LP Status Epileptikus MELLA DESYA
LP Status Epileptikus MELLA DESYA
Disusun Oleh :
Mella Desya
NIM. 201910461011097
A. Definisi
Status epileptikus (aktifitas kejang lama yang akut) merupakan suatu rentetan kejang
umum yang terjadi tanpa perbaikan kesadaran penuh diantara serangan. Istilah ini telah
diperluas untuk mencakup kejang klinis atau listrik kontinu yang berakhir sedikitnya 30 menit,
meskipun tanpa kerusakan kesadaran. (Muttaqin, Arif.2008)
Menurut WHO (Chadwick, 1991) epilepsi adalah suatu kelainan otak kronik dengan
berbagai macam penyebab yang ditandai serangan kejang berulang yang disebabkan oleh
bangkitan neuron otak yang berlebihan, dimana gambaran klinisnya dapat berupa kejang,
perubahan tingkah laku, perubahan kesadaran tergantung lokasi kelainan di otak.
Pada konvensi Epilepsy Foundation of America (EFA) 15 tahun yang lalu, status
epileptikus didefenisikan sebagai keadaan dimana terjadinya dua atau lebih rangkaian kejang
tanpa adanya pemulihan kesadaran diantara kejang atau aktivitas kejang yang berlangsung lebih
dari 30 menit. Secara sederhana dapat dikatakan bahwa jika seseorang mengalami kejang
persisten atau seseorang yang tidak sadar kembali selama lima menit atau lebih harus
dipertimbangkan sebagai status epileptikus.
Masalah dasarnya diperkirakan akibat gangguan listrik (disritmia) pada sel syaraf di salah
satu bagian otak, yang menyebabkan sel ini mengeluarkan muatan listrik abnormal, berulang,
dan tidak terkontrol. Karakteristik kejang epileptik adalah suatu manifestasi muatan neuron
berlebih ini.
B. Etiologi
Secara umum penyebab kejang dapat diklasifikasikan menjadi 3 yaitu:
a. Idiopatik :penyebabnya tidak diketahui, umumnya mempunyai predisposisi genetik
b. Kriptogenik:Dianggap simptomatik tatapi penyebabnya belum diketahui, termasuk disini
sindrom west, sindrom lennox-gastaut, dan epilepsi mioklonik, gambaran klinik sesuai
dengan ensefalopati difus.
c. Imptomatik: Disebabkan oleh kelainan/lesi ada susunan saraf pusat misalnya trauma
kepala, infeksi susunan saraf (SSP), kelainan kongenital, lesi desak ruang, gangguan
peredaran darah otak, toksik (alkohol, obat), metabolik, kelainan neuro degenerative.
C. Faktor Predisposisi
a. Kelainan yang terjadi selama perkembangan janin/kehamilan ibu, seperti ibu menelan
obat-obat tertentu yang dapat merusak otak janin, mengalami infeksi, minum alkohol,
atau mengalami cedera.
b. Kelainan yang terjadi pada saat kelahiran, seperti kurang oksigen yang mengalir ke otak
(hipoksia), kerusakan karena tindakan.
c. Cedera kepala yang dapat menyebabkan kerusakan pada otak.
d. Tumor otak merupakan penyebab epilepsi yang tidak umum terutama pada anak-anak.
e. Penyumbatan pembuluh darah otak atau kelainan pembuluh darah otak.
f. Radang atau infeksi pada otak dan selaput otak.
g. Penyakit keturunan seperti fenilketonuria (fku), sclerosis tuberose, dan neurofibromatosis
dapat menyebabkan kejang yang berulang-ulang.
h. Kecenderungan timbulnya epilepsi yang diturunkan. Hal ini disebabkan karena ambang
rangsang serangan yang lebih rendah dari normal diturunkan pada anak.
