Anda di halaman 1dari 30

2.

Hubungan Struktur, Sifat Kimia Fisika dengan Proses Absorpsi, Distribusi dan Ekskresi Obat

Setelah masuk ke tubuh melalui cara tertentu (oral, parenteral, anal, dermal, dll) obat akan
mengalami proses absorpsi, distribusi, metanolisme dan ekskresi.

Tiga Fasa yang menentukan terjadinya aktivitas biologis obat adalah :

1. Fasa farmasetik

Meliputi proses pabrikasi, penganturan dosis, formulasi, bentuk sediaan, pemecahan bentuk sediaan
dan terlarutnya obat aktif. Fasa ini berperan dalam ketersediaan obat untuk dapat diabsorpsi ke tubuh.

2. Fasa Farmakokinetik

Meliputi proses absorpsi, distribusi, metabolisme dan ekskresi obat (ADME). Fasa ini berperan dalam
ketersediaan obat untuk mencapai jaringan sasaran (target) atau reseptor sehingga dapat menimbulkan
respons biologis.

3. Fasa Farmakodinamik

Fasa terjadinya interaksi obat-reseptor dalam jaringan sasaran. Fasa ini berperan dalam timbulnya
respons biologis obat.

Setelah obat bebas masuk ke peredaran darah, kemungkinan mengalami proses-proses sebagai berikut :

1. Obat disimpan dalam depo jaringan

2. Obat terikat oleh protein plasma, terutama albumin

3. Obat aktif yang dalam bentuk bebas berinteraksi dengan reseptor sel khas dan menimbulkan
respons biologis.

4. Obat mengalami metabolisme dengan beberapa jalur kemungkinan yaitu:

a. Obat yang mula-mula tidak aktif, setelah mengalami metabolisme akan menghasilkan senyawa aktif,
kemudian berinteraksi dengan reseptor dan menimbulkan respons biologis (bioaktivasi)

b. Obat aktif akan dimetabolisis menjadi metabolit yang lebih polar dan tidak aktif, kemudian
diekskresikan (bioinaktivasi)

c. Obat aktif akan dimetabolisis menghasilkan metabolit yang bersifat toksik (biotoksifikasi)

5. Obat dalam bentuk bebas langsung diekskresikan.


Setelah masuk ke sistem peredaran darah, hanya sebagian kecil molekul obat yang tetap utuh dan
mencapai reseptor pada jaringan sasaran. Sebagian besar obat berubah atau terikat pada biopolimer.
Tempat dimana obat berubah atau terikat sehingga tidak dapat mencapai reseptor disebut sisi
kehilangan (site of loss).

Contoh sisi kehilangan: protein darah, depo-depo penyimpanan, sistem enzim yang dapat menyebabkan
perubahan metabolisme obat dari bentuk aktif menjadi bentuk tidak aktif dan proses ekskresi obat baik
sebelum maupun sesudah proses metabolisme.

A. Hubungan Struktur, Sifat Kimia Fisika dengan Proses Absorpsi Obat

Proses absorpsi merupakan dasar yang penting dalam menentukan aktivitas farmakologis obat.
Kegagalan ata kehilangan obat selama proses absorpsi akan mempengaruhi efek obat dan menyebabkan
kegagalan pengobatan.

1. Absorpsi Obat melalui Saluran Cerna

Pada pemberian secara oral, sebelum obat masuk ke peredaran darah dan didistribusikan ke seluruh
tubuh, terlebih dulu harus mengalami proses absorpsi pada saluran cerna.

Faktor-faktor yang berpengaruh terhadap proses absorpsi obat pada saluran cerna antara lain:

- Bentuk sediaan

- Sifat kimia fisika

- Cara pemberian

- Faktor biologis

- Faktor-faktor lain seperti umur, diet (makanan), adanya interaksi obat dengan senyawa lain dan
adanya penyakit tertentu.

Absorpsi obat melalui saluran cerna terutama tergantung pada ukuran partikel molekul obat, kelarutan
obat dalam lemak/air dan derajat ionisasi.

2. Absorpsi Obat melalui Mata

Bila suatu obat diberikan secara setempat pada mata, sebagian diabsorpsi melalui membran konjungtiva
dan sebagian lagi melalui kornea. Kecepatan penetrasi tergantung pada derajat ionisasi dan koefisien
partisi obat. Bentuk yang tidak terionisasi dan mudah larut dalam lemak cepat diabsorpsi oleh membran
mata. Penetrasi obat yang bersifat asam lemah lebih cepat dalam suasana asam karena dalam suasana
tersebut bentuk tidak terionisasinya besar sehingga mudah menembus membran mata. Untuk obat yang
bersifat basa lemah penetrasi lebih cepat dalam suasana basa.

3. Absorpsi Obat melalui Paru

Obat anestesi sistemik yang diberikan secara inhalasi akan diabsorpsi melalui epitel paru dan membran
mukosa saluran napas. Krena mempunyai luas permukaan besar maka absorpsi melalui buluh darah
paru berjalan dengan cepat.

Absorpsi obat melalui paru tergantung pada:

- Kadar obat dalam alveoli

- Koefisien partisi gas/darah

- Kecepatan aliran darah paru

- Ukuran partikel obat

4. Absorpsi Obat melalui Kulit

Absorpsi obat melalui kulit sangat tergantung pada kelarutan obat dalam lemak karena epidermis kulit
berfungsi sebagai membran lemak biologis.

B. Hubungan Struktur, Sifat Kimia Fisika dengan Proses Distribusi Obat

Setelah masuk ke peredaran sistemik, molekul obat secara serentak didistribusikan ke seluruh jaringan
dan organ tubuh.

Kecepatan dan besarnya distribusi obat dalam tubuh bervariasi dan tergantung pada faktor-faktor
sebagai berikut:

- Sifat kimia fisika obat, terutama kelarutan dalam lemak

- Sifat membran biologis

- Kecepatan distribusi aliran darah pada jaringan dan organ tubuh

- Ikatan obat dengan sisi kehilangan

- Adanya pengangkutan aktif dari beberapa obat

- Masa atau volume jaringan

1. Struktur Membran Biologis


Membran biologis mempunyai dua fungsi utama, yaitu:

- Sebagai penghalang dengan sifat permeabilitas yang khas

- Sebagai tempat untuk reaksi biotransformasi energi

a. Komponen Membran Sel

- Lapisan Lemak Bimolekul

- Protein

- Mukopolisakarida

b. Model Membran Sel

- Model Struktur Membran Davson-Danielli (1935)

Struktur membran sel terdiri daru dua bagian dalam adalah bagian lapisan lemak bimolekul dan bagian
luar adalah satu lapisan protein, yang mengapit lapisan lemak bimolekul. Protein ini bergabung dengan
bagian polar lemak melalui kekuatan elektrostatik.

- Model Struktur Membran Robertson (1964)

Memperjelas model membran biologis Davson-danielli yaitu daerah polar molekul lemak secara normal
berorientasi pada permukaan sel dan diselimuti oleh satu lapis protein pada permukaan membran.

- Model Struktur Membran Singer dan Nicholson (1972)

Disebut model cairan mosaik dimana struktur membran terdiri dari lemak bimolekul dan protein
globular yang tersebar diantara lemak bimolekul tersebut.

2. Hubungan Struktur, Kimia Fisika dengan Proses Distribusi Obat

Pada umumnya distribusi obat terjadi dengan cara menembus membran biologis melalui proses difusi.
Mekanisme difusi dipengaruhi oleh struktur kimia, sifat kimia fisika obat dan sifat membran biologis.

