Anda di halaman 1dari 21

LAPORAN KEGIATAN

TERAPI AKTIVITAS KELOMPOK

STIMULASI SENSORI
PADA PENDERITA RETARDASI MENTAL
DI DESA SRIGONCO KECAMATAN BANTUR

Oleh:

Ifatul Khoiriah
NIM. 0910723003

JURUSAN KEPERAWATAN
FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS BRAWIJAYA
MALANG
2014
HALAMAN PENGESAHAN
LAPORAN KEGIATAN TERAPI AKTIVITAS KELOMPOK
STIMULASI SENSORI PADA PENDERITA RETARDASI MENTAL
DI DESA SRIGONCO KECAMATAN BANTUR

Diajukan untuk memenuhi kompetensi Praktek Profesi Departemen


CMHN

Oleh :
Ifatul Khoiriah
NIM. 0910723003

Telah diperiksa kelengkapannya pada :


Hari : Rabu
Tanggal : 5 November 2014

Perseptor Akademik Perseptor Klinik

Ns. Retno Lestari S.Kep, MN Ns. Soebagijono, S.Kep, M.MKes


NIP. 198009142005022001 NIP. 1968109 1999003 1003
BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Dari studi pendahuluan dan pengkajian yang telah penulis lakukan,
didapatkan data bahwa masalah terbanyak yang terdapat di kelima desa
di Kecamatan Bantur adalah retardasi mental dan konsumen jiwa sehat
yang mengalami masalah isolasi sosial. Mayoritas penderita retardasi
mental dan konsumen jiwa sehat yang mengalami isolasi sosial telah
mampu mandiri dalam ADL namun masih sangat kurang dalam
komunikasi verbal dan masih sangat kurang dalam berinteraksi dengan
orang lain. Hal ini mendorong kelompok untuk melakukan terapi aktivitas
kelompok (TAK) yang merupakan salah satu terapi modalitas
keperawatan untuk mendukung dan mengoptimalkan intervensi yang
telah dilakukan oleh perawat.
Terapi aktivitas kelompok merupakan salah satu bentuk kegiatan
terapi psikologik yang dilakukan dalam sebuah aktivitas dan
diselenggarakan secara kolektif dalam rangka pencapaian penyesuaian
psikologis, perilaku dan pencapaian adaptasi optimal pasien. Dalam
kegiatan aktivitas kelompok. Tujuan ditetapkan berdasarkan kebutuhan
dan masalah yang dihadapi oleh sebagian besar klien dan sedikit banyak
dapat diatasi dengan pendekatan terapi aktivitas kolektif.
Terapi Aktivitas Kelompok (TAK) Sensori merupakan terapi
modalitas yang dapat digunakan sebagai upaya untuk menstimulasi
semua panca indra (sensori) agar memberi respon yang adekuat. TAK
Stimulasi Sensori yang akan dilakukan ditujukan pada kelompok klien
dengan masalah yang sama, yang dalam hal ini adalah gangguan
komunikasi verbal. Terapi modalitas ini merupakan terapi yang
dikembangkan pada kelompok klien untuk meningkatkan kemampuan
verbal klien sehingga diharapkan dengan TAK asuhan keperawatan jiwa
adalah asuhan keperawatan spesialistik namun tetap holistik. Sehingga
pada proposal ini kelompok berkeinginan mengajukan TAK Stimulasi
Sensori untuk penderita Retardasi Mental sebagai terapi modalitas untuk
meningkatkan kemampuan komunikasi verbal penderita Retardasi Mental
dan konsumen jiwa sehat yang mengalami isolasi sosial.

1.2 Tujuan
Tujuan umum TAK Stimulasi Sensori yaitu peserta dapat
meningkatkan kemampuan komunikasi verbal dalam kelompok secara
bertahap. Sementara, tujuan khususnya adalah:
1. Peserta mampu mensensorikan stimulus yang dipaparkan
dengan tepat
2. Peserta mampu menyelesaikan masalah dari stimulus yang
dialami