D. Klasifikasi
Berdasarkan letak fokus epilepsi atau tipe bangkitan, epilapsi diklasifikasikan menjadi:
a. Epilepsi partial (lokal, fokal)
1) Epilepsi parsial sederhana, yaitu epilepsi parsial dengan kesadaran tetap normal
dengan gejala motorik, yaitu:
a) Fokal motorik tidak menjalar: epilepsi terbatas pada satu bagian tubuh saja.
b) Fokal motorik menjalar: epilepsi dimulai dari satu bagian tubuh dan menjalar
meluas ke daerah lain. Disebut juga epilepsi Jackson.
c) Versif: epilepsi disertai gerakanmemutar kepala, mata, tubuh.
d) Postural: epilepsi disertai dengan lengan atau tungkai kaku dalam sikap tertentu.
e) Disertai gangguan fonasi: epilepsi disertai arus bicara yang terhenti atau pasien
mengeluarkan bunyi-bunyi tertentu. Dengan gejala somatosensoris atau sensoris
spesial (epilepsi disertai halusinasi sederhana yang mengenai kelima pancaindra
dan bangkitan yang disertai vertigo).
f) Somatosensoris: timbul rasa kesemutan atau seperti ditusuk-tusuk jarum.
g) Visual: terlihat cahaya.
h) Auditoris: terdengar sesuatu.
i) Olfaktorius: terhidu sesuatu.
j) Gustatorius: terkecap sesuatu.
k) Disertai vertigo.
l) Disfagia: gangguan bicara, misalnya mengulang suku kata, kata atau bagian
kalimat.
m) Dimensia: gangguan proses ingatan misalnya merasa seperti sudah mengalami,
mendengar, melihat, atau sebaliknya. Mungkin mendadak mengingat suatu
peristiwa di masa lalu, merasa seperti melihatnya lagi.
n) Kognitif: gangguan orientasi waktu, merasa diri berubah.
o) Afektif: merasa sangat senang, susah, marah, takut.
p) Ilusi: perubahan persepsi benda yang dilihat tampak lebih kecil atau lebih besar.
q) Halusinasi kompleks (berstruktur): mendengar ada yang bicara, musik, melihat
suatu fenomena tertentu, dll.
2) Epilepsi parsial kompleks, yaitu kejang disertai gangguan kesadaran. Serangan
parsial sederhana diikuti gangguan kesadaran: kesadaran mula-mula baik kemudian
baru menurun.
1) Dengan gejala parsial sederhana A1-A4. Gejala-gejala seperti pada golongan A1-
A4 diikuti dengan menurunnya kesadaran.
2) Dengan automatisme. Yaitu gerakan-gerakan, perilaku yang timbul dengan
sendirinya, misalnya gerakan mengunyah, menelan, raut muka berubah seringkali
seperti ketakutan, menata sesuatu, memegang kancing baju, berjalan, mengembara
tak menentu, dll.
3) Epilepsi parsial yang berkembang menjadi bangkitan umum (tonik-klonik, tonik,
klonik).
b. Epilepsi umum
1) Petit mal / lena (absence)
a) Lena khas (tipical absence)
Pada epilepsi ini, kegiatan yang sedang dikerjakan terhenti, maka tampak
membengong, bola mata dapat memutar ke atas, tak ada reaksi bila diajak bicara.
Biasanya epilepsi ini berlangsung selama ¼ - ½ menit dan biasanya dijumpai pada
anak.
Gejalanya:
Hanya penurunan kesadaran.
Dengan komponen klonik ringan. Gerakan klonis ringan, biasanya dijumpai
pada kelopak mata atas, sudut mulut, atau otot-otot lainnya bilateral.
Dengan komponen atonik. Pada epilepsi ini dijumpai otot-otot leher, lengan,
tangan, tubuh, mendadak lemas sehingga tampak mengulai.
Dengan komponen klonik. Pada epilepsi ini dijumpai otot-otot ekstremitas,
leher, atau punggung mendadak mengejang, kepala, badan, menjadi
melengkung ke belakang, lengan dapat mengetul atau mengedang.
Dengan automatisme.
Dengan komponen autonom
b) Lena tak khas (atipical absence)
Gangguan tonus yang lebih jelas.
Permulaan dan berakhirnya bangkitan tidak mendadak.
2) Grand mal
a) Mioklonik
Pada epilepsi mioklonik terjadi kontraksi mendadak, sebentar, dapat kuat atau
lemah sebagian otot atau semua otot, seringkali atau berulang-ulang. Bangkitan
ini dapat dijumpai pada semua umur.
b) Klonik
Pada epilepsi ini tidak terjadi gerakan menyentak, repetitif, tajam, lambat, dan
tunggal multiple di lengan, tungkai atau torso. Dijumpai terutama sekali pada
anak.
c) Tonik
Pada epilepsi ini tidak ada komponen klonik, otot-otot hanya menjadi kaku pada
wajah dan bagian tubuh bagian atas, fleksi lengan dan ekstensi tungkai. Epilepsi
ini juga terjadi pada anak.
