Anda di halaman 1dari 49

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Masalah penyalahgunaan Narkotika, Psikotropika dan Zat Adiktif
lainya (NAPZA) atau istilah yang populer dikenal masyarakat sebagai
NARKOBA (Narkotika dan Bahan/ Obat berbahanya) merupakan masalah
yang sangat kompleks, yang memerlukan upaya penanggulangan secara
komprehensif dengan melibatkan kerja sama multidispliner, multisektor, dan
peran serta masyarakat secara aktif yang dilaksanakan secara
berkesinambungan, konsekuen dan konsisten.[1]
Maraknya penyalahgunaan NAPZA tidak hanya dikota-kota besar
saja, tapi sudah sampai ke kota-kota kecil diseluruh wilayah Republik
Indonesia, mulai dari tingkat sosial ekonomi menengah bawah sampai tingkat
sosial ekonomi atas. Dari data yang ada, penyalahgunaan NAPZA paling
banyak berumur antara 15–24 tahun.
Berdasarkan data penelitian pengguna NAPZA di dunia, dilaporkan
hampir 40% penduduk di dunia pernah menggunakan NAPZA dalam hidup
mereka. Beberapa substansi tersebut menyebabkan kelainan status mental
secara internal, seperti menyebabkan perubahan mood, secara eksternal
menyebabkan perubahan perilaku. Substansi tersebut juga dapat menimbulkan
problem neuropsikiatrik yang masih belum ditemukan penyebabnya, seperti
skizofrenia dan gangguan mood, sehingga kelainan primer psikiatrik dan
kelainan yang disebabkan oleh NAPZA menjadi sangat berhubungan.[1]

1
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

A. Definisi
NAPZA (Narkotika, Psikotropika dan Zat Adiktif lain) adalah
bahan/zat/obat yang bila masuk kedalam tubuh manusia akan mempengaruhi
tubuh terutama otak/susunan saraf pusat, sehingga menyebabkan gangguan
kesehatan fisik, psikis, dan fungsi sosialnya karena terjadi kebiasaan, ketagihan
(adiksi) serta ketergantungan (dependensi) terhadap NAPZA. Istilah NAPZA
umumnya digunakan oleh sektor pelayanan kesehatan, yang menitik beratkan
pada upaya penanggulangan dari sudut kesehatan fisik, psikis, dan sosial.
NAPZA sering disebut juga sebagai zat psikoaktif, yaitu zat yang bekerja pada
otak, sehingga menimbulkan perubahan perilaku, perasaan, dan pikiran.[1]

B. Penggolongan NAPZA
Berdasarkan efeknya terhadap perilaku yang ditimbulkan NAPZA dapat
digolongkan menjadi tiga golongan :
1. Golongan Depresan (Downer)
Adalah jenis NAPZA yang berfungsi mengurangi aktifitas fungsional
tubuh. Jenis ini menbuat pemakaiannya merasa tenang, pendiam dan bahkan
membuatnya tertidur dan tidak sadarkan diri. Golongan ini termasuk Opioida
(morfin, heroin/putauw, kodein), Sedatif (penenang), hipnotik (otot tidur),
dan tranquilizer (anti cemas) dan lain-lain.
2. Golongan Stimulan(Upper)
Adalah jenis NAPZA yang dapat merangsang fungsi tubuh dan
meningkatkan kegairahan kerja. Jenis ini membuat pemakainya menjadi
aktif, segar dan bersemangat. Zat yang termasuk golongan ini adalah :
Amfetamin (shabu, esktasi), Kafein, Kokain

2
3. Golongan Halusinogen
Adalah jenis NAPZA yang dapat menimbulkan efek halusinasi yang
bersifat merubah perasaan dan pikiran dan seringkali menciptakan daya
pandang yang berbeda sehingga seluruh perasaan dapat terganggu. Golongan
ini tidak digunakan dalam terapi medis. Golongan ini termasuk : Kanabis
(ganja), LSD, Mescalin.

C. Penyalahgunaan dan Ketergantungan


Penyalahgunaan dan Ketergantungan adalah istilah klinis/medik-psikiatrik
yang menunjukan ciri pemekaian yang bersifat patologik yang perlu di bedakan
dengan tingkat pemakaianpsikologik-sosial, yang belum bersifat patologik [2].
1. Penyalahgunaan NAPZA
Adalah penggunaan salah satu atau beberapa jenisNAPZA secara
berkala atau teratur diluar indikasi medis,sehingga menimbulkan gangguan
kesehatan fisik, psikis dan gangguan fungsi sosial.
2. Ketergantungan NAPZA
Adalah keadaan dimana telah terjadi ketergantungan fisik dan psikis,
sehingga tubuh memerlukan jumlah NAPZA yang makin bertambah
(toleransi), apabila pemakaiannya dikurangi atau diberhentikan akan timbul
gejala putus zat (withdrawal syamptom). Oleh karena itu ia selalu berusaha
memperoleh NAPZA yang dibutuhkannya dengan cara apapun, agar dapat
melakukan kegiatannya sehari-hari secara “normal”

D. Memahami Adiksi Sebagai Gangguan Otak


Zat psikoaktif, khususnya NAPZA, memiliki sifat-sifat khusus terhadap
jaringan otak : bersifat menekan aktivitas fungsi otak ( depresan ),
merangsang aktivitas fungsi otak ( stimulansia ) dan mendatangkan halusinasi
( halusinogenik ). Karena otak merupakan sentra perilaku manusia, maka
interaksi antara NAPZA ( yang masuk ke dalam tubuh manusia ) dengan sel-

3
sel saraf otak dapat menyebabkan terjadinya perubahan perilaku manusia.
Perubahan-perubahan perilaku tersebut tersebut tergantung sifat-sifat dan jenis
zat yang masuk ke dalam tubuh [2].
Masuknya NAPZA ke dalam tubuh memiliki berberapa cara : disedot
melalui hidung ( snorting, sneefing ) , dihisap melalui bibir ( inhalasi,
merokok ), disuntikan dengan jarum suntikan melalui pembuluh darah balik
atau vena, ditempelkan pada kulit ( terutama lrngan bagian dalam ) yang telah
diiris-iris kecil dengan cutter, ada juga yang melakukannya dengan
mengunyah dan kemudian ditelan. Sebagian NAPZA sesuai dengan cara
penggunaannya , langsung masuk ke pembuluh darah dan sebagian lagi yang
dicerna melalui traktus gastro-intestinal diserap oleh pembuluh – pembuluh
darah di sekitar dinding usus. Karena sifat khususnya, NAPZA akan , menuju
reseptornya masing-masing yang terdapat pada otak.
Beberapa jenis NAPZA menyusup kedalam otak karena mereka memiliki
ukuran dan bentuk yang sama dengan natural meurotransmitter. Di dalam
otak, dengan jumlah atau dosis yang tepat, NAPZA tersebut dapat mengkunci
dari dalam ( lock into ) reseptor dan memulai membangkitkan suatu reaksi
berantai pengisian pesan listrik yang tidak alami yang menyebabkan neuron
melepaskan sejumlah besar neurotransmitter miliknya. Beberapa jenis
NAPZA lain mengunci melalui neuron denhgan bekerja mirip pompa
sehingga neuron melepaskan lebih banyak neurotransmitter. Ada jenis
NAPZA yang menghadang reabsorbsi atau reuptake sehingga menyebabkan
kebanjiran yang tidak alami dari neurotransmitter.
Bila seseorang menyuntik heroin ( opioid atau putauw ). Heroin segera
berkelana cepat di dalam otak. Konsentrasi opioid terdapat pada : VTA (
ventral tegmental area ), nucleus accumbens, caudate nucleus dan thalamus
yang merupakan sentra kenikmatan yang terdapat pada area otak yang sering
dikaitkan dengan sebutan reward pathway.

4
Opioid mengikat diri pada reseptor opioid yang berkonsentrasi pada
daerah reward system. Aktivitas opioid pada thalamus mengindikasikan
kontribusi zat tersebut dalam kemampuannya untuk memproduksi analgesik.
Neurotranmitter opioid memiliki ukuran dan bentuk yang sama dengan
endorfin, sehingga ia dapat menguasai reseptor opioid. Opioid mengaktivasi
sistem reward melalui peningkatan neurotransmisi dopamin. Penggunaan
opioid yang berkelanjutan membuat tubuh mengadalkan diri kepada adanya
drug untuk mempertahankan perasaan rewarding dan perilaku normal lain.
Orang tidak lagi mampu merasakan keuntungan reward alami ( seperti
makanan, air, sex ) dan tidak dapat lagi berfungsi normal tanpa kehadiran
opioid.

E. Penyebab Penyalahgunaan NAPZA


1. Faktor Psikodinamik
Berdasarkan teori klasik, penyalahgunaan NAPZA seperti keinginan
untuk masturbasi, mekanisme pertahanan untuk keadaan cemas, atau
manifestasi dari regresi oral. Dalam teori psikososial, menyebutkan bahwa
banyak alasan untuk mencurigai factor lingkungan memainkan peran dalam
penyalahgunaan NAPZA. Sehingga dalam banyak artikel disebutkan bahwa
pelaku penyalahgunaan substansi ini kebanyakan adalan anak-anak atau
remaja dengan perkembangan psikososial yang buruk [2].
2. Factor Genetic
Berbagai penelitian menunjukkan bahwa anak kembar, anak adopsi,
dan saudara kandung yang terpisah ataupun dipisahkan menjadi penyebab
utama terjadinya penyalahgunaan NAPZA.
3. Komorbiditas
Komorbid adalah keterlibatan dua atau lebih gangguan psikiatrik pada
seorang pasien. Pada pasien yang mendapatkan terapi karena ketergatungan
substansi seperti opioid, alcohol, dan kokain, memiliki prevalensi tinggi

5
mendapatkan gangguan psikiatri tambahan. Hal ini dibuktikan pada studi
epidemiologi bahwa orang-orang dengan ketergantungan terhadap NAPZA
lebih mudah mengalami gangguan psikiatri lain [2].
4. Gangguan kepribadian antisocial
Pada berbaga macam studi, menunjukkan bahwa 35 sampai 60 persen
pasien dengan ketergantungan NAPZA juga memiliki diagnosa gangguan
kepribadian antisocial.
5. Depresi dan Bunuh diri
Gejala depresi sangat banyak ditemukan pada pasien yang didiagnosa
sebagai penyalahgunaan NAPZA ataupun ketergantungan NAPZA. Hampir
40 persen pengguna opioid dan alcohol memenuhi criteria diagnosis
gangguan depresi mayor dalam hidup mereka. Penggunaan NAPZA juga
salah satu penyebab terjadinya bunuh diri. Orang dengan penyalahgunaan
NAPZA, sekitar 20 persen lebih rentan melakukan bunuh diri dibandingkan
populasi pada umumnya.