1.3 Manfaat
1.3.1 Manfaat Bagi Klien
 Sebagai cara untuk meningkatkan kemampuan klien
retardasi mental dan konsumen jiwa sehat yang mengalami
isolasi sosial untuk berkomunikasi secara verbal dengan
orang lain dalam kelompok secara bertahap
1.3.2 Manfaat Bagi Terapis
 Sebagai upaya untuk memberikan asuhan keperawatan jiwa
secara holistik
 Sebagai terapi modalitas yang dapat dipilih untuk
mengoptimalkan Strategi Pelaksanaan dalam implementasi
rencana tindakan keperawatan klien
1.3.3 Manfaat Bagi Puskesmas Srigonco
 Sebagai masukkan dalam implementasi asuhan
keperawatan yang holistik pada pasien dengan Retardasi
Mental pada khususnya, sehingga diharapkan
keberhasilan terapi lebih optimal.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Retardasi Mental


2.1.1 Definisi
Menurut Crocker AC (dikutip dari Soetjiningsih, 1995:191), retardasi
mental adalah suatu kondisi yang ditandai oleh intelegensi yang rendah,
yang disertai adanya kendala dalam penyesuaian perilaku, dan gejalanya
timbul pada masa perkembangan. Sedangkan menurut Melly Budhiman
(dikutip dari Soetjiningsih, 1995: 191), seseorang dikatakan retardasi
mental jika memenuhi kriteria sebagai berikut: (1) fungsi intelektual umum
dibawah normal, (2) terdapat kendala dalam perilaku adaptif sosial, (3)
gejalanya timbul dalam masa perkembangan yaitu dibawah usia 18
tahun.
Yang dimaksud fungsi intelektual dibawah normal adalah IQ yang
kurang dari 70. Anak dengan retardasi mental tidak mampu untuk
mengikuti pendidikan di sekolah biasa seperti anak lainnya karena cara
berpikirnya yang terlalu sederhana. Anak ini bersekolah di sekolah luar
biasa tingkat C (SLB-C), yang dikhususkan untuk anak tunagrahita atau
retardasi mental.
Menurut PPDGJ-III (2003), retardasi mental atau tunagrahita
adalah suatu keadaan perkembangan jiwa yang terhenti atau tidak
lengkap, yang terutama ditandai oleh terjadinya hendaya ketrampilan
selama masa perkembangan sehingga berpengaruh terhadap tingkat
kecerdasan secara menyeluruh, misalnya kemampuan kognitif, bahasa,
motorik, dan sosial. Beberapa orang yang mengalami retardasi mental
bersifat pasif dan tergantung, sedangkan yang lain bersikap agresif dan
impulsif (Videbeck, 2008:560).
Jadi retardasi mental adalah suatu kondisi yang ditandai intelegensi
yang rendah yang disertai kendala ketrampilan dan penyesuaian perilaku
selama masa perkembangan yaitu dibawah usia 18 tahun.
2.1.2 Penyebab
Secara garis besar faktor penyebab dapat dibagi empat golongan,
yaitu (Soetjiningsih, 1995):
a. Faktor genetik
Akibat kelainan kromosom, seperti: (1) kelainan jumlah kromosom,
misalnya trisomi-21 atau dikenal dengan Mongolia atau Down
Syndrome, (2) kelainan bentuk kromosom.
b. Faktor prenatal
Keadaan tertentu yang telah diketahui ada sebelum atau pada saat
kelahiran, tetapi tidak dapat dipastikan sebabnya. Ada beberapa
kemungkinan penyebab, antara lain: (1) keracunan pada saat di
dalam kandungan, (2) faktor psikologi ibu ketika mengandung, (3)
infeksi di dalam kandungan, (3) kekurangan gizi pada saat hamil,
(4) penyakit karena virus yang diderita ibu ketika hamil, (5)
konsumsi beragam obat yang dilakukan oleh sang ibu untuk
mengurangi penderitaan ketika hamil muda, (6) kelainan pada
kelenjar gondok, yang mengakibatkan pertumbuhan kurang wajar,
(7) penyinaran dengan sinar rontgen dan radiasi atom yang
mengakibatkan kelainan bayi dalam rahim ibunya (Mulya, 2011).
c. Faktor perinatal
Yang menjadi faktor perinatal yang pertama adalah proses
kelahiran yang lama misalnya plasenta previa, rupture tali
umbilicus. Faktor yang kedua posisi janin yang abnormal seperti
letak bokong atau melintang, anomaly uterus, dan kelainan bentuk
jalan lahir. Kemudian faktor yang terakhir adalah kecelakaan waktu
lahir dan distress fatal. Menurut Mulya (2011), kekurangan zat
asam yang menyebabkan kerusakan pada sel otak dan sesak
napas ketika dilahirkan juga berkontribusi dalam menyebabkan
retardasi mental.
d. Faktor pascanatal
Yang meliputi faktor pascanatal adalah akibat infeksi (meningitis,
ensefalitis, meningoensefalitis, dan infeksi), trauma kapitis dan
tumar otak, kelainan tulang tengkorak, kelainan endokrin dan
metabolik, keracunan pada otak.