Proses difusi dibagi menjadi dua yaitu difusi pasif dan difusi aktif.

- Difusi pasif
· Difusi pasif melalui pori

· Difusi pasif dengan cara melarut pada lemak penyusun membran

· Difusi pasif dengan fasilitas

- Difusi aktif

· Sistem pengangkutan aktif

· Pinositosis

· Interaksi obat dengan biopolimer

C. Hubungan Struktur, Kimia Fisika dengan Proses Ekskresi Obat

1. Ekskresi obat melalui Paru

Obat yang diekskresikan melalui paru terutama obat yang digunakan secara inhalasi. Sifat fisik yang
menentukan kecepatan ekskresi obat melalui paru adalah koefisien partisi darah/udara.

2. Ekskresi obat melalui Ginjal

Ekskresi obat melalui Ginjal melibatkan tiga proses:

- Penyaringan Glomerulus

- Absorpsi Kembali secara Pasif pada Tubulus Ginjal

- Sekresi Pengangkutan Aktif pada Tubulus Ginjal

3. Ekskresi Obat melalui Empedu

Obat dengan berat molekul lebih dari 150 dan obat yang telah dimetabolisis menjadi senyawa yang lebih
polar, dapat diekskresikan dari hati, melewati empedu menuju ke usus dengan mekanisme pegangkutan
aktif. Obat tersebut biasanya dalam bentuk terkonjugasi dengan asam glukuronat, asam sulfat atau
glisin. Di usus bentuk terkonjugat tersebut secara langsung diekskresikan melaui tinja, atau dapat
mengalami proses hidrolisis oleh enzim atau bakteri usus menjadi senyawa yang bersifat non polar,
sehingga diabsorpsi kembali ke plasma darah, kembali ke hati, dimetabolisis, dikeluarkan lagi melaui
empedu menuju ke usus,demikian seterusnya sehingga merupakan suatu siklus yang dinamakan siklus
enterohepatik. Siklus ini menyebabkan masa kerja obat menjadi lebih panjang.
3. Hubungan struktur dan proses Metabolisme Obat

Proses metabolisme dapat mempengaruhi aktovitas biologis, masa kerja dan toksisitas obat sehingga
pengetahuan tentang metabolisme obat dan senyawa organik asing lain (xenobiotika) sangat penting
dalam bidang kimia medisinal.

Suatu obat dapat menimbulkan respons biologis dengan melalui dua jalur, yaitu:

a. Obat aktif setelah masuk ke peredaran darah, langsung berinteraksi dengan reseptor dan
menimbulkan respons biologis.

b. Pra-obat setelah masuk ke peredaran darah mengalami proses metabolisme menjadi obat aktif,
berinteraksi dengan reseptor dan menimbulkan respons biologis (bioaktivasi).

Metabolisme obat adalah mengubah senyawa yang relatif non polar, menjadi senyawa yang lebih polar
sehingga mudah dikeluarkan dari tubuh.

A. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Metabolisme Obat

1. Faktor Genetik atau Keturunan

Perbedaan individu pada proses metabolisme sejumlah obat kadang-kadang terjadi dalam sistem
kehidupan. Hal ini menunjukkan bahwa faktor genetik atau keturunan ikut berperan terhadap adanya
perbedaan kecepatan metabolisme obat.

2. Perbedaan Spesies dan Galur

Pada proses metabolisme obat, perubahan kimia yang terjadi pada spesies dan galur kemungkinan sama
atau sedikit berbeda, tetapi kadang-kadang ada perbedaan yang cukup besar pada reaksi
metabolismenya. Pengamatan pengaruh perbedaan dilakukan terhadap tipe resksi metabolik atau
perbedaan kualitatif dan pada kecepatan metabolisme atau perbedaan kuantitatif.

3. Perbedaan Jenis kelamin

Pada beberapa spesies binatang menunjukkan ada pengaruh jenis kelamin terhadap kecepatan
metabolisme obat.

4. Perbedaan Umur
Bayi dalam kandungan dan bayi yang baru lahir jumlah enzim-enzim mikrosom hati yang diperlukan
untuk memetabolisme obat relatif masih sedikit sehingga sangat peka terhadap obat.

5. Penghambatan Enzim Metabolisme

Pemberian terlebih dahulu atau secara bersama-sama suatu senyawa yang menghambat kerja enzim-
enzim metabolisme dapat meningkatkan intensitas efek obat, memperpanjang masa kerja obat dan
kemungkinan juga meningkatkan efek samping dan toksisitas.

6. Induksi Enzim Metabolisme

Peningkatan aktivitas enzim metabolisme obat-obat tertentu atau proses induksi enzim mempercepat
proses metabolisme dan menurunkan kadar obat bebas dalam plasma sehingga efek farmakologis obat
menurun dan masa kerjanya menjadi lebih singkat. Induksi enzim juga mempengaruhi toksisitas
beberapa obat karena dapat meningkatkan metabolisme dan pembentukan metabolit reaktif.

7. Faktor lain-lain

Diet makanan, keadaan kekurangan gizi, ganguan keseimbangan hormon, kehamilan, pengikatan obat
oleh protein plasma, distribusi obat dalam jaringan dan keadaan patologis hati.

B. Tempat Metabolisme Obat

Perubahan kimia obat dalam tubuh terutama terjadi pada jaringan dan organ-organ seperti hati, ginjal,
paru dan saluran cerna. Hati adalah organ tubuh yang merupakan tempat utama metabolisme obat oleh
karena mengandung lebih banyak enzim-enzim metabolisme dibanding organ lain. Setelah pemberian
secara oral, obat diserap oleh saluran cerna, masuk keperedaran darah dan kemudian ke hati melalui
efek lintas pertama. Aliran darah yang membawa obat atau senyawa organik asing melewati sel-sel hati
secara perlahan-lahan dan termetabolisis menjadi senyawa yang mudah larut dalam air kemudian
diekskresikan melalui urin.

C. Jalur Umum Metabolisme Obat dan Senyawa Organik Asing

Reaksi metabolisme obat dan senyawa organik asing ada dua tahap, yaitu:

1. Reaksi fasa I atau reaksi fungsionalisme

2. Reaksi fasa II atau reaksi konjugasi

a. Reaksi fasa I

1. Reaksi oksidasi:
- Oksidasi gugus aromatik, ikatan rangkap, atom C benzilik dan alilik, atom C dari gugus karbonil dan
imin.

- Oksidasi atom C alifatik dan alisiklik

- Oksidasi sistem C-N, C-O dan C-S

- Oksidasi alkohol dan aldehid

- Reaksi oksidasi lain-lain

2. Reaksi reduksi

- Reduksi aldehid dan keton

- Reduksi senyawa azo dan nitro

- Reaksi reduksi lain-lain

Reaksi fasa I dapat dicapai dengan :

1. Secara langsung memasukkan gugus fungsional, contoh : hidroksilasi senyawa aromatik dan alifatik

2. Memodifikasi gugus-gugus fungsional yang ada dalam struktur molekul, contoh : reduksi gugus
keton atau aldehid menjadi alkohol

Fasa I dapat menghasilkan suatu gugus fungsional yang mudah terkonjugasi atau mengalami reaksi fasa
II. Tujuan reaksi fasa II adalah mengikat gugus fungsional hasil metabolit reaksi fasa I dengan senyawa
endogen yang mudah terionisasi dan bersifat polar.

b. Reaksi fasa II

1. Reaksi konjugasi:

- Konjugasi asam glukuronat

- Konjugasi sulfat

- Kinjugasi dengan glisin dan glutamin

- Konjugasi dengan glutation atau asam merkapturat

c. Reaksi asetilasi
d. Reaksi metilasi

4. Hubungan Struktur, Ikatan Kimia dan Aktivitas Biologis

Respons biologis merupakan akibat interaksi molekul obat dengan gugus fungsional molekul reseptor.
Interaksi ini dapat berlangsung karena kekuatan ikatan kimia tertentu.

