Anda di halaman 1dari 28

Laporan Pendahuluan

Stase Keperawatan Anak (Nicu) : Status Epileptikus

Di Ruang Nicu RS Muhammadiyah Lamongan

Disusun Oleh :
Mella Desya
NIM. 201910461011097

PROGRAM STUDI PROFESI NERS


FAKULTAS ILMU KESEHATAN
UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH MALANG
2020
BAB I
LAPORAN PENDAHULUAN
STATUS EPILEPTIKUS

A. Definisi
Status epileptikus (aktifitas kejang lama yang akut) merupakan suatu rentetan kejang
umum yang terjadi tanpa perbaikan kesadaran penuh diantara serangan. Istilah ini telah
diperluas untuk mencakup kejang klinis atau listrik kontinu yang berakhir sedikitnya 30 menit,
meskipun tanpa kerusakan kesadaran. (Muttaqin, Arif.2008)
Menurut WHO (Chadwick, 1991) epilepsi adalah suatu kelainan otak kronik dengan
berbagai macam penyebab yang ditandai serangan kejang berulang yang disebabkan oleh
bangkitan neuron otak yang berlebihan, dimana gambaran klinisnya dapat berupa kejang,
perubahan tingkah laku, perubahan kesadaran tergantung lokasi kelainan di otak.
Pada konvensi Epilepsy Foundation of America (EFA) 15 tahun yang lalu, status
epileptikus didefenisikan sebagai keadaan dimana terjadinya dua atau lebih rangkaian kejang
tanpa adanya pemulihan kesadaran diantara kejang atau aktivitas kejang yang berlangsung lebih
dari 30 menit. Secara sederhana dapat dikatakan bahwa jika seseorang mengalami kejang
persisten atau seseorang yang tidak sadar kembali selama lima menit atau lebih harus
dipertimbangkan sebagai status epileptikus.
Masalah dasarnya diperkirakan akibat gangguan listrik (disritmia) pada sel syaraf di salah
satu bagian otak, yang menyebabkan sel ini mengeluarkan muatan listrik abnormal, berulang,
dan tidak terkontrol. Karakteristik kejang epileptik adalah suatu manifestasi muatan neuron
berlebih ini.

B. Etiologi
Secara umum penyebab kejang dapat diklasifikasikan menjadi 3 yaitu:
a. Idiopatik :penyebabnya tidak diketahui, umumnya mempunyai predisposisi genetik
b. Kriptogenik:Dianggap simptomatik tatapi penyebabnya belum diketahui, termasuk disini
sindrom west, sindrom lennox-gastaut, dan epilepsi mioklonik, gambaran klinik sesuai
dengan ensefalopati difus.
c. Imptomatik: Disebabkan oleh kelainan/lesi ada susunan saraf pusat misalnya trauma
kepala, infeksi susunan saraf (SSP), kelainan kongenital, lesi desak ruang, gangguan
peredaran darah otak, toksik (alkohol, obat), metabolik, kelainan neuro degenerative.

C. Faktor Predisposisi
a. Kelainan yang terjadi selama perkembangan janin/kehamilan ibu, seperti ibu menelan
obat-obat tertentu yang dapat merusak otak janin, mengalami infeksi, minum alkohol,
atau mengalami cedera.
b. Kelainan yang terjadi pada saat kelahiran, seperti kurang oksigen yang mengalir ke otak
(hipoksia), kerusakan karena tindakan.
c. Cedera kepala yang dapat menyebabkan kerusakan pada otak.
d. Tumor otak merupakan penyebab epilepsi yang tidak umum terutama pada anak-anak.
e. Penyumbatan pembuluh darah otak atau kelainan pembuluh darah otak.
f. Radang atau infeksi pada otak dan selaput otak.
g. Penyakit keturunan seperti fenilketonuria (fku), sclerosis tuberose, dan neurofibromatosis
dapat menyebabkan kejang yang berulang-ulang.
h. Kecenderungan timbulnya epilepsi yang diturunkan. Hal ini disebabkan karena ambang
rangsang serangan yang lebih rendah dari normal diturunkan pada anak.