2.1.3 Klasifikasi
Menurut nilai IQ-nya, maka intelegensi seseorang dapat
digolongkan sebagai berikut (Swaiman dikutip oleh Soetjiningsih, 1995:
1992):
a. Sangat superior (130 atau lebih).
b. Superior (120-129).
c. Diatas rata-rata (110-119).
d. Rata-rata (90-110).
e. Dibawah rata-rata (80-89).
f. Retardasi mental borderline (70-79).
g. Retardasi mental ringan (mampu didik) (52-69).
h. Retardasi mental sedang (mampu latih) (36-51).
i. Retardasi mental berat (20-35).
j. Retardasi mental sangat berat (dibawah 20).
Sedangkan menurut Asosiasi Retardasi Mental Amerika (The
American Association on Mental Retardation [AAMR]) dan PPDGJ-III
klasifikasi retardasi mental berdasarkan tingkat IQ adalah sebagai berikut:
retardasi mental ringan (50-69), retardasi mental sedang (35-49),
retardasi mental berat (20-34), retardasi mental sangat berat (di bawah
20).
Menurut Semiun (2006), anak-anak dengan IQ 51-69 dan usia
mental berkisar 6 atau 7 sampai 11 tahun disebut moron, anak-anak
dalam rentang IQ 25-50 dan rentang usia mental 3-6 atau 7 tahun disebut
imbisil, anak-anak dalam rentang IQ di bawah 25 dan usia mental 0-3
tahun disebut idiot.
Dari berbagai klasifikasi yang ditampilkan dapat disimpulkan bahwa
anak-anak dengan IQ kurang dari 70 disebut retardasi mental.

2.1.4 Manifestasi Klinis


Dalam diagnosis retardasi mental biasanya ditetapkan tingkatan
cacat dengan tingkatan IQ dan taraf kemampuan penyesuaian diri sosial
(Semiun, 2006:266). Tingkatan tersebut dibagi menjadi moron, imbisil,
dan idiot. Seperti yang sudah dijelaskan di atas, manifestasi yang
ditimbulkan dalam tingkatan tersebut adalah sebagai berikut (Semiun,
2006):
a. Moron
Dengan dilatih orang-orang yang cakap dan dengan penuh kasih
sayang, mereka dapat mencapai kelas V atau kelas VI sekolah
dasar (Semiun, 2006). Anak pada tingkatan ini masih memiliki
kemampuan yang dapat dikembangkan meskipun tidak maksimal.
Dengan pelatihan dan pendidikan, anak-anak pada tingkat ini
dapat membaca, menulis, dan berhitung meskipun cara berpikirnya
masih sederhana. Mereka juga dapat menyesuaikan diri dan
sedikit menggantungkan diri pada orang lain, serta masih memiliki
ketrampilan sederhana untuk kepentingan kerja dikemudian hari.
Menurut pembagian secara klinis, moron dibagi atas dua tipe yaitu
tipe stabil dan tipe tidak stabil (Semiun, 2006). Dalam tipe stabil,
mereka masih mempunyai minat dan perhatian pada
lingkungannya, mentalnya seimbang, bertingkah laku baik. Mereka
dapat dilatih untuk melakukan beberapa tugas tertentu (tukang cuci
piring, pembantu rumah tangga, tukang kebun, dan sebagainya)
(Semiun, 2006). Dalam tipe tidak stabil, pada umumnya sangat
rebut dan tidak mampu mengontrol diri sendiri, selalu merasa
gelisah dan selalu bergerak (Semiun, 2006).
b. Imbisil
Anak imbisil dapat belajar bicara, dan dengan demikian mereka
dapat menyampaikan kebutuhan dasarnya, dan biasanya tidak
mampu untuk belajar membaca dan menulis (Semiun, 2006).
Mereka mampu untuk belajar mengurus diri sendiri, belajar untuk
menyesuaikan diri dengan lingkungan sekitarnya, dan mampu
mempelajari kegunaan ekonomi di rumahnya.
c. Idiot
Mereka pada umumnya tidak mampu menjaga dirinya sendiri
terhadap bahaya-bahaya yang dating dari luar (Semiun, 2006).
Meskipun sudah dewasa tetapi mereka seolah-olah masih anak
kecil, untuk mengurus kebutuhan diri-sendiri sangat membutuhkan
orang lain.