Tipe ikatan kimia yang terlibat dalam interaksi obat reseptor antara lain adalah ikatan-ikatan kovalen,
ion-ion yang saling memperkuat (reinforce ions), ion (elektrostatik), hidrogen, ion-dipol, dipol-dipol, van
der Waal’s, ikatan hidrofob dan transfer muatan.

a. Ikatan Kovalen

Ikatan kovalen terbentuk bila ada dua atom saling menggunakan sepasang elektron secara bersama-
sama. Ikatan kovalen merupakan ikatan kimia yang paling kuat dengan rata-rata kekuatan ikatan 1000
kkal/mol. Dengan kekuatan ikatan yang tinggi ini, pada suhu normal ikatan bersifat ireversibel dan hanya
dapat pecah bila ada pengaruh katalisator enzim tertentu. Interaksi obat-katalisator melalui ikatan
kovalen menghasilkan kompleks yang cukup stabil dan sifat ini dapat digunakan untuk tujuan
pengobatan tertentu.

b. Ikatan ion

Ikatan ion adalah ikatan yag dihasilkan oleh daya tarik menarik elektrostatik antara ion-ion yang
muatannya berlawanan. Kekuatan tarik-menarik akan makin berkurang bila jarak antar ion makin jauh
dan pengurangan tersebut berbanding terbalik dengan jaraknya.

c. Interaksi Ion-Dipol dan dipol-Dipol

Adanya perbedaan keelektronegatifan atom C dengan atom yang lain seperti O dan N, akan membentuk
distribusi elektron tidak simetrik atau dipol, yang mampu membentuk ikatan dengan ion atau dipol lain,
baik yang mempunyai daerah kerapatan elektron tinggi maupun yang rendah.

Contoh: turunan metadon

d. Ikatan hidrogen
Ikatan hidrogen adalah suatu ikatan antara atom H yang mempunyai muatan positif parsial dengan atom
lain yang bersifat elektronegatif dan mempunyai sepasang elektron bebas dengan oktet lengkap seperti
O, N, F. Atom yang bermuatan positif parsial dapat berinteraksi dengan atom negatif parsial dari molekul
atau atom lain yang berbeda ikatan kovalennya dalam satu molekul.

Contoh : H2O

e. Ikatan Van Der Waal’s

Ikatan van der waal’s merupakan kekuatan tarik-menarik antar molekul atau atom yang tidak bermuatan
dan letaknya berdekatan atau jaraknya ± 4-6 Å. Ikatan ini terjadi karena sifat kepolarisasian molekul atau
atom. Meskipun secara individu lemah tetapi hasil penjumlahan ikatan van del waal’s merupakan faktor
pengikat yang cukup bermakna terutama untuk senyawa-senyawa yang mempunyai berat molekul
tinggi. Ikatan van der waal’s terlibat pada interaksi cincin benzen dengan daerah bidang datar reseptor
dan pada interaksi rantai hidrokarbon dengan makromolekul protein atau reseptor.

f. Ikatan hidrofob

Ikatan hidrofob merupakan salah satu kekuatan penting pada proses penggabungan daerah non polar
molekul obat dengan daerah non polar reseptor biologis. Daerah non polar molekul obat yang tidak
larut dalam air dan molekul-molekul air disekelilingnya akan bergabung melalui ikatan hidrogen
membentuk struktur quasi-crystalline (icebergs).

g. Transfer Muatan

Kompleks yang terbentuk antara dua molekul melalui ikatan hidrogen merupakan kasus khusus dari
fenomena umum kompleks donor-aseptor, yang distabilkan melaui daya tarik-menarik elektrostatis
antara molekul donor elektron dan molekul aseptor elektron.

Contoh: komplek transfer muatan N-metilpiridinum iodida

5. Hubungan Struktur dan Interaksi Obat-Reseptor

Reseptor obat adalah suatu makromolekul jaringan sel hidup, mengandung gugus fungsional atau atom-
atom terorganisasi, reaktif secara kimia dan bersifat spesifik, dapat berinteraksi secara reversibel
dengan molekul obat yang mengandung gugus fungsional spesifik, menghasilkan respons biologis yang
spesifik pula.
Interaksi obat-reseptor terjadi melalui dua tahap, yaitu:

a. Interaksi molekul obat dengan reseptor spesifik

Interaksi ini memerlukan afinitas

b. Interaksi yang dapat menyebabkan perubahan konformasi makromolekul protein sehingga timbul
respons biologis.

A.Teori Klasik

Crum, Brown dan Fraser (1869), mengatakan bahwa aktivitas biologis suatu senyawa merupakan fungsi
dari struktur kimianya dan tempat obat berinteraksi pada sistem biologis mempunyai sifat yang
karakteristik.

Langley (1878), dari studi efek antagonis dari atropin dan pilokarpin, memperkenalkan konsep reseptor
yang pertama kali dan kemudian dikembangkan oleh Ehrlich.

Ehrlich (1907), memperkenalkan istilah reseptor dan membuat konsep sederhana tentang interaksi
obat-reseptor yaitu corpora non agunt nisi fixata atau obat tidak dapat menimbulkan efek tanpa
mengikat reseptor.

B. Teori Pendudukan

Clark (1926), memperkirakan bahwa satu molekul obat akan menempati satu sisi reseptor dan obat
harus diberikan dalam jumlah yang berlebih agar tetap efektif selama proses pembentukan kompleks.

Obat akan berinteraksi dengan reseptor membentuk kompleks obat-reseptor. Clark hanya meninjau dari
segi agonis saja yang kemudian dilengkapi oleh Gaddum (1937), yang meninjau dari segi antagonis.

Respons biologis yang terjadi setelah pengikatan obat-reseptor dapat merupakan:

1. Rangsangan aktivitas (efek agonis)

2. Pengurangan aktivitas (efek antagonis)

Ariens (1954) dan Stephenson (1956), memodifikasi dan membagi interaksi obat-reseptor menjadi dua
tahap, yaitu:

1. Pembentukan kompleks obat-reseptor

2. Menghasilkan respons biologis


Setiap struktur molekul obat harus mengandung bagian yang secara bebas dapat menunjang afinitas
interaksi obat-reseptor dan mempunyai efisiensi untuk menimbulkan respons biologis sebagai akibat
pembentukan kompleks obat reseptor.

Afinitas Efikasi

O + R ----------> Kompleks O-R -----------> Respons biologis

O + R ----------> O-R ----------> Respons (+) : Senyawa agonis

<-----------

O + R -----------> O-R ----------> Respons (-) : Senyawa antagonis

<------------

C. Teori Kecepatan

Croxatto dan Huidobro (1956), memberikan postulat bahwa obat hanya efisien pada saat berinteraksi
dengan reseptor.

Paton (1961), mengatakan bahwa efek biologis dari obat setara dengan kecepatan ikatan obat-reseptor
dan bukan dari jumlah reseptor yang didudukinya.