F. PENGGOLONGAN NAPZA
1. NARKOTIKA
a. KOKAIN
Kokain adalah zat yang adiktif yang sering disalahgunakan dan
merupakan zat yang sangat berbahaya. Kokain merupakan alkaloid yang
didapatkan dari tanaman belukar Erythroxylon coca, yang berasal dari Amerika
Selatan, dimana daun dari tanaman belukar ini biasanya dikunyah-kunyah oleh
penduduk setempat untuk mendapatkan efek stimulan.
Nama lain untuk kokain : Snow, coke, girl, lady dan crack (kokain dalam
bentuk yang paling murni dan bebas basa untuk mendapatkan efek yang lebih
kuat).
Saat ini kokain masih digunakan sebagai anestetik lokal, khususnya untuk
pembedahan mata, hidung dan tenggorokan, karena efek vasokonstriksifnya juga

6
membantu. Kokain diklasifikasikan sebagai suatu narkotik, bersama dengan
morfin dan heroin karena efek adiktif dan efek merugikannya telah dikenali.
Kokain merupakan senyawa untuk yang memproduksi berbagai efek
farmakologi pada manusia. Senyawa ini dapat memblok kanal natrium dengan
cepat, menstabilkan membran axonal dan memproduksi efek lokal anastetik.
Kokain merupakan satu – satunya anastesi lokal yang mempengaruhi
neurotransmiter dan menstimulasi vasokontrikstor. Hal ini merupakan salah satu
penyebab ketoksikan kokain. Efek yang paling penting dari kokain adalah
menstimulasi SSP.
Kokain yang sering disalahgunakan biasanya dicampuri zat lain seperti
gula atau lidokain. Dan penyalahgunaannya bisa melalui berbagai cara: ditelan,
disedot melalui hidung, dirokok, atau disuntikan.
Dosis kokain yang dapat menyebabkan efek psikostimulatori adalah 0,3-
0,6 mg/kg. Kokain ini juga meningkatkan konsentrasi dari asam amino, aspartat
dan glutamat.
Onset dari kokain tergantung pada dosis dan rute admisnistrasinya.
Kokain dapat diabsorbsi melalui mukosa organ respirasi, gastrointestinal dan
saliran urogenital, termasuk uretra dan juga vagina. Onset aksinya adalah 1-3
menit dan efeknya tercapai antara 20-30 menit.
Efek yang ditimbulkan. Kokain merupakan suatu golongan stimulansia
susunan saraf pusat, tetapi kokain juga bekerja pasa saraf tepi dan sistem
kardiovaskuler. Pengaruh kokain terhadap sitsem motorik dan sistem
kordiovaskuler bersifat bifasik. Pada pemberian kokain dosis rendah penampilan
motorik meningkat tetapi pada dosis tinggi menimbulkan kejang dan tremor.
Kokain dalam dosis rendah dapat disertai dengan perbaikan kinerja pada
beberapa tugas kognitif. Kadang-kadang timbul perforasi septum nasi pada
pemakaian secara intranasal. Pada keadaan kelebihan dosis, timbul eksitasi,
kesadaran yang “berkabut”, pernafasan yang tak teratur, tremor, pupil melebar,
nadi bertambah cepat, tekanan darah naik, suhu badan naik, rasa cemas, dan
ketakutan. Kematian biasa disebabkan karena pernafasan berhenti. Pemakaian

7
yang lama dapat menimbulkan penurunan berat badan dan anemia karena
anoreksia.
Gejala intoksikasi. Pada penggunaan kokain dosis tinggi dapat terjadi
gejala intoksikasi, seperti agitasi, iritabilitas, gangguan dalam pertimbangan,
perilaku seksual yang impulsif dan peningkatan aktivitas psikomotor, takikardia,
hipertensi serta midriasis.
Gejala putus zat. Setelah menghentikan pemakaian kokain atau setelah
intoksikasi akut, terjadi depresi pascaintoksikasi (crash) yang ditandai dengan
disforia, anhedonia, kecemasan, iritabilitas, kelelahan, hipersomnolensi, kadang-
kadang agitasi.
Pada pemakaian kokain ringan sampai sedang, gejala putus kokain
menghilang dalam 18 jam. Pada pemakaian berat, gejala putus kokain bisa
berlangsung sampai satu minggu, dan mencapai puncaknya pada dua sampai
empat hari.
Gejala putus kokain juga dapat disertai dengan kecenderungan untuk
bunuh diri. Orang yang mengalami putus kokain seringkali berusaha mengobati
sendiri gejalanya dengan alkohol, sedatif, hipnotik, atau obat antiensietas seperti
diazepam (Valium).

b. OPIOID
Analgesic opioid merupakan kelompok obat yang memiliki sifat seperti
opium. Opium yang berasal dari getah Papaver somniferum mengandung sekitar
20 jenis alkaloid diantaranya morfin, kodein, tebain, dan papaverin. Analgesi
opioid terutama digunakan untuk meredakan atau menghilangkan rasa nyeri,
meskipun juga memperlihatkan berbagai efek farmakodinamik yang lain.
RESEPTOR OPIOID, ada 3 jenis utama reseptor opioid yaitu mu (µ),
delta (δ), dan kappa (К). Ketiga jenis reseptor termasuk pada jenis reseptor yang
berpasangan dengan protein G, dan memiliki berbagai subtype.
Reseptor µ memperantarai efek analgetik mirip morfon, euphoria, depresi
nafas, miosis, berkurangnya motilitas saluran cerna. Resptor К diduga
memperantarai analgesic seperti yang ditimbulkan pentazosin, sedasi dan miosis

8
serta depresi yang ditimbulkan tidak sekuat agonis µ. Selain itu di SSP juga
didapatkan reseptor δ yang selektif terhadap enkefalin dan reseptor ε (epsilon)
yang sangat selektif terhadap beta-endorfin tetapi tidak punya afinitas terhadap
enkefalin.
KLASIFIKASI
Agonis Lemah- Agonis-
Struktur Dasar Agonis Kuat Antagonis
Sedang Antagonis
Morfin, Kodein, Nalorfin,
Nalbufin,
Fenantren hidromorfon, oksikodon, nalokson,
buprenorfin
oksimorfon hidrokodon naltrekson
Fenilheptilami
Metadon Propoksifen
n
Meperidin,
Fenilpiperidin Difenoksilat
fentanil
Morfinan Levorfanol Butorfanol
Benzomorfan pentazosin

c. MORFIN DAN ALKALOID OPIUM


ASAL DAN SIFAT KIMIA
Opium atau candu berasal dari getah Papaver somniferum L yang telah
dikeringkan. Alkaloid asal opium secara kimia dibagi dalam dua golongan : (1)
golongan fenantren, misalnya morfin dan kodein dan (2) golongan
benzilisokinolin, misalnya noskapin dan papaverin.
FARMAKOKINETIK
Morfin tidak dapat menembus kulit utuh, tetapi dapat menembus kulit
luka dan mukosa. Dengan kedua cara pemberian ini absorbs morfin kecil sekali.
Morfin dapat diabsorbsi di usus, tetapi efek analgetik setelah pemberian oral
jauh lebih rendah daripada efek analgetik yang timbul setelah pemberian
parenteral dengan dosis yang sama. Mula kerja semua alkaloid opioid setelah
suntikan IV sama cepat, sedangkan setelah suntikan subkutan, absorpsi berbagai
alkaloid oiopid berbeda-beda. Setelah pemberian odsis tunggal, sebagian morfin
mengalami konjugasi dengan asam glukoronat di hepar, sebagian dikeluarkan
dalam bentuk bebas dan 10% tidak diketahui nasibnya. Morfin dapat melintasi

9
sawar uri dan pempengaruhi janin. Ekskresi morfin terutama melalui ginjal.
Sebagian kecil morfin bebas ditemukan dalam tinja dan keringat. Morfin yang
terkonjugasi dapat ditemukan dalam empedu. Sebagian sangat kecil dikeluarkan
bersama cairan lambung.
FARMAKODINAMIK
Efek morfin pada SSP dan usus terutama ditimbulkan karena morfin
bekerja sebagai agonis pada reseptor µ.
a. Susunan Saraf Pusat
 Narcosis
Morfin dosis kecil (5-10 mg) menimbulkan euphoria pada pasien yang
sedang menderita nyeri, sedih dan gellisah. Sebaliknya, dosis yang sama
pada orang normal seringkali menimbulkan disforia berupa perasaan
takut disertai mual dan muntah. Morfin juga menimbulkan rasa ngantuk,
tidak dapat konsentrasi, sukar berfikir, apatis, aktivitas motorik
berkurang dan letargi, ekstrimitas terasa berat, badan tersa panas, muka
gatal dan mulut terasa kering, depresi nafas dan miosis.
 Analgesia
Efek analgetik yang ditimbulkan oleh opioid terutama sebagai akibat
kerja opioid pada reseptor µ. reseptor δ dan К dapat juga ikut berperan
dlaam menimbulkan analgesia pada tingkat spinal.
Opioid menimbulkan analgesia dengan cara berikatan pada reseptor
opioid yang terutama didapatkan di SSP dan medulla spinalis yang berperan
pada transmisi dan modulasi nyeri.
Ketiga jenis reseptor utama yaitu reseptor mu (µ), delta (δ), dan
kappa (К) banyak didapatkan pada kornu dorsalis medulla spinalis. Resptor
didapatkan bail pada saraf yang mentransmisi nyeri di medulla spinalis
maupun pada aferen primer yang merelai nyeri. Aginos opioid melalui
reseptor mu (µ), delta (δ), dan kappa (К) pada ujung prasinaps aferen
primer nosiseptif mengurangi pelepasan transmitter, dan selanjutnya
menghambat saraf yang mentransmisi nyeri di kornu dorsalis medulla
spinalis. Dengan demikian opioid memiliki efek analgetik yang kuat

10
melalui pengaruh pada medulla spinalis. Selain itu µ agonis juga
menimbulkan efek inhibisi pascasinaps melalui reseptor µ di otak.
Efek analgetik morfin dan opioid lain sangat selektif dan tidak
disertai dengan hilangnya fungsi sensorik lain yaitu rasa raba, rasa getar,
penglihatan dan pendengaran bahkan persepsi stimulasi nyeri pun tidak
selalu hilang setelah pemberian morfin dosis terapi.
 Eksitasi
Morfin dan opioid lain sering menyebabkan mual dan muntah, sedangkan
delirium dan konvulsi lebih jarang timbul. Factor yang dapat mengubah
eksitasi morfin ialah idiosinkrasi dan tingkat eksitasi reflex SSP.
 Miosis
Miosis ditimbulkan oleh perangsangan pada segmen otonom inti saraf
okulomotor. Miosis ini dapat dilawan oleh atropine dan skopolamin. Pada
intoksikasi morfin, pin point pupils merupakan gejala yang khas. Dilatasi
berlebihan dapt terjadi pada stadium akhir intoksikasi morfin dan sudah
mengalami asfiksia.
 Depresi Nafas
Morfin menimbulka depresi nafas secara primer dan berkesinambungan
berdasarkan efek langsung terhadap pusat nafas di batang otak. Pada dosis
kecil morfin sudah dapat menimbulkan depresi nafas tanpa menyebabkan
tidur atau kehilangan kesadaran.
 Mual dan muntah
Efek emetic morfin berdasarkan stimulasi langsung pada emetic receptor
trigger zone (CTZ) di area postrema medulla oblongata, bukan pada pusat
emetic sendiri.
b. Saluran Cerna
 Lambung : menghambat sekresi HCL, pergerakan lambung berkurang, tonus
antrum meninggi dan motilitasnya berkurang, sedangkan sfingter pylorus
berkontraksi. Akibatnya pergerakan isi lambung ke duodenum diperlambat.
 Usus halus : mengurangi sekresi empedu dan pancreas, dan memperlambat
pencernaan makanan di usus halus

11
 Usus besar: mengurangi atau menghilangkan gerak propulsi usus besar,
meninggikan tonus dan menyebabkan spasme usus besar, akibatnya
penerusan isi kolon diperlambat dan tija jadi lebih keras.
c. Kardiovaskular
Pemberian morfin dosis terapi tidak mempengaruhi tekanan darah, frekuensi
maupun irama denyut jantung. Perubahan yang terjadi adalah karena depresi
pada pusat vagus dan vasomotor yang baru terjadi pada dosis toksik.
d. Otot polos lain
Morfin menimbulkan peninggian tonus, amplitudoserta kontraksi ureter dan
kandung kemih. Efek ini dapat dihilangkan dengan pemberian 0,6 mg atropine
subkutan.
e. Kulit
Dalam dosis terapi, morfin menyebabkan vasodilatasi sehingga terjadi flushing.
Seringkali disertai dengan kulit yang berkeringat dan pruritus.
f. Metabolisme
Morfin menyebabkan suhu tubuh turun akibat aktivitas otot turun, vasodilatasi
perifer dan penghambatan mekanisme neural di SSP. Kecepatan metabolism
dikurangi oleh morfin.
INDIKASI
a. Nyeri hebat yang tidak dapat dihilangkan dengan analgesic non opioid seperti
pada infark miokard, neoplasma, kolik renal atau kolik empedu, oklusi akut
pembuluh darah perifer, perikarditis, nyeri Karena trauma, dan lain-lain.
b. Terhadap batuk yang tidak produkti dan iritatif, yang sangat mengganggu hingga
pasien tidak bias tidur dan mungkin sekali disertai nyeri. Tapi dewasa ini lebih
banyak ditinggalkan.
c. Edema paru akut
d. Efek antidiare
EFEK SAMPING
a. Idiosinkrasi dan alergi
Morfin dapat menyebabkan mual muntah terutama pada wanita. Bentuk
idiosikrasi lain seperti timbulnya eksitasi dengan tremor, dan jarang-jarang