2.1.5 Terapi
Memberi layanan pembelajaran pada anak dengan retardasi
mental tentunya banyak menemui hambatan. Namun, ada banyak cara
yang bisa dicoba untuk memdudahkan hal tersebut, yaitu dengan
menggunakan terapi permainan. Ada beberapa peran terapi permainan
dalam pembelajaran, yaitu (Mulya, 2011):
a. Terapi permainan sebagai saranan pencegahan. Mencegah
kesulitan, menambah masalah, dan mencegah terhambatnya
proses pembelajaran.
b. Terapi permainan sebagai sarana penyembuhan. Dalam hal ini
terapi permainan dapat mengembalikan fungsi, psiko-terapi, fungsi
sosial, melatih komunikasi, dan lain-lain.
c. Terapi permainan sebagai saranan untuk mempertajam
penginderaan. Misalinya permainan sebagai sarana untuk
mengembangkan kepribadian.
d. Terapi permainan sebagai saran untuk melatih aktivitas dalam
kehidupan sehari-hari. Khususnya anak perempuan.
perilaku anak yang sulit, informasikan sarana pendidikan yang ada.

2.2 Isolasi Sosial


2.2.1 Definisi
Isolasi sosial adalah kondisi ketika individu atau kelompok
mengalami atau merasakan kebutuhan, atau keinginan untuk lebih terlibat
dalam aktivitas bersama orang lain tetapi tidak mampu mewujudkannya
(Carpenito, 2009). Isolasi sosial adalah kegagalan individu dalam
melakukan interaksi dengan orang lain yang disebabkan oleh pikiran
negatif atau mengancam (Wiyati, dkk., 2010).
Rentang Respon Sosial
Rentang respon sosial

Respon adaptif Respon maladaptif


- Menyendiri - Merasa sendiri - Manipulasi
- Otonomi - Menarik diri - Impulsive
- Bekerjasama - Tergantung - Narcisisisme
- Saling
ketergantungan
 Respon adaptif
Adalah respon yang masih dapat diterima oleh norma social dan
kebudayaan secara umum serta masih dalam batas normal dalam
menyelesaikan masalah.
 Menyendiri
Merupakan respon yang dibutuhkan seseorang untuk merenungkan
apa yang telah dilakukan di lingkungan sosialnya dan suatu cara
mengevaluasi diri untuk menentukan langkah selanjutnya.
 Otonomi
Kemampuan individu untuk menentukan dan menyampaikan ide-ide,
pikiran, perasaan, dalam hubungaan sosial.
 Bekerjasama
Suatu kondisi dalam hubungan interpersonal dimana individu tersebut
mampu untuk saling memberi dan menerima.
 Saling Ketergantungan
Merupakan kondisi saling ketergantungan antara individu dengan
orang lain dalam membina hubungan interpersonal.

 Transisi dari respon adaptif ke maladaptive


 Menarik diri
Keadaan dimana seseorang menemukan kesulitan dalam
membina hubungan secara terbuka dengan orang lain
 Ketergantungan
Terjadi bila seseorang gaagl dalam mengembangkan rasa
percaya diri atau kemampuannya untuk berfungsi secara
sukses.