Asosiasi Disosiasi

O + R -----------> Kompleks O-R ----------> Respons biologis

<-----------

Senyawa dikatakan agonis bila mempunyai kecepatan asosiasi atau sifat mengikat reseptor besar dan
disosiasi yang besar.

Senyawa dikatakn antagonis bila mempunyai kecepatan asosiasi sangat besar sedang disosiasi nya
sangat kecil.

Senyawa dikatakan agonis parsial bila kecepatan asosiasi dan disosiasinya tidak maksimal.
D. Teori Kesesuaian Terimbas

Menurut Koshland (1958), ikatan enzim (E) dengan substrat (S) dapat menginduksi terjadinya perubahan
konformasi struktur enzim sehingga menyebabkan orientasi gugus-gugus aktif enzim.

(E) + (S) ----------> Kompleks E-S -----------> Respons biologis

<-----------

E. Teori Ganguan Makromolekul

Belleau (1964), memperkenalkan teori model kerja obat yang disebut teori gangguan makromolekul.
Menurut Belleau, interaksi mikromolekul obat dengan makromolekul protein (reseptor) dapat
menyebabkan terjadinya perubahan bentuk konformasi reseptor sebagai berikut:

1. Gangguan konformasi spesifik (Specific Conformational Perturbation = SCP)

2. Gangguan konformasi tidak spesifik (Non Specific Conformational Perturbation = NSCP.

Obat agonis adalah obat yang mempunyai aktivitas intrinsik dan dapat mengubah struktur reseptor
menjadi bentuk SCP sehingga menimbulkan respons biologis.

Obat antagonis adalah obat yang tidak mempunyai aktivitas intrinsik dan dapat mengubah struktur
reseptor menjadi bentuk NSCP sehingga menimbulkan efek pemblokan.

Pada teori ini ikatan hidrofob merupakan faktor penunjang yang penting pada proses pengikatan obat-
reseptor.

F. Teori Pendudukan-Aktivasi

Ariens dan Rodrigues de Miranda (1979), mengemukakan teori pendudukan-aktivasi dari model dua
keadaan yaitu bahwa sebelum berinteraksi dengan obat, reseptor berada dalam kesetimbangan dinamik
antara dua keadaan yang berbeda fungsinya, yaitu:

1. Bentuk teraktifkan (R*) : dapat menunjang efek biologis

2. Bentuk istirahat (R) : tidak dapat menunjang efek biologis

Agonis
R -----------> R*

<-----------

Antagonis

G. Konsep Kurir Kedua

Reseptor dari banyak hormon berhubungan erat dengan sistem adenil siklase. Sebagai contoh
katekolamin, glukagon, hormon paratiroid, serotonin dan histamin telah menunjukkan pengaruhnya
terhadap kadar siklik-AMP dalam intrasel, tergantung pada hambatan atau rangsangan adenil siklase.
Bila rangsangan tersebut meningkatkan kadar siklik-AMP, hormon dianggap sebagai kurir pertama (first
messenger), sedang siklik-AMP sebagai kurir kedua (second messenger).

H. Teori Mekanisme dan Farmakofor sebagai dasar Rancangan Obat

Teori mekanisme dan farmakofor sebagai dasar rancangan obat dapat diilustrasikan oleh obat
antihipertensi penghambat kompetitif enzim pengubah angiotensin (Angiotensin-converting enzyme =
ACE).

6. HUBUNGAN KUALITATIF STRUKTUR-AKTIVITAS

A. Aktivitas Obat

Dasar dari aktivitas obat adalah proses-proses kimia yang kompleks mulai dari saat obat diberikan
sampai terjadinya respons biologis.

Fasa-fasa yang mempengaruhi aktivitas obat, yaitu:

- Fasa farmakokinetik

Meliputi proses fasa II dan fasa III. Fasa II adalah proses absorpsi molekul obat yang menghasilkan
ketersediaan biologis obat, yaitu senyawa aktif dalam cairan darah (pH = 7,4) yang akan didistribusikan
ke jaringan atau organ tubuh. Fasa III adalah fasa yang melibatkan proses distribusi, metabolisme dan
ekskresi obat, yang menentukan kadar senyawa aktif pada kompartemen tempat reseptor berada. Fasa
I, II dan III menentukan kadar obat aktif yang dapat mencapai jaringan target.

- Fasa farmakodinamik
Meliputi proses fasa IV dan fasa V. Fasa IV adalah tahap interaksi molekul senyawa aktif dengan tempat
aksi spesifik atau reseptor pada jaringan target, yang dipengaruhi oleh ikatan kimia yang terlibat seperti
ikatan kovalen , ion van der waal’s, hidrogen, hidrofob, ion-dipol atau dipol-dipol, keserasian bentuk dan
ukuran molekul obat dengan reseptor. Fasa V adalah induksi ransangan, dengan melalui proses biokimia,
menyebabkan terjadinya respons biologis. Rancangan obat dalapt dilakukan pada fasa I sampai IV.

1. Aktivitas pada Fase Farmakokinetik

Untuk memberikan efek biologis, obat dalam bentuk aktifnya harus berinteraksi dengan reseptor atau
tempat aksi atau sel target, dengan kadar yang cukup tinggi. Sebelum mencapai reseptor, obat terlebih
dulu harus melalui proses farmakokinetik.

Faktor-faktor penentu dalam proses farmakokinetik adalah :

a. Sistem kompartemen dalam cairan tubuh, seperti : cairan intrasel, cairan ekstrasel dan berbagai fasa
lipofil dalam tubuh.

b. Protein plasma, protein jaringan dan berbagai senyawa biologis yang mungkin dapat mengikat obat.

c. Distribusi obat dalam berbagai sistem kompartemen biologis, terutama hubungan waktu dan kadar
obat dalam berbagai sistem tersebut yang sangat menentukan kinetika obat.

d. Dosis dan sediaan obat, transpor antar kompartemen seperti proses absorpsi, bioaktivasi,
biodegradasi dan ekskresi yang menentukann lama obat dalam tubuh.

Metabolisme obat mempunyai peranan penting dalam proses farmakokinetik. Sistem enzim
metabolisme obat, terutama enzim oksidase di hati serta enzim hidrolase di hati dan plasma, berperan
dalam mengubah senyawa lipofilik menjadi substrat untuk sistem konjugasi. Selanjutnya senyawa
mengalami konjugasi menghasilkan konjugat glukuronida, sulfat dan glisin yang bersifat sangat mudah
larut dalam air dan kemudian diekskresikan melalui ginjal atau hati. Senyawa lipofilik yang tahan
terhadap proses metabolisme akan diakumulasikan pada jaringan lemak.

Pengikatan obat dengan protein plasma terutama albumin juga berperan penting dalam proses
farmakokinetik. Hanya fraksi obat yang bebas (bentuk tidak terikat) dalam plasma yang dipandang
sebagai indikator untuk kadar obat dalam kompartemen-kompartemen lain, bukan kadar obat dalam
plasma.

2. Aktivitas yang Terjadi pada Proses Farmakokinetik Lingkungan

Farmakokinetik lingkungan mempelajari tentang interaksi antara makhluk hidup, manusia, hewan dan
tumbuh-tumbuhan dengan senyawa-senyawa kimia yang tersebar di lingkungan.