D. Klasifikasi
Berdasarkan letak fokus epilepsi atau tipe bangkitan, epilapsi diklasifikasikan menjadi:
a. Epilepsi partial (lokal, fokal)
1) Epilepsi parsial sederhana, yaitu epilepsi parsial dengan kesadaran tetap normal
dengan gejala motorik, yaitu:
a) Fokal motorik tidak menjalar: epilepsi terbatas pada satu bagian tubuh saja.
b) Fokal motorik menjalar: epilepsi dimulai dari satu bagian tubuh dan menjalar
meluas ke daerah lain. Disebut juga epilepsi Jackson.
c) Versif: epilepsi disertai gerakanmemutar kepala, mata, tubuh.
d) Postural: epilepsi disertai dengan lengan atau tungkai kaku dalam sikap tertentu.
e) Disertai gangguan fonasi: epilepsi disertai arus bicara yang terhenti atau pasien
mengeluarkan bunyi-bunyi tertentu. Dengan gejala somatosensoris atau sensoris
spesial (epilepsi disertai halusinasi sederhana yang mengenai kelima pancaindra
dan bangkitan yang disertai vertigo).
f) Somatosensoris: timbul rasa kesemutan atau seperti ditusuk-tusuk jarum.
g) Visual: terlihat cahaya.
h) Auditoris: terdengar sesuatu.
i) Olfaktorius: terhidu sesuatu.
j) Gustatorius: terkecap sesuatu.
k) Disertai vertigo.
l) Disfagia: gangguan bicara, misalnya mengulang suku kata, kata atau bagian
kalimat.
m) Dimensia: gangguan proses ingatan misalnya merasa seperti sudah mengalami,
mendengar, melihat, atau sebaliknya. Mungkin mendadak mengingat suatu
peristiwa di masa lalu, merasa seperti melihatnya lagi.
n) Kognitif: gangguan orientasi waktu, merasa diri berubah.
o) Afektif: merasa sangat senang, susah, marah, takut.
p) Ilusi: perubahan persepsi benda yang dilihat tampak lebih kecil atau lebih besar.
q) Halusinasi kompleks (berstruktur): mendengar ada yang bicara, musik, melihat
suatu fenomena tertentu, dll.
2) Epilepsi parsial kompleks, yaitu kejang disertai gangguan kesadaran. Serangan
parsial sederhana diikuti gangguan kesadaran: kesadaran mula-mula baik kemudian
baru menurun.
1) Dengan gejala parsial sederhana A1-A4. Gejala-gejala seperti pada golongan A1-
A4 diikuti dengan menurunnya kesadaran.
2) Dengan automatisme. Yaitu gerakan-gerakan, perilaku yang timbul dengan
sendirinya, misalnya gerakan mengunyah, menelan, raut muka berubah seringkali
seperti ketakutan, menata sesuatu, memegang kancing baju, berjalan, mengembara
tak menentu, dll.
3) Epilepsi parsial yang berkembang menjadi bangkitan umum (tonik-klonik, tonik,
klonik).
b. Epilepsi umum
1) Petit mal / lena (absence)
a) Lena khas (tipical absence)
Pada epilepsi ini, kegiatan yang sedang dikerjakan terhenti, maka tampak
membengong, bola mata dapat memutar ke atas, tak ada reaksi bila diajak bicara.
Biasanya epilepsi ini berlangsung selama ¼ - ½ menit dan biasanya dijumpai pada
anak.
Gejalanya:
 Hanya penurunan kesadaran.
 Dengan komponen klonik ringan. Gerakan klonis ringan, biasanya dijumpai
pada kelopak mata atas, sudut mulut, atau otot-otot lainnya bilateral.
 Dengan komponen atonik. Pada epilepsi ini dijumpai otot-otot leher, lengan,
tangan, tubuh, mendadak lemas sehingga tampak mengulai.
 Dengan komponen klonik. Pada epilepsi ini dijumpai otot-otot ekstremitas,
leher, atau punggung mendadak mengejang, kepala, badan, menjadi
melengkung ke belakang, lengan dapat mengetul atau mengedang.
 Dengan automatisme.
 Dengan komponen autonom
b) Lena tak khas (atipical absence)
 Gangguan tonus yang lebih jelas.
 Permulaan dan berakhirnya bangkitan tidak mendadak.
2) Grand mal
a) Mioklonik
Pada epilepsi mioklonik terjadi kontraksi mendadak, sebentar, dapat kuat atau
lemah sebagian otot atau semua otot, seringkali atau berulang-ulang. Bangkitan
ini dapat dijumpai pada semua umur.
b) Klonik
Pada epilepsi ini tidak terjadi gerakan menyentak, repetitif, tajam, lambat, dan
tunggal multiple di lengan, tungkai atau torso. Dijumpai terutama sekali pada
anak.
c) Tonik
Pada epilepsi ini tidak ada komponen klonik, otot-otot hanya menjadi kaku pada
wajah dan bagian tubuh bagian atas, fleksi lengan dan ekstensi tungkai. Epilepsi
ini juga terjadi pada anak.

d) Tonik – klonik
Epilepsi ini sering dijumpai pada umur di atas balita yang terkenal dengan nama
grand mal. Serangan dapat diawali dengan aura, yaitu tanda-tanda yang
mendahului suatu epilepsi. Pasien mendadak jatuh pingsan, otot-otot seluruh
tubuh kaku. Kejang kaku berlangsung kira-kira ¼ - ½ menit diikuti kejang-kejang
seluruh tubuh. Bangkitan ini biasanya berhenti sendiri. Tarikan nafas menjadi
dalam beberapa saat lamanya. Bila pembentukan ludah meningkat ketika kejang,
mulut menjadi berbusa karena hembusan nafas. Mungkin pula pasien kencing
ketika mendapat serangan. Setelah kejang berhenti pasien tidur beberapa lamanya,
dapat pula bangun dengan kesadaran yang masih rendah, atau langsung menjadi
sadar dengan keluhan badan pegal-pegal, lelah, nyeri kepala.

e) Atonik
Pada keadaan ini otot-otot seluruh badan mendadak melemas sehingga pasien
terjatuh. Kesadaran dapat tetap baik atau menurun sebentar. Epilepsi ini terutama
sekali dijumpai pada anak.

c. Epilepsi tak tergolongkan


Termasuk golongan ini adalah bangkitan pada bayi berupa gerakan bola mata yang
ritmik, mengunyah, gerakan seperti berenang, menggigil, atau pernapasan yang
mendadak berhenti sederhana.

