Anda di halaman 1dari 9

BAB IV

HASIL DAN PEMBAHASAN

4.1 Hasil
4.1.1 Tabel hasil isolasi bakteri

ULANGAN mean ±
kelompok 1 2 3 STDEV
1 4000 10000 800000
2 2000 10000 0
3 3000 10000 200000
4 0 0 100000
5 1000 0 0
6 0 0 0
7 0 0 0
8 0 0 0
9 0 0 300000
10 0 0 2000

4.1.2 Tabel hasil karakterisasi bakteri proteolitik

Mea ±
PAPERDISC
SAMPE n STDEV
L 1
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 12
1
0,1 0,2 0,4 0,4 0,4 1,0 1,3 1,2
1 0 0 0 0
3 8 1 4 9 6 1 4
0,6
2 0,1 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0
7
1,1 0,6 0,7 0,4 0,3 0,5 0,2
3 0,8 0 0 0 0
3 3 6 6 6 6 3
0,2 0,1 0,1 0,1 0,1 0,1 0,1 0,1
4 0 0 0 0
3 6 3 3 6 6 6 3
1, 0, 0,
5 0,9 0,8 0,5 0,2 0 0 0 0 0
4 6 1

4.1.3 Jumlah koloni mean ± stdev


Tabel ulanga ulanga
hasil n1 n2
penyi
mpana
n
kultur
isolat
1 0 0
2 4 5
3 1 3
4 0 9
5 0 1
6 3
7 0
8 2
9 2
10 5

4.2 Pembahasan

4.2.1 Teknik Isolasi Kultur Starter

Tahap pertama yang dilakukan dalam praktikum teknologi fermentasi adalah mengisolasi
bakteri proteolitik dari produk fermentasi perikanan. Dalam praktikum ini produk fermentasi
yang digunakan adalah terasi dan ikan peda. Untuk menumbuhkan bakteri proteoltik pada
praktikum ini digunakan medium Skim Milk Agar (SMA). Untuk menguji suatu biakan bakteri
menghasilkan enzim protease ekstraseluler, maka bakteri tersebut harus ditumbuhkan pada
medium yang mengandung kasein yaitu Skim Milk Agar. Kasein merupakan salah satu jenis
potein. Hidrolisis kasein digunakan untuk memperlihatkan aktivitas hidrolitik protease yang
memutuskan ikatan peptida CO-NH, yang ditunjukkan dengan adanya zona bening disekeliling
pertumbuhan bakteri. Pengujian secara kualitatif bakteri penghasi enzim protease ekstraselular
dilakukan dengan cara mengamati zona bening yang berada disekitar koloni bakteri, kemudian
membagi diameter zona bening dengan diameter koloni bakteri. Hasil bagi diameter tersebut
dinyatakan sebagai aktifitas protease secara relatif. Besar kecilnya diameter zona menunjukkan
konsentrasi dan aktivitas enzim yang dihasilkan (Hanafiarti, 2015).
Isolasi bakteri pada media menggunakan teknik streakplate. Teknik ini digunakan agar
mendapat koloni terpisah dan biakan murni. Penggoresan yang sempurna membantu
menghasilkan koloni yang terpisah. Ditambah lagi dengan penggoresan model kuadran empat
pada media ikut mempermudah isolasi bakteri. Media Nutrient Agar merupakan media non-
selektif. Media Nutrient Agar umum digunakan untuk menumbuhkan sebagian besar bakteri,
baik gram positif maupun negatif. Bakteri yang tumbuh nantinya dapat dibedakan berdasarkan
bentuk, warna, ukuran, diameter, dan tepi koloni (Suarjana, dkk. 2017).

Dengan menggunakan medium Milk Skim Agar, koloni yang mampu menghasilkan zona
bening yang jelas diisolasi secara acakdan kemudian dimurnikan dengan di streak pada cawan
petri yang bersisi NA (Nutrient Agar). Kemampuan suatu mikroba dalam mengubah substrat
dapat dilihat dari daerah zona bening yang terbentuk pada suatu medium tumbuh. Semakin besar
daerah zona bening yang terbentuk menandakan bahwa mikroba tersebut memiliki kemampuan
yang tinggi dalam mengubah substrat yang terkandung di dalam medium. Zona bening di
sekeliling koloni tidak mewakili jumlah protease yang dihasilkan oleh suatu mikroorganisme.
Karena daerah bening yang dihasilkan akan bertambah dengan bertambahnya waktu inkubasi
(Nurmalinda, dkk. 2013).