Studi farmakokinetik lingkungan meliputi :


a. Ekosistem atau populasi dalam lingkungan

Bagian utama sistem kompartemen lingkungan adalah udara, tanah, air tanah dan air permukaan serta
populasi berbagai spesies tanaman dan hewan atau biomasa.

b. Polutan

Tingkat akumulasi polutan atau senyawa radioaktif perlu ditentukan dengan satuan unit per waktu, juga
waktu paro (t1/2) dan kecepatan eliminasi biologisnya.

c. Senyawa anorganik.

Ditentukan waktu beradanya, lama senyawa berubah, kadar senyawa dan kecepatan peningkatan
senyawa dengan satuan unit per waktu, waktu eliminasi senyawa sampai tercapai keadaan
keseimbangan dan waktu paro senyawa.

3. Aktivitas oleh Induksi dari Efek

Kekuatan respons biologis obat tergantung pada :

a. Jumlah tempat reseptor yang diduduki

b. Rata-rata lama pendudukan, yang tergantung pada kecepatan disosiasi kompleks obat-reseptor

c. Kemampuan atau kapasitas molekul obat untuk menginduksi perubahan bentuk konformasi
biopolimer, yang dibutuhkan sebagai pemicu rangsangan timbulnya respons biologis.

4. Afinitas dan Aktivitas Instrinsik

Setiap struktur molekul obat harus mengandung bagian yang secara bebas dapat menunjang afinitas
interaksi obat-reseptor dan mempunyai efisiensi untuk menimbulkan respons biologis sebagai akibat
pembentukan kompleks obat reseptor.

Parameter induksi efek pada reseptor spesifik adalah sebagai berikut :

a. Afinitas molekul obat dengan reseptor, yang ditentukan oleh kekuatan ikatan obat-reseptor.

b. Kompleks obat-reseptor yang memungkinkan terjadinya perubahan transformasi dan distribusi


muatan reseptor sehingga timbul rangsangan atau respons yang sesuai. Kemampuan untuk
menimbulkan respons biologis disebut aktivitas intrinsik.

Afinitas adalah ukuran kemampuan obat untuk mengikat reseptor. Afinitas sangat tergantung pada
struktur molekul obat dan sisi reseptor.
Aktivitas intrinsik adalah ukuran kemampuan obat untuk dapat memulai timbulnya respons biologis.
Aktivitas intrinsik merupakan karakteristik dari senyawa-senyawa agonis.

5. Aktivitas pada Percobaan in vivo dan in vitro

Aktivitas biologis pada percobaan in vivo adalah satu integrasi dan keseimbangan yang kompleks dari
sifat kimia fisika senyawa yang ditentukan oleh berbagai kondisi biologis atau biokimia dan biofisika
pada berbagai fasa dari aktivitas obat.

Studi obat secara in vitro pada pecobaan dengan menggunakan organ yang terisolasi, pengaruh dari
transpor, perubahan kimia, metabolisme dan ekskresi obat menjadi minimal dan distribusi menjadi lebih
sederhana, sehingga diharapkan hubungan struktur-aktivitas menjadi lebih jelas dan mendapatkan
informasi tentang sifat kimia obat yang berperan terhadap aktivitas, bagian struktur molekul obat yang
berinteraksi dengan reseptor (gugus fungsi) dan penyebab dari efek.

6. Aktivitas dari Senyawa Multipoten

Beberapa senyawa dalam satu turunan obat dapat menunjukkan aktivitas biologis yang bermacam-
macam.

Hubungan antara komponen yang bervariasi dalam spektrum aktivitas senyawa multipoten mempunyai
kemungkinan bervariasi, yaitu:

a. Komponen yang bervariasi dalam aktivitas biologis disebabkan oleh interaksi obat dengan tipe
reseptor yang berbeda

b. Komponen yang bervariasi dalam spektrum aktivitas kemungkinan disebabkan oleh tipe molekul
yang berbeda. Molekul obat sendiri dapat menimbulkan satu efek sedang metabolitnya menimbulkan
efek yang lain

c. Komponen yang bervariasi dalam spektrum aktivitas kemungkinan merupakan aspek yang mendasar
dari satu tipe unit aksi farmakologis

d. Hilangnya satu komponen aktivitas dalam spektrum aktivitas dari turunan obat tertentu
kemungkinan disebabkan oleh perbedaan distribusi, tidak oleh pemisahan yang mendasar dari aktivitas
komponen.

7. Efek Terapetik dan Efek Samping


Spektrum efek dari senyawa multipoten dapat dibedakan dalam efek terapetik dan efek samping atau
efek yang diinginkan dan efek yang tidak diinginkan. Kualifikasi efek terapetik atau efek samping dapat
relatif subyektif.

Untuk mencapai tujuan pengembangan obat dapat dilakukan dengan menghilangkan salah satu
komponen aktivitas dari spektrum aktivitas obat atau memisahkan dua komponen aktivitas dari satu
obat menjadi dua senyawa yang berbeda, melalui manipulasi molekul.

B. Hubungan Struktur-Aktivitas

1. Faktor yang Kurang Mendukung Hubungan Struktur-Aktivitas

a. Perbedaan keadaan pengukuran parameter kimia fisika dan aktivitas biologis

b. Senyawa yang digunakan ternyata bentuk pra-obat, yang terlebih dahulu harus mengalami
bioaktivasi menjadi metabolit aktif.

c. Aktivitas obat dipengaruhi oleh banyak keadaan in vivo, seperti distribusi obat yang melibatkan
proses transpor, pengikatan oleh protein, proses metabolisme yaitu bioaktivasi dan biodegradasi serta
proses ekskresi.

d. Senyawa mempunyai pusat atom asimetris, sehingga kemungkinan merupakan campuran rasemat
dan masing-masing isomer mempunyai derajat aktivitas yang berbeda.

e. Senyawa mempunyai aktivitas biologis yang mirip dengan senyawa lain tetapi berbeda mekanisme
aksinya.

f. Pengaruh bentuk sediaan terhadap aktivitas

Formulasi farmasetis dapat menyebabkan kegagalan studi hubungan struktur-aktivitas. Faktor seperti
ukuran partikel dan bentuk kristal obat dalam sediaan farmasi kemungkinan dapat mempengaruhi
potensi obat.

g. Obat bersifat multipoten

Struktur kimia yang diperlukan untuk menimbulkan aktivitas biologis yang berbeda mungkin serupa atau
tuumpang tindih, sedikit atau banyak dan ini pada umumnya terdapat pada senyawa multipoten

h. Perbedaan spesies

Terutama pada obat yang memberikan perbedaan aktivitas yang besar oleh adanya perbedaan spesies.
Perbedaan ini pada umumnya terjadi pada obat bersifat lipofilik yang kemungkinan disebabkan oleh
perbedaan proses perubahan metabolik (oksidatif atau hidrolitik) di hati dan proses ekskresi obat di
ginjal.
2. Faktor yang Mendukung Hubungan Struktur-Aktivitas

a. Hubungan struktur-aktivitas empiris yang sifatnya Insidental

Untuk tipe obat tertentu hukum empiris yang diperlukan untuk terjadinya aktivitas biologis dapat
digunakan untuk membuat turunan obat berdasarkan data percobaan yang tersedia.

b. Struktur obat simetrik

Beberapa tipe obat tertentu ada yang mengandung dua gugus fungsi yang simetrik yang berhubungan
dan mungkin diperlukan untuk aktivitas atau mempunyai keuntungan tertentu.