12
delirium. Berdasarkan reaksi alergik dapat timbul gejala seperti urtikaria,
eksantem, dermatitis kontak, pruritus dan bersin.
b. Intoksikasi akut
Biasany terjadi akibat percobaan bunuh diri atau takar lajak. Pasien akan tidur,
sopor atau koma jika intoksikasi cukup berat. Frekuensi nafas lambat, 2-
4x/menit, pasien sianotik, kulit muka merah tidak merata dan agak kebiruan.
Tekanan darah yang mula-mula baik akan menurun sampai terjadi syok bila
napas memburuk. Pupil sangat kecil, kemudian midriasis terjadi jika terjadi
anoksia. Pembentukan urin sangat berkurang karena terjadi pelepasan ADH dan
tekanan darah menurun. Pada bayi mengkin terdapt konvulsi. Kematian biasnya
disebabkan oleh depresi nafas.
TOLERANSI, ADIKSI DAN ABUSE
Terjadinya toleransi dan ketergantungan fisik setelah penggunaan
berulang merupakan gambaran spesifik obat-obat opioid. Pada dasarnya adiksi
morfin menyangkut fenomena berikut : (1) habituasi, yaitu perubahan psikis
emosional sehingga pasien ketagihan kaan morfin; (2) ketergantungan fisik,
yaitu kebutuhan akan morfin karena faal dan biokimia tubuh tak berfungsi lagi
tanpa morfin; dan (3) adanya toleransi.
Toleransi ini timbul terhadap efek depresi, tetapi tidak padaefek eksitasi,
miosi dan efek pada usus. Toleransi timbul setelah 2-3 minggu.kemudian
toleransi timbulnya lebih besar bila digunakan dosis besar secara teratur.
Jika pecandu menhentikan obatnya secara tiba-tiba timbullah gejala putus
obat / gejala ebstinensi. Menjelang saat dibutuhkannya morfin, pecandu tersebut
merasa sakit, gelisah dan iritabel; kemudian tidur nyenyak. Sewaktu bangun ia
mengeluh seperti akan mati dan lebih gelisah lagi. Pada fase ini timbul
lakrimasi, tremor, iritabilitas, berkeringat, menguap, bersin, mual, midriasis,
demam dan nafas cepat. Gejala ini makin hebat disertai timbulnya muntah, kolik
dan diare. Frekuensi denyut jantung dan tekakan darah meningkat. Pasien akan
merasa panas dingin disertai hiperhidrosis. Akibatnya timbul dehidrasi, ketosis,
asidosis dan berat badan pasien menurun. Kadang-kadang timbul kolaps
kardiovaskular yang bias berakhir dengan kematian.

13
SEDIAAN DAN POSOLOGI
Sediaan yang mengandung campuran alkaloid dalam bentuk kasar
beraneka ragam dan masih dipakai. Misalnya pulvus opii dan pulvus doveri.
Sediaan yang mengandung alkaloid murni dapat digunakan untuk pemberian
oral maupun parenteral. Yang biasa digunakan ialah garam HCl, garam sulfat
atau fosfat alkaloid morfin, dengan kadar 10mg/mL.
Kodein tersedia dalam bentuk baa bebas atau garam HCl atau fosfat. Satu
tablet mengandung 10, 15 atau 30 mg kodein. Untuk menimbulkan emesis
digunakan 5-10 mg apomorfin subkutan.

d. MEPERIDIN DAN DERIVAT FENILPIPERIDIN LAIN


SIFAT KIMIA
Meperidin yang juga dikenal sebagai petidin, secara kimia adalah etil-1-
metil-4-fenilpiperidin-4-karboksilat.
FARMAKOKINETIK
Absorpsi meperidin setelah cara pemberian apapun berlangsung baik.
Akan tetapi kecepatan absorpsi mungkin tidak teratur setelah suntikan IM.
Kadar puncak dalam plasma biasanya dicapai dalam 45 menit dan kadar yang
dicapai sangat bervariasi antar individu. Setelah pemberian secara oral, sekitar
50% obat mengalami metabolism lintas pertama dan kadar maksimal dalam
plasma tercapai dalam 1-2 jam. Setelah pemberian parenteral, kadarnya dalam
plasma menurun secar cepat dalam 1-2 jam pertama, kemudian penurunan
berlangsung secara lambat. Kurang lebih 60% meperidin dalam plasma terikat
protein. Metabolism meperidin terutama berlangsung di hati. Pada manusia,
meperidin mengalami hidrolisis menjadi asam meperidinat yang kemudian
sebagian mengalami konjugasi. Meperidi bentuk utuh sangat sedikit ditemukan
dalam urin. Sebanyak 1/3 dari satu dosis meperidin ditemukan dalam urin dalam
bentuk derivate N-demetilasi.
FARMAKODINAMIK
Susunan Saraf Pusat
 Analgesia

14
 Sedasi
 Euphoria
 Eksitasi
 Depresi saluran nafas
Sistem Kardiovaskuler
Pemberian dosis terapi meperidin pada pasien yang berbaring tidak
mempengaruhi system kardiovaskular, tidak menghambat kontraksi miokard dan
tidak merubah gambaran EKG. Pasien dengan rawat kalan mungkin menderita
sinkop disertai penurunan tekanan darah, tetapi gejala ini cepat hilang jika
pasien berbaring.
 Otot polos
Saluran cerna : efek spasmogeniknya lebih lemah dari morfin. Kontraksi
propulsive dan nonpropulsif saluran cerna berkurang, tetapi dapat timbul
spasme dengan tiba-tiba serta peningkatan tonus usus.
 Otot bronkus : meperidin dapat menghilangkan bronkospasme oleh histamine
dan metakolin, namun pemberian dosis terapi meperidin tidak banyak
mempengaruhi otot bronkus normal.
 Ureter : setelh pemeberian meperidin dengan dosis terapi, peristaltik ureter
menurun. Hal ini disebabkan oleh berkurangnya produksi urin akibat
dilepaskannya ADH dan berkurangnya laju filtrasi glomerulus.
 Uterus : meperidin sedikit merangsang uterus dewasa yang tidak hamil.
INDIKASI
Meperidin hanya digunakan untuk menimbulkan analgesia. Pada beberapa
keadaan klinis, meperidin diindikasikan atas dasar masa kerjanya yang lebih
pendek dari morfin. Misalnya untuk tindakan diagnostic seperti sistoskopi,
pielografi retrograde, gastroskopi dan pneumoensefalografi. Pada bronkoskopi,
meperidin kurang cocok karena antitusifnya jauh lebih lemah daripada morfin.
Meperidin juga digunakan untuk menimbulkan analgesia obstetric dan sebagai
obat praanestesik.

15
EFEK SAMPING DAN KONTRAINDIKASI
Efek samping meperidin dan derivat fenilpiperidin yang ringan berupa
pusing, berkeringat, euphoria, mulut kering, mual, muntah, perasaan lemah,
gangguan penglihatan, palpitasi, disforia, sinkop dan sedasi. Pada pasoen
berobat jalan reaksi ini timbul lebih sering dan lebih berat.
Kontraindikasi penggunaan meperidin menyerupai kontraindikasi
terhadap morfin dan opioid lainnya.
TOLERANSI DAN ADIKSI
Toleransi terhadap efek depresi meperidin timbul lebih lambat
dibandingkan morfin. Timbulnya toleransi lambat bila interval pemberian lebih
dari 3-4 jam. Toleransi tidak terjai terhadap efek stimulasi dan efek mirip
atropine.
Gejala putus obat pada penghentian tiba-tiba penggunaan meperidin
timbul lebih cepat tapi berlangsung lebih singkat daripada gejala setelah
penghentian morfin dengan gangguan system otonom yang lebih ringan.
SEDIAAN DAN POSOLOGI
 Meperidin HCl tersedia dalam bentuk tablet 50 mg dan 100 mg, dan ampul
50 mg/mL. meperidin lazim diberikan peroral atau IM.
 Alfaprodin HCl, tersedia dalam bentuk ampul 1 mL dan vial 10 mL dengan
kadar 60 mg/mL.
 Difenoksilat, berefek konstipasi pada manusia. Dikenal sebagai antidiare.
 Loperamid, seperti difenoksilat obat ini memperlambat motilitas saluran
cerna dengan mempengaruhi otot sirkuler dan longitudinal usus.
Digunakan untuk pengobatan diare kronik.
 Fentanil dan derivatnya.

e. METADON
FARMAKOKINETIK
Metadon diabsorbsi secara baik oleh usus dan dapat ditemukan dalam
plasma setelah 30 menit pemberian secara oral; kadar puncak dicapai setelah 4
jam. Metadan cepat keluar dari darah dan menumpuk dalam paru, hati, ginjal

16
dan limpa. Biotransformasi metadon terutama terjadi di hati. Salah satu reaksi
yang paling penting adalah dengan cara N-demetilasi. Sebagian besar metadon
yang diberikan ditemukan di dalam urin dan tinja sebagai hasil biotransformasi
yaitu pirolidin dan pirolin.
FARMAKODINAMIK
Pada SSP dapat meneyebabkan efrek yang sama seperti morfin, seperti
depresi nafas, pelepasan ADH, hiperglikemia, hipotermia dan lain-lain. Seperti
meperidin, metadon menimbulkan relaksasi sediaan usus dan menghambat efek
spasmogenik asetilkolin atau histamine. Efek konstipasi metadon lebih lemah
dari morfin.
Metadon menyebabkan vasodilatasi perifer sehingga dapat menimbulkan
hipotensi ortostatik. Pemberian metadon tidak mengubah gambaran EKG tetapi
kadan dapt timbul sinus bradikardia. Obat ini merendahkan kepekaan tubuh
terhadap CO2 sehingga timbul resistensi CO2 yang dapat menimbulkan
vasodilatasi serebral dan kenaikan tekanan cairan serebrospinal.
INDIKASI
 Analgesia: jenis nyeri yang dapat dipengaruhi metadon sama dengan jenis
nyeri yang dapat dipengaruhi oleh morfin.
 Antitusif : efek antitusif 1,5-2 mg peroral sesuai dengan 15-20 mg kodein,
tetapi kemungkinan timbulnya adiksi pada metadon jauh lebih besar
daripada kodein
EFEK SAMPING
Metadon menyebabkan efek samping berupa perasaan ringan, pusing,
kantuk, fungsi mental terganggu, berkeringat, pruritus, mual dan muntah.
Seperti pada morfin dan meperidin, efek samping lebih sering timbul pada
pemberian secara oral daripada parenteral.
TOLERANSI DAN KEMUNGKINAN ADIKSI
Toleransi dapat timbul pada efek analgetik, mual, anoreksia, miotik, sedasi,
depresi nafas dan efek kardiovaskuler, tetapi tidak timbul terhadap konstipasi.
Toleransi ini lebih lambat daripada toleransi terhadap morfin.

