (± 5kg)
f. Pemeriksaan penunjang
1) Data laboratorium
15
RDW – 17.0 11.6 – 14.8 –
NDW – 14.71 2.2 – 3.2 g/dL
PCT 31.8 – 150 – 440 10 e 3/uL
MPV 6,2 – 0.0 – 99.9 fL
MPC – 26.1 26.5 – 40 g/dL
2) Pemeriksaan Radiologi
Hasil foto rontgen pasien terlihat kesan fraktur femur 1/3 bagian proximal sinistra.
2. Diagnosa Keperawatan
III 14/6/10 Nyeri akut b/d distensi usus ditandai dengan wajah pasien
tampak meringis skala nyeri 6 dari 1-10.
16
VI 14/6/10 Kurang pengetahuan b/d kurangnya informasi yang adekuat
tentang pronosis pengobatan dan perawatan penyakit
ditandai dengan pasien selalu bertanya – tanya mengenai
penyakitnya.
Prioritas masalah :
Konstipasi b/d penurunan peristaltik usus, yang ditandai dengan tidak bisa BAB dari 3 minggu
yang lalu, teraba skibalak diperut tengah bagian kanan, peristaltik usus 16x/mnt.
3. Rencana Keperawatan
17
/hari)
D. IMPLEMENTASI
N : 80x/menit
S : 36,8o C
18
12.30 Laxsadin 1 sendok teh S : 36o C
4. EVALUASI
19
2010 warna kehitaman.
v\:* {behavior:url(#default#VML);}
o\:* {behavior:url(#default#VML);}
w\:* {behavior:url(#default#VML);}
.shape {behavior:url(#default#VML);}
20
DS:
21
Pasien tampak meringis
Dx
Terputusnya
4
kontinyuitas tulang
DO:
dan jaringan.
14/6/10
Pasien mengalami fraktur
pemur 1/3 proksimal sinistra
terpasang skin traksi 5kg.
Penurunan fungsi
Pasien hanya berbaring
organ tubuh.
22
ditempat tidur.
Keadaan tubuh
melemah
Mobilitas fisik
terganggu
DS :
Pasien mengatakan kurang
nyaman dengan keadaan
badannya, kebersihan diri
hanya dengan washlap dan Fraktur
dilakukan oleh keluarga.
kerusa
Dx
DO : kan musculoskeletal
5
Tercium bau badan , badan
pasien terlihat kotor, rambut Kelemahan
berminyak, dan tampak
14/6/10
berkeringat. Terdapat fraktur
pada femur 1/3 proksimal Perawatan diri
sinistra, terpasang infuse kurang
pada tangan kiri.
Defisit
personal
hygiene
23
DS:
DO:
24
berisik, cahaya
lingkungan berisik,dan
bercahaya.
terbangun lebih awal
Dx
7
gangguan pola tidur
Keadaan umum
pasien melemah
14/6/10
25
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
konstipasi adalah terhambatnya atau sulitnya defekasi yang dialami 2 minggu atau
lebih, dan cukup untuk menyebabkan masalah yang signifikan pada pasien.
Konstipasi merujuk pada frekuensi defekasi dan konsistensi tinja. Kedua
parameter ini berubah seiring perubahan usia dan pola diet, hal ini biasanya
meningkatkan kekhawatiran di kalangan orang tua yang kompulsif memantau
kebiasaan defekasi anaknya.
Penyebab konstipasi pada anak dibagi menjadi organik atau fungsional. Penyebab
non-organik menjadi mayoritas (95%) pada kasus konstipasi.Penyebab yang
sering adalah makanan, kurangnya aktivitas, perilaku, dan masalah psikososia
Prinsip penanganan konstipasi adalah menentukan akumulasi feses (fecal
mpaction), evakuasi feses (fecal disimpaction), pencegahan berulangnya akumulasi
feses dan menjaga pola defekasi menjadi teratur dengan terapi rumatan oral,
edukasi kepada orang tua dan evaluasi hasil terapi. Perlu dijelaskan kepada orang
tua bahwa penatalaksanaan konstipasi memakan waktu yang lama dan tidak ada
solusi cepat pada kondisi tersebut.
B. Kesimpulan
Dengan kita mengetahui apa itu konstipasi dan bagaimana asuhan keperawatan
secara teoritis pada pasien penderita konstipasi sehingga kita bisa mengaplikasikan
nya, dan bisa menambah wawasan kita tentang konstipasi.
26