E. Patofisiologi
Otak merupakan pusat penerima pesan (impuls sensorik) dan sekaligus merupakan pusat
pengirim pesan (impuls motorik). Otak ialah rangkaian berjuta-juta neuron. Pada hakekatnya
tugas neuron ialah menyalurkan dan mengolah aktivitas listrik saraf yang berhubungan satu
dengan yang lain melalui sinaps. Dalam sinaps terdapat zat yang dinamakan neurotransmiter.
Asetilkolin dan norepinerprine ialah neurotranmiter eksitatif, sedangkan zat lain yakni GABA
(gama-amino-butiric-acid) bersifat inhibitif terhadap penyaluran aktivitas listrik sarafi dalam
sinaps. Bangkitan epilepsi dicetuskan oleh suatu sumber gaya listrik di otak yang dinamakan
fokus epileptogen. Dari fokus ini aktivitas listrik akan menyebar melalui sinaps dan dendrit ke
neron-neron di sekitarnya dan demikian seterusnya sehingga seluruh belahan hemisfer otak dapat
mengalami muatan listrik berlebih (depolarisasi). Pada keadaan demikian akan terlihat kejang
yang mula-mula setempat selanjutnya akan menyebar ke bagian tubuh/anggota gerak yang lain
pada satu sisi tanpa disertai hilangnya kesadaran. Dari belahan hemisfer yang mengalami
depolarisasi, aktivitas listrik dapat merangsang substansia retikularis dan inti pada talamus yang
selanjutnya akan menyebarkan impuls-impuls ke belahan otak yang lain dan dengan demikian
akan terlihat manifestasi kejang umum yang disertai penurunan kesadaran.
Selain itu, epilepsi juga disebabkan oleh instabilitas membran sel saraf, sehingga sel lebih
mudah mengalami pengaktifan. Hal ini terjadi karena adanya influx natrium ke intraseluler. Jika
natrium yang seharusnya banyak di luar membrane sel itu masuk ke dalam membran sel
sehingga menyebabkan ketidakseimbangan ion yang mengubah keseimbangan asam-basa atau
elektrolit, yang mengganggu homeostatis kimiawi neuron sehingga terjadi kelainan depolarisasi
neuron. Gangguan keseimbangan ini menyebabkan peningkatan berlebihan neurotransmitter
aksitatorik atau deplesi neurotransmitter inhibitorik.
Kejang terjadi akibat lepas muatan paroksismal yang berlebihan dari sebuah fokus kejang
atau dari jaringan normal yang terganggu akibat suatu keadaan patologik. Aktivitas kejang
sebagian bergantung pada lokasi muatan yang berlebihan tersebut. Lesi di otak tengah, talamus,
dan korteks serebrum kemungkinan besar bersifat apileptogenik, sedangkan lesi di serebrum dan
batang otak umumnya tidak memicu kejang. Di tingkat membran sel, sel fokus kejang
memperlihatkan beberapa fenomena biokimiawi, termasuk yang berikut :
1. Instabilitas membran sel saraf, sehingga sel lebih mudah mengalami pengaktifan
2. Neuron-neuron hipersensitif dengan ambang untuk melepaskan muatan menurun dan
apabila terpicu akan melepaskan muatan menurun secara berlebihan.
3. Kelainan polarisasi (polarisasi berlebihan, hipopolarisasi, atau selang waktu dalam
repolarisasi) yang disebabkan oleh kelebihan asetilkolin atau defisiensi asam gama-
aminobutirat (GABA).
4. Ketidakseimbangan ion yang mengubah keseimbangan asam-basa atau elektrolit,
yang mengganggu homeostatis kimiawi neuron sehingga terjadi kelainan depolarisasi
neuron. Gangguan keseimbangan ini menyebabkan peningkatan berlebihan
neurotransmitter aksitatorik atau deplesi neurotransmitter inhibitorik.
Perubahan-perubahan metabolik yang terjadi selama dan segera setelah kejang sebagian
disebabkan oleh meningkatkannya kebutuhan energi akibat hiperaktivitas neuron. Selama
kejang, kebutuhan metabolik secara drastis meningkat, lepas muatan listrik sel-sel saraf motorik
dapat meningkat menjadi 1000 per detik. Aliran darah otak meningkat, demikian juga respirasi
dan glikolisis jaringan. Asetilkolin muncul di cairan serebrospinalis (CSS) selama dan setelah
kejang. Asam glutamat mungkin mengalami deplesi (proses berkurangnya cairan atau darah
dalam tubuh terutama karena pendarahan; kondisi yang diakibatkan oleh kehilangan cairan tubuh
berlebihan) selama aktivitas kejang.
Secara umum, tidak dijumpai kelainan yang nyata pada autopsi. Bukti histopatologik
menunjang hipotesis bahwa lesi lebih bersifat neurokimiawi bukan struktural. Belum ada faktor
patologik yang secara konsisten ditemukan. Kelainan fokal pada metabolisme kalium dan
asetilkolin dijumpai di antara kejang. Fokus kejang tampaknya sangat peka terhadap asetikolin,
suatu neurotransmitter fasilitatorik, fokus-fokus tersebut lambat mengikat dan menyingkirkan
asetilkolin.

F. Fase Serangan Kejang


a. Fase Prodromal
Beberapa jam/hari sebelum serangan kejang. Berupa perubahan alam rasa (mood),
tingkah laku
b. Fase Aura
Merupakan fase awal munculnya serangan. Berupa gangguan perasaan, pendengaran,
penglihatan, halusinasi, reaksi emosi afektif yang tidak menentu.
c. Fase Iktal
Merupakan fase serangan kejang, disertai gangguan muskuloskletal.
Tanda lain : hipertensi, nadi meningkat, cyanosis, tekanan vu meningkat, tonus spinkter
ani meningkat, tubuh rigid-tegang-kaku, dilatasi pupil, stridor, hipersalivasi, lidah resiko
tergigit, kesadaran menurun.
d. Fase Post Iktal
Merupakan fase setelah serangan. Ditandai dengan : confuse lama, lemah, sakit kepala,
nyeri otot, tidur lama, amnesia retrograd, mual, isolasi diri.

G. Manifestasi Klinis
a. Kejang Parsial Sederhana
Hanya jari atau tangan yang bergetar; atau mulut yang bergergerak tak terkontrol; bicara
tidak dapat dimengerti; mungkin pening; dapat mengalami perubahan penglihatan, suara,
bau atau pengecapan yang tak lazim atau tak menyenangkan.
b. Kejang Parsial Kompleks
Masih dalam keadaan sedikit bergerak atau gerakan secara otomatis tetapi tidak
bertujuan; dapat mengalami perubahan emosi, ketakutan, marah, kegirangan, atau peka
rangsang yang berlebihan; tidak mengingat periode tersebut ketika sudah berlalu.
c. Kejang Umum (kejang grand Mal)
Mengenai kedua hemisfer otak, kekuatan yang kuat dari seluruh tubuh diikuti dengan
perubahan kedutan dari relaksasi otot dan kontraksi (kontraksi tonik klonik umum)

H. Pemeriksaan Diagnostik
a. Lumbal Punksi
Proses inflamasi maupun infeksi dapat menyebabkan kejang melalui mekanisme
perangsangan langsung pada SSP, seperti pada meningitis dan ensefalitis maupun proses
sistemik lain yang berdampak pada SSP. Sampai saat ini pemeriksaan LP tidak rutin
dikerjakan pada SE, direkomendasikan hanya pada pasien SE yang memiliki manifestasi
klinis infeksi SSP.
b. Elektoensefalografi (EEG)
EEG sangat berperan untuk menunjukkan fokus dari suatu kejang di area tertentu otak.
Membedakan kejang umum dan kejang parsial/fokal sangatlah penting oleh karena
berkaitan dengan pemilihan obat antikonvulsan terutama pada epilepsi. Pemeriksaan
EEG telah direkomendasikan untuk dilakukan secara rutin pada pasien dengan kejang
epileptik, sedangkan pada SE, rekomendasi pemeriksaan EEG tergantung pada
kecurigaan etiologinya dan masih menjadi perdebatan.
c. Pencitraan
American Academy Neurology (AAN) tahun 1996 merekomendasikan pemeriksaan
pencitraan (neuroimaging) yang bersifat darurat apabila dicurigai terdapat suatu penyakit
struktural yang serius pada SSP, khususnya apabila ditemukan deficit neurologis fokal
dan perubahan kesadaran yang menetap. Pada pedoman tersebut tidak disebutkan indikasi
dilakukannya pencitraan pada anak  dengan SE.
Pencitraan hanya dilakukan jika ada kecurigaan kelainan anatomis otak dan dikerjakan
jika kondisi telah stabil dan SE telah dapat diatasi. MRI diketahui memiliki sensitivitas
dan spesifisitas yang lebih tinggi dibandingkan CT-scan, namun belum tersedia secara
luas di unit gawat darurat. CT-scan dan MRI dapat mendeteksi perubahan fokal yang
terjadi baik yang bersifat sementara maupun kejang fokal sekunder.