17
Timbulnya ketergantungan fisik setelah pemberian metadon secara kronik
dapat dibuktikan dengan cara menghentikan obat atau dengan member nalorfin.
Kemungkinan timbulnya adiksi ini lebih kecil daripada bahaya adiksi morfin.
SEDIAAN DAN POSOLOGI
Metadon dapat diberikan secara oral maupun suntikan. Tetapi suntikan
subkutan menimbulkan iritasi lokal. Metadon tersedia dalam bentuk tablet 5 dan
10 mg serta sediaan suntikan dalam ampul atau vial dengan kadar 10 mg/mL.
dosis analgetik metadon oral untuk dewasa berkisar antara 2,5 – 15 mg.
tergantung dari beratnya nyeri dan respon pasien.

f. GANJA (MARIJUANA)
Marijuana merupakan perpaduan dari bahan tumbuhan rambat yang
menyerupai guntingan rumput, sehingga nama jalanannya “rumput (grass)”.
Ekstraksi dan dammar dari tanaman ini menghasilkan produk yang lebih poten
yaitu ganja. Tiga cannabinoid utama telah ditemukan pada cannabis yaitu
cannabidiol (CBD), tetrahtdrocannabinol (THC) dan cannabinol (CBN). Alur
biosintesis dimulai dari dengan CBD diolah menjadi THC dan akhirnya dengan
CBD. Sebagian besar tanaman cannabis mengandung THC sebesar 1-2 %.
Cara penggunaan yang aling disukai dinegara barat adalah dengan
merokok. Tingginya daya larut lipid dari THC menyebabkan lebih mudah
terjebak pada lapisan surfaktan paru. Berdasarkan studi-studi farmakokinetika
mengindikasikan bahwa merokok hamper equivalen dengan pemberian
intravena kecuali lebih rendahnya konsentrasi puncak plasma THC yang dicapai.
Laju absorbs melalui pemberian ini lambat dan tak menentu, walaupun durasi
kerjanya lebih lama.
Mekanisme kerja THC menjadi subjek penyelidikan yang intensif. Tinggi
derajat selektifitas enansiomer, baik cannabinoid asli maupun yang baru member
sebagian ligan endogen, anandamide, telah dideskripsikan sebelumnya. Agonis-
agonis sintesis cannabinoid dengan potensi dan streoelektifitas yang tinggi
dalam uji perilaku telah digunakan untuk mengarakterisasi situs ikatan
cannabinoid. Situs-situ ikatan sangat bayak pada nucleus arus keluar pada

18
ganglia basalis, substansia nira, pars reticulata, globus palidus, hippocampus dan
batang otak. Reseptor telah dikloning dan merupakan penghubungan proten G
yang bekerja melalui cAMP. THC memiliki efek-efek farmakologis yang
bercariasi menyerupai amphetamine, LSD, alcohol, sdative, atropine, dan
morphinr.
Perokok marijuana yang ahli sering kali sadar akan efek obat setelah dua
atau tiga hirup. Karena merokok secara kontinu, efeknya meningkat, mencapai
maksimum sekitar 20 menit setelah rokok dihabiskan. Sebagian efek obat
menghilang setelah tiga jam, pada saat itu konsentrasi plasmanya rendah. Efek
puncak setelah penggunaan secara oral mungkin diperlambat hingga 3-4 jam
setelah cerna obat, tapi bertahan selama 6-8 jam.
Mereka yang mengkonsumsi jenis ganja akan memperlihatkan perubahan-
perubahan mental dan perilaku sebagai berikut:
1. Jantung berdebar-debar
2. Gejala pikologik antara lain : euphoria, haluinasi atau delusi, persaan waktu
berlalu dengan lambat misalnya 10 menit, apatis.
3. Gejala fisik: mata merah, nafsu makan bertambah, mulut kering, perilaku adatif.
Dalam pengalaman prakteknya NAZA jenis ganja ini dapat merupakan
pencetus terjadinya gangguan jiwa ( psikosis), gangguan jiwa skizofreni,
pemakai berat kasus marijuana terdapat pada usia muda. Perokok berat
marijuana dapat megalami beberapa masalah yang sama pada bronchitis kronik,
obstruksi jalan nafas, dan metaplasia sel squamosa. Pada kasus angina pectoris
dpat lebih buruk karena dihubungkan dengan meningkatnya denyut jantung,
hipotensi ortosatik.
Cannabis pernah terdftar pada formularium obat, tetapi tidak pernah
digunakan secara medis untuk sekian lama. Akhir-akhir ini, minat terhadap
cannabis untuk tujuan terapi telah dibangkitkankembali, misalnya
padapenurunan tekanan intraokuler, perbaikan rasa muntah dan mual
sehubungan dengan kemoterapikanker yang juga telah dipelajari. THC yang
sekarang dikenal dronabinol, tealah dipasarkan untuk indikasi ini. Untuk

19
pengobatan sedikit pemakai yang mencarinya, wlaupun banyak dari mereka
yang berhenti pengobatan mnjadi terkejut melihat kejernihan otak mereka.

G. GEJALA KLINIS PENYALAHGUNAAN NAPZA


1. Perubahan Fisik
Gejala fisik yang terjadi tergantung jenis zat yang digunakan, tapi secara umum
dapat digolongkan sebagai berikut :
a. Pada saat menggunakan NAPZA : jalan sempoyongan, bicara pelo (cadel),
apatis (acuh tak acuh), mengantuk, agresif,curiga
b. Bila kelebihan disis (overdosis) : nafas sesak,denyut jantung dan nadi
lambat, kulit teraba dingin, nafas lambat/berhenti, meninggal.
c. Bila sedang ketagihan (putus zat/sakau) : mata dan hidung berair,menguap
terus menerus,diare,rasa sakit diseluruh tubuh,takut air sehingga malas
mandi,kejang, kesadaran menurun.
d. Pengaruh jangka panjang, penampilan tidak sehat,tidak peduli terhadap
kesehatan dan kebersihan, gigi tidak terawat dan kropos, terhadap bekas
suntikan pada lengan atau bagian tubuh lain (pada pengguna dengan jarum
suntik)
2. Perubahan Sikap dan Perilaku
a. Prestasi sekolah menurun,sering tidak mengerjakan tugas sekolah,sering
membolos,pemalas,kurang bertanggung jawab.
b. Pola tidur berubah,begadang,sulit dibangunkan pagi hari,mengantuk dikelas atau
tampat kerja.
c. Sering berpegian sampai larut malam,kadang tidak pulang tanpa memberi tahu
lebih dulu
d. Sering mengurung diri, berlama-lama dikamar mandi, menghindar bertemu
dengan anggota keluarga lain dirumah
e. Sering mendapat telepon dan didatangi orang tidak dikenal oleh
keluarga,kemudian menghilang

20
f. Sering berbohong dan minta banyak uang dengan berbagai alasan tapi tak jelas
penggunaannya, mengambil dan menjual barang berharga milik sendiri atau
milik keluarga, mencuri, mengomengompas terlibat tindak kekerasan atau
berurusan dengan polisi. – Sering bersikap emosional, mudah tersinggung,
marah, kasar sikap bermusuhan, pencuriga, tertutup dan penuh rahasia.

2. PSIKOTROPIKA
a. AMFETAMIN
GANGGUAN KARENA AMFETAMIN
Resemik amphetamine sulfat pertama kali disintesis pada tahun 1887 dan
dikenalkan dalam praktik klinis pada tahun 1932 sebagai inhaler yang dapat
dibeli bebas untuk kongesti hiidung dan asma. Di tahun 1937, tablet
amphetamine sulfat diperkenalkan untuk mengobati narkolepsi, parkinsonisme
pascaensefalitis, depresi dan letargi. Produksi, pemakaian legal dan penggunaan
gelap amfetamin meningkat sampai tahun 1970-an saat berbagai faktor social
dan aturan mulai membatasi penggunaannya secara luas. Indikasi penggunaan
amfetamin yang sekarang diajukan adalah terbatas pada gangguan
defisitetansi/hiperaktivitas, narkolepsi dan gangguan depresif. Amfetamin juga
digunakan untuk mengobati obesitas walaupun masih controversial.
BENTUK-BENTUK
Sekarang ini, amfetamin utama yang tersedia adalah dextroamphetamine,
metaamphetamine dan methylphenidate. Obat ini beredar luas dengan nama
crack, sabu-sabu, ekstasi dan speed. Sebagai suatu kelas umum, amfetamin juga
di maksudkan sebaagai suatu simpatomimetik, stimulan dan psikostimulan.
Amfetamin tipikaldigunakan untuk meningkatkan daya kerja dan untuk
menginduksi perasaaan euforia. Pelajar yang belajar untuk ujian, pengendara
truk jarak jauh, orang bisnis dengan deadline penting dan atlet untuk kompetisi
adalah contoh orang dan situasi dimana amfetamin digunakan. Amfetamin
adalah obat yang adiktif walaupun tak seadiktif kokain.

21
Zat yang berhubungan dengan amfetamin lainnya adalah efedrin dan
propanolamin yang tersedia secara bebas sebagai dekongestan hidung.
Phenilpropanolamin juga tersedia sebagai penekan nafsumakan. Walaupun
kurang poten dibanding amfetamin klasik, efedrin dan propanolamin sering
menjadi sasaran penyalahgunaan karena mudah didapat dan harganya murah.
Kedua obat, propanolamin khususnya dapat mencetuskan hipertensi,
mencetuskan suatu psikosis toksik atau menyebabkan kematian. Batas keamanan
untuk propanolamin adalah sempit, dan tiga sampai empat kali dosis normal
dapat menyebabkan hipertensi yang mengancam kehidupan.
NEUROFARMAKOLOGI
Semua amfetamin cepat diabsorbsi peoral dengan onset kerja yang cepat,
biasanya satu jam jika digunakan peroral. Amfetamin klasik juga digunakan
secara intravena. Dengan cara kerja tersebut mereka mempunyai efek yang
hampir segera. Amfetamin yang tak diresepkan dan racikan juga dimasukkan
dalam inhalasi. Toleransi timbul pada amfetamin klasik dan amfetamin racikan,
walaupun pemakai amfetamin sering seringkali mengatasi toleransi dengan
menggunakan lebih banyak obat. Amfetamin adalah kurang adiktif
dibandingkan kokain, seperti yang dibuktikan oleh percobaan binatang dimana
tidak semua tikus coba secara spontan memasukkan sendiri dosis rendah
amfetamin. Penelitian lebih lanjut pada model binatang tersebut dapat
membantu dokter mengerti kepekaan beberapa pasien terhadap ketergantungan
amfetamin.
Amfetamin klasik mempunyai efek primernya dengan menyebabkan
pelepasan katekolamin terutama dopamin dari termminal presinaptik. Efek
tersebut terutama kuat pada neuron dopaminergik yang keluar dari area
tegmental ventralis ke korteks serebri dan area limbik. Jalur ini disebut ”jalur
hadiah” atau reward pathway dan aktivasinya kemungkinan mekanisme adiksi
utama pada pemakai amfetamin.
Amfetamin racikan (MDMA, MDEA, MMDA dan DOM) menyebabkan
pelepasan katekolamin dan pelepasan katekolamin yaitu dopamin dan
norepinefrin dan pelepasan serotinin. Serotinin adalah neurotransmitter utama

22
yang terlibat dalam halusinogen. Farmakologi MDMA adalah yang paling
dimengerti dengan baik dalam kelompok tersebut. MDMA di ambil dalam
neuron serotonergik oleh transporter serotinin yang bertanggung jawab untuk
pengambilan kembali serotinin. Setelah didalam neuron, MDMA menyebabkan
pelepasan suatu bolus serotinin dan menghambat aktivitas enzim
yangmenghasilkan serotinin. Sebagai akibatnya, pasien yang menggunakan
inhibitor ambilan kembali spesifik serotonin contohnya fluoxetine tak dapat
mencapai perasaan ketinggian jika mereka menggunakan MDMA karena
inhibitor ambilan kembali spesifik serotonin mencegah pengambilan MDMA
kedalam neuron serotonergik mencegah pengambilan MDMA kedalam neuron
serotonergik mencegah pengambilan MDMA ke dalam neuron serotonergik.
DIAGNOSA
Diagnostic and Statistical Manual of Mental disorder edisi keempat
(DSM-IV) menuliskan banyak gangguan berhubungan amfetamin. Tetapi
menyebutkan criteria diagnostic hanya untuk intoksikasi amfetamin, putus
amfetamin dan gangguan berhubungan amfetamin yang tak terspesifikasi
ketempat lain.