4.2.2 Karakterisasi Bakteri Proteolitik

Untuk mengetahui bakteri proteolitik mampu menghasilkan enzim protease yang dapat memecah
protein menjadi polipeptida dan asam amino, maka bakteri dapat ditumbuhkan di media Skim
Milk Agar (SMA). Media SMA terdiri dari susu skim yang mengandung banyak protein,
sehingga jika protein terpecah menjadi polipeptida dan asam amino, akan terbentuk zona bening.
Suhu 37°C merupakan suhu yang optimal untuk inkubasi bakteri, karena sebagian besar bakteri
proteolitik termasuk dalam bakteri mesofilik, yaitu tumbuh optimal pada suhu 20°C - 40°C
(Suarjana, dkk. 2017).

Adanya aktivitas protease secara kualitatif ditunjukkan dengan terbentuknya zona bening di
sekitar koloni. Pengukuran diameter zona bening dilakukan menggunakan penggaris. Semakin
besar zona bening yang terbentuk di sekitar koloni, maka semakin besar juga aktifitas protease
yang dihasilkan. Besar aktivitas enzim proteolitik ditunjukkan dengan semakin lebarnya zona
bening, tetapi besarnya aktivitas enzim proteolitik yang berperan merombak protein dalam
medium padat tidak dapat diketahui dan diukur secara kuantitatif. Hasil perombakan polimer
protein hanya ditunjukan dengan adanya zona bening yang menandakan protein telah dirombak
menjadi senyawa peptida dan asam amino yang sifatnya terlarut dalam medium. Aktivitas
hidrolisis secara kualitatif merupakan gambaran dari kemampuan isolat bakteri proteolitik
merombak protein dengan membandingkan besarnya zona bening di sekitar koloni dengan
besarnya diameter koloni. Besarnya aktivitas enzim protease menunjukkan bahwa bakteri dapat
menghasilkan enzim protease yang mampu mendegradasi kasein menjadi asam amino dan
peptida. Adanya aktivitas enzim yang berbeda nilainya setiap isolat kemungkinan disebabkan
oleh setiap jenis mikroorganisme menghasilkan enzim yang berbeda jumlah dan urutan asam
amino pembentuk enzim tersebut (Saidah, 2014).

Nilai aktivitas enzim yang berbeda dipengaruni beberapa faktor yang mempengaruhi kinerja
isolat bakteri proteolitik dalam menghasilkan protease. Aktivitas enzim dipengaruhi oleh pH,
suhu, konsentrasi enzim dan konsentrasi substrat. Pengaruh aktivator, inhibitor dan kofaktor
dalam beberapa keadaan juga merupakan faktor - faktor yang mempengaruhi aktivitas enzim.
Adanya perbedaan pada diameter zona jernih yang dihasilkan setiap isolat bakteri disebabkan
karena kemampuan bakteri yang berbeda – beda dalam memproduksi enzim protease sehingga
nilai aktivitas yang dihasilkan berbeda pada tiap koloni (Karina, dkk. 2016).

4.2.3 Penyimapan Kultur Starter dengan Metode Gliserol

Kultur bakteri yang telah didapat, harus dapat disampan dalam jangka waktu tertentu untuk
keperluan di lain hari. Pengawetan kultur bertujuan mengurangi laju metabolisme dari
mikroorganisme sekecil mungkin sehingga tetap mempertahankan viabilitas (daya hidupnya) dan
memelihara biakan sehingga diperoleh angka dan kehidupan yang tinggi dengan perubahan ciri-ciri
minimum serta mencegah kontaminasi dan perubahan genetik. Pada penyimpanan kultur bakteri
perlu penambahan bahan terlarut seperti krioprotektan yang dapat mencegah terjadinya kristal es
dalam sel (Setiaji, 2015).

Gliserol merupakan bahan preservasi (penyimpanan) yang baik, tetapi dapat menyebabkan masalah
yang berkaitan dengan tekanan osmosis. Tekanan osmosis menjadi salah satu faktor fisik
pengendali mikroorganisme. Sisa air dalam sel yang mengalami kristalisasi inilah yang merusak sel
sehingga mengalami kematian. Gliserol memiliki daya larut yang tinggi dengan media cair
tripticase soy broth (TSB) walaupun pada kondisi suhu dingin, memiliki daya penetrasi sampai ke
dalam sel dan memiliki daya toksisitas yang rendah. Gliserol mampu mencegah pengumpulan
molekul-molekul air dan kristalisasi es pada titik beku larutan. Gliserol juga akan memodifikasi
kristal es yang terbentuk di dalam medium pembekuan sehingga menghambat kerusakan sel secara
mekanis (Setiaji, 2015).