I. Penatalaksanaan Medis
Protokol Penatalaksanaan Status Epileptikus
Pada : awal menit
1.      Bersihkan jalan nafas, jika ada sekresi berlebihan segera bersihkan (bila perlu intubasi)
a.       Periksa tekanan darah
b.      Mulai pemberian Oksigen
c.       Monitoring EKG dan pernafasan
d.       Periksa secara teratur suhu tubu
e.       Anamnesa dan pemeriksaan neurologis
2.      Kirim sampel serum untuk evaluasi elektrolit, Blood Urea Nitrogen, kadar glukosa,
hitung darah lengkap, toksisitas obat-obatan dan kadar antikonvulsan darah; periksa AGDA
(Analisa Gas Darah Arteri)
3.      Infus NaCl 0,9% dengan tetesan lambat
4.      Berikan 50 mL Glukosa IV jika didapatkan adanya hipoglikemia, dan Tiamin 100 mg
IV atau IM untuk mengurangi kemungkinan terjadinya wernicke’s encephalophaty
5.       Lakukan rekaman EEG (bila ada)
6.      Berikan Lorazepam (Ativan) 0,1 sampai 0,15 mg per kg (4 sampai 8 mg) intravena
dengan kecepatan 2 mg per menit atau Diazepam 0,2 mg/kg (5 sampai 10 mg). Jika kejang
tetap terjadi berikan Fosfenitoin (Cerebyx) 18 mg per kg intravena dengan kecepatan 150 mg
per menit, dengan tambahan 7 mg per kg jika kejang berlanjut. Jika kejang berhenti, berikan
Fosfenitoin secara intravena atau intramuskular dengan 7 mg per kg per 12 jam. Dapat
diberikan melalui oral atau NGT jika pasien sadar dan dapat menelan.
Pada : 20 sampai 30 menit, jka kejang tetap berlangsung
1.      Intubasi, masukkan kateter, periksa temperature
2.      Berikan Fenobarbital dengan dosis awal 20 mg per kg intravena dengan kecepatan 100
mg per menit
Pada : 40 sampai 60 menit, jika kejang tetap berlangsung
Mulai infus Fenobarbital 5 mg per kg intravena (dosis inisial), kemudian bolus intravena
hingga kejang berhenti, monitoring EEG; lanjutkan infus Pentobarbital 1 mg per kg per jam;
kecepatan infus lambat setiap 4 sampai 6 jam untuk menetukan apakah kejang telah berhenti.
Pertahankan tekanan darah stabil.
-atau-
Berikan Midazolam (Versed) 0,2 mg per kg, kemudian pada dosis 0,75 sampai 10 mg per kg
per menit, titrasi dengan bantuan EEG.
-atau-
Berikan Propofol (Diprivan) 1 sampai 2 mg per kg per jam. Berikan dosis pemeliharaan
berdasarkan gambaran EEG.

BAB II

Konsep Asuhan Keperawatan Secara Teori Pada


“ Kasus Hiperbilirubin Pada Bayi Prematur”

Skenario 2 (Anita,Meila) Seorang bayi lahir dengan jenis kelamin laki-laki


dengan tampilan klinis tampak kuning di seluruh tubuh. Kuning dan tidak menghilang
dalam waktu 24 jam. Bayi merupakan anak pertama dengan kehamilan premature.
Lahir pada usia 34 minggu. Bayi lahir spontan dengan langsung menangis. BB bayi
pada saat lahir adalah 2000 gram. Riwayat keluhan yang dialami ibu tidak ada. Pada
saat pengkajian di hari kedua, bayi terlihat sulit menetek, lebih sering tidur. Dari hasil
pemeriksaan fisik didapatkan bayi mengalami demam dengan suhu 38 derajad celcius
dan tali pusat bayi tampak kemerahan. Dari pemeriksaan laboratorium didapatkan
kadar bilirubin 11 mg/dl.

1. Pengkajian Keperawatan
Pengkajian keperawatan dilakukan dengan cara pengumpulan data secara
subjektif (data yang didapatkan dari pasien/keluarga) melalui metode anamnesa dan
data objektif (data hasil pengukuran atau observasi).Menurut Nurarif (2015),
pengkajian yang harus dilakukan adalah :

1.      Aktivitas / Istirahat


Letargi, malas.
2.      Sirkulasi
a.       Mungkin pucat, menandakan anemia
b.      Bertempat tinggal di atas ketinggian 500 ft
3.      Eliminasi
a.       Bising usus hipoaktif
b.      Pasase mekonium mungkin lambat
c.       Feses mungkin lunak / coklat kehijauan selama pengeluaran
bilirubin
d.      Urine gelap pekat; hitam kecoklatan (sindroma bayi bronze)
4.      Makanan / Cairan
a.       Riwayat pelambatan / makan oral buruk, lebih mungkin
disusui dari pada menyusu botol
b.      Palpasi abdomen dapat menunjukkan pembesaran limpa,
hepar
5.      Neurosensori
a.       Sefalohematoma besar mungkin terlihat pada satu atau
kedua tulang parietal yang berhubungan dengan trauma
kelahiran / kelahiran ekstraksi vakum.
b.      Edema umum, hepatosplenomegali, atau hidrops fetalis
mungkin ada dengan inkompatibilitas Rh berat.
c.       Kehilangan reflex Moro mungkin terlihat.
d.      Opistotonus dengan kekuatan lengung punggung, fontanel
menonjol, menangis lirih, aktivitas kejang (tahap krisis).
6.      Pernapasan
a.       Riwayat asfiksia.
b.      Krekels, mucus bercak merah muda (edema pleura,
hemoragi pulmonal
7.      Keamanan
a.       Riwayat positif infeksi/sepsis neonates.
b.      Dapat mengalami ekimosis berlebihan, petekie, perdarahan
intra cranial
c.       Dapat tampak ikterik pada awalnya pada wajah dan
berlanjut pada bagian distal tubuh; kulit hitam kecoklatan
(sindrom bayi bronze) sebagai efek samping fototerapi.
8.      Seksualitas
a.       Mungkin praterm, bayi kecil untuk usia gestasi (SGA), bayi
dengan reterdasi pertumbuhan intrauterus (IUGR), atau bayi
besar untuk usia gestasi (LGA), seperti bayi dengan
ibudiabetes.
b.      Trauma kelahiran dapat terjadi berkenaan dengan stress
dingin, asfiksia, hipoksia, asidosis, hipoglikemia,
hipoproteinemia.
c.       Terjadi lebih sering pada bayi pria dari pada bayi wanita.
2. Diagnosa Keperawatan
Diagnosa keperawatan yang mungkin muncul dengan masalah hiperbilirubin:

1. Hipertermia b/d penggunaan incubator


2. Ikterik neonatus b/d penurunan berat badan abnormal (>7-8% pada bayi baru lahir
yang menyusu ASI, >15% pada bayi cukup bulan)
3. Resiko gangguan integritas kulit/ jaringan berhubungan dengan terapi radiasi

3. Rencana Tindakan dan Intervensi


NO SDKI SLKI SIKI
1 Hipertermia b/d proses penyakit Setelah dilakukan tindakan Manajemen hipertermia
(D.0130) keperawatan 2x8 jam diharapkan (1.15506)
“termoregulasi neonatus”
Observasi:
(L.14135) menurun dengan kriteria
hasil :  monitor pengebab
hipertermia (mis.
1. suhu tubuh 5
Dehidrasi, terpapar
2. suhu kulit 5 lingkungan panas,
penggunaan
3. frekuensi nadi 5
inkubator)
4. ventilasi 5  monitor suhu tubuh
Terapeutik:
 longgarkan atau
lepaskan baju
 berikan cairan oral
 berikan oksigen jika
di perlukan
kolaborasi :
 kolaborasi
pemberian cairan dan
elektrolit intravena
2 ikterik neonatus b/d prematuria Setelah dilakukan tindakan Fototrapi neonatus :
(D.0035) keperawatan 2x8 jam diharapkan
Obsrvasi:
“ adaptasi neonatus “ (L.10098)
 monitor ikterik pada
Membaik dengan kriteria hasil: skelera dan kulit bayi
 identifikasi
1) berat badan 5
kebutuhan cairan
2) membran mukosa kuning 5
sesuai dengan gestari
3) kulit kuning 5
dan berat badan
4) sklera kuning 5
 monitor suhu dan ttv
5) prematuria 5
setiap 4 jam sekali
 monitor efek
samping fototerapi
terapeutik:
 siapkan lampu
fototerapi dan
inkubator atau kotak
bayi
 lepaskan pakaian
bayi kecuali popok
 berikan penutup
mata pada bayi (eye
protector)
 ukur jarak antara
lampu dan
permukaan kulit bayi
 biarkan tubuh bayi
terpapar sinar
fototerapi secara
berkelanjutan
 ganti segera alas dan
popok bayi
 gunakan linen
berwarna putih agar
memantulkan cahaya
sebanyak mungkin
Edukasi :
 anjurkan ibu
menyusui sekitar 20-
3- menit
 anjurkan ibu
menyusui sesering
mungkin
Kolaborasi :
 pemeriksaan darah
vena bilirubin driek
dan indirek
3 Gangguan integritas Setalah dilakukan tindakan Perawatan integritas kulit
kulit/jaringan b.d faktor mekanis keperawatan selama 2 x 8 jam (1.11353)
diharapkan “ integritas kulit dan
(D.0192) Observasi :
jaringan di harapkan membaik
dengan kriteria hasil:  identifikasi penyebab
gangguan integritas
1. elastisitas 5
kulit
2. perfusi jaringan 5
Terapeutik:
3. kerusakan jaringan 5
 ubah posisi tiap 2
4. kemerahan 5 jam sekali
 gunakan produk
berbahan
ringan/alami dan
hopoalergik pada
kulit sensitif
 hindari produk
berbahan dasar
alkohol pada kulit
kering

1. Analisa jurnal EBN


“Side Effects of Phototherapy in Neonatal Hyperbilirubinemia”
Amar Taksandel and Sinduja Selvam
Professor, Department of Pediatrics, Jawaharlal Nehru Medical College, Wardha, Maharashtra, India &
Resident, Department of Pediatrics, Jawaharlal Nehru Medical College, Wardha, Maharashtra, India
Corresponding Author: Amar Taksande, Professor, Department of Pediatrics, Jawaharlal Nehru Medical
College, Wardha, Maharashtra, India. Review Article Received: November 21, 2018; Published:
November 27, 2018
Abstrak:
Fototerapi adalah pengobatan sederhana untuk hiperbilirubinemia neonatal, itu didokumentasikan
dengan baik, dan mengarah ke sangat berkurang tingkat transfusi tukar. Efektivitas fototerapi tergantung
pada: Warna cahaya, intensitas cahaya, tubuh terkena area wajah sur-, dan durasi paparan ini aman dan
mudah tersedia pengobatan di seluruh dunia dan efek samping tidak serius. Efek samping jangka pendek
dari fototerapi termasuk gangguan dengan interaksi ibu-bayi, ketidakseimbangan lingkungan termal dan
kehilangan air, gangguan elektrolit, sindrom perunggu bayi dan gangguan ritme sirkadian. Selain itu,
mungkin terkait dengan efek samping jangka panjang seperti Nevi melanositik, penyakit alergi, dan
kerusakan retina.

pengobatan untuk hiperbilirubinemia pada neonates. Bilirubin terkonjugasi diubah oleh tion
photoisomeriza- struktural dan oksidasi foto menjadi produk yang larut dalam air yang dapat
diekskresikan tanpa konjugasi oleh hati. konversi ini tidak hanya terjadi pada kulit tetapi juga di kapiler
dari jaringan neous subcuta-. Sekitar 60% dari bayi jangka dan bayi prematur 85% akan mengembangkan
penyakit kuning klinis jelas, yang klasik menjadi tampak jelas pada hari 3, puncak antara hari 5-7, dan
resolve oleh 14 hari usia. pengobatan fototerapi diindikasikan untuk mencegah efek neurotoksik serum
tinggi tak terkonjugasi bilirubin.