23
KETERGANTUNGAN DAN PENYALAHGUNAAN
Ketergantungan amfetamin dapat menyebabkan penurunan cepat
kemampuan seseorang untuk mengatasi kewajiban dan ketegangan yang
berhubungan dengan pekerjaan dan keluarga. Orang yang menyalahgunakan
amfetamin memerlukan dosis amfetamin yang semakin tinggi untuk
mendapatkan perasaan melambung yang biasanya dan tanda fisik
penyalahgunaan amfetamin hamper selalu timbul pada penyalahgunaan yang
terus menerus.
INTOKSIKASI
Sindrom intoksikasi oleh kokain dan amfetamin adalah serupa. Karena
penelitian yang lebih giat dan mendalam telah dilakukan terhadap
penyalahgunaan dan intoksikasi kokain dibandingkan terhadap amfetamin,
literatur klinik tentang amfetamin, sangat dipengaruhi oleh temuan klinis pada

24
penyalahgunaan kokain. Sebagai contoh, dalam DSM IV, kriteria diagnostik
untuk intoksikasi amfetamin dan intoksikasi kokain adalah dipisahkan tetapi
sebenarnya sama. DSM-IV memungkinkan spesifikasi adanya gangguan
perseptual. Jika tes realitas tidak terdapat, diagnosis suatu gangguan psikotik
akibat amfetamin dengan onset selama intoksikasi adalah diindikasikan. Gejala
intoksikasi amfetamin adalah hamper menghilang sama sekali setelah 24 jam
dan biasanya menghilang secara lengkap setelah 24 jam.
PUTUS AMFETAMIN
Keadaan setelah intoksikasi amfetamin dapat disertai dengan kecemasan,
gemetar, mood disforik, letargi, fatigue, mimpi menakutkan, nyeri kepala,
keringat banyak, kram otot, kram lambung dan rasa lapar yang tak pernah
kenyang. Gejala putus biasanya memuncak dua sampai empat hari dan
menghilang dalam satu minggu. Gejala putus amfetamin yang paling serius
adalah depresi, yang dapat berat setelah pengguanaan amfetamin dosis tinggi
secara terus-menerus dan yang dapat disertai usaha bunuh diri. Kriteria
diagnostik DSM-IV untuk putus amfetamin menyebutkan bahwa suatu mood
disforik dan sejumlah perubahan fisiolgis adalah diperlukan untuk mendiagnosis
putus amfetamin.
GAMBARAN KLINIS
Amfetamin Klasik
Pada seseorang yang sebelumnya belum pernah menggunakan amfetamin,
dosis tunggal 5 mg meningkatkan rasa kesehatannya dan menyebabkan elasi,
euforia dan keramahan. Dosis kecil biasanya memperbaiki pemusatan perhatian
merekadan meningktkan kinerja dalam tugas menulis, oral dan bekerja. Terdapat
juga penurunan kelelahan, menyebabkan anoreksia dan peningkatan ambang
rasa nyeri. Efek yang tidak diharapkan menyertai penggunaan dosis tinggi untuk
periode waktu yang lama.
Amfetamin Racikan
Karena efeknya pada system dopaminergik, amfetamin racikan memiliki
sifat mengktifkan dan memberikan energi. Tetapi, efeknya pada sistem
serotonergik, mewarnai pengalaman dengan obat tersebut dengan suatu karakter

25
halusinogenik. Amfetamin racikan dikaitkan dengan disorientasi dan distorsi
persepsi yang lebih sedikit daripada halusinogenik klasik contohnya lysergic
acid diethylamine atau LSD. Rasa keakraban dengan orang lain dan rasa nyaman
pada diri sendiri dan peningkatan kecerahan objek adalah efek yang sering
dilaporkan pada MDMA atau dikenal dengan ekstasi (XTC). Beberapa ahli
psikoterapi telah menggunakan dan menganjurkan penelitian yang lebih lanjut
tentang amfetamin racikan sebagai adjuvan terhadap psikoterapi. Anjuran
tersebut adalah kontroversial.
EFEK MERUGIKAN
Amfetamin Klasik
Efek pada serebrovaskular, jantung dan GIT adalah diantara efek
merugikan yang paling sering berhubungan dengan penyalahgunaan amfetamin.
Keadaan spesifik yang mengancam kehidupan adalah adanya infark
miokardium, hipertensi berat, penyakit kardiovaskular dan kolitis iskemik.
Gejala neurologis yang terjadi terus-menerus, dari kedutan sampai tetanus
sampai kejang, koma dan berakhir dengan kematiaan dapat menyerang dengan
pemakaian dosis amfetamin yang semakin tinggi. Penggunaan amfetamin
intravena berhubungan dengan transmisi virus HIV dan hepatitis dan dengan
perkembangan abses paru, endokarditis dan angitis nekrotikan. Beberapa
penelitian telah menemukan bahwa informasi tentang praktik seks yang aman
dan penggunaan kondom adalah tidak diketahui denganbaik oleh pelaku
penyalahgunaan amfetamin. Efek merugikan yang kurang mengancam
kehidupan adalah kemerahan, pucat, sianosis, demam, nyeri kepala, takikardia,
palpitasi, mual muntah, bruxism (menggesekkan gigi), sesak nafas, tremor dan
ataksia. Penggunaan amfetamin oleh wanita yang mengandung telah disertai
dengan BBLR, lingkar kepala yang kecil, usia kehamilan dini dan retardasi
pertumbuhan. Efek psikologis yang merugikan dari amfetamin adalah
kegelisahan, insomnia, iritabilitas, sikap permusuhan dan konfusi. Gejala
gangguan kecemasan, seperti gangguan kecemasan umum dan gangguan panik
dapat diinduksi oleh penggunaan amfetamin. Ideas of reference, waham
paranoid dan halusinasi dapat diselesaikan dengan pemakaian amfetamin.

26
Amfetamin Racikan
Amfetamin racikan mempunyai efek yang merugikan yang sama dengan
amfetamin klasik. Tetapi, berbagai efek merugikan lainnya juga telah
dihubungkan dengan obat racikan. Secara klinis, suatu efek merugikan yang
berat yang berhubungan dengan MDMA adalah hipertermia yang disebabkan
oleh obat dan selanjutnya dieksaserbasi oleh aktivitas yang berlebihan
contohnya berdansa liar di klub yang panas dan padat. Terdapat sejumlah
laporan klinis tentang kematian yang berhubungan dengan pemakaian MDMA
dibawah situasi tersebut. Peneliti
dasar berbeda dalam pendapat
mereka tentang apakah MDMA
menyebabkan neurotoksisitas dalam
dosis yang digunakan oleh manusia.

PENGOBATAN
Pengobatan gangguan
berhubungan amfetamin adalah mirip
dengan gangguan berhubngan dengan
kokain berupa kesulitan dalam
membantu pasien tetap abstinen dari
obat yang mempunyai kualitas
mendorong yang sangat kuat dan
yang menginduksi kecanduan.
Lingkungan rawat inap
danpenggunaan cara pengobatan yangbermacam-macam biasanya diperlukan
untukmencapai abstinensi zat yang berlangsung selamanya. Pengobatan
gangguan spesifik akibat amfetamin mungkin diperlukan dalam jangka waktu
yang pendek. Anti psikotik, baik phenotiazine atau haloperidol dapat diresepkan
untuk beberapa hari pertama. Tanpa adanya psikosis, diazepam adalah berguna
untuk mengobati agitasi dan hiperaktivitas pasien.

27
Dokter harus menegakkan ikatan terapetik dengan pasien untuk mengatasi
depresi atau gangguan kepribadian dasar ataukeduanya. Tetapi, karena banyak
pasien adalah mengalami ketergantungan berat dengan obat, psikoterapi
mungkin sangat sulit.

b. HALUSINOGEN\
Pada tahun 1954, A. Hoffer dan H. Osmond memperkenalkan istilah
halusinogen untuk member nama zat tertentu yang dalam jumlah sedikit
dapat mengubah persepsi, pikiran dan perasaan seseorang sehingga orang
yang menggunakan zat tersebut mengalami halusinasi.
Halusinogen juga di kenal sebagai psikedelik, bertindak pada
susunan saraf pusat untuk membuat perubahan yang bermakna dan sering
radikal pada keadaan kesadaran pengguna, juga dapat mengacaukan
perasaan kenyataan, waktu dan emosi para pengguna. Pengguna halusinogen
mengaku mengalami peningkatan kesadaran terhadap rangsang eksternal,
pikiran menjadi lebih cerah dan reaksi disosiasi.
Subklasifikasi. Halusinogen banyak yang alami, yaitu terdapat pada
tumbuhan tertentu atau terdapat pada bagian tertentu dari hewan tertentu.
Selebihnya, halusinogen adalah sintetik. Halusinogen yang alami antara lain
Ololiokui (Amerika Selatan), Datura stramonium (mengandung
skopolamin), Kohoba (Haiti), Harmala (Peru, Ekuador, Kolombia, Brazil),
jamur Psilocybe Mexicana (mengandung psilosin dan psilosibin), dan
sebagainya, sedangkan halusinogen sintetik diantaranya LSD-25, DOM,
DMP, MDA, dan sebagainya.
Cara mengonsumsi. LSD-25 biasanya digunakan secara oral dan
jarang dirokok maupun disuntikkan. Pil LSD-25 dikonsumsi secara oral
dengan dosis 100-300 mikrogram.
Psilosin dan psilosibin yang terdapat dalam jamur Psilocybe
mexicana biasanya dimakan dengan dosis 250 mikrogram/kgBB. Meskalin
berasal dari kaktus Liphophora williamsii, yang diiris tipis setebal kancing
baju dan dikeringkan dibawah sinar matahari. Irisan kaktus ini dikonsumsi

28
secara oral dengan dosis 5-6 mg/kgBB. Kadang meskalin dihancurkan
menjadi serbuk lalu dicampur didalam rokok tembakau atau ganja.
Terkadang digunakan juga melalui suntikan.
DMP (dimetiltriptamin) atau DET (dietiltriptamin) biasanya
digunakan secara inhalasi atau dirokok karena penggunaan secara oral
kurang efektif.
MDA (metil-endioksi-amfetamin) biasanya dikonsumsi dengan cara
oral walaupun kadang-kadang juga secara nasal atau suntikan.
PMA (parametoksi-amfetamin) dapat digunakan secara oral, nasal,
maupun suntikan.
Amanitta mappa adalah sejenis jamur di daerah subtropics Eropa,
Asia dan Amerika, biasanya dikonsumsi secara oral.
Atropin, skopolamin dan hyosciamin terdapat dalam tanaman Atropa
belladonna dan Datura stramonium biasanya dikonsumsi secara oral.
DMT biasanya dipakai secara nasal, dirokok atau intravena.
Harmalin dan harmin terdapat dalam tanaman Banisteriopsis caapi di
Amerika Selatan dan Peganum harmala di Timur Tengah (disebut juga
Syrian rue), digunakan secara oral atau suntikan.
Morning Glory Seed berasal dari tanaman Rivea corymbosa dan
Ipomoea violacea yang berisis senyawa mirip LSD, biasanya bijinya
ditumbuk dan dilarutkan dalam air untuk diminum.
Myristicin terdapat dalam tanaman Myristica fragrans yang tumbuh
di Indonesia, digunakan dengan cara diseduh dalam air the dan diminum
atau digunakan secara nasal.
DOM digunakan secara oral dan TMA secara suntikan.