3. Hubungan struktur-aktivitas yang sebenarnya

Aktivitas biologis merupakan refleksi sifat kimia fisika dari senyawa bioaktif, sehingga hubungan
struktur-aktivitas sebenarnya ada hukum yang tertentu.

a. Hubungan sifat kimia fisika dan aktivitas

b. Hubungan struktur kimia dan aktivitas biologis obat dengan tempat aksi yang sama

c. Hubungan struktur-aktivitas tak langsung

d. Hubungan struktur-aktivitas untuk stereoisomer

C. Pengukuran Kuantitatif Aktivitas Biologis

1. Efek individu

2. Efek bertingkat

3. Efek kuantal

7. Hubungan Kuantitatif Struktur-Aktivitas

Konsep bahwa aktivitas biologis suatu senyawa berhubungan dengan struktur kimia, pertama kali
dikemukakan oleh Crum, Brown,Fraser (1869). Hubungan kuantitatif struktur kimia dan aktivitas biologis
obat (HKSA) merupakan bagian penting rancangan obat, daalam usaha mendapatkan suatu obat baru
dengan aktivitas yang lebih besar, keseltifan yang lebih tinggi, toksistas atau efek samping sekecil
mungkin dan kenyamanan yang lebih besar, akan lebih menghemat biaya atau lebih ekonomis karena
untuk mendapatkan obat baru dengan aktivitas yang dikehendaki , faktor coba-coba ditekan sekecil
mungkin sehingga jalur sintesis menjadi lebih pendek.

Ada beberapa model pendekatan hubungan kuantitatif struktur-aktivitas, antara lain:

A. Model Pendekatan HKSA Free-Wilson

Free dan Wilson (1964), mengemukakan suatu konsep hubungan struktur dan aktivitas biologis obat,
yang dinamakan model de novo atau model matematik Free-Wilson. Mereka mengemukakan bahwa
respons biologis merupakan sumbangan aktivitas dari gugus-gugus substituen terhadap aktivitas biologis
senyawa induk, yang dinyatakan melalui persamaan berikut :

Log 1/C = Ʃ S + μ

Log 1/C = Logaritma aktivitas biologis

ƩS = Total sumbangan substituen terhadap aktivitas biologis senyawa induk

μ = aktivitas biologis senyawa induk

Model de novo ini kurang berkembang karena tidak dapat digunakan bila efek substituen bersifat tidak
linier atau bila ada interaksi antar substituen. Selain itu model ini memerlukan banyak senyawa dengan
kombinasi substituen yang bervariasi untuk dapat menarik kesimpulan yang benar. Namun model ini
juga memiliki keuntungan karena dapat menghubungkan secara kuantitatif antara struktur kimia dan
aktivitas biologis dari turunan senyawa dengan bermacam-macam gugus substitusi pada berbagai zona.

B. Model Pendekatan HKSA Hansch

Hansch (1963), mengemukakan suatu konsep bahwa hubungan struktur kimia dengan aktivitas biologis
(log 1/C) suatu turunan senyawa dapat dinyatakan secara kuantitatif melalui parameter-parameter sifat
kimia fisika dari substituen yaitu parameter hidrofobik (π), elektronik (δ), dan sterik (Es). Model
pendekatan ini disebut juga model hubungan energi bebas linier (linier free energy relationship = LFER)
atau pendekatan ekstratermodinamik. Pendekatan ini menggunakan dasar persamaan Hammet yang
didapat dari kecepatan hidrolisis turunan asam benzoat, sebagai berikut:

Log (kx/kh) = ρ σ
kx dan kh : tetapan keseimbangan reaksi dari senyawa tersubstitusi dan senyawa induk

ρ : tetapan yang tergantung pada tipe dan kondisi reaksi serta jenis senyawa

σ : tetapan yang tergantung pada jenis dan kedudukan substituen

1. Parameter sifat kimia fisika dalam HKSA model Hansch

Parameter yang sering digunakan yaitu :

a. Parameter hidrofobik

Parameter hidrofobik (lipofilik) yang sering digunakan adalah logaritma koefisien partisi (log P), tetapan
π Hansch, tetapan fragmentasi f Rekker-Mannhold dan tetapan kromatografi Rm.

b. Parameter elektronik

Ada tiga jenis sifat elektronik yang digunakan, yaitu :

- Pengaruh berbagai substituen terhadap reaktivitas bagian molekul yang tidak mengalami
perubahan. Penetapannya menggunakan perhitungan orbital molekul.

- Sifat elektronik yang berkaitan dengan tetapan ionisasi (pKa) dan berhubungan dengan bentuk
terionkan dan tak tterionkan dari suatu senyawa pada pH yang tertentu. Penetapannya menggunakan
persamaan Henderson-Hasselbach.

- Sifat oksidasi-reduksi atau reaktivitas senyawa. Penetapannya menggunakan perhitungan mekanika


kuantum dari energi orbital.

Tetapan elektronik yang sering digunakan dalam hubungan struktur-aktivitas adalah tetapan σ Hammet,
tetapan σi Charton, tetapan σ* Taft, dan tetapan F, R Swain-Lupton.

Tetapan elektronik lain-lain:

- Tetapan reaksi, contoh: pKa (tetsapan disosiasi), K (Tetapan reaksi), t½ (waktu paro biologis)

- Sifat organik fisik, contoh: E (potensial redoks), ∆ v (spektra infra-merah) dan δ ppm (spektra
NMR)

- Total energi elektron dalam molekul, contoh: Etot, EHOMO dan ELEMO
c. Parameter sterik

Tetapan sterik substituen dapat diukur berdasarkan sifat meruah gugus-gugus dan efek gugus pada
kontak obat dengan sisi reseptor yang berdekatan.

Tetapan sterik yang sering digunakan dalam hubungan struktur-aktivitas adalah tetapan Es Taft, tetapan
Esc Hancock, tetapan dimensi van der waal’s, tetapan U Charton dan tetapan sterimol Verloop. Karena
data tetapan sterik tersebut tidak tersedia untuk banyak tipe substituen, parameter sterik yang dihitung
secara teoritis juga digunakan dalam hubungan struktur-aktivitas yaitu berat molekul (BM = Mw),
refraksi molar dan parakor.

2. Analisis Statistik dalam HKSA Model Hansch

Perhitungan statistik yang banyak digunakan dalam hubungan struktur dan aktivitas melalui parameter-
parameter kimia fisika adalah regresi linier dan nonn linier.

a. Regresi Linier

Perhitungan regresi linier digunakan untuk mencari hubungan antara aktivitas biologis dengan satu
parameter kimia fisika atau lebih.

Y = aX + b

Y : aktivitas biologis (variabel tergantung)

X : parameter kimia fisika (variabel tidak tergantung)

A,b : koefisien regresi

Regresi linier untuk dua dan tiga parameter kimia fisika, dapat dinyatakan melalui parameter-parameter
sebagai berikut:

Y = aX1 + bX2 +cX3 + d

X1, X2 dan X3 : parameter-parameter kimia fisika 1, 2 dan 3

b. Regresi Non Linier


Regresi non linier untuk satu parameter kimia fisika dapat dinyatakan melalui persamaan-persamaan
sebagai berikut:

Y = a(X)2 + bX + c

Regresi non linier untuk dua dan tiga parameter kimia fisika, dapat dinyatakan melalui parameter-
parameter sebagai berikut:

Y = -a(X1)2 + bX1 + cX2 + dX3 + e

c. Kriteria Statistik

Keabsahan persamaan yang diperoleh dan arti perbedaan parameter yang digunakan dalam hubungan
struktur-aktivitas model Hansch, dapat dilihat dengan beberapa kriteria statistik seperti r, r2, F, t dan s.