 Respon maladaptive
Adalah respons yang diberikan individu yang menyimpang dari norma
social.
 Manipulasi
Gangguan hubungan sosial yang terdapat pada individu yang
menganggap orang lain sebagai objek.individu tersebut terdapat
membina hubungan sosial secara mendalam.
 Impulsif
Tidak mampu merencanakan sesuatu, tidak mampu belajar dari
pengalaman, penilaian yang buruk dan individu ini tidak dapat
diandalkan.
 Narcisisme
Harga dirinya rapuh, secara terus menerus berusaha
mendapatkan penghargaan dan pujian yang egosentris dan
pencemburu

2.2.2 Faktor Predisposisi (Stuart & Sundeen, 1998)


a. Faktor biologis
Faktor biologis merupakan salah satu faktor pendukung
terjadinya gangguan dalam hubungan sosial. Organ tubuh
yang dapat mempengaruhi terjadinya gangguan hubungan
sosial adalah otak. Misalnya pada klien skizofrenia yang
mengalami masalah dalam hubungan sosial, memiliki struktur
yang abnormal pada otak serta perubahan ukuran dan bentuk
sel-sel dalam limbik dan daerah kortikal (Fitria, 2009).
b. Psikologis
Aspek psikologis yang perlu dikaji adalah Riwayat tahap
tumbuh kembang klien. Pada setiap tahap tumbuh kembang
individu terdapat tugas perkembangan yang harus dipenuhi
agar tidak terjadi gangguan dalam hubungan sosial. Bila tugas
perkembangan ini tidak terpenuhi maka akan menghambat
fase perkembangan sosial yang nantinya akan dapat
menimbulkan masalah.
c. Faktor sosial budaya
Isolasi sosial atau mengasingkan diri dari lingkungan sosial
merupakan suatu faktor pendukung untuk terjadinya gangguan
dalam hubungan sosial. Hal ini disebabkan oleh norma-norma
yang dianut oleh keluarga yang salah, dimana setiap anggota
keluarga yang produktif diasingkan dari lingkungan.
Gangguan komunikasi dalam keluarga merupakan faktor
pendukung untuk terjadinya gangguan dalam hubungan sosial
termasuk komunikasi yang tidak jelas, ekspresi emosi yang
tinggi dalam keluarga, pola asuh keluarga yang tidak
menganjurkan anggota keluarga untuk berhubungan di luar
lingkungannya

2.2.3 Faktor Presipitasi (Stuart, 2001)


a. Sifat stressor
a) Biologis
Isolasi sosial yang bersifat biologis misalnya isolasi sosial
yang diakibatkan adanya gangguan pada otak, misalnya
pada klien dengan skizofrenia
b) Psikologis
Isolasi sosial yang bersifat psikologis mungkin dapat muncul
akibat adanya gangguan pemenuhan tugas perkembangan
saat ini maupun sebelumnya
c) Sosial
Isolasi sosial yang bersifat sosial berarti ada keterkaitannya
dengan hubungan klien dengan teman, keluarga, dan
masyarakat lain. Misalnya pada pasien HIV yang merasa
tidak akan diterima keluarga dan masyarakat, sehingga ia
memilih untuk mengasingkan diri dari lingkungan
d) Spiritual
Bersifat spritual dapat muncul pada klien yang merasa
Tuhan sedang melupakannya disaat klien mendapat
masalah yang berat (Fitria, 2009)

2.3 Terapi Aktivitas Kelompok


2.3.2 Definisi kelompok
Kelompok adalah kumpulan individu yang memiliki hubungan 1
dengan yang lain, saling bergantung dan mempunyai norma yang sama
(stuart dan Laraia, 2001). Anggota kelompok mungkin datang dari
berbagai latar belakang yang harus ditangani sesuai dengan keadaannya,
seperti agresif, takut, kebencian, kompetitif, kesamaan, ketidaksamaan,
kesukaan, dan menarik (Yolam, 1995 dalam stuart dan laraia, 2001).
Semua kondisi ini akan mempengaruhi dinamika kelompok, ketika
anggota kelompok memberi dan menerima umpan balik yang berarti
dalam berbagai interaksi yang terjadi dalam kelompok.

2.3.3 Tujuan dan Fungsi Kelompok


Tujuan kelompok adalah membantu anggotanya berhubungan
dengan orang lain serta mengubah perilaku yang destruktif dan
maladaptif. Kekuatan kelompok ada pada konstribusi dari setiap anggota
dan pimpinan dalam mencapai tujuannya.
Kelompok berfungsi sebagai tempat berbagi pengalaman dan
saling membantu satu sama lain, untuk menemukan cara menyelesaikan
masalah. Kelompok merupakan laboraturium tempat untuk mencoba dan
menemukan hubungan interpersonal yang baik, serta mengembangkan
perilaku yang adaptif. Anggota kelompok merasa dimiliki, diakui, dan
dihargai eksistensi nya oleh anggota kelompok yang lain.