Kesimpulan :
Meskipun fototerapi adalah umum paling dan ed luas accept- dan metode pengobatan yang efektif untuk
hiperbilirubinemia, juga terkait dengan efek samping, baik jangka pendek dan jangka panjang efek.
Seperti penggunaan fototerapi untuk mengobati hiperbilirubinemia telah meningkat dalam beberapa tahun
terakhir, semua efek jangka panjang dari fototerapi belum sepenuhnya dievaluasi dan memerlukan studi
lebih lanjut. Oleh karena itu bijaksana, terapi menggunakan foto hanya ketika ditunjukkan dengan
pemantauan ketat untuk setiap komplikasi.

Beberapa efeksamping penggunaan fototerapi yang harus di perhatikan saat melakukan pengkajian:

1) Ketidakseimbangan lingkungan termal dan hidrasi


bayi baru lahir ditempatkan di popok untuk eksposur yang maksimal dan dapat mengembangkan
hipotermia, jika suhu ruangan tidak dipertahankan, sebagai unit fototerapi tidak dirancang untuk
menyediakan lingkungan termal yang nyaman untuk bayi. radiasi fototerapi tinggi dapat
menyebabkan hipertermia.
2) gerakan longgar
Beberapa neonatus juga mungkin memiliki mencret saat APY photother-, karena iritasi usus oleh
bilirubin, menambah kehilangan air. menyusui harus dilanjutkan bila memungkinkan dan
resusitasi cairan harus dimulai jika diperlukan. Sebuah studi tentang kehilangan air insensible
dari kulit selama fototerapi dalam jangka waktu dan prematur neonatus oleh S Kjartansson., et al.
3) Perubahan irama sirkadian
Perubahan ritme sirkadian karena fototerapi dapat menyebabkan gelisah, denyut jantung
berubah, dan peningkatan menangis di antara neonatus. Fototerapi harus diberikan secara paralel
untuk sirkadian cle cy- jika memungkinkan. Dalam penelitian yang dilakukan oleh Chen A., et
al.
4) gangguan elektrolit
5) Sindrom perunggu bayi (BBS)
Kondisi ini ditemukan pada neonatus dengan empedu kolestasis un- dergoing fototerapi, di mana
kulit, urin dan serum mengembangkan gelap discolouration coklat keabu-abuan. Patogenesis disi
con tidak diketahui tetapi perubahan warna resolve beberapa hari setelah berhenti fototerapi.
kasus bayi sindrom perunggu, yang memiliki warna coklat grey- ish dari seluruh tubuh, yang
dikembangkan setelah memulai fototerapi, dan menghilang 3 minggu setelah tion discontinua-
fototerapi. Sebuah studi yang dilakukan oleh Clark CF., et al.
6) Hipokalsemia & kerusakan DNA
FORMAT PENGKAJIAN
NEONATUS
PROGRAM STUDI ILMU KEPERAWATAN
FAKULTAS ILMU KESEHATAN UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH MALANG
STASE : KEPERAWATAN ANAK

Nama mahasiswa : mella desya Tanggal Praktek :


NIM : 2019-089 Paraf :
Ruang : stase RSML
Tanggal Pengkajian 24-28 maret 2020

I. IDENTITAS DATA
Nama : Tidak terkaji
Tempat/tanggal lahir : tidak terkaji
Nama Ayah/Ibu : Tidak terkaji
Pekerjaan Ayah : Tidak terkaji
Pendidikan Ayah : Tidak terkaji
Pekerjaan Ibu : Tidak terkaji
Pendidikan Ibu : Tidak terkaji
Alamat/No. Telepon : Tidak terkaji
Kultur : Tidak terkaji
Agama : Tidak terkaji

II. KELUHAN UTAMA/ narasi ibu


Keluhan yang dialami ibu tidak ada
III. RIWAYAT KEHAMILAN DAN KELAHIRAN
III.1 Prenatal
 Jumlah kunjungan : Tidak terkaji
 Bidan/Dokter : Tidak terkaji
 Penkes yang didapat : Tidak terkaji
 .HPHT : Tidak terkaji
 Kenaikan BB selama Hamil : Tidak terkaji
 Komplikasi kehamilan : Tidak terkaji
 Komplikasi Obat : Tidak terkaji
 Obat-obatan yang didapat : Tidak terkaji
 Riwayat Hospitalisasi : Tidak terkaji
 Golongan darah ibu : Tidak terkaji
 Pemeriksaan kehamilan / Maternal screening
( ) Rubelle ( ) Hepatitis ( ) CMV
( ) GO ( ) Herpes ( ) HIV
( ) Lain-lain, sebutkan Tidak terkaji
III.2 Natal
 Awal Persalinan : Tidak terkaji
 Lama Persalinan : Tidak terkaji
 Komplikasi persalinan : Hipertensi
 Terapi yang diberikan : Tidak terkaji
 Cara melahirkan
( ) pervaginam ( ) Caesar ( ) Lain-lain, sebutkantidak terkaji
 Tempat melahirkan : Tidak terkaji
( ) Rumah bersalin ( ) Rumah ( ) Rumah Sakit
III.3 Postnatal
 Usaha Nafas : tidak terkaji
( ) dengan bantuan
( ) tanpa bantuan
 Kebutuhan resusitasi : tidak terkaji
 Obat-obat yang diberikan pada neonatus : tidak terkaji
 Interaksi orang tua dengan bayi
o Kualitas : Tidak terkaji
o Lamanya : Tidak terkaji
 Trauma lahir : Tidak terkaji
( ) Ada ( ) Tidak ada
 Narkosis : Tidak terkaji
( ) Ada ( ) Tidak ada
 Keluarnya urine / bab : Tidak terkaji
( ) Ada ( ) Tidak ada
 Respon fisiologis atau perilaku yang bermakna
Pada saat pengkajian hari kedua bayi terlihat, lebih sering tidur
RIWAYAT KELUARGA
a. Sosial Ekonomi : Tidak terkaji
b. Penyakit keluarga: Tidak terkaji
c. Genogram (Gambarkan minimal 3 generasi) : Tidak terkaji