Arti kriteria statistik:

- Nilai r (koefisien korelasi)

Menunjukkan tingkat hubungan antara data aktivitas biologis pengamatan percobaan dengan data hasil
perhitungan berdasarkan persamaan yang diperoleh dari analisis regresi. Semakin tinggi nilainya
semakin baik hubungannya.

- Nilai r2

menunjukkan berapa % aktivitas biologis yang dapat dijelaskan hubungannya dengan parameter sifat
kimia fisika yang digunakan.

- Nilai F

menunjukkan kemaknaan hubungan bila dibandingkan dengan tabel F. Makin besar nilai F semakin
besar derajat kemaknaan hubungan.

- Nilai t

menunjukkan perbedaan koefisien regresi a, b, c dan d dari persamaan regresi bila dibandingkan dengan
tabel t.

- Nilai s (simpangan baku)

Menunjukkan nilai variasi kesalahan dalam percobaan.


HUBUNGAN STRUKTUR DAN PENGEMBANGAN SENYAWA AGONIS DAN ANTAGONIS

A. Agonis dan antagonis

Senyawa agonis adalah senyawa yang dapat menghasilkan respon biologis tertentu serupa dengan
senyawa agonis endogen.

Senyawa antagonis adalah senyawa yang dapat menetralisir atau menghilangkan respon biologis
senyawa agonis. Pada umumnya senyawa antagonis mempunyai dasar struktur yang mirip dengan
senyawa agonis.

Antagonis obat tidak hanya penting untuk merancang obat atau dalam membuat komposisi obat tetapi
juga digunakan secara luas karena banyak aksi obat berdasarkan antagonis dengan agonis endogen,
seperti biokatalis, hormone, dan neurotransmitter atau kemungkinan bekerja sebagai antimetabolit
terhadap metabolit penting pada proses biokimia.

Contoh:

1. Kurare bekerja dengan memblok reseptor dari senyawa neurotransmitter asetilkolin pada
penghubung saraf otot.

2. Organofosfat bekerja sebagai racun saraf dan insektisida dengan cara memblok enzim
asetilkolinesterase sehingga kadar asetilkolin dalam tubuh menjadi berlebihan.

3. Antihistamin bekerja dengan memblok tempat aksi histamine endogen.

Tujuan rancangan senyawa agonis dan antagonis adalah untuk mengembangkan antagonis spesifik
terhadap biokatalis utama atau metabolit endogen.

Contoh : asetilkolin dan senyawa kolinergik, histamin dan senyawa histaminergik, norefinefrin dan
senyawa α-adrenergik.

Banyak gugus obat yang bekerja sebagai pengganti atau mimetic dari biokatalis, seperti hormon dan
vitamin, atau sebagai antagonis dari substrat atau produk antara proses biokimia.

Pengetahuan tentang agonis dan antagonis penting untuk diketahui karena dapat digunakan untuk :
a. Merancang kombinasi obat, terutama dalam formulasi obat diindustri farmasi

b. Pembuatan komposisi obat, terutama dalam pencampuran obat diapotek

c. Merancang senyawa antagonis terhadap senyawa agonis endogen, seperti : metabolit-metabolit,


histamine-antihistamin dan neurotransmitter-antineurotransmiter. Rancangan ini terutama
dikembangkan dibagian riset dan pengembangan.

Pengetahuan tentang agonis-antagonis juga penting untuk mengetahui dan mengantisipasi


kemungkinan terjadinya bahaya interaksi obat.

Berdasarkan fasa kerja obat, senyawa antagonis dikelompokkan sebagai berikut:

1. Antagonis ketrsediaan farmasetik

Antagonis ini menyebabkan ketersediaan obat dalam fasa farmasetik menurun oleh karena
berkurangnya kuantitas atau jumlah bentuk aktif obat yang dilepaskan atau menurunnya kecepatan
pelepasan senyawa aktif dari sediaan farmasi.

Factor utama sebagai penyebab adalah ketidaksesuaian (incompatibility) antara obat-obat yang
dikombinasikan dan ketidaksesuaian kimia atau fisika.

2. Antagonis ketersediaan biologis

Antagonis ini juga disebut antagonis farmakokinetik, yang menyebabkan ketersediaan biologis obat
menurun sehingga kadar obat dalam darah jaringan juga menurun.

Antagonis farmakokinetik dapat disebabkan oelh hal0hal sebagai berikut:

a. Menurunnya absorpsi obat dalam saluran cerna

b. Meningkatnya ekskresi obat aktif

c. Meningkatnya proses bioinaktivasi obat

d. Menurunnya proses bioaktivasi obat

e. Menurunnya kadar obat aktif karena ada interaksi kimia secara langsung antar obat kombinasi.

3. Antagonis pada tingkat jaringan atau plasma dan reseptor

4. Antagonis ini juga disebut antagonis farmakodinamik, yang mempengaruhi proses interaksi obat
dengan reseptor spesifik, sehingga menurunkan respons biologis obat.

B. Kombinasi obat
Kombinasiobat kemungkinan melibatkan campuran dua atau lebih obat dalam satu formulasi.
Penggunaan dua obat dalam formulasi yang berbeda dan diminum bersama-sama atau penggunaan dua
obat yang diminum dalam waktu yang berbeda tetapi kemudian berada bersama-sama dalam darah.
Hal-hal diatas dapat menimbulkan masalah interaksi obat, sehingga kemungkinan terjadi peningkatan
atau penurunan efek obat (bersifat antagonis).

Penurunan efek satu obat oleh obat yang lain atau antagonis antar obat pada umumnya tidak
diinginkan, tetapi kadang-kadang juga diinginkan . pada kasus penurunan efek obat yang tidak
diinginkan, kobinasi obat dikatakan tidak sesuai (incompatible).

Bila senyawa antagonis diberikan sebelumnya dan obyek biologis menjadi tidak sensitif terhadap obat
kedua, maka terjadi proses desensitasi atau pencegahan aksi obat.

Bila senyawa antagonis diberikan sesudah agonis, yang dimaksudkan untuk menghilangkan efek agonis
atau efek sampingnya, maka disebut efek kuratif, missal untuk pengobatan keracunan obat, senyawa
antagonis berfungsi sebagai antidotum.

Kombinasi obat memungkinkan juga dapat meningkatkan aktivitas obat, yaitu:

a. Efek potensiasi, dengan cara:

1) Meningkatkan ketersediaan farmasetik

2) Meningkatkan ketersediaan biologis dengan proteksi terhadap proses bionaktivasi.

3) Menurunkan ekskresi obat

4) Meningkatkan proses bioaktivasi.

b. Efek sinergisme yang berdasarkan pengaruh pada fasa farmakodinamik . kombinasi obat digunakan
apabila :

1) Obat-obat tersebut mempunyai efek potensiasi atau dosis yang digunakan untuk masing-masing
obat menjadi lebih rendah dan dapat menghasilkan efek terapeutik yang sama dengan efek samping
yang kecil.

2) Salah satu obat yang dapat menyembuhkan infeksi sedang obat yang lain untuk meringankan atau
menghilangkan gejala-gejala yang timbul akibat infeksi tersebut.

Contoh: pada infeksi pernafasan, obat kemoterapi untuk membunuh penyebab infeksi, sedang
analgesic, antihistamin dan pelega pernafasan untuk meringankan gejala-gejalanya.