2.3.4 Jenis Terapi Kelompok


1. Terapi kelompok
Terapi kelompok adalah metode pengobatan ketika klien ditemui
dalam rancangan waktu tertentu dengan tenaga yang memenuhi
persyaratan tertentu. Fokus terapi kelompok adalah membuat sadar
diri (self-awareness), peningkatan hubungan interpersonal, membuat
perubahan, atau ketiganya.
2. Kelompok terapeutik
Kelompok terapeutik membantu mengatasi stress emosi, penyakit
fisik krisis, tumbuh kembang, atau penyesuaian sosial, misalnya,
kelompok wanita hamil yang akan menjadi ibu, individu yang
kehilangan, dan penyakit terminal. Banyak kelompok terapeutik yang
dikembangkan menjadi self-help-group. Tujuan dari kelompok ini
adalah sebagai berikut:
a. mencegah masalah kesehatan
b. mendidik dan mengembangkan potensi anggota kelompok
c. mengingatkan kualitas kelompok. Antara anggota kelompok
saling membantu dalam menyelesaikan masalah.
3. Terapi Aktivitas Kelompok
Wilson dan Kneisl (1992), menyatakan bahwa TAK adalah manual,
rekreasi, dan teknik kreatif untik menfasilitasi pengalaman seseorang
serta meningkatkan respon sosial dan harga diri. Aktivitas yang
digunakan sebagai erapi didalam kelompok yaitu membaca puisi,
seni, musik, menari, dan literatur. Terapi aktivitas kelompok dibagi
menjadi empat, yaitu terapi aktivitas kelompok stimulasi
kognitif/Sensori, terapi aktivitas kelompok stimulasi sensori, terapi
aktivitas kelompok stimulasi realita, dan terpi aktivitas kelompok
Stimulasi Sensori.
Terapi aktivitas kelompok stimulasi kognitif/Sensori melatih
memSensorikan stimulus yang disediakan atau stimulud yang pernah
dialami, diharapkan respon klien terhadap berbagai stimulus dalam
kehidupan menjadi adaptif. Terapi aktivitas kelompok stimulasi
sensori digunakan sebagai stimulus pada sensori klien. Terapi
aktivitas kelompok orientasi realita melatih klien mengorientasikan
pada kenyataan yang ada disekitar klien.

2.3 Terapi Aktivitas Kelompok Stimulasi Sensori


Terapi aktivitas kelompok (TAK) Stimulasi Sensori adalah upaya
untuk menstimulasi semua panca indra (sensori) agar memberi respon
yang adekuat.
Tujuan :
Tujuan umum TAK Stimulasi Sensori yaitu klien dapat berespon pada
stimulus panca indra yang diberikan. Sementara tujuan khususnya
adalah:
1. Klien mampu berespon terhadap stimulus yang dibaca
2. Klien mampu berespon terhadap gambar yang dilihat
3. Klien mampu mengekspresikan perasaan melalui gambar
BAB III
PELAKSANAAN TERAPI AKTIVITAS KELOMPOK STIMULASI
SENSORI

3.1 AKTIVITAS DAN INDIKASI


Aktivitas TAK Stimulasi Sensori dilakukan tiga (3) aktivitas yang
melatih kemampuan klien dalam meningkatkan kemampuan verbal
secara bertahap selama tiga sesi. Klien yang mempunyai indikasi TAK
Stimulasi Sensori adalah klien dengan gangguan sebagai berikut berikut:
1. Klien dengan isolasi sosial dan menarik diri
2. Klien dengan harga diri rendah
3. Klien dengan kurangnya komunikasi verbal