c. LSD
Salah satu contoh halusinogen adalah LSD. Lysergic acid
diethylamide (LSD) merupakan zat semisintetik psychedelik dari family
ergoline. LSD sensitif terhadap udara, sinar ultraviolet, dan klorine,terutama

29
dalam bentuk solutio, dimana zat ini akan bertahan selama 1 tahan jika
dijauhkan dari cahaya dan dijaga agar suhunya tetap berada dibawah
temperature. Alam bentuk aslinya warna, bau, sangat khas. LSD dapat
didistribusi ke dalam tubuh secara intramuskular atau injeksi intravena.
Dosis yang dapat menyebabkan efek psikoaktif pada manusia yaitu 20-30
mg (mikrogram). LSD dapat digunakan sebagai agen therapeutik yang
menjanjikan.
Lysergic acid diethylamide (LSD) adalah halusinigen yang paling
terkenal. Ini adalah narkoba sintetis yang di sarikan dari jamur kering
(dikenal sebagai ergot) yang tumbuh pada rumput gandum. Proses
pembuatan LSD dari bahan baku membutuhkan pengetahuan dan keahlian
tehnik yang tinggi.
LSD mempengaruhi sejumlah besar reseptor pasangan protein-G,
termasuk semua reseptor dopamin, semua subtipe adrenoreseptor sama
seperti lainnya. Ikatan LSD pada sebagian besar subtipe reseptor serotonin
kecuali 5-HT3 dan 5-HT4. bagaimanapun juga, hampir semua reseptor
mempengaruhi pada afinitas rendah menjadi aktif pada otak dengan
konsentrasi 10-20 nm.
LSD adalah cairan tawar, yang tidak berwarna dan tidak berbau yang
sering di serap ke dalam zat apa saja yang cocok seperti kertas pengisap dan
gula blok, atau dapat dipadukan dalam tablet, kapsul atau kadang-kadang
gula-gula. Bentuk LSD yang paling popular adalah kertas pengisap yang
terbagi menjadi persegi dan dipakai dengan cara ditelan.
Halusinogen lain termasuk meskalin (tanaman alami yang berasal
dari kaktus peyote), pala, jamur-jamur tertentu (yang mengandung zat
psilosin dan psilosibin), dimetiltriptamin (DPT), fensiklidin (PCP) dan
ketamin hidroklorid.
Tak serupa dengan narkoba lain, pengguna LSD mendapat sedikit
gagasan apa yang mereka pakai dan efeknya dapat berubah-ubah dari orang
ke orang, dari peristiwa ke peristiwa dan dari dosis ke dosis. Efeknya dapat

30
mulai dalam satu jam setelah memakai dosis bertambah antara 2-8 jam dan
berangsur hilang secara perlahan-lahan setelah kurang lebih 12 jam.
Untuk penggunaan LSD efeknya dapat menjadi nikmat yang luar
biasa, sangat tenang dan mendorong perasaan nyaman. Sering kali ada
perubahan pada persepsi, pada penglihatan, suara, penciuman, perasaan dan
tempat. Efek negatif LSD dapat termasuk hilangnya kendali emosi,
disorientasi, depresi, kepeningan, perasaan panik yang akut dan perasaan tak
terkalahkan, yang dapat mengakibatkan pengguna menempatkan diri dalam
bahaya fisik.
Pengguna jangka panjang dapat mengakibatkan sorot balik pada efek
halusinogenik, yang dapat terjadi berhari-hari, berminggu-minggu atau
bahkan berbulan-bulan setelah memakai LSD. Tidak ada bukti atau adanya
ketergantungan fisik dan tidak ada gejala putus zat yang telah diamati
bahkan setelah dipakai secara berkesinambungan. Namun, ketergantungan
kejiwaan dapat terjadi.
Efek LSD normalnya 6-12 jam setelah menggunakan, tergantung
pada dosis, toleransi, berat badan dan umur. Keberadaan LSD tidak lebih
lama keberadaannya daripad obat-obat dengan level signifikan di dalam
darah.

d. PSILOSIN DAN PSILOSIBIN


Psilosin dan psilosibin diabsorbsi melalui dinding usus. Sebagian
dimetabolisme menjadi zat yang tidak aktif oleh hati. Sebagian besar zat ini
diekskresi melalui urin tanpa perubahan. Psilosin dan psilosibin jiga bekerja
pada neuron serotonergik dan neuron adrenergic.
Pengaruh kedua zat ini terhadap pengguna sama dengan pengaruh
LSD, antara lain psudohalusinasi, pseudoilusi, waham, sinestesi, distorsi
dalam persepsi waktu, ruang dan badan. Sebagian pengguna merasa senang
dengan pengalaman tersebut dan sebagian lagi merasakan sebagai
pengalaman yang mengerikan.

31
Pengaruh kedua zat ini lebih singkat dibandingkan dengan LSD,
dimana pengaruh psilosibin akan menghilang dalam waktu 3-6 jam.
Toleransi berkembang cepat. Pengguna harus berhenti menggunakan secara
periodic agat bisa memperoleh lagi pengaruh yang diinginkan.

e. MESKALIN
Meskalin bekerja pada susunan saraf pusat maupun tepi. Meskalin
bekerja lebih pada neuron serotonergik daripada neuron adrenergic
walaupun meskalin mirip neurotransmitter ketekolamin.
Pengaruh meskalin terhadap pengguna juga sama seperti psilosibin,
yang timbul 1-2 jam sesudah dikonsumsi dan hilang secara perlahan-lahan
dalam waktu 10-12 jam sesudah mengonsumsi. Toleransi berkembang cepat
dalam 3-6 hari.

f. DMT
Halusinogen yang mirip amfetamin dimetabolisme seperti
metabolism amfetamin. Pada dosis kecil zat ini menyebabkan euphoria
seperti amfetamin, sedangkan pada dosis tinggi menyebabkan halusinasi
seperti halusinogen.
DMT mempunyai khasiat seperti LSD dan meskalin. Timbulnya
reaksi fisik dan psikologis sangat cepat dan berlangsung tidak lama, hanya
30-60 menit.

g. HARMALIN DAN HARMIN


Kedua senyawa ini menyebabkan rasa mual dan muntah, banyak
berkeringat, lemah, mabuk, gemetar dan rasa berat di kaki. Sesudah
beberapa saat pengguna merasa santai dan tidak peduli terhadap sekitarnya.
Mata tertutup dan mimpi berkepanjangan dengan gambaran atau fantasi
yang jelas. Halusinasi dan waham tidak sehebat pada penggunaan
halusinogen lain. Halusinasi yang timbul biasanya berhubungan dengan
agresivuitas dan seksualitas. Lama gejalanya sekitar 6 jam. Karena kedua

32
senyawa ini adalah monoamine oksidase inhibitor (MOI-I), bila dikonsumsi
bersamaan dengan makanan yang mengandung tiramin (keju, cokelat,
anggur merah) dapat berakibat fatal.

h. MIRISTISIN
Pengaruh miristisin (dalam Pala) dalam tubuh kelihatan 2-5 jam
sesudah dikonsumsi. Intoksikasi senyawa ini ditandai dengan letargi,
euphoria, kepala terasa ringan, tertawa tidak terkendali, merasa terlepas dari
lingkungannya, sensasi melayang-layang, distorsi waktu dan ruang.
Beberapa pengguna merasa potensi seksualnya meningkat. Gejala lainnya,
mual, muntah, diare, nyeri kepala, denyut jantung bertambah cepat,
gangguan koordinasi motorik, rasa berat di kaki, wajah merah, retensi urin
dan konstipasi.

i. TMA
Dalam dosis kecil (50-100 mg), TMA menyebabkan mabuk, kepala
terasa ringan, euphoria, dan lepas kendali terhadap emosi. Dalam dosis
yuang mengakibatkan halusinasi, gejala yang terlihat sama dengan
intoksikasi meskalin. Dalam dosis tinggi (300 mg atau lebih), TMA dapat
menimbulkan perilaku antisocial.

3. PENYALAHGUNAAN ZAT ADIKTIF LAINNYA


a. NIKOTIN DAN KAFEIN
Nikotin dan kafein adalah zat psikoaktif yang paling banyak dikonsumsi
manusia. Kedua zat psikoaktif ini tergolong psikostimulan dan bersifat adiktif.
Nikotin dalam tembakau berkadar 1-4%. Satu batang rokok mengandung sekitar
1,1 mg nikotin. Pada waktu dibakar ketika dirokok sebagian besar nikotin
terbakar. Akan tetapi, 1/7 sampai 1/3 akan masuk ke paru masih dalam keadaan
utuh. Jadi setiap batang rokok yang dihisap terdapat nikotin sebanyak kurang
lebih 0,25 mg sampai ke paru.

33
b. NIKOTIN
EPIDEMIOLOGI
Bentuk Nikotin yang paling umum adalah tembakau yang dihisap dalam
bentuk rokok, cerutu dan pipa. Selain itu dapat pula digunakan sebagai
tembakau sedotan dan kunyah. Factor predisposisi yang berperan antara lain.
 Jenis kelamin, laki-laki lebih berkemungkinan dalam menghisap rokok.
 Ras dan etnik, kulit putih dan kulit hitam lebih mungkin menghisap rokok
dibandingkan dengan Hispanik.
 Kepadatan populasi, penduduk daerah yang bukan metropolitan
berkemungkinan lebih besar untuk menghisap rokok dibandingkan
penduduk yang tinggal dimetropilitan kecil dan besar.
 Daerah, tidak ada perbedaan signifikan secara statistic.
c. JENIS TEMBAKAU
 Flue-Cured Tobacco
Daun tembakau jenis ini berwarna terang, dan merupakan tembakau yang
dipakai dalam conventional British cigarette. Tembakau jenis ini
mengandung kadar gula tinggi (15-24%). Daun tembakau ini dikeringkan
dalam barak gelap sehingga berkurangnya kelembapan dapat diatur.
Pemanasan dilakukan dengan menggunakan bahan bakar kayu.
 Light Air-Cured Tobacco
Daun tembakau yang berwarna pirang ini berasal dari Ohio. Tembakau ini
mengandung banyak gula dan dikeringkan dalam barak yang rindag dengan
ventilasi yang baik tanpa bantuan pemanasan dari luar. Tembakau jenis ini
banyak digunakan dengan cara dikunyah, sebagai salah satu campuran
tembakau yang dihisap dengan pipa.
 Marryland Tobacco
Tembakau jenis ini mengandung sedikit nikotin dan mempunyai aroma
yang netral serta dapat dibakar sampai habis dan tidak menyisakan abu.
 Dark Tobacco
Dark Tobacco termasuk Air-Cured Tobacco yang mengalami fermentasi
sehingga kadar gulanya renda, serta asapnya bersifat alkalis. Tembakau

34
jenis ini banyak digunakan sebagai lapisan luar dan isi cerutu, sebagai
tembakau yang dikunyah dan dihisap dengan menggunakan pipa serta
dalam rokok.
 Oriental Tobacco
Proses pengeringan tembakau ini adalah dengan sinar matahari serta
dibiarkan mengalami fermentasi selama disimpan. Aroma yang khas
berasal dari getah yang dihasilkan oleh trikomapada permukaan daun
tembakau.
 Rokok Kretek
Rokok kretek atau rokok cegkeh mulai dikenal di Indonesia sejak awal aba
ke-20. Cengkeh mengandung eugenol, suatu anestesi local, yang dapat
mengurangi perasaan tidak enak ditenggorokan akibat asap rokok.
CARA MENGKONSUMSI
Tembakau yang mengandung nikotin biasanya digunakan dengan cara
dibakar atau dihisap sebagai rokok sigaret, cerutu, atau pipa, dikunyah, atau
disedot melalui hidung.
CARA KERJA OBAT
Nikotin adalah suatu senyawa amin tertier bercincin piridin dan pirolidin,
bersifat alkalis lemah sehingga mudah larut dalam air maupun lemak. Menurut
Benowitz, pada pH fisiologis, 31% nikotin tidak mengalami ionisasi dan mampu
menembus membrane sel. Asap rokok sigerete sedikit asam sehingga tidak
mudah menembus selaput lender rongga mulut. Nikotin yang berasal dari cerutu,
cangklong, permen karet nikotin, dan tembakau yang dikunyah bersifat lebih
alkalis sehingga dapat diabsorpsi tahap demi tahap melalui selaput lender. Selain
itu nikotin juga dapat diserap melalui saluran cerna dan permukaan kulit.
Penyerapan nikotin dari paru kedalam darah berlangsung cepat sehingga
dalam delapan detik sudah sampai ke otak. Kadar nikotin dalam jaringan otak
menurun dalam waktu 20-30 menit karena nikotin diedarkan keseluruh tubuh.
Penyerapa nikotin melalui lambung berlangsung lambat akibat pH
lambung yang asam, tetapi penyerapan di usus lebih cepat karena pH lebih