d) Tonik – klonik
Epilepsi ini sering dijumpai pada umur di atas balita yang terkenal dengan nama
grand mal. Serangan dapat diawali dengan aura, yaitu tanda-tanda yang
mendahului suatu epilepsi. Pasien mendadak jatuh pingsan, otot-otot seluruh
tubuh kaku. Kejang kaku berlangsung kira-kira ¼ - ½ menit diikuti kejang-kejang
seluruh tubuh. Bangkitan ini biasanya berhenti sendiri. Tarikan nafas menjadi
dalam beberapa saat lamanya. Bila pembentukan ludah meningkat ketika kejang,
mulut menjadi berbusa karena hembusan nafas. Mungkin pula pasien kencing
ketika mendapat serangan. Setelah kejang berhenti pasien tidur beberapa lamanya,
dapat pula bangun dengan kesadaran yang masih rendah, atau langsung menjadi
sadar dengan keluhan badan pegal-pegal, lelah, nyeri kepala.
e) Atonik
Pada keadaan ini otot-otot seluruh badan mendadak melemas sehingga pasien
terjatuh. Kesadaran dapat tetap baik atau menurun sebentar. Epilepsi ini terutama
sekali dijumpai pada anak.
E. Patofisiologi
Otak merupakan pusat penerima pesan (impuls sensorik) dan sekaligus merupakan pusat
pengirim pesan (impuls motorik). Otak ialah rangkaian berjuta-juta neuron. Pada hakekatnya
tugas neuron ialah menyalurkan dan mengolah aktivitas listrik saraf yang berhubungan satu
dengan yang lain melalui sinaps. Dalam sinaps terdapat zat yang dinamakan neurotransmiter.
Asetilkolin dan norepinerprine ialah neurotranmiter eksitatif, sedangkan zat lain yakni GABA
(gama-amino-butiric-acid) bersifat inhibitif terhadap penyaluran aktivitas listrik sarafi dalam
sinaps. Bangkitan epilepsi dicetuskan oleh suatu sumber gaya listrik di otak yang dinamakan
fokus epileptogen. Dari fokus ini aktivitas listrik akan menyebar melalui sinaps dan dendrit ke
neron-neron di sekitarnya dan demikian seterusnya sehingga seluruh belahan hemisfer otak dapat
mengalami muatan listrik berlebih (depolarisasi). Pada keadaan demikian akan terlihat kejang
yang mula-mula setempat selanjutnya akan menyebar ke bagian tubuh/anggota gerak yang lain
pada satu sisi tanpa disertai hilangnya kesadaran. Dari belahan hemisfer yang mengalami
depolarisasi, aktivitas listrik dapat merangsang substansia retikularis dan inti pada talamus yang
selanjutnya akan menyebarkan impuls-impuls ke belahan otak yang lain dan dengan demikian
akan terlihat manifestasi kejang umum yang disertai penurunan kesadaran.
Selain itu, epilepsi juga disebabkan oleh instabilitas membran sel saraf, sehingga sel lebih
mudah mengalami pengaktifan. Hal ini terjadi karena adanya influx natrium ke intraseluler. Jika
natrium yang seharusnya banyak di luar membrane sel itu masuk ke dalam membran sel
sehingga menyebabkan ketidakseimbangan ion yang mengubah keseimbangan asam-basa atau
elektrolit, yang mengganggu homeostatis kimiawi neuron sehingga terjadi kelainan depolarisasi
neuron. Gangguan keseimbangan ini menyebabkan peningkatan berlebihan neurotransmitter
aksitatorik atau deplesi neurotransmitter inhibitorik.
Kejang terjadi akibat lepas muatan paroksismal yang berlebihan dari sebuah fokus kejang
atau dari jaringan normal yang terganggu akibat suatu keadaan patologik. Aktivitas kejang
sebagian bergantung pada lokasi muatan yang berlebihan tersebut. Lesi di otak tengah, talamus,
dan korteks serebrum kemungkinan besar bersifat apileptogenik, sedangkan lesi di serebrum dan
batang otak umumnya tidak memicu kejang. Di tingkat membran sel, sel fokus kejang
memperlihatkan beberapa fenomena biokimiawi, termasuk yang berikut :
1. Instabilitas membran sel saraf, sehingga sel lebih mudah mengalami pengaktifan
2. Neuron-neuron hipersensitif dengan ambang untuk melepaskan muatan menurun dan
apabila terpicu akan melepaskan muatan menurun secara berlebihan.