Penambahanan gliserol pada saat penyimpanan isolate bakteri dapat digunakan untuk
penyimpanan jangka panjang atau sekedar sebagai media untuk memindahkan mikroorganisme.
Gliserol dapat digunakan sebagai media karena gliserol dapat melindungi aktivitas antimikroba
dengan cara meningkatkan stabilitas struktur protein asli dari mikroba sehingga dapat mencegah
protein dari proses termal dan agregasi. Bakteri tertentu dapat dibekukan dengan penambahan
gliserol tanpa mengalami kerusakan (Advinda, dkk. 2015).

Penyimpanan kultur sel suatu organisme hasus dilakukan secara bertahap atau melalui proses
adaptasi. Tahapan penurunan suhu yang dianjurkan adalah berkisar antara -1oC sampai dengan -3oC
per menit. Hal ini bertujuan untuk mencegah dehidrasi pada sel karena adanya kejutan suhu.
Adanya kejutan suhu pada sel bakteri akan menyebabkan terjadinya proses pembekuan di dalam
sel, dimana cairan sitoplasma bakteri yang terdiri dari air membentuk kristal es sehingga bahan
penyimpanan dalam gliserol tidak dapat berfungsi untuk melindungi sel dari proses pembekuan
secara sempurna (Simanjuntak, dkk. 2008).

Semakin lama waktu penyimpanan maka presentase viabilitas bakteri semakin menurun. Hal ini
berkaitan dengan daya tumbuh bakteri yang dipengaruhi oleh faktor lingkungan terutama suhu dan
medianya. Viabilitas (tingkat kelangsungan hidup) bakteri dipengaruhi oleh daya tumbuh bakteri,
medium, suhu, pH dan nutrient. Kondisi lingkungan yang tidak optimal untuk pertumbuhan bakteri
yaitu suhu rendah (-200oC) menyebabkan sel tidak dapat bekerja untuk melanjutkan kehidupan serta
dengan suhu tersebut belum optimal menghentikan proses metabolisme secara total (Aini, 2015).

4.2.4 Kultur Isolat Bakteri pada Media Nutrient Agar

Setelah kultur starter disimpan dengan metode penyimpanan gliserol maka untuk menguji
keaktifan bakteri dapat dilakukan dengan mengkultur mikroba pada media Nutrient Agar.
Berdasarkan tabel 4.1.3 dapat dilihat bahwa terdapat beberapa kelompok yang pada media
NAnya tidak ditemukan pertumbuhan koloni bakteri dan ada beberapa kelompok lainnya yang
terdapat pertumbuhan koloni bakteri pada media NAnya. Perbedaan daya tumbuh bakteri ini
dipengaruhi oleh beberapa hal, antara lain: tekanan osmosis bakteri dengan krioprotektan,
nutrisi, penurunan suhu dan proses thawing (pencairan isi tube). Terjadinya penurunan daya
tumbuh bakteri menunjukkan bahwa sebagian dari bakteri yang disimpan tersebut sudah
mengalami kematian, sehingga hanya tumbuh sebagian. Turunnya daya tumbuh bakteri ini
mungkin juga disebabkan proses pendinginan (pemasukan dalam freezer), biakan bakteri
langsung dimasukkan dalam freezer dengan suhu -200oC (penurunan suhu tidak dilakukan
secara bertahap), maka proses difusi atau osmosis tidak dapat berjalan dengan sempurna dan
akibatnya masih ada sisa air dalam sel (Setiaji, dkk. 2015).

Bakteri yang disimpan dengan gliserol dapat mengalami perubahan daya tumbuh. Hal ini
kemungkinan disebabkan keseimbangan antara konsentrasi krioprotektan dengan sitoplasma
adalah isotonis. Kondisi ini memungkinkan terjadinya pertukaran antara air dari sitoplasma
dengan gliserol, sehingga air di dalam sel bakteri dapat digantikan oleh gliserol. Oleh sebab itu
pada waktu terjadi proses pendinginan tidak terjadi kristalisasi air dalam sel sehingga tidak
membengkak dan rusak (Setiaji, 2015).