3) Untuk mencegah resistensi mikroorganisme

4) Pada kasus dimana penyebab infeksi tidak dapat diidentifikasi secara cepat, sedangpasien
memerlukan penanganan dengan segera.
5) Pada penyakit yang disebabkan oleh parasit, obat-obat kobinasi yang bekerja melalui
mekanismeaksi berbeda dapat meningkatkan aktivitas terhadap mikroorganisme.

6) Pada kausu dimana terjadi infeksi ganda, seperti infeksi kulit yang disebabkan oleh bakteri gram
positif dan gram negatif atau bakteri aerob dan anaerob.

7) Kombinasi obat lebih murah dan lebih nyaman penggunaannya disbanding apabila diberikan secara
terpisah.

Kombinasi obat menjadi tidak rasional atau tidak diinginkan apabila:

a. Salah satu menimbulkan efek potensiasi yang berlebihan terhadap obat lainnya.

b. Salah satu obat tidak tercampurkan dengan obat yang lain oleh karena berinteraksi secara kimia,
atau karena dapat menghambat atau bersifat antagonis terhadap efek terapetik obat yang lain.

c. Pada kasus obat antiparasit, bila efek terapetik yang dihasilkan kombinasi obat tidak lebih baik
dibandingkan bila diberikan sebagai obat tunggal. Maka kombinasi tersebut dapat meningkatkan
resistensi parasit.

Kombinasi obat kemungkinan juga mempunyai kerugian oleh karena:

a. Tidak ada fleksibilitas dosis

b. Sering terjadi dosis yang diberikan tidak cukup, sehingga kemungkinan terjadi pengobatan yang
tidak kuat

c. Dapat mempengaruhi identifikasi atau diagnose penyakit

d. Toksisitas salah satu obat mungkin mempengaruhi dosis terapi dari obat yang lain.

e. Toksisitas ayng dihasilkan oleh kombinasi obat sering diasosiasikan sebagai toksisitas salah satu
obat.

f. Dapat terjadi reaksi kimia antar obat kombinasi selama penyimpanan

g. Jarang diperlukan penggunaan lebih dari satu obat untuk pengobatan kelainan fungsi organik.

Oleh karena itu penggunaan kombinasi obat yang tidak benar dapat menyebabkan keadaan atau kondisi
pasien menjadi lebih buruk.

C. Antagonis pada fasa farmakokinetik

Antagonis pada fasa farmakokinetik pada umumnya adalah antagonis kimia atau netralisasi.
Dasar dari antagonis kimia adalah adanya interaksi antar obat pada obyek biologis sesudah absorpsi,
antagonis kimia akan berinteraksi dengan senyawa agonis menghasilkan produk tidak aktif sehingga
jumlah agonis yang yang berinteraksi dengan reseptor menurun dan aktivitas biologis obat juga
menurun.

Contoh antagonis kimia:

a. Antikoagulan heparin yang bersifat asam dapat berinteraksi dengan protamin yang bersifat basa
sehingga senyawa menjadi lebih aktif

b. Ion merkuri(Hg++) dapat membentuk kelat yang nonotoksik dan mudah larut dalam air dengan
dimerkaprol sehingga menjadi tidak aktif. Hal ini dapat digunakan untuk meranccang sebagai kelat
sebagai antidotum keracunan logam berat.

D. Antagonis antar obat pada fasa farmakodinamik

Antagonis farmakodinamik adalah antagonis yang mempengaruhi proses interaksi obat reseptor,
sehingga respon biologis obat menurun. Antagonis berperan pada proses biokimia penting atau
melakukan pemblokan pada reseptor spesifik. Interaksi dapat bersifat :

1) Antagonis kompetitif

Senyawa agonis dan antagonis berkompetisi dalam merebut tempat reseptor menurun, dan aktifitas
agonis akan menurun. Hal tersebut digambarkan secara skematis sabagai berikut:

Agonis (A) + Reseptor (R) → Kompleks A-R→Stimulus→→efek biologis

Antagonis kompetitif

Pada umumnya ada hubungan struktur agonis dengan antagonis. Kurva hubungan antara efek biologis
dengan log dosis serupa dengan kurva pada antagonis kimia.

Contoh:

a. Antihistamin dan histamine

b. Kolinergik dan antikolinergik

c. Spironolakton dan aldosteron


Antagonis kompetitif dapat diatasi dengan meningkatkan kadar senyawa agonis potensi antagonis
kompetitif tergantung dari afinitas senyawa terhadap reseptor.

2) Antagonis nonkompetitif

Antagonis nonokompetitif dapat bekerja dengan mekanisme sebagai berikut:

a. Pengukuran afinitaspada reseptor

b. Pengukuran afinitas intrinsic

c. Menghalangi transmisi impuls

d. Berinteraksi dengan makromolekul

3) Kombinasi antagonis kompetitif dan nonkompetitif

Kombinasi satu senyawa yang menimbulkan efek antagonis kompetitif dan nonkompetitif dengan
senyawa agonis juga sering terjadi. Aksi dari komponen nonkompetitif akan terlihat pada kadar yang
tinggi dari senyawa antagonis. Efek yang terjadi pada kurva log dosis-respons adalah pergeseran parallel
dan penekanan dari respons maksimal.

Contoh: kombinasi antikolinergik dengan adifenin atau kamilofen.

4) Antagonis fungsional dan fisiologik

Apabila dua senyawa agonis yang mempunyai efek “berlawanan” [efek (+) dan efek (-)] diberikan secara
bersama-sama maka dapat mengubah parameter biologis, sehingga terjadi efek antagonis.

Antagonis fungsional adalah apabila dua senyawa agonis yang mempunyai efek “berlawanan” bekerja
pada satu sel atau system yang sama, tetapi pada tempat yang berbeda.

Antagonis fisiologik adalah apabila dua senyawa agonis yang mempunyai efek “berlawanan” bekerja
pada organ atau jaringan yang berbeda sehingga dihasilkan efek resultante.

5) Antagonis ireversibel

Tipe antagonis dengan karakteristik masa kerja yang panjang. Pengikatan obat-reseptor kemungkinan
bersifat selektif, tempat reseptor hanya untuk satu tipe agonis.
Contoh: senyawa pemblok α-adrenergik, seperti dibenamin dan benzilin. Dapat memblok reseptor α-
adrenergik dengan mengikat reseptor melalui ikatan kovalen.

6) Antagonis tipe kompleks

Antagonis tipe ini cara kerjanya sangat kompleks.

Contoh:

Senyawa bakteriostatik, seperti tetrasiklin, kloramfenikol, sulfonamide, eritromisin, dan linkomisin,


bekerja sebagai antibakteri dengan menghambat sintesis protein, sehingga menghambat pertumbuhan
bakteri dan mematikan bakteri

Senyawa bakterisi, seperti penisilin, sefalosporin, D-sikloserin, vankomisin, polimiksin, basitrasin,


kolistin, streptomisin, kanamisin dan neomisin, bekerja sebagai antibakteri dengan menghambat sintesis
mukopeptida yang dibutuhkan untuk pembentukan dinding sel bakteri akibatnya dinding sel mudah lisis
dan bakteri mengalami kematian.

apabila senyawa bakteriostatik dan bakterisid dikombinasi, efek bakteriostatik akan menghentikan
pertumbuhan sel bakteri, sehingga senyawa bakterisidal menjadi tidak aktif terhadap bakteri.

Anda mungkin juga menyukai