3. Kelainan polarisasi (polarisasi berlebihan, hipopolarisasi, atau selang waktu dalam
repolarisasi) yang disebabkan oleh kelebihan asetilkolin atau defisiensi asam gama-
aminobutirat (GABA).
4. Ketidakseimbangan ion yang mengubah keseimbangan asam-basa atau elektrolit,
yang mengganggu homeostatis kimiawi neuron sehingga terjadi kelainan depolarisasi
neuron. Gangguan keseimbangan ini menyebabkan peningkatan berlebihan
neurotransmitter aksitatorik atau deplesi neurotransmitter inhibitorik.
Perubahan-perubahan metabolik yang terjadi selama dan segera setelah kejang sebagian
disebabkan oleh meningkatkannya kebutuhan energi akibat hiperaktivitas neuron. Selama
kejang, kebutuhan metabolik secara drastis meningkat, lepas muatan listrik sel-sel saraf motorik
dapat meningkat menjadi 1000 per detik. Aliran darah otak meningkat, demikian juga respirasi
dan glikolisis jaringan. Asetilkolin muncul di cairan serebrospinalis (CSS) selama dan setelah
kejang. Asam glutamat mungkin mengalami deplesi (proses berkurangnya cairan atau darah
dalam tubuh terutama karena pendarahan; kondisi yang diakibatkan oleh kehilangan cairan tubuh
berlebihan) selama aktivitas kejang.
Secara umum, tidak dijumpai kelainan yang nyata pada autopsi. Bukti histopatologik
menunjang hipotesis bahwa lesi lebih bersifat neurokimiawi bukan struktural. Belum ada faktor
patologik yang secara konsisten ditemukan. Kelainan fokal pada metabolisme kalium dan
asetilkolin dijumpai di antara kejang. Fokus kejang tampaknya sangat peka terhadap asetikolin,
suatu neurotransmitter fasilitatorik, fokus-fokus tersebut lambat mengikat dan menyingkirkan
asetilkolin.
G. Manifestasi Klinis
a. Kejang Parsial Sederhana
Hanya jari atau tangan yang bergetar; atau mulut yang bergergerak tak terkontrol; bicara
tidak dapat dimengerti; mungkin pening; dapat mengalami perubahan penglihatan, suara,
bau atau pengecapan yang tak lazim atau tak menyenangkan.
b. Kejang Parsial Kompleks
Masih dalam keadaan sedikit bergerak atau gerakan secara otomatis tetapi tidak
bertujuan; dapat mengalami perubahan emosi, ketakutan, marah, kegirangan, atau peka
rangsang yang berlebihan; tidak mengingat periode tersebut ketika sudah berlalu.
c. Kejang Umum (kejang grand Mal)
Mengenai kedua hemisfer otak, kekuatan yang kuat dari seluruh tubuh diikuti dengan
perubahan kedutan dari relaksasi otot dan kontraksi (kontraksi tonik klonik umum)
H. Pemeriksaan Diagnostik
a. Lumbal Punksi
Proses inflamasi maupun infeksi dapat menyebabkan kejang melalui mekanisme
perangsangan langsung pada SSP, seperti pada meningitis dan ensefalitis maupun proses
sistemik lain yang berdampak pada SSP. Sampai saat ini pemeriksaan LP tidak rutin
dikerjakan pada SE, direkomendasikan hanya pada pasien SE yang memiliki manifestasi
klinis infeksi SSP.
b. Elektoensefalografi (EEG)
EEG sangat berperan untuk menunjukkan fokus dari suatu kejang di area tertentu otak.
Membedakan kejang umum dan kejang parsial/fokal sangatlah penting oleh karena
berkaitan dengan pemilihan obat antikonvulsan terutama pada epilepsi. Pemeriksaan
EEG telah direkomendasikan untuk dilakukan secara rutin pada pasien dengan kejang
epileptik, sedangkan pada SE, rekomendasi pemeriksaan EEG tergantung pada
kecurigaan etiologinya dan masih menjadi perdebatan.
c. Pencitraan
American Academy Neurology (AAN) tahun 1996 merekomendasikan pemeriksaan
pencitraan (neuroimaging) yang bersifat darurat apabila dicurigai terdapat suatu penyakit
struktural yang serius pada SSP, khususnya apabila ditemukan deficit neurologis fokal
dan perubahan kesadaran yang menetap. Pada pedoman tersebut tidak disebutkan indikasi
dilakukannya pencitraan pada anak dengan SE.