Semakin lama waktu penyimpanan maka presentase viabilitas bakteri semakin menurun. Hal ini
berkaitan dengan daya tumbuh bakteri yang dipengaruhi oleh faktor lingkungan terutama suhu
dan medianya. Rendahnya viabilitas bakteri yang didapatkan pada penelitian ini dipengaruhi
oleh faktor nutrisi, kadar atau konsentrasi bahan preservasi (penyimpanan) dan suhu. Waluyo
(2012), menyatakan bahwa sel sangat memerlukan nutrien untuk mensintesis protoplasma
sebagai sumber karbon, sumber nitrogen, metabolit penting (vitamin) dan juga asam amino.
Bakteri tumbuh pada lingkungan yang sesuai, apabila lingkungannya tidak optimal maka
pertumbuhan bakteri akan berjalan lambat, tidak tumbuh atau bahkan mati.

Tidak tumbuhnya koloni bakteri pada media dapat disebebkan oleh beberapa faktor. Seperti
waktu yang digunakan dalam proses inkubasi, suhu dan kandungan pada media itu sendiri.
Rahayu (2015) menyatakan bahwa kandungan yang kompleks dalam media dapat menyebabkan
pertumbuhan mikroorganisme membutuhkan waktu yang lebih lama untuk menguraikan
komponen-komponen sederhana yang dapat diserap sel dan digunakan untuk sintesis sel dan
energi. Dalam kondisi nutrisi yang baik waktu yang dibutuhkan untuk pertumbuhan bakteri
relatif cepat, sebaliknya jika nutrisi yang dibutuhkan tidak melimpah, sel-sel harus
menyesuaikan dengan lingkungan dan pembentukan enzim-enzim untuk mengurai substrat
membutuhkan waktu yang lebih lama.

Dapus

Aini, Q. 2015. Pengaruh Suhu dan Waktu Pemanasan terhadap Viabilitas dan Profil Protein
Isolat Staphylococcus aureus sebagai Bahan Vaksin. Skripsi. Malang: Universitas Islam
Negeri Maulana Malik Ibrahim.
Advinda, L., Fifendy, M. dan Inam, K. 2015. Penambahan Gliserol pada Bahan Pembawa
Alginat sebagai Penstabil Pertumbuhan Bakteri Pseudomonas Berfluoresen. Prosiding
Semirata 2015 Bidang MIPA BKS-PTN Barat, Hal. 87 – 94.
Suarjana, I. G. K., Besung, I. N. K., Mahatmi, H. M. Dan Tono, P. G. 2017. Modul Isolasi Dan
Identifikasi Bakteri. Denpasar: Universitas Udayana Press.
Hanafiarti, D. 2015. Isolasi dan Identifikasi Bakteri Penghasil Protease dari Terasi Udang
Rebon (Mysis relicta). Skripsi. Fakultas Pertanian. Lampung : Universitas Negeri
Lampung
Karina, A. N., Hussain, D. R., Johannes, E., & Nawir, N. H. 2016. Isolasi dan Karakterisasi
Bakteri Proteolitik Dari Saluran Pembuangan Limbah Industri Tahu. Jurusan Biologi.
Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam.Makasar: Universitas Hasanuddin.
Nurmalinda A, Periadnadi dan Nurmiati. 2013. Isolasi dan Karakterisasi Parsial Bakteri
Indigenous Pemfermentasi dari Buah Durian (Durio zibethinus Murr.). Jurnal Biologi
Universitas Andalas Vol. 2 (1), hal. 8-13.
Rahayu,A.T. 2015. Media Alternatif untuk Pertumbuhan Bakteri Menggunakan Sumber
Karbohidrat yang Berbeda. Seminar Nasional XII Pendidikan Biologi FKIP UNS 2015.

Saidah, A. N. 2014. Isolasi Bakteri Proteolitik Termofilik dari Sumber Air Panas Pacet
Mojokerto dan Penguji Aktivitas Enzim Protease. Skripsi. Malang: Universitas Islam
Negeri Maulana Malik Ibrahim.
Setiaji, J., Johan, Iskandar dan Meliya Widantari.2015.Effect of Glycerol at the Tryptic Soy
Broth (TSB) Media on Aeromonas hydrophila Bacteria Viability. Jurnal Dinamika
Pertanian Vol. 30 (1), hal: 83 – 91.

Simanjuntak R., S. Baddu, T.S. Ekawati, M Widantari dan M.M As’adi. 2008. Preservasi Beku
Aeromonas salmonicida dengan Gliserol Dalam TSB Selama 6 Bulan. Prosiding Hasil Uji
Coba Preservarsi, Vol 3.
Waluyo, L. 2012. Mikrobiologi Umum. Malang: Universitas Muhammadiyah Malang Press.

Anda mungkin juga menyukai