3.2 TUGAS DAN WEWENANG


1. Tugas Leader dan Co-Leader
- Memimpin acara; menjelaskan tujuan dan hasil yang diharapkan.
- Menjelaskan peraturan dan membuat kontrak dengan klien
- Memberikan motivasi kepada klien
- Mengarahkan acara dalam pencapaian tujuan
- Memberikan reinforcemen positif terhadap klien
2. Tugas Fasilitator
- Ikut serta dalam kegiatan kelompok
- Memastikan lingkungan dan situasi aman dan kondusif bagi klien
- Menghindarkan klien dari distraksi selama kegiatan berlangsung
- Memberikan stimulus/motivasi pada klien lain untuk berpartisipasi
aktif
- Memberikan reinforcemen terhadap keberhasilan klien lainnya
- Membantu melakukan evaluasi hasil
3. Tugas Observer
- Mengamati dan mencatat respon klien
- Mencatat jalannya aktivitas terapi
- Melakukan evaluasi hasil
- Melakukan evaluasi pada organisasi yang telah dibentuk (leader,
co leader, dan fasilitator)
4. Tugas Klien
- Mengikuti seluruh kegiatan
- Berperan aktif dalam kegiatan
- Mengikuti proses evaluasi

3.3 PERATURAN KEGIATAN


1. Klien diharapkan mengikuti seluruh acara dari awal hinggga akhir
2. Klien tidak boleh berbicara bila belum diberi kesempatan; perserta
tidak boleh memotong pembicaraan orang lain
3. Klien dilarang meninggalkan ruangan bila acara belum selesai
dilaksanakan
4. Klien yang tidak mematuhi peraturan akan diberi sanksi :
- Peringatan lisan
- Dihukum : Menyanyi, Menari, atau Menggambar
- Diharapkan berdiri dibelakang pemimpin selama lima menit
- Dikeluarkan dari ruangan/kelompok

3.4 TEKNIK PELAKSANAAN


TERAPI AKTIVITAS KELOMPOK STIMULASI SENSORI
SESI 1: Menggunting dan Menempel

Tema : Terapi Aktivitas Kelompok Stimulasi Sensori


Sasaran : Pasien Retardasi Mental dengan gangguan komunikasi
verbal
Hari/ tanggal : 6 November 2014
Waktu : 45 menit
Tempat : Di Balai Desa Srigonco Kecamatan Bantur
Terapis :
1. Leader : Ifatul Khoiriah
2. Fasilitator : Deska Jaya A.
3. Observer : Ifatul Khoiriah

A. Tujuan
 Klien dapat menggunting gambar sesuai dengan bentuk gambar.
 Klien dapat menempel hasil guntingan pada pola yang tersedia.
 Klien dapat menyebutkan benda yang dimaksud.
 Klien dapat memberikan tanggapan terhadap pendapat klien lain.

B. Sasaran
Kooperatif

C. Nama Klien
1. Obet
2. Umriyeh
3. Joko
4. Santo
5. Putri
6. Danang
7. Bagus

D. Setting
 Terapis dan klien duduk bersama dalam satu lingkaran
 Ruangan nyaman dan tenang

E. MAP

K K
K
L

K K

K F
K K
K O
K

Keterangan :
L : Leader
O : Observer
F : Fasilitator
K : Klien

F. Alat
 Gunting
 Gambar
 Lem

G. Metode
 Dinamika kelompok
 Diskusi dan tanya jawab

H. Langkah-Langkah Kegiatan
1. Persiapan
a. Membuat kontrak dengan klien tentang TAK
b. Mempersiapkan alat dan tempat pertemuan
2. Orientasi
a. Salam terapeutik
Salam dari terapis kepada klien.
b. Evaluasi/validasi
1) Menanyakan perasaan klien saat ini.
2) Menanyakan masalah yang dirasakan.
3) Menanyakan penerapan TAK yang lalu.
c. Kontrak
1) Menjelaskan tujuan kegiatan, yaitu membaca cerita dan
menentukan isi cerita.
2) Menjelaskan aturan main berikut:
- Jika ada klien yang ingin meninggalkan kelompok, harus
meminta izin kepada terapis.
- Lama kegiatan 45 ment.
- Setiap klien mengikuti kegiatan dari awal sampai selesai.
3. Tahap Kerja
a. Bagikan kertas bergambar, gunting, lem, dan kertas untuk menempel
pada klien.
b. Klien menggunting gambar sesuai bentuk gambar.
c. Klien mencocokkan gambar yang digunting dengan pola di kertas
untuk menempel.
d. Klien menempelkan gambar.
e. Klien menyebutkan makna dari gambar.
f. Tanyakan pendapat klien lain terhadap pendapat klien sebelumnya.
g. Berikan pujian/penghargaan atas kemampuan klien memberi
pendapat.
h. Ulangi sampai semua klien mendapat kesempatan.
i. Beri kesimpulan.
4. Tahap terminasi
a. Evaluasi
1. Terapis menanyakan perasaan klien setelah mengikuti TAK.
2. Terapis memberikan pujian atas keberhasilan kelompok.
b. Tindak lanjut
Menganjurkan klien untuk melatih kemampuan menggunting dan
menempel dan mendiskusikannya pada orang lain.
c. Kontrak yang akan datang
1. Menyepakati kegiatan TAK yang akan datang.
2. Menyepakati waktu dan tempat.