Pencitraan hanya dilakukan jika ada kecurigaan kelainan anatomis otak dan dikerjakan
jika kondisi telah stabil dan SE telah dapat diatasi. MRI diketahui memiliki sensitivitas
dan spesifisitas yang lebih tinggi dibandingkan CT-scan, namun belum tersedia secara
luas di unit gawat darurat. CT-scan dan MRI dapat mendeteksi perubahan fokal yang
terjadi baik yang bersifat sementara maupun kejang fokal sekunder.
I. Penatalaksanaan Medis
Protokol Penatalaksanaan Status Epileptikus
Pada : awal menit
1. Bersihkan jalan nafas, jika ada sekresi berlebihan segera bersihkan (bila perlu intubasi)
a. Periksa tekanan darah
b. Mulai pemberian Oksigen
c. Monitoring EKG dan pernafasan
d. Periksa secara teratur suhu tubu
e. Anamnesa dan pemeriksaan neurologis
2. Kirim sampel serum untuk evaluasi elektrolit, Blood Urea Nitrogen, kadar glukosa,
hitung darah lengkap, toksisitas obat-obatan dan kadar antikonvulsan darah; periksa AGDA
(Analisa Gas Darah Arteri)
3. Infus NaCl 0,9% dengan tetesan lambat
4. Berikan 50 mL Glukosa IV jika didapatkan adanya hipoglikemia, dan Tiamin 100 mg
IV atau IM untuk mengurangi kemungkinan terjadinya wernicke’s encephalophaty
5. Lakukan rekaman EEG (bila ada)
6. Berikan Lorazepam (Ativan) 0,1 sampai 0,15 mg per kg (4 sampai 8 mg) intravena
dengan kecepatan 2 mg per menit atau Diazepam 0,2 mg/kg (5 sampai 10 mg). Jika kejang
tetap terjadi berikan Fosfenitoin (Cerebyx) 18 mg per kg intravena dengan kecepatan 150 mg
per menit, dengan tambahan 7 mg per kg jika kejang berlanjut. Jika kejang berhenti, berikan
Fosfenitoin secara intravena atau intramuskular dengan 7 mg per kg per 12 jam. Dapat
diberikan melalui oral atau NGT jika pasien sadar dan dapat menelan.
Pada : 20 sampai 30 menit, jka kejang tetap berlangsung
1. Intubasi, masukkan kateter, periksa temperature
2. Berikan Fenobarbital dengan dosis awal 20 mg per kg intravena dengan kecepatan 100
mg per menit
Pada : 40 sampai 60 menit, jika kejang tetap berlangsung
Mulai infus Fenobarbital 5 mg per kg intravena (dosis inisial), kemudian bolus intravena
hingga kejang berhenti, monitoring EEG; lanjutkan infus Pentobarbital 1 mg per kg per jam;
kecepatan infus lambat setiap 4 sampai 6 jam untuk menetukan apakah kejang telah berhenti.
Pertahankan tekanan darah stabil.
-atau-
Berikan Midazolam (Versed) 0,2 mg per kg, kemudian pada dosis 0,75 sampai 10 mg per kg
per menit, titrasi dengan bantuan EEG.
-atau-
Berikan Propofol (Diprivan) 1 sampai 2 mg per kg per jam. Berikan dosis pemeliharaan
berdasarkan gambaran EEG.
BAB II
1. Pengkajian Keperawatan
Pengkajian keperawatan dilakukan dengan cara pengumpulan data secara
subjektif (data yang didapatkan dari pasien/keluarga) melalui metode anamnesa dan
data objektif (data hasil pengukuran atau observasi).Menurut Nurarif (2015),
pengkajian yang harus dilakukan adalah :
pengobatan untuk hiperbilirubinemia pada neonates. Bilirubin terkonjugasi diubah oleh tion
photoisomeriza- struktural dan oksidasi foto menjadi produk yang larut dalam air yang dapat
diekskresikan tanpa konjugasi oleh hati. konversi ini tidak hanya terjadi pada kulit tetapi juga di kapiler
dari jaringan neous subcuta-. Sekitar 60% dari bayi jangka dan bayi prematur 85% akan mengembangkan
penyakit kuning klinis jelas, yang klasik menjadi tampak jelas pada hari 3, puncak antara hari 5-7, dan
resolve oleh 14 hari usia. pengobatan fototerapi diindikasikan untuk mencegah efek neurotoksik serum
tinggi tak terkonjugasi bilirubin.