IV. RIWAYAT SOSIAL


1. Sistem pendukung / keluarga yang dapat dihubungi : Tidak terkaji
2. Hubungan orang tua dengan bayi
Ibu Ayah
TT Menyentuh TT
TT Memeluk TT
TT Berbicara TT
TT Berkunjung TT
TT Kontak mata TT
3. Anak yang lain
Jenis Riwayat Riwayat
Kelami persalinan Imunisasi
n Anak
TT TT TT
TT TT TT
TT TT TT
TT TT TT
TT TT TT
4. Lingkungan ruma: Tidak terkaji
5. Problem sosial yang penting
( ) Kurangnya sistem pendukung sosial
( ) Perbedaan bahasa
( ) Riwayat penyalahgunaan zat aditif ( obat-obatan )
( ) Lingkungan rumah yang kurang memadai (sosial)
( ) Keuangan
( √ ) Lain-lain, sebutkan : Tidak terkaji
V. KEADAAN KESEHATAN SAAT INI
1. Diagnosa medis : Asfiksia
2. Tindakan operasi : Tidak terkaji
3. Status Nutrisi : Tidak terkaji
4. Status Cairan :Tidak terkaji
5. Obat-obatan: Tidak terkaji
6. Aktivitas : Tidak terkaji
7. Tindakan Keperawatan yang telah dilakukan
Manajemen respiratori
Manajemen jalan napas
Pencegahan infeksi
8. Hasil Laboratorium : Tidak terkaji

9. Pemeriksaan Penunjang : tidak terkaji


10. Lain-lain
Tonus otot lemah dan gerak terbatas, lemak subkutan tipis, Hingga pada menit ke 10,
kondisi bayi masih merintih dan dengkuran dan sianosis.

VI. PEMERIKSAAN FISIK


Keadaan Umum:
Tingkat kesadaran : tidak terkasi
Tanda vital Nadi : ……………………… Suhu : ……………………… RR :
………………………TD : ………………………
Saat lahir Saat ini
1. Berat Badan 2000 gr Tidak terkaji
2. Panjang Badan TT Tidak terkaji
3. Lingkar Kepala TT Tidak terkaji
4. lingkar dada TT Tidak terkaji

Beri tanda ( cek ) pada istilah yang tepat dari data-data dibawah ini. Gambarkan semua
temuan abnormal secara obyektif, gunakan kolom komentar bila perlu.
1. Reflek Moro
( √ ) Moro ( ) Menggenggam ( ) Menghisap
2. Tonus / aktivitas
a. ( ) Aktif ( ) tenang ( ) Letargi ( ) Kejang
b. ( √ ) Menangis keras ( ) Lemah ( ) Melengking ( ) Sulit menangis
3. Kepala / leher
a. Fontanel Anterior
( ) Lunak ( ) Tegas ( ) Datar ( ) Menonjol ( ) Cekung
b. Sutura sagitalis
( ) Tepat ( ) Terpisah ( ) menjauh
c. Gambaran wajah
( ) Simetris ( ) Asimetris
d. Molding
( ) Caput Succedaneum ( ) Chepalohematoma
4. Mata
( ) Bersih ( ) Sekresi
…………………………………………………………………………………………….
5. THT
a. Telinga
( ) Normal ( ) Abnormal
b. Hidung
( ) Bilateral ( ) Obstruksi ( ) Cuping Hidung
c. Palatum
( ) Normal ( ) Abnormal
6. Abdomen
a. ( ) Lunak ( ) Tegas ( ) Datar ( ) Kembung
b. Lingkar perut : cm
c. Liver : ( ) kurang dari 2 cm ( ) Lebih dari 2 cm
7. Thoraks
a. ( ) Simetris ( ) Asimetris
b. Retraksi : ( ) derajat 1 ( ) derajat 2 ( ) derajat 3
c. Klavikula : ( ) Normal ( ) Abnormal
8. Paru-paru
a. Suara nafas : ( ) Sama kanan kiri ( ) Tidak sama kanan kiri
( ) Bersih ( ) Ronchi ( ) Rales ( ) sekret
b. Bunyi nafas
( ) terdengan di semua lapang paru ( ) tidak terdengar ( ) menurun
c. Respirasi
( ) Spontan , jumlah : ………..x/menit
( ) Sungkup/boxhead, jumlah : …………x/menit
( ) Ventilasi assisted CPAP
9. Jantung
a. ( ) Bunyi Normal Sinus Rytme ( NSR ) , jumlah : …………..x/menit
( ) Mur-mur ( ) Lain-lain, sebutkan : frekuensi jantung >100x/menit
b. Waktu pengisian kapiler, Batang tubuh : ………………………………………
Ektrimitas : ……………………………………….
c. Nadi perifer
Berat Lemah Tidak
ada
Brachial kanan
Brachial kiri
Femoral kanan
Femoral kiri
10. Ekstrimitas
a. ( ) Semua ekstrimitas gerak ( ) ROM terbatas ( ) tidak dapat dikaji
b. Ekstrimitas atas dan bawah ( ) Simetris ( ) Asimetris
11. Umbilikus : ( ) Normal ( ) Abnormal ( ) Inflamasi ( ) Drainage
12. Genital : ( ) Normal ( ) Abnormal ( ) Ambivalen
13. Anus : ( ) Paten ( ) Imperforata
14. Spina : ( ) Normal ( ) Abnormal
15. Kulit
a. Warna : ( ) Pink ( ) Pucat ( ) Jaundice
b. ( ) Rash / kemerahan
c. ( ) tanda lahir
16. Suhu : TT
a. Lingkungan
( ) Penghangat radian ( ) Pengaturan suhu
( ) Inkubator ( ) Suhu ruang ( ) Boks terbuka
b. Suhu kulit : ……………………………………………………………………
KOMENTAR :
VII. PEMERIKSAAN TINGKAT PERKEMBANGAN
1. Kemandirian dan bergaul
Tidak terkaji
2. Motorik halus
TT
3. Kognitif dan bahasa
Tidak terkaji
4. Motorik kasar
Bayi langsung menangis menangis
KESIMPULAN PERKEMBANGAN
( ) Menangis bila tidak nyaman
( ) Membuat suara tenggorok yang pelan
( ) Memandang wajah dengan sungguh-sungguh
( ) Mengeluarkan suara
( ) Berespon secara berbeda terhadap obyek yang berbeda
( ) Dapat tersenyum
( ) Menggerakkan kedua lengan dan tungkai sama mudahnya ketika telentang
( ) Memberikan reaksi dengan melihat ke arah sumber cahaya ( misalnya dari
lampu senter yang digerakkan ke kiri & kanan )
( ) Mengoceh dan memberikan reaksi terhadap suara
( ) Membalas senyuman
VIII. INFORMASI LAIN
Bayi anak pertama, kehamilan premature. Usian 34 minggu lahir dengan spontan dan
langsung menangis. Pada hari kedua bayimengalami sulit menetek lebih seriing tidur,
bayi mengalami demam 38 derajadd celcius dan tali pusar bayi tampak kemerahan,
pemerikasaan laboratorium kadar bilirubin 11mg/dl
IX. RINGKASAN RIWAYAT KEPERAWATAN
Tidak terkaji