35
alkalis. Walaupun demikian, pada pengguna tembakau yang dikunyah hanya
30% nikotin yang sampai ke hati.
Dalam keadaan normal, 80-90% nikotin dimetabolisme di hati, paru, dan
ginjal dengan mendekati waktu paruh dua jam. Nikotin dan metabolitnya akan
cepat diekskresi melalui ginjal. Kotin dan nor nikotin – 1 – oksidase adalah
metabolit nikotin yang secara farmakologis adalah nonaktif karena kotin
mempunyai paruh waktu yang panjang, dan dapat dipakai untuk mendeteksi
penggunaan tembakau.
Melalui pengaruhnya terhadapt hepar, nikotin mengikat enzim dalam
hepar sehingga metabolisme beberapa jenis obat meningkat, misalnya teofilin,
warfarin, kafein, dan beberapa jenis obat antidepresan. Sehingga, kadar obat-
obatan tersebut dalam darah lebih rendah dari yang diharapkan.
Nikotin terikat pada reseptor kolinergik (C-6) dan nikotinik yang tedapat
pada susunan saraf pusat, medulla glandula adrenalis, sambungan
neuromuscular, dan ganglia susunan saraf otonom. Menurut Benowitz, ikatan
nikotin pada jaringan otak yang terkuat terdapat pada hipotalamus, hipokampus,
thalamus, mesensefalon, batang otak, korteks, neuron dopaminergik pada
nigrostriata dan mesolimbik, yang berkaitan dengan terjadinya adiksi,
ketergantungan toleransi dan putus zat nikotin. Nikotin juga mempengaruhi
neurotrasmiter lain terutama norepinefrin.
Aktivitas nikotin pada jaringan otak bersifat bifasik, yaitu dimulai dengan
stimulasi yang hanya berlangsung sebentar, kemudian diikuti dengan sifat
depresi. Pada dosis kecil, terjadi stimulasi pada ganglion susunan saraf otonom
yang berlangsung sebentar diikuti dengan efek penyekatan pada ganglion
tersebut. Benowitz memperkirakan paling sedikit seseorang membutuhkan
sepuluh batang rokok tembakau agar memperoleh 10-40 mg nikotin per hari
supaya mendapatkan efek yang diinginkan.

PENGARUH TERHADAP PENGGUNA

36
Pengaruh nikotin terhadap susunan saraf pusat atau prilaku antara lain
meningkatkan kewaspadaan, mengurangi ketegangan mental pada waktu stress,
meningkatkan daya ingat jangka pendek waktu reaksi, mengurangi rasa lapar,
mengurangi berat badan, dan meningkatkan perhatian.
Nikotin juga meningkatkan denyut jantung, tekanan darah, aliran darah
koroner, stroke volume, dan cardiac output sesaat. Nikotin dalam jangka panjang
akan :
 Mengurangi aliran darah koroner
 Menurunkan suhu kulit
 Menyebabkan vasokonstriksi sistemik
 Meningkatkan aliran darah ke otot
 Meningkatkan sirkulasi asam lemak bebas, laktat, dan gliserol.
 Meningkatkan aktivitas trombosit
 Menigkatkan produksi sputum
 Menyebabkan batuk
 Nafas berbunyi dan tangan gemetaran
Nikotin juga meningkatkan kerja beberapa jenis hormone dan
neurotransmitter, seperti katekolamin, ACTH, GH, Prolaktin, vasopressin, beta
endorphin, dan kortisol. Gejala keracunan nikotin awal mulanya adalah muntah,
mual, berliur, nyeri perut, denyut jantung cepat, tekanan darah naik, nafas cepat,
miosis, kebingungan dan agitatif. Kemudian diikuti dengan denyut jantung
lambat, tekanan darah menurun, nafas lambat, midriasis, letagi, kejang, dan
koma.
Gejala putus tembakau berupa denyut jantung bertambah cepat, tangan
gemetaran, suhu kulit meningkat, keinginan yang kuat untuk merokok lagi,
mudah marah, tekanan darah sedikit menurun, otot-otot berkedut, nyeri kepala,
cemas, tidak suka makan, gangguan konsentrasi, iritabel, ansietas, depresi dan
perlambatan EEG. Gejala ini berlangsung sekitar dua atau tiga minggu.
Gangguan tidur berupa insomnia dan bertambahnya nafsu makan berlangsung
lebih lama sekitar enam bulan.
KRITERIA DIAGNOSIS

37
Intoksikasi Akut Tembakau
Terdapat disfungsi perilaku atau persepsi tidak normal yang dibuktikan dengan
adanya satu dari gejala :
1. insomnia
2. mimpi aneh
3. suasana perasaan labil
4. derealisasi
5. interfensi fungsi personal
Paling sedikit terdapat satu dari gejala :
1. Nausea
2. Berkeringat
3. Denyut jantung cepat
4. Irama jantung tak teratur
Gejala Putus Tembakau
1. Berkeinginan kuat untuk mengkonsumsi tembakau
2. Mudah tersinggung dan mudah marah
3. Cemas dan gelisah
4. Gangguan konsentrasi
5. Mengantuk
6. Nyeri kepala
7. Suasana perasaan disforia
8. Iritabel dan tidak tenang
9. Batuk bertambah
10. Ulkus di mulut
PENEGAKAN DIAGNOSA
1. Anamnesa
Gejala Klinis
1. Perubahan Fisik
Gejala fisik yang terjadi tergantung jenis zat yang digunakan,
tapi secara umum dapat digolongkan sebagai berikut :

38
 Pada saat menggunakan NAPZA : jalan sempoyongan,
bicara pelo (cadel), apatis (acuh tak acuh), mengantuk,
agresif,curiga
 Bila kelebihan disis (overdosis) : nafas sesak,denyut
jantung dan nadi lambat, kulit teraba dingin, nafas
lambat/berhenti, meninggal.
 Bila sedang ketagihan (putus zat/sakau) : mata dan hidung
berair,menguap terus menerus,diare,rasa sakit diseluruh
tubuh,takut air sehingga malas mandi,kejang, kesadaran
menurun.
 Pengaruh jangka panjang, penampilan tidak sehat,tidak
peduli terhadap kesehatan dan kebersihan, gigi tidak
terawat dan kropos, terhadap bekas suntikan pada lengan
atau bagian tubuh lain (pada pengguna dengan jarum
suntik)
2. Perubahan Sikap dan Perilaku
 Prestasi sekolah menurun,sering tidak mengerjakan tugas
sekolah,sering membolos,pemalas,kurang bertanggung
jawab.
 Pola tidur berubah,begadang,sulit dibangunkan pagi
hari,mengantuk dikelas atau tempat kerja.
 Sering berpegian sampai larut malam,kadang tidak pulang
tanpa memberi tahu lebih dulu
 Sering mengurung diri, berlama-lama dikamar mandi,
menghindar bertemu dengan anggota keluarga lain
dirumah.
 Sering mendapat telepon dan didatangi orang tidak dikenal
oleh keluarga,kemudian menghilang

39
 Sering berbohong dan minta banyak uang dengan berbagai
alasan tapi tak jelas penggunaannya, mengambil dan
menjual barang berharga milik sendiri atau milik keluarga,
mencuri, terlibat tindak kekerasan atau berurusan dengan
polisi.
 Sering bersikap emosional, mudah tersinggung, marah,
kasar sikap bermusuhan, pencuriga,tertutup dan penuh
rahasia.
H. Menetapkan Diagnosis
Dalam nomenklatur kedokteran, ketergantungan NAPZA adalah suatu
jenis penyakit atau “ disease entity” yang dalam ICD – 10 ( international
classification of disease and health related problems – tenth revision 1992 )
yang dikeluarkan oleh WHO digolongkan dalam “ Mental and behavioral
disorders due to psychoactive substance use “.
Gambaran klinis utama dari fenomena ketergantiungan dikenal dengan
istilah sindrom ketergantungan ( PPDGJ-III , 1993 ). Sehingga diagnosis
ketergantungan NAPZA ditegakkan jika diketemukan tiga atau lebih dari
gejala-gejala di bawah selama masa setahun sebelumnya:
1. Adanya keinginan yang kuat atau dorongan yang memaksa ( kompulsi )
untuk menggunakan NAPZA
2. Kesulitan dalam mengendalikan perilaku menggunakan NAPZA sejak
awal, usaha penghentian atau tingkat penggunaannya
3. Keadaan putus NAPZA secara fisiologis ketika penghentian penggunaan
NAPZA atau pengurangan, terbukti orang tersebut menggunakan NAPZA
atau golongan NAPZA yang sejenis dengan tujuan untuk menghilangkan
atau menghindari terjadinya gejala putus obat.

40
4. Adanya bukti toleransi, berupa peningkatan dosis NAPZA yang diperlukan
guna memperoleh efek yang sama yang biasanya diperoleh dengan dosis
yang lebih rendah.
5. Secara progressif mengabaikan alternatif menikmati kesenangan karena
penggunaan NAPZA, meningkatnya jumlah waktu yang diperlukan untuk
mendapatkan atu menggunakan NAPZA atau pulih dari akibatnya
6. Meneruskan penggunaan NAPZA meskipun ia menyadari dan memahami
adanya akibat yang merugikan kesehatan akibat penggunaan NAPZA
seperti gangguan fungsi hati karena minum alkohol berlebihan, keadaan
depresi sebagai akibat penggunaan yang berat atau hendaya fungsi
kognitif. Segala upaya mesti dilakukan untuk memastikan bahwa
pengguna NAPZA sungguh – sungguh menyadari akan hakikat dan
besarnya bahaya.
I. TERAPI DAN UPAYA PEMULIHAN
Karakteristik terapi adiksi yang efektif NIDA ( National Institute of Drug
Abuse, 1999 ) menunjuk 13 prinsip dasar terapi efektif berikut, untuk dijadikan
pegangan bagi para profesional dan masyarakat5,6:
1. Tidak ada satupun terapi yang serupa untuk semua individu
2. Kebutuhan mendapatkan terapi harus selalu siap tersedia setiap waktu.
Seorang adiksi umumnya tidak dapat memastikan kapan memutuskan untuk
masuk dalam program terapi. Pada kesempatan pertama ia mengambil
keputusan, harus secepatnya dilaksanakan ( agar ia tidak berubah pendirian
kembali )
3. Terapi yang efektif harus mampu memenuhi banyak kebutuhan ( needs )
individu tersebut, tidak semata – mata hanya untuk kebutuhan memutus
menggunakan NAPZA
4. Rencana program terapi seorang individu harus dinilai secara kontinyu dan
kalau perlu dapat dimodifikasi guna memastikan apakan rencana terapi telah
sesuai dengan perubahan kebutuhan orang tersebut atau belum.