Kesimpulan :
Meskipun fototerapi adalah umum paling dan ed luas accept- dan metode pengobatan yang efektif untuk
hiperbilirubinemia, juga terkait dengan efek samping, baik jangka pendek dan jangka panjang efek.
Seperti penggunaan fototerapi untuk mengobati hiperbilirubinemia telah meningkat dalam beberapa tahun
terakhir, semua efek jangka panjang dari fototerapi belum sepenuhnya dievaluasi dan memerlukan studi
lebih lanjut. Oleh karena itu bijaksana, terapi menggunakan foto hanya ketika ditunjukkan dengan
pemantauan ketat untuk setiap komplikasi.
Beberapa efeksamping penggunaan fototerapi yang harus di perhatikan saat melakukan pengkajian:
I. IDENTITAS DATA
Nama : Tidak terkaji
Tempat/tanggal lahir : tidak terkaji
Nama Ayah/Ibu : Tidak terkaji
Pekerjaan Ayah : Tidak terkaji
Pendidikan Ayah : Tidak terkaji
Pekerjaan Ibu : Tidak terkaji
Pendidikan Ibu : Tidak terkaji
Alamat/No. Telepon : Tidak terkaji
Kultur : Tidak terkaji
Agama : Tidak terkaji
Beri tanda ( cek ) pada istilah yang tepat dari data-data dibawah ini. Gambarkan semua
temuan abnormal secara obyektif, gunakan kolom komentar bila perlu.
1. Reflek Moro
( √ ) Moro ( ) Menggenggam ( ) Menghisap
2. Tonus / aktivitas
a. ( ) Aktif ( ) tenang ( ) Letargi ( ) Kejang
b. ( √ ) Menangis keras ( ) Lemah ( ) Melengking ( ) Sulit menangis
3. Kepala / leher
a. Fontanel Anterior
( ) Lunak ( ) Tegas ( ) Datar ( ) Menonjol ( ) Cekung
b. Sutura sagitalis
( ) Tepat ( ) Terpisah ( ) menjauh
c. Gambaran wajah
( ) Simetris ( ) Asimetris
d. Molding
( ) Caput Succedaneum ( ) Chepalohematoma
4. Mata
( ) Bersih ( ) Sekresi
…………………………………………………………………………………………….
5. THT
a. Telinga
( ) Normal ( ) Abnormal
b. Hidung
( ) Bilateral ( ) Obstruksi ( ) Cuping Hidung
c. Palatum
( ) Normal ( ) Abnormal
6. Abdomen
a. ( ) Lunak ( ) Tegas ( ) Datar ( ) Kembung
b. Lingkar perut : cm
c. Liver : ( ) kurang dari 2 cm ( ) Lebih dari 2 cm
7. Thoraks
a. ( ) Simetris ( ) Asimetris
b. Retraksi : ( ) derajat 1 ( ) derajat 2 ( ) derajat 3
c. Klavikula : ( ) Normal ( ) Abnormal
8. Paru-paru
a. Suara nafas : ( ) Sama kanan kiri ( ) Tidak sama kanan kiri
( ) Bersih ( ) Ronchi ( ) Rales ( ) sekret
b. Bunyi nafas
( ) terdengan di semua lapang paru ( ) tidak terdengar ( ) menurun
c. Respirasi
( ) Spontan , jumlah : ………..x/menit
( ) Sungkup/boxhead, jumlah : …………x/menit
( ) Ventilasi assisted CPAP
9. Jantung
a. ( ) Bunyi Normal Sinus Rytme ( NSR ) , jumlah : …………..x/menit
( ) Mur-mur ( ) Lain-lain, sebutkan : frekuensi jantung >100x/menit
b. Waktu pengisian kapiler, Batang tubuh : ………………………………………
Ektrimitas : ……………………………………….