I. Evaluasi dan Dokumentasi

Evaluasi

Evaluasi dilakukan saat proses TAK berlangsung, khususnya pada tahap kerja.
Aspek yang dievaluasi adalah kemampuan klien sesuai dengan tujuan TAK.
Untuk TAK stimulasi Sensori umum sesi 1, kemampuan yang diharapkan adalah
memberi pendapat tentang bacaan, memberi tanggapan terhadap pendapat
klien lain dan mengikuti kegiatan sampai selesai. Formulir evaluasi sebagai
berikut:

Sesi 1: TAK

Stimulasi Sensori Umum

No. Aspek yang Dinilai Nama Klien

1. Ketepatan menggunting
2. Ketepatan menempel
3. Menyebutkan makna gambar
3. Mengikuti kegiatan sampai selesai
Petunjuk:
1. Di bawah judul nama klien, tulis nama panggilan klien yang ikut TAK.
2. Untuk tiap klien, semua aspek dinilai dengan memberi tanda (+) jika
ditemukan pada klien atau (-) jika tidak ditemukan.
DAFTAR PUSTAKA

Hamid, A.Y.S. 1999. Buku Ajar Asuhan Keperawatan Kesehatan Jiwa Pada
Anak dan Remaja, Widya Medika, Jakarta.
Hendriani, Wiwin, Hadariyati, Ratih dan Sakti, Tirta Malia. Penerimaan Keluarga
terhadap Individu yang Mengalami Keterbelakangan Mental. Insan Vol.8
No.2, 2006.
Hurlock, E. 1998. Psikologi Perkembangan: Suatu Pendekatan SEpanjang
Rentang Kehidupan, Edisi 5, Erlangga, Jakarta.
Hyun Sung Lim and Jae Won Lee. Parenting Stress and Depression among
Mothers of Children with Mental Retardation in South Korea: An
Examination of Moderating and Mediating Effects of Social Support.
Pacific Science Review, 2007; 9 (2): 150-159.
Mulya, Lara Asih. 2011. Tunagrahita/Retardasi Mental: Klasifikasi Anak
Tunagrahita, (Online), s(http://tunagrahita.com/2011/04/klasifikasi-anak-
tunagrahita/, diakses 10 Agustus 2011).

Mulya , Lara Asih. 2011. Tunagrahita/Retardasi Mental: Peran Terapi Permainan


Untuk Anak Tunagrahita, (Online), (http://tunagrahita.com/2011/04/terapi-
permainan-untuk-tunagrahita/, diakses 10 Agustus 2011).
Peshawaria et al. 2009. Asia Pasific Disability Rehabilitation Journal, 2009: A
Study of Facilitators and Inhibitors That Affect Coping in Parents of
Children With Mental Retardation in India, (Online),
(http://www.dinf.ne.jp/doc/english/asia/resource/apdrj/z13jo0100/z13jo01
08.html, diakses pada 20 Agustus 2011).
Rasmun. 2004. Stress, Koping, dan Adaptasi Teori dan Pohon Masalah
Keperawatan, Sagung Seto, Jakarta.
Stuart, Gail and Laraia, M. 2005. Principles and Practice of Psychiatric Nursing,
8th edition, Mosby, St. Louis.
Stuart & Sundeen. 1995. Principles an Practice of Psychiatric Nursing, fifth
edition, Mosby, St.Louis.

Anda mungkin juga menyukai