41
5. Mempertahankan pasien dalam satu periode program terapi yang adekuat
merupakan sesuatu yang penting guna menilai apakah terapi cukup efektif
atau tidak
6. Konseling dan terapi perilaku lain merupakan komponen kritis untuk
mendapatkan terapi yang efektif untuk pasien adiksi
7. Medikasi atau psikofarmaka merupakan elemen penting pada terapi banyak
pasien, terutama bila dikombinasikan dengan konseling dan terapi perilaku
lain
8. Seorang yang mengalami adiksi yang juga menderita gangguan mental, harus
mendapatkan terapi untuk keduanya secara integratif
9. Detoksifikasi medik hanya merupakan taraf permulaan terapi adiksi dan
detoksifikasi hanya sedikit bermakna untuk menghentikan terapi jangka
panjang
10. Terapi yang dilakukan secara sukarela tidak menjamin menghasilkan suatu
bentuk terapi yang efektif
11. Kemungkinan penggunaan zat psikoaktif selama terapi berlangsung harus
dimonitor secara kontinyu
12. Program terapi harus menyediakan assesment untuk HIV / AIDS , hepatitis B
dan C, tuberkulosis dan penyakit infeksi lain dan juga menyediakan konseling
untuk membantu pasien agar mampu memodifikasi atau mengubah tingkah
lakunya, serta tidak menyebabkan dirinya atau diri orang lain pada posisi yang
beresiko mendapatkan infeksi
13. Recovery dari kondisi adiksi NAPZA merupakan suatu proses jangka panjang
dan sering mengalami episode terapi yang berulang – ulang
Sasaran terapi7,8
Sasaran jangka panjang terapi pasien/ klien dengan adkisi NAPZA :
1. Abstinensia atau mengurangi penggunaan NAPZA bertahap sampai
abstinensia total. Hasil yang ideal untuk terapi adiksi NAPZA adalah
penghentian total penggunaan NAPZA. Perjanjian pada awal terapi sangat

42
penting dilakuakan, terutama dalam komitmen terapi jangka panjang.
Komitmen tersebut membantu menurunkan angka morbiditas dan penggunaan
NAPZA. Umumnya mayoritas pasien / klien perlu mendapat motivasi yang
cukup kuat untuk menerima abstinensia total sebagai sasaran terapi.
2. Mengurangi frekuensi dan keparahan relaps. Pengurangan frekuensi
penggunaan NAPZA dan keparahannya merupakan sasaran kritis dari terapi.
Fokus utama dari pencegahan relaps adalah membantu pasien.klien
mengidentifikasi situasi yang menempatka dirinya kepada resiko relaps dan
menggembangkan respon alternatif asal bukan merupakan NAPZA. Pada
beberap pasien atau klien, situasi sosial atau interpersonal dapat merupakan
faktor beresiko terjadinya relaps. Pengurangan frekuensi dan keparaha relaps
sering menjasikan sasaran yang realistik daripada pencegahan yang sempurna.
3. Perbaikan dalam fungsi psikologi dan penyesuaian fungsi sosial dalam
masyarakat. Gangguan penggunaan zat sering dikaitkan dengan problema
psikologi dan sosial, melepaskan diri dari hubungan antar teman dan keluarga,
kegagalan dalam performance di sekolah maupun dalam pekerjaan, problema
finensial dan hukum dan gangguan dalam fungsi kesehatan umum. Mereka
memerlukan terapi spesifik untuk memperbaiki gangguan hubungannya
dengan orang lain tersebut, mengembangkan keterampilan sosial serta
mempertahankan status dalam pekerjaannya disamping mempertahankan
dirinya semaksimal mungkin agar tetap dalam kondisi bebas obat.
Tahapan terapi9,10,11
Proses terapi adiksi zat umumnya dapat dibagi atas beberapa fase berikut:
1. Fase penilaian ( assesment phase ), sering disebut dengan fase penilaian awal
( initial intake ). Informasi dapat diperoleh dari pasien dan juga dapat
diperoleh dari anggota keluarga, karyawan sekantor, atau orang yang
menanggung biaya. Termasuk yang perlu dinilai adalah :

43
 Penilaian yang sistematik terhadap level intiksokasi, keparaha gejala –
gejala putus obat, dosis zat terbesar yang digunakan terakhir, lama waktu
setelah penggunaan zat terakhir, awitan gejala, frekuensi dan lamanya
penggunaan, efek subjektif dari semua jenis zat yang digunakan.
 Riwayat medis dan psikiatri umum yang komprehensif, termasuk status
pemeriksaan fisik dan mental lengkap, untuk memastikan ada tidaknya
gangguan komorbiditas psikiatris dan medis seperti tanda dan gejala
intoksikasi atau withdrawal. Pada beberapa kasus diindikasikan juga
pemeriksaan psikologik dan neuro – psikologi
 Riwayat terapi gangguan penggunaan zat sebelumnya, termasuk
karakteristik berikut : setting terapi, kontekstual ( volintary, non –
voluntary ), modalitas terapi yang digunakan, kepatuhan terhadap
program terapi, lamanya ( singkat 3 bulanan, sedang 1 tahun dan hasil
dengan program jangka panjang, berikut dengan jenis zat yang
digunakan, level fungsi sosial dan okupasional yang telah dicapai dan
variabel hasi terapi lainnya
 Riwayat penggunaan zat sebelumnya, riwayat keluarga dan riwayat sosio
– ekonomik lengkap, termasuk informasi tentang kemungkinan adanya
gangguan penggunaan zat dan gangguan psikiatri pada keluarga, faktor –
faktor dalam keluarga yang mengkontribusi berkembang atau
penggunaan zat terus menerus, penyesuaian sekolah dan vokasional,
hubunggan dengan kelompok sebaya, problema finansial dan hukum,
pengaruh lingkungan kehidupan sekarang terhadap kemampuannya untuk
mematuhi terapi agar tetap abstinensia di komunitasnya, karakteristik
lingkungan pasien ketika menggunakan zat ( dimana, dengan siapa,
berapa kali/ banyak, bagaimana cara penggunaan. ).
 Skrining urin dan darah kualitatif dan kuantitatif untuk jenis – jenis
NAPZA yang disalahgunakan, pemerisaan – pemeriksaan laboratorium

44
lainnya terhadap kelainan – kelainan yang dikaitkan dengan penggunaan
zat akut atau menahun.
 Skrining penyakit – penyakit infeksi dan penyakit lain yang sering
diketemukan pada pasien / klien ketergantungan zat ( seperti HIV,
tuberkulosis, hepatitis ).
2. Fase terapi detoksifikasi, sering disebut dengan fase terapi withdrawal atau
fase terapi intoksikasi. Fase ini memiliki beragam variasi :
 Rawat inap dan rawat jalan
 Intensive out – patient treatment
 Terapi simptomatik
 Rapid dotoxification, ultra rapid detoxification
 Detoksifikasi dengan menggunakan : kodein dan ibuprofen, klonidin
dan naltrexon, buprenorfin, metadon
 Fase terapi lanjutan. Tergantung pada keadaan klinis, strategi terapi
harus ditekankan kepada kebutuhan individu agar tetap bebas obat atau
menggunakan program terapi subtitusi ( seperti antagonis – naltrexon,
agonis metadon, atau partial – agonisbrupenorfin. Umumnya terapi yang
baik berjalan antara 24 sampai 36 bulan. Terapi yang lamanya kurang
dari jangka waktu tersebut,umumnya memiliki relaps rate yang tinggi.

45
BAB III
KESIMPULAN

Berdasarkan data penelitian pengguna NAPZA di dunia, dilaporkan hampir


40% penduduk di dunia pernah menggunakan NAPZA dalam hidup mereka.
Beberapa substansi tersebut menyebabkan kelainan status mental secara internal,
seperti menyebabkan perubahan mood, secara eksternal menyebabkan perubahan
perilaku. Substansi tersebut juga dapat menimbulkan problem neuropsikiatrik yang
masih belum ditemukan penyebabnya, seperti skizofrenia dan gangguan mood,
sehingga kelainan primer psikiatrik dan kelainan yang disebabkan oleh NAPZA
menjadi sangat berhubungan.
NAPZA (Narkotika, Psikotropika dan Zat Adiktif lain) adalah bahan/zat/obat
yang bila masuk kedalam tubuh manusia akan mempengaruhi tubuh terutama
otak/susunan saraf pusat, sehingga menyebabkan gangguan kesehatan fisik, psikis,
dan fungsi sosialnya karena terjadi kebiasaan, ketagihan (adiksi) serta ketergantungan
(dependensi) terhadap NAPZA
Penyebab penyalahgunaan napza karena factor genetic dan juga psikodinamik.
Penyalahhunaan NAPZA sendiri memiliki Komorbid dengan gangguan kepribadian
antisocial dan juga prilaku bunuh diri. Gejala-gejala klinis gangguan penyalahgunaan
NAPZA adalah:
1. Adanya keinginan yang kuat atau dorongan yang memaksa ( kompulsi ) untuk
menggunakan NAPZA
2. Kesulitan dalam mengendalikan perilaku menggunakan NAPZA sejak awal
3. Keadaan putus NAPZA secara fisiologis ketika penghentian penggunaan
NAPZA atau pengurangan
4. Adanya bukti toleransi
5. Secara progressif mengabaikan alternatif menikmati kesenangan karena
penggunaan NAPZA.

46
6. Meneruskan penggunaan NAPZA meskipun ia menyadari dan memahami adanya
akibat yang merugikan kesehatan akibat penggunaan NAPZA.
Terapi pada gangguan akibat penyalahgunaan NAPZA itu sendiri dibagi menjadi
3 fase:
1. Fase penilaian
2. Fase terapi detoksifikasi
3. Fase terapi lanjutan

47
48
DAFTAR PUSTAKA

1. Sadock Benjamin, Sadock Virginia. Substance Related Disorders.


Introduction and Overview. Dari: Kaplan & Sadock Synopsis of Psychiatry
Behavioral Science/Clinical Psychiatry 9th edition, Lippingcott Williams &
Wilkins, 2002, h. 380.
2. Sadock Benjamin, Sadock Virginia. Substance Related Disorders. Dari:
Kaplan & Sadock Synopsis of Psychiatry Behavioral Science/Clinical
Psychiatry 9th edition, Lippingcott Williams & Wilkins, 2002, h. 380-435.
3. Allen K.M. Clinical Care of the Addicted Client, Review Article on:
American Psychiatriy Journal, 2010 October 20.
4. Maslim Rusdi, Buku Saku Diagnosis Gangguan Jiwa Rujukan Ringkas dari
PDGJ-III, PT. Nuh Jaya, 2001, h. 34-43.
5. The Indonesian Florence Nightingale Foundation, Kiat Penanggulangan dan
Penyalahgunaan Ketergantungan NAPZA. Dalam: www.ifnf.org/NAPZA/
<diakses pada Selasa, 27 September 2011>

6. Klagenberg KF, Zeigelboim BS, Jurkiewicz AL, Martins-Bassetto J.


Substance Related Disorders in Teenagers. PMC Journal, 2007 May-
Jun;73(3):353-8.
7. Tom, Kus, Tedi. Bahaya NAPZA Bagi Pelajar , Bandung :Yayasan Al-
Ghifari,2009, h.20-57.
8. Morgan, Segi PraktisPsikiatri, Jakarta; Bina rupa aksara,2001, h. 110-145.
9. Stuart Sundeen, Principles and Practice of Psychiatric Nursing, St Louis:
Mosby Year Book, 2001. Dalam: www.pdfsearch.com/ebook/ <diakses pada
Selasa, 27 September 2011>
10. Smith, CM.,Community Health Nursing; Theory and Practice .Philadelphia:
W.B. Saunders Company. Dalam: www.pdfsearch.com/ebook/ <diakses pada
Selasa, 27 September 2011>
11. Warninghoff JC, Bayer O,Straube A, Ferarri U. Treatment and Rehabilitation
in Substance Related disorders, Review Article on: British Psychiatry Journal,
2009 July 7.

49

Anda mungkin juga menyukai