c. Nadi perifer
Berat Lemah Tidak
ada
Brachial kanan
Brachial kiri
Femoral kanan
Femoral kiri
10. Ekstrimitas
a. ( ) Semua ekstrimitas gerak ( ) ROM terbatas ( ) tidak dapat dikaji
b. Ekstrimitas atas dan bawah ( ) Simetris ( ) Asimetris
11. Umbilikus : ( ) Normal ( ) Abnormal ( ) Inflamasi ( ) Drainage
12. Genital : ( ) Normal ( ) Abnormal ( ) Ambivalen
13. Anus : ( ) Paten ( ) Imperforata
14. Spina : ( ) Normal ( ) Abnormal
15. Kulit
a. Warna : ( ) Pink ( ) Pucat ( ) Jaundice
b. ( ) Rash / kemerahan
c. ( ) tanda lahir
16. Suhu : TT
a. Lingkungan
( ) Penghangat radian ( ) Pengaturan suhu
( ) Inkubator ( ) Suhu ruang ( ) Boks terbuka
b. Suhu kulit : ……………………………………………………………………
KOMENTAR :
VII. PEMERIKSAAN TINGKAT PERKEMBANGAN
1. Kemandirian dan bergaul
Tidak terkaji
2. Motorik halus
TT
3. Kognitif dan bahasa
Tidak terkaji
4. Motorik kasar
Bayi langsung menangis menangis
KESIMPULAN PERKEMBANGAN
( ) Menangis bila tidak nyaman
( ) Membuat suara tenggorok yang pelan
( ) Memandang wajah dengan sungguh-sungguh
( ) Mengeluarkan suara
( ) Berespon secara berbeda terhadap obyek yang berbeda
( ) Dapat tersenyum
( ) Menggerakkan kedua lengan dan tungkai sama mudahnya ketika telentang
( ) Memberikan reaksi dengan melihat ke arah sumber cahaya ( misalnya dari
lampu senter yang digerakkan ke kiri & kanan )
( ) Mengoceh dan memberikan reaksi terhadap suara
( ) Membalas senyuman
VIII. INFORMASI LAIN
Bayi anak pertama, kehamilan premature. Usian 34 minggu lahir dengan spontan dan
langsung menangis. Pada hari kedua bayimengalami sulit menetek lebih seriing tidur,
bayi mengalami demam 38 derajadd celcius dan tali pusar bayi tampak kemerahan,
pemerikasaan laboratorium kadar bilirubin 11mg/dl
IX. RINGKASAN RIWAYAT KEPERAWATAN
Tidak terkaji
longgarkan pasien
atau lepaskan Saat pengkajian
baju awal : 38ºC
berikan cairan
oral
berikan
oksigen jika di
perlukan
kolaborasi :
kolaborasi pemberian
cairan dan elektrolit
intravena
SLKI
Setelah dilakukan
tindakan keperawatan
2x8 jam diharapkan
“termoregulasi
neonatus” (L.14135)
menurun dengan
kriteria hasil :
1. suhu tubuh 5
2. suhu kulit 5
3. frekuensi nadi 5
4. ventilasi 5
Ikterus neonatus b/d prematuria Ds : tampilan klinis Fototrapi neonatus : - lakukan persiapan s : - Warna kulit
pasirn tampak Obsrvasi: pemasangan fototerapi yang terus
kuning di seluruh monitor - persiapan lingkukan kekuningan sampai
ikterik pada
tubuh , terlihat dan bayi jingga dan berkurang
skelera dan
kuning dan tidak kulit bayi - beri pakaian bayi pada daerah
menghilang dalam identifikasi yang longgar / kekuningan secara
kebutuhan
waktu 24 jam cairan sesuai lepaskan pakaian bayi perlahan
Do : bayi lahir pada dengan gestari -Monitor warna dan O: lakukan
dan berat
usia ke 34 minnggu badan keadaan kulit setiap 4- pemeriksaan kadar
dengan bb 2000 monitor suhu 8 jam bilirubin pada bayi
dan ttv setiap
gram 4 jam sekali -Monitor keadaan I: masalah terataasi
monitor efek bilirubin direk dan sebagian
samping
fototerapi indirek ( kolaborasi P: lanjutkan
SLKI bkering
Setalah dilakukan
tindakan keperawatan
selama 2 x 8 jam
diharapkan “
integritas kulit dan
jaringan di harapkan
membaik dengan
kriteria hasil:
1. elastisitas 5
2. perfusi jaringan 5
3. kerusakan jar. 5
4. kemerahan 5