XIV. ANALISA DATA

Data Penunjang Etiologi Masalah Keperawatan Kolaboratif


1 Suhu 38ºC proses penyakit Hipertermia

2 lahir pada usia ke 34 minnggu prematuria Ikterus neonatus


dengan bb 2000 gram
3 Ta tali pusar tampak kemerahan faktor mekanis Gang. Integritas kulit dan
jaringan
XV. PRIORITAS MASALAH

1. Hipertermia b/d proses penyakit


2. Ikterus neonatus b/d prematuria
3. Gang. Integritas kulit dan jaringan b/d faktor mekanis
XVI. ASUHAN KEPERAWATAN DAN CATATAN PERKEMBANGAN
ASUHAN PERAWATAN
NAMA KLIEN : TT
NAMA MAHASISWA : Mella Desya
NIM : 201920461011097
RUANG : Ruang NICU di RSML
PARAF
DIAGNOSA MEDIS : Hiperbilirubin
No. Diagnosa keperawatan Do dan Ds Siki dan Siki implementasi Evaluasi
1. Hipertermia b/d proses penyakit Ds: saat dilakukan Manajemen - Monitor suhu bayi S : suhu mulai
hipertermia (1.15506)
pengkajian suhu 38 sampai stabil pada menumjukkn angka
Observasi:
derajad celcius suhu normal bayi normal
 monitor
Do: tali pusat bayi 36,5-37,5 O: suhu bayi 37,5 C
pengebab
tampak kemerah"an hipertermia - Monitor TD, normal
(mis. frekuensi pernnapasan I : masalah teratasi
Dehidrasi,
terpapar dan nadi sebagian
lingkungan - Monitor warna P: lanjutkan
panas,
penggunaan dan suhu kulit intervensi
inkubator) Pemantau suhu
 monitor suhu
tubuh terpasang dan suhu

Terapeutik: sesuai kebutuhan

 longgarkan pasien
atau lepaskan Saat pengkajian
baju awal : 38ºC
 berikan cairan
oral
 berikan
oksigen jika di
perlukan
kolaborasi :
kolaborasi pemberian
cairan dan elektrolit
intravena
SLKI
Setelah dilakukan
tindakan keperawatan
2x8 jam diharapkan
“termoregulasi
neonatus” (L.14135)
menurun dengan
kriteria hasil :
1. suhu tubuh 5
2. suhu kulit 5
3. frekuensi nadi 5
4. ventilasi 5

Ikterus neonatus b/d prematuria Ds : tampilan klinis Fototrapi neonatus : - lakukan persiapan s : - Warna kulit
pasirn tampak Obsrvasi: pemasangan fototerapi yang terus
kuning di seluruh  monitor - persiapan lingkukan kekuningan sampai
ikterik pada
tubuh , terlihat dan bayi jingga dan berkurang
skelera dan
kuning dan tidak kulit bayi - beri pakaian bayi pada daerah
menghilang dalam  identifikasi yang longgar / kekuningan secara
kebutuhan
waktu 24 jam cairan sesuai lepaskan pakaian bayi perlahan
Do : bayi lahir pada dengan gestari -Monitor warna dan O: lakukan
dan berat
usia ke 34 minnggu badan keadaan kulit setiap 4- pemeriksaan kadar
dengan bb 2000  monitor suhu 8 jam bilirubin pada bayi
dan ttv setiap
gram 4 jam sekali -Monitor keadaan I: masalah terataasi
 monitor efek bilirubin direk dan sebagian
samping
fototerapi indirek ( kolaborasi P: lanjutkan

terapeutik: dengan dokter dan intervensi

 siapkan lampu analis )


fototerapi dan -Ubah posisi bayi
inkubator atau
kotak bayi menjadi miring atau
 lepaskan tengkurap setiap
pakaian bayi
kecuali popok
 berikan
penutup mata
pada bayi (eye
protector)
 ukur jarak
antara lampu
dan
permukaan
kulit bayi
 biarkan tubuh
bayi terpapar
sinar
fototerapi
secara
berkelanjutan
 ganti segera
alas dan
popok bayi
 gunakan linen
berwarna
putih agar
memantulkan
cahaya
sebanyak
mungkin
Edukasi :
 anjurkan ibu
menyusui
sekitar 20-3-
menit
 anjurkan ibu
menyusui
sesering
mungkin
Kolaborasi :
pemeriksaan darah
vena bilirubin driek
dan indirek
SLKI
Setelah dilakukan
tindakan keperawatan
2x8 jam diharapkan
“ adaptasi neonatus “
(L.10098)
Membaik dengan
kriteria hasil:
1) berat badan 5
2) membran
mukosa
kuning 5
3) kulit kuning 5
4) sklera kuning
5
prematuria 5
3 Gang. Integritas kulit dan jaringan Ds: tali pusar Perawatan integritas -Ubah posisi bayi S: tidak terjadi
kulit (1.11353)
b/d faktor mekanis nampak kemerahan menjadi miring atau penekanan pada kulit
Observasi :
Ds: tengkurap setiap 2 jam yang terlalu lama
 identifikasi
dengan dilakukan pada bayi sehingga
penyebab
gangguan massage dan membantu mencegah
integritas kulit berbarengan dengan terjadinya dekubitus
Terapeutik: memonitor keadaan atau iritasi pada kulit
 ubah posisi kulit. bayi
tiap 2 jam
-Jaga kebersihan kulit O: tidak terjadi
sekali
 gunakan dan kelembaban kulit. dekubitus pada bayi
produk - saat mengganti I: intervensi : masalah
berbahan
ringan/alami pakaian bayi gunakan teratasi sebagian
dan yang berbahan ringan P: lanjutkan intervens
hopoalergik
pada kulit dan hipooalergik pada
sensitif kulit bayi
 hindari produk
berbahan - menghindari produk
dasar alkohol berbahan dasar
pada kulit
kering alkohol pada kuit

SLKI bkering

Setalah dilakukan
tindakan keperawatan
selama 2 x 8 jam
diharapkan “
integritas kulit dan
jaringan di harapkan
membaik dengan
kriteria hasil:
1. elastisitas 5
2. perfusi jaringan 5
3. kerusakan jar. 5
4. kemerahan 5

Anda mungkin